Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 09 Maret 2022

Bagai Rembulan #10

Cerita Bersambung

Bu Diana terkejut atas sikap Lusi yang tiba-tiba berubah, berdiri dengan mata melotot kearahnya, tak ada sopan-sopannya.

“Jadi mbakyu benar-benar mengingkari apa yang pernah mbakyu katakan beberapa waktu yang lalu?” katanya sambil menuding kearah wajah bu Diana.

“Lho jeng, duduklah, kok bicara sambil berdiri begitu?”
“Saya tidak mengira mbakyu akan mengatakan itu. Saya pikir mbakyu akan menepati apa yang telah mbakyu katakan,” katanya masih tetap dengan berdiri.
“Duduklah dan jangan bersikap seperti itu,” kata bu Diana masih dengan suara halus. Lusi duduk, tapi seperti hanya menempelkan sedikit pantatnya di sofa. Matanya masih menyala, dan sikap itu semakin meyakinkan bu Diana bahwa dia bukan orang yang pantas dijadikan keluarganya.

“Baiklah, apalagi yang akan mbakyu katakan?”

Simbok yang semula berada didapur, sudah sejak mendengar suara agak keras tadi diam-diam menelpon Liando, kemudian simbok berdiri dibalik pintu, setelah memanggil Karjo agar bersamanya disitu, menjaga kalau terjadi sesuatu yang menghawatirkan atas bu Diana.

“Jeng Lusi tahu, bahwa perjodohan itu bukan hanya untuk sehari dua hari, sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun, tapi diharapkan menjadi jodoh untuk seumur hidup.”
“Ya iyalah, itu saya sudah tahu.”
“Jadi setelah saya pikir, rasanya kok kita kurang bisa hidup berdampingan dalam sebuah keluarga.”
“Oh ya, karena mbakyu kaya raya, dan karena saya hanya orang biasa? Apa mbakyu memilih menantu yang anak bekas pembantu itu dan..."
“Cukup bu ! Ibu tidak pantas berbicara begitu,” tiba-tiba Karjo muncul bersama simbok.
Karjo berdiri dihadapan Lusi dengan marah, sedangkan simbok membawa bu Diana masuk kekamarnya.

“Hei, apa kamu? Siapa kamu? Beraninya kamu bicara kasar sama aku?”
“Kalau ibu bisa menghargai dan menghormati orang lain, maka saya juga akan menghargai dan hormat kepada ibu. Ibu berkata kasar kepada majikan saya, dan saya tidak rela!” kata Karjo keras.
“O, rupanya di keluarga ini, diantara sopir, pembantu dan majikan bisa berdiri sejajar ya, tidak punya derajat dan pangkat tapi merasa sama dengan majikan kamu?”
“Ya, benar, bu Diana tidak membedakan diantara kami, itu sebabnya kami semua mengasihi bu Diana.”
“Diam kamu sopir kurangajar!” tiba-tiba Anjas yang semula diam, berdiri dan menghampiri Karjo, siap mengayunkan kepalannya ke wajah Karjo. Tapi tiba-tiba seseorang muncul.

“Hentikan !!”

Anjas mundur selangkah ketika mendengar hardikan, dan melihat Liando sudah berdiri ditengah pintu.

“Bagaimana bisa ada orang-orang liar memasuki rumah ini ?”

Anjas menatap Liando dengan mata menyala. Mata merahnya bertambah merah karena amarah.

“Keluar kalau kamu laki-laki, jangan hanya berani sama laki-laki setengah tua sopir kesayangan kami. Keluar !!”

Lusi yang melihat suasana tidak akan menguntungkan, kemudian menarik tangan Anjas dan menerobos keluar dari samping Liando berdiri.

“Ayo bertarung sebagai sesama laki-laki, jangan kabur kamu Anjas.!!”

Tapi Lusi sudah menariknya masuk kedalam mobil dan memacu mobilnya keluar dari halaman.
Liando yang tidak melihat mamanya menjadi sangat khawatir.

“Mana mama?”
“Ada dikamar bersama simbok mas, begitu mendengar bu Lusi berteriak simbok langsung membawa ibu masuk kekamar,” kata Karjo.

Liando bergegas masuk kekamar, melihat mamanya sedang minum jus dengan dilayani simbok.

“Mama baik-baik saja ?” Liando langsung masuk dan bersimpuh dihadapan mamanya.
“Mama baik-baik saja, jangan khawatir.”
“Syukurlah mama,” kata Liando sambil mencium tangan mamanya.
“Mama baru tahu dan semakin yakin, bukan dia calon mertua kamu, mama malu berkerabat dengan orang seperti itu.”
“Liando senang mama tidak apa-apa.”
“Begitu dia berteriak, simbok langsung membawaku kekamar, dan Karjo memaki-maki Lusi. Ternyata aku disayangi orang seisi rumah.”
“Tentu saja mama, karena mama juga baik kepada semua orang.”
“Anakku, carilah jodoh yang kamu sukai, mantapkan pilihan kamu, ibu akan ikut berbahagia bersama kalian,” kata bu Diana yang tangannya masih diciumi anaknya. Liando segera memeluk ibunya erat, menitikkan air mata dipundaknya.

“Ibu....” tiba-tiba Dayu muncul.

Liando melepaskan pelukannya, dan berganti memeluk Dayu. Dayu kaget dan heran, ia meronta karena sungkan ada bu Diana disitu, dan simbok yang duduk diatas karpet sambil tersenyum menatapnya.

“Iih, apa sih. Ibu.. ma’af Dayu terlambat mengirim makan siang untuk ibu. Itu mbok, sudah disana,” kata Dayu.
“Baiklah, biar simbok tata sekalian,” kata simbok sambil berlalu.

Dayu berlutut didepan bu Diana.

“Mengapa ibu didalam kamar? Ibu sakit?”
“Tidak Dayu, ayo bawa aku keluar,” kata bu Diana sambil tersenyum.

Tapi Dayu tidak sendiri. Liando ikut mendorongnya sehingga mereka berhimpitan.

“Apa sih Liando, biar aku saja.”
“Sama aku dong, masa nggak boleh berdua,” katanya sambil sebelah tangannya memeluk pundak Dayu dan sebelahnya lagi memegang pegangan kursi roda.

Dayu diam saja, meskipun agak heran melihat sikap Liando siang itu.
***

“Dayu, mengapa tidak pernah mau ikut makan siang bersama disini?”
“Ma’af ibu, biar saya meladeni ibu saja, karena sebelum berangkat pasti Dayu sudah makan.”
“Dan meladeni aku kan?” kata Liando sambil melirik Dayu.
“Dayu.. aku mau tambah sayurnya, segar sekali sayur asem ini.”
“Iya bu, biar aku tambahkan.”
“Aku juga lho..” Liando ikutan.

Sesungguhnya Liando sedang sangat berbahagia. Mamanya sudah mengatakan kalau dia boleh memilih siapapun yang dia sukai. Hanya saja mamanya tidak mengatakan, apakah dia boleh memilih Dayu.

“Mama..”

Bu Diana menatap anaknya.

“Apakah Dayu akan bisa menjadi isteri yang baik?”
“Tentu saja, dia gadis baik, santun dan pintar. Dia akan menjadi isteri yang baik.”
“Apakah... dia boleh menjadi isteri Liando?”

Dayu terkejut bukan alang kepalang mendengar Liando berkata seperti itu. Matanya melotot kearah Liando, khawatir pertanyaannya akan membuat mamanya marah.

“Kamu? Mau supaya Dayu menjadi isteri kamu?”
“Iya, mm.. kalau ibu menyetujuinya..” kata Liando hati-hati.
“Ibu tidak bisa menjawabnya..” kata bu Diana sambil menikmati sayur asem yang baru saja ditambahkan Dayu. Kegembiraan Liando surut.

“Mengapa begitu? Mama tidak suka?”
“Mama sih suka, tapi Dayu kan belum tentu suka, ya kan Dayu?”

Tiba-tiba senyum merekah dibibir Liando. Ternyata ibunya suka, ternyata cinta mereka akan berlabuh disini, diruang makan ini.

“Jangan senyum-senyum dulu. Memangnya Dayu suka sama kamu?” kata Bu Diana lagi.
“Dayu, benarkah kamu tidak suka sama aku?”

Dayu yang sejak tadi merasa heran atas sikap Liando, juga kata-kata bu Diana, tak bisa berkata-kata. Degup jantungnya menjadi kencang. Apakah dia bermimpi?

“Mengapa diam Dayu?” tanya Liando.
“Bukankah Susan lebih cocok buat kamu?” kata Dayu tanpa berani menatap Liando yang sejak tadi memandanginya sambil tersenyum lucu.
“Dengar ma, katanya aku lebih cocok dengan Susan. Apakah mama mau melamarkan Susan buat aku?”

Dayu melotot memandangi Liando, yang kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Dayu, jangan dengarkan kata-katanya. Ibu tidak suka berbesan dengan Lusi.”

Dayu menatap bu Diana, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Nanti setelah makan aku akan ceritakan. Sekarang aku sedang menikmati sayur asem buatan calon besanku. Aku juga suka sambelnya, tidak begitu pedas, rasanya semua pas.”

Calon besan? Dayu semakin berdebar. Tapi ia harus bersabar. Bu Diana akan mengatakan semuanya nanti setelah makan siang walau dia bisa menangkap sedikit kemauan keluarga bu Diana. Ada sorak dihati Dayu, entah mengapa hari itu menurutnya sangatlah indah.
***

Lusi melemparkan tas tangannya begitu saja diatas meja lalu menghempaskan tubuhnya disofa. Kepalanya bersandar dan tangannya memijit-mijit dengan keras. Anjas mengikutinya duduk dihadapan ibunya.

“Mengapa mama melarang aku menghajar laki-laki sombong itu?”
“Omong kosong !! Kamu kalah besar dan dia jagoan taekwondo.”
“Masa?”
“Jangan bodoh !! Kamu belum pernah berhadapan dengan dia. Kamu beraninya cuma keroyokan. Sudah hentikan. Kepala mama pusing sekali.”
“Mengapa menjadi seperti ini ma bagaimana cara mama mendekati bu Diana?”
“Mama nggak tahu, mama kenal Diana saja belum lama, hanya karena dia datang bersama mamanya ketika melayat nenek kamu waktu meninggal lalu kami berkenalan dan sering bertemu.”
“Ini semua gara-gara Dayu.”
“Benar. Karena seringnya Dayu datang kesana dan tampaknya Diana menyukainya lalu tiba-tiba dia berubah pikiran.
***

“Ibuuuu....” teriak Dayu yang begitu memasuki rumah langsung memasuki kamar ibunya.
“Aduuh.. kamu nih membuat ibu terkejut saja..”

Dan dengan erat kemudian Dayu memeluk Surti, menangis dipundaknya.

“Ada apa ini Dayu? Jangan membuat ibu takut. Dayu... ada apa?” Surti ketakutan melihat Dayu terus menangis.
“Dayu... “ panggilnya sambil menggoyang-goyang tubuh anaknya.
“Ibu... aku menangis bahagia..” kata Dayu sambil melepaskan pelukannya.
“Ya ampuuun jantung ibu hampir copot karena ketakutan. Ada apa?”
“Bu Diana akan mengambil aku sebagai menantu bu.”
“Ah apa itu benar?"
“Benar bu, tadi itu, bu Lusi datang kesana bu Diana membatalkan perjodohan Aliando dan Susan.”
“Lalu kamu berharap menggantikannya begitu ?”
“Bukan begitu bu, bu Diana setuju Aliando melamar Dayu.”
“Tapi kan kamu masih sekolah Dayu.”
“Benar bu, Dayu akan menyelesaikannya terlebih dulu. Yang penting sudah ada lampu hijau dari mamanya Liando.”
“Janganlah sebuah kesenangan membuat kamu melonjak kegirangan, karena semua yang terjadi bukan atas kehendak kita. Selalulah memohon yang terbaik kepada Yang Maha Kuasa.”
“Iya bu, Dayu mengerti.”
“Ya sudah ganti bajumu dan istrahatlah.”
“Maaaas..”
“Dayu, jangan mengganggu kakakmu.. kamu kan tahu bahwa dia sedang tidak mau diganggu?”
“Iya, ma’af..”

Dayu sekali lagi memeluk ibunya kemudan berlari kekamarnya.
Surti menggeleng-gelengkan kepalanya tapi dalam hati dilantunkannya sebuah do’a.

“Semoga anak-anakku hdup bahaga dunia akhirat. Aamiin.”
***

“Kamu itu sungguh memalukan . Bekerja diperusahaan Indra seorang sombong dan selalu menghina mama?”
“Memang apa salahnya kalau Susan bekerja disana?”
“Kamu tidak tahu bagaimana sombongnya dia?”
“Sikap seseorang itu kan mencerminkan bagaimana watak kita sendiri? Seseorang menjadi sombong atau kita anggap sombong karena bagamana cara kita bersikap kepadanya. Mungkin kita yang salah siapa tahu.”
“Maksudmu.. kamu menyalahkan mama?”
“Bukan.. bukan hanya mama.. bisa setiap orang.”
“Sudah jangan sok menggurui orang tua kamu. Kamu sudah dengar apa keputusan bu Diana tadi?”
“Belum, apakah berita baik?”
“Baik apanya? Dia memutuskan tali perjodohan itu. Kamu puas?”
“Ya sudah lah bu, biarin saja diputusin kalau memang bukan jodoh mau bagaimana lagi?”
“O kamu tidak terpengaruh ya? Kamu suka mendengarnya karena kamu memang tidak suka sama dia kan?"
“Mama apakah aku harus menangis meraung-raung?”
“Kamu tidak sakit hati?"
“Mengapa harus sakit hati? Memangnya didunia ini hanya Aliando laki-laki yang pantas menjadi jodoh Susan?”
“Bodoh !!”
“Mama. Sudahlah jangan dipikirkan biarin saja dan biarkan juga Susan bekerja. Supaya hati kita tenang perasaan juga tenang. Ya kan ma?”
“Sudah, jangan ngomong sama mama. Mama tidak butuh pendapat kamu.”
“Lebih baik mama tenang jangan memikirkan kegagalan. Jodoh itu kan ditangan Allah Yang Maha Pengasih.”
“Diam kamu !!”

Dan Susan memang lebih baik diam, lalu menenggelamkan diri didalam kamar.
***
Sejak hari itu Lusi enggan bicara dengan Susan. Susan tak pedul dan bosan dengan umpatan-umpatan mamanya. Ia tetap berangkat bekerja setiap pagi pulang sore dan tidak jarang makan siang dirumah keluarga Indra.
Umi jarang mengajaknya makan siang bersama karena tahu bahwa Susan lebih suka makan dirumah bosnya.
Benarkah bahwa cinta bisa tumbuh secara perlahan? Ada Naya yang ganteng dan dengan setia bersedia mengantarnya apabila Susan bermain disana sampai malam. Susan memang lebih suka pulang malam, lalu sesampai dirumah mandi dan tidur agar tidak bertemu mamanya atau tak ada waktu berbincang dengan alasan capek.
Susan yang sebenarnya ramah ternyata bisa memancing obrolan dengan Naya yang katanya pemalu, dan Naya tampak sangat menikmatinya. Apakah karena Susan cantik dan menarik, atau karena sedikit cerewet hampir sama dengan Yayi adiknya entahlah yang jelas Naya sudah terbiasa dengan sikap Susan yang tidak lagi merasa sungkan bergaul dengan keluarganya.

Hari berjalan dan bulan-bulan berlalu. Adit dan Naya sudah selesai dengan kuliahnya. Adalah luar biasa ketika keduanya mendapatan predikat cum laude. Keluarga Indra dan Tikno tentu saja sangat berbahagia.
Malam itu ketika mengantarkan Susan, Naya mengajaknya makan direstoran es cream.

“Ini untuk merayakan kelulusan kamu bukan Naya?” Tanya Susan.
“Tidak, seorang yang belajar punya kewajiban untuk bisa menyelesaikan pelajarannya, mengapa harus dirayakan?”

Dan Susan terpesona oleh jawaban pria ganteng yang akhir-akhir ini semakin dikaguminya.
Keduanya duduk berhadapan dbawah sinar lampu temaram yang menerangi rumah makan itu.
Naya belum pernah menatap Susan seperti malam itu. Dibawah lampu redup yang membiaskan wajah cantik, yang menurutnya sangat menawan. Entah mengapa hati Naya berdebar kencang.
Susan tidak memperhatikan karena asyik menyendok es cream yang sudah terhidang.
Ketika menyadari bahwa Naya tidak segera menikmati es creamnya Susan menegurnya heran.

“Haloooww... es cream kamu sudah mencair..”
“Oh.. apa? Ya.. hampir mencair.. “ jawabnya gugup.

Naya menyendok es creamnya perlahan, menata debar jantungnya yang berdegup tak beraturan.
Lama-lama Susan tahu kalau Naya memperhatikannya.

“Ada apa?”
“Apa?” Naya ganti bertanya.
“Ada yang aneh? Mukaku berlepotan? Ada yang aneh?” tanya Susan sambil memegang wajahnya.
“Tidak.. tidak.. kamu mengejek aku ? Aku kan belum mandi dari pagi? Aduuh.. wajahku pasti berminyak kusam, menyebalkan ya.”
“Oh.. no.. no.. kamu cantik kok. Beneer...”

aduuh..ingin mengatakan suka tapi susahnya bukan alang kepalang. Wajahnya justru memerah seperti kepiting rebus.
Susan tersenyum. Dia bukan anak kecil yang tidak tahu apa arti tatapan itu. Dan Susanpun tersipu. Ada getar aneh menjalar diseluruh aliran darahnya.
***

Apakah Lusi akan menerima kenyataan dengan lapang dada? Tidak, itu bukan Lusi. Dendam yang membakar dadanya terus saja dibiarkan menyala mendidihkan setiap aliran darahnya dan selalu menggelegak sampai keubun-ubunnya.
Malam itu sepasang matanya menangkap pemandangan yang membuatnya marah. Susan dan seorang laki–laki sedang berduaan dan bertatap mesra.

==========

Lusi mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Matanya menyala marah menatap kedalam restoran itu.
Ia tidak bersama Anjas, tapi ia mengenal beberapa orang yang bisa membantunya.

“Susan berani menentang aku karena laki-laki itu, siapa dia sebenarnya? Harus aku beri pelajaran sampai kapok,” umpatnya pelan.

Sementara itu Susan dan Naya asyik mencecap es krim yang dipesannya, dan mencecap rasa yang baru saja disadarinya. Apakah itu cinta?

“Naya, kamu tampak aneh malam ini,” bisik Susan.
“Aku memang sedang merasakan sesuatu yang aneh. Ma’af.. mungkin tidak pantas.. tapi..”
“Apa yang tidak pantas? Bahwa rasa itu datang tiba-tiba, janganlah dinamai tidak pantas selama itu bukan suatu kejahatan. Aku suka melihatmu tampak bingung dan gugup malam ini. Kamu tampak lucu.”
“Susan...”
“Naya, kamu sangat pemalu, tapi aku akan berterus terang, bahwa aku suka sama kamu,” kata Susan dengan berani sambil menatap lembut wajah Naya yang kemerahan.
“Apakah aku harus minta ma’af karena mengatakan ini Naya?” lanjutnya.
“Oh.. ti..tidak.. tidak.. tak ada yang salah.. selama itu bukan kejahatan..” Naya mengucapkan kata balasan, seperti tadi Susan mengatakannya, sambil menata batinnya. Bagaimana sih kalau seorang gadis menyatakan suka terlebih dulu? Apakah itu salah?

“Karena aku tahu bahwa kamu itu pemalu, aku tak sabar menunggu,” kata Susan berterus terang.

Bukan karena Susan lebih berpengalaman, tapi Susan sudah lebih dewasa dan suka mengatakan apa adanya.
Dan tiba-tiba Naya tersenyum. Senyum itu sangat menawan menurut Susan, sehingga susah sekali berpaling dari wajah kemerahan yang tampak santun dan menggetarkan hatinya itu.

“Susan..”
“Aku juga suka sama kamu,” lanjutnya sedikit malu.
“Kamu sudah tahu orang tuaku bukan? Terutama mamaku? Orang tua kamu tak akan suka kalau mengingat mamaku. Aku sedih, ingin mengubahnya tapi tak bisa. Aku belajar banyak kebaikan justru dari keluarga pak Indra, orang tua kamu yang juga atasanku,” lalu Susan menundukkan kepalanya. Bagaimanapun ketika teringat mamanya, kemudian membuatnya jadi minder.

“Susan, angkat kepalamu, mengapa tiba-tiba menunduk?” Naya mulai berani berkata sedikit lancar..
“Tiba-tiba aku merasa minder.”
“Mengapa?”
“Mengingat mama..”
“Ayolah, ini adalah kamu, bukan mama kamu.”
“Naya, kamu sungguh baik, seperti pak Indra.. aku bahagia menemukan keluarga ini. Aku merasa tak punya keluarga,” kata Susan sedih.

Naya merangkum tangan Susan yang ada diatas meja, meremasnya lembut.

“Jadilah keluarga aku.”

Beberapa sa’at keduanya tenggelam dalam rasa yang tak terungkapkan.

“Sudah malam, ayo aku antar pulang,” kata Naya sambil berdiri, meraih tangan Susan dan mengajaknya keluar.

Tapi sebelum sampai di mobil, sebuah hantaman mengenahi bahu Naya, membuatnya tersungkur. Kepalanya terantuk pinggiran trotoar. Susan menjerit.

“Heiii.. apa-apaan ini?”

Ada orang lain yang ingin menghantam lagi tubuh Naya yang sedang berusaha berdiri, tapi Susan juga sedang menghampiri tubuh Naya, sehingga pukulan itu mengenai tubuh Susan.
Susan menjerit dan jatuh disamping Naya, begitu kerasnya pukulan itu, membuat Susan tak bergerak. Ada darah meleleh dipelipisnya, dan darah dari kepala Naya membasahi wajah Susan.
Orang lain yang salah memukul, melayangkan kembali pukulannya kearah Naya yang sedang berusaha bangkit, tapi tiba-tiba sebuah tendangan membuatnya terpental.
Ada dua orang lain yang kemudian maju ketika mengetahui ada orang yang melindungi Naya, tapi dengan gerakan memutar, laki-laki gagah itu bisa membuat kedua penyerangnya roboh berguling-guling sambil berteriak ngeri. Ada tiga orang penyerang, satu diantaranya masih tegak berdiri, melotot menatap musuhnya dan berteriak sambil menerkam, tapi dengan sebuah hantaman laki-laki penyerang itupun roboh.
Suasana menjadi gaduh, polisi sudah datang. Naya bangkit dan berusaha menolong Susan.

“Biar aku bawa ke mobil, kita harus segera kerumah sakit,” kata laki-laki gagah itu yang ternyata adalah Aliando. Ia datang bersama Dayu. Dan ketika Aliando mengangkat tubuh Susan, Dayu mendekati Naya dan membantunya bangun.

“Mas Naya... kamu tak apa-apa?”
“Dayu... kamu?”
“Ayo ke mobil, Liando sedang membawanya ke mobil.”
“Dia.. Susan..”
“Oh, baiklah, ayo mas..” kata Dayu sambil menggandeng lengan Naya.

Aliando membuka mobil, sebelum Susan diletakkan diatas jok belakang, Susan membuka matanya, merintih perlahan.

“Tenanglah, kami akan membawa kamu kerumah sakit.”

Susan menatap laki-laki yang menggendongnya, lalu dipejamkannya matanya.

“Dia, laki-laki yang aku benci, laki-laki sombong yang sok ganteng sedunia, tapi ia memiliki tangan hangat yang sangat mulia, ya Tuhan, sangat banyak orang-orang baik didunia ini, bagaimana dengan mamaku?” bisik batin Susan.
“Kamu tiduran saja...”
“Mana.. Naya?”
“Ini aku..” kata Naya yang sudah ada disitu.

Liando melarikan mobilnya kerumah sakit.
***

“Bodoh !! Bodoh ! Bodoh !!” teriak Lusi setelah sampai dirumah.
“Ada apa sih ma?”
“Ada apa.. ada apa.. mengapa kamu tidak membantu mama?”
“Aku kan tidak tahu apa-apa ma..”
“Aku melihat Susan bersama seorang laki-laki sedang makan disebuah rumah makan, geram aku, ternyata laki-laki itu yang membuat Susan berani menentang mama. Aku panggil Tomy dan teman-temannya, aku suruh menghajarnya. Nggak tahu bagaimana.. polisi sudah datang dan ketiganya ditangkap. Lalu aku kabur.”
“Bagaimana kalau mereka bilang mama yang menyuruh mereka?”
“Tidak, aku sudah membayarnya. Pokoknya mereka tidak akan menyebut nama mama dihadapan polisi.”
“Mama bagaimana sih..”
“Aku juga melihat Tomy salah sasaran. Adik kamu dihajarnya sampai pingsan.”
“Orang gila.”
“Mama belum berani kerumah sakit untuk menengok Susan, jangan-jangan masih ada polisi berkeliaran disana untuk mencari keterangan.”
“Ya sudah, mama dirumah saja dan pura-pura tidak tahu.”
***

Naya hanya mendapat perawatan ringan, pelipisnya dan pundak sebelah kiri luka karena hantaman keras. Kecuali itu kepalanya terantuk pinggiran trotoar. Tapi dokter menyarankan untuk dirawat satu atau dua hari.
Sedangkan Susan dahinya luka karena kepalanya juga terantuk pinggiran trotoar. Ia juga harus dirawat.

“Susan, kamu tak apa-apa?”

Susan menatap laki-laki sok ganteng yang semula dibencinya, berdiri dengan senyum ramah, disamping Dayu yang cantik dan lembut.

“Terimakasih banyak..” bisiknya pelan, lalu memejamkan matanya.
“Kata dokter kamu gegar otak ringan.”
“Naya..?”
“Naya juga dirawat, mungkin sama, kalian belum boleh bangun.”
“Apa aku harus mengabari mama kamu?” tanya Liando.

Susan kembali menatap Liando, laki-laki yang memang ganteng itu, dan sekarang membuatnya kagum akan perhatiannya terhadap dirinya.

“Tidak usah.”
“Nanti mama kamu mencari kamu.”
“Tidak akan, mama tak akan peduli.”
“Bagaimana rasanya mbak? Masih pusing?”
“Sedikit Dayu, terimakasih. Untunglah ada kalian.”
“Beristirahatlah dulu disini, dokter akan merawatmu. Kami akan ke mas Naya dulu.”
“Baiklah, katakan bahwa aku tak apa-apa.”

Dayu mengangguk, lalu menggandeng Liando meninggalkan ruang inap Susan.

“Ternyata.. eh ternyata...” gumam Dayu dalam perjalanan kekamar Naya.
“Ternyata apa?”
“Mas Naya dan Susan... pasti ada apa-apa nih..”
“Syukurlah.. “
“Nggak cemburu nih, sama mas Naya?”
“Eiitt.. iya lah, aku cemburu.. cemburu berattt...” Liando tertawa kemudian menjerit kesakitan karena Dayu mencubitnya keras sekali.
“Iih.. ngomong sendiri.. kok jadi marah sih.”
“Penginnya kamu menolak, nggak taunya kesenangan..” kata Dayu cemberut, lalu berjalan cepat meninggalkan Liando. Liando mengejarnya sambil tertawa.

Ketika Liando dan Dayu masuk, disitu sudah ada Indra, Seruni, Yayi dan Adit.

“Waah... sudah banyak tamu rupanya, kata Liando.
“Bagaimana Naya?”
“Nggak apa-apa.. sedikit pusing.”
“Ada pesan dari Susan, suruh bilang ke kamu, bahwa dia baik-baik saja,” kata Liando.

Naya tersenyum malu, tak berani menatap wajah kedua orang tuanya.

“Tidak usah malu-malu.. biasa bukan, anak muda jatuh cinta?” kata Indra, yang disambut tawa semua yang hadir.

Hanya Seruni yang hanya tersenyum, memegangi tangan Naya sambil sesekali diciumnya.

“Ibu, Naya tak apa-apa.”
“Lain kali hati-hati, ibu tak percaya kamu punya musuh nak.”
“Tidak bu, Naya tak punya musuh.”
“Mengapa mas, ini bisa terjadi?” tanya Seruni kepada suaminya.
“Sudahlah .. kamu jangan memikirkan apa-apa, anak kita tak punya musuh, jadi barangkali hanya ada anak nakal yang main tawur saja. Polisi sedang menanganinya.”
“Cepat sembuh ya nak,” kata Seruni pilu.
“Iya ibu.”

Yayi pamit dan mengajak Adit keruangan Susan.
Agak terharu, sementara diruangan Naya banyak keluarga menjenguk, sedangkan diruangan Susan tak seorangpun ada disana.

“mBak Susan, sudah mengabari keluarga?” tanya Yayi sambil meremas tangan Susan.
“Aku tidak punya keluarga, Yayi,” kata Susan sedih.
“Jangan begitu, bu Lusi harus diberi tahu.”
“Tidak usah, mama tidak akan kehilangan.”
“Tapi namanya orang tua kan harus tahu,” kata Adit.
“Tidak, lihat saja nanti, ketika aku tidak pulang, bahkan sampai besok, mamaku mencari atau tidak. Pasti tidak. Jadi sudahlah, biarkan saja aku disini.”
“Aku bawakan baju ganti untuk mbak Susan, ini punyaku, kayaknya besarnya tubuh kita hampir sama deh,” kata Yayi.
“Terimakasih banyak Yayi, kamu sangat baik, keluarga kamu juga baik, sahabat-sahabat kamu baik. Aku menemukan orang-orang baik, dan itu membuat aku terharu. Kalianlah keluarga aku, bukan mama.”

Yayi meremas tangan Susan.

“Sudah, kamu jangan memikirkan apa-apa, kamu harus istirahat.
Dan ketika pagi harinya, dengan heran Susan melihat Yayi menungguinya dengan tidur dikamarnya semalaman. Air mata haru menitik, dan itu membuatnya yakin bahwa ketenangan akan didapat dari hati yang baik dan mulia.
***

“Siapa ya kira-kira pelaku penyerangan itu?” tanya Tikno kepada Adit.
“Belum tahu pak, polisi sedang mengusutnya.”
“Ada nggak.. siapa tuh.. anaknya Lusi yang berandal itu..mm... siapa namanya, bapak lupa?”
“Anjas? Sepertinya nggak ada pak, kalau Anjas, masa menyerang adiknya sendiri ?”
“Iya juga sih.”
“Mungkin anak-anak yang sedang mabuk pak. Kalau orang lagi mabuk kan kelakuannya tidak terkendali?”
“Untunglah Liando segera datang dan menghajar mereka.”
“Dan untung juga Adit tidak ada disana waktu itu. Kalau ada, pasti Adit habisi semuanya.”
“Adit, anak bapak kan sudah berkali-kali bapak peringatkan, bahwa mengumbar kemarahan itu tidak baik.”
“Bagaimana kalau kita diserang?”
“Bisa mempertahankan diri itu sudah cukup. Bapak lihat kamu itu suka sekali menghajar orang.”

Adit tertawa.

“Bapak bisa aja, itu kan hanya kata-kata Adit saja. Sebenarnya juga tidak kok.”d
“Tapi suaramu itu lho le, bapak sampai merinding.”
"Habisnya, bapak itu lemah lembut seperti ibu.”
“Nggak juga, kalau bapak lemah lembut ya kamu dan adikmu tidak akan lahir.”
“Kok gitu pak?”
“Lha yang lemah lembut itu kan perempuan. Kalau laki-laki gemulai, mana bisa suka sama perempuan?”

Adit tertawa keras sekali.

“Adiit !” tegur Tikno sambil tersenyum.
“Habis bapak lucu sekali,” kata Adit sambil masih tergelak.
“Ada apa ini, para lelaki tertawa terbahak-bahak?” tanya Surti sambil membawa nampan berisi teh hangat.

“Adit itu lho bu.”
“Bukan bu, bapak yang lucu..”
“Lho, sejak kapan bapak pintar melucu?”
“Itu lho bu, masa bapak ini dibilang lemah lembut, terus bapak bilang, kalau bapak lemah lembut nggak bakalan ada Adit dan Dayu, ya kan?”
“Adit bilang lemah lembut, bapak menggantinya dengan gemulai.. beda dong,” bela Adit.
“Kalian ini kalau sudah kumpul ramenya nggak karuan. Oh ya, bagaimana keadaan Naya dan Susan?”
“Ya harus dirawat bu, kata dokter keduanya gegar otak ringan, kepalanya terantuk trotoar. Tapi tidak apa-apa kok. Nanti Adit mau kesana lagi..”
“Jadi Naya itu sekarang dekat sama Susan?”
“Tampaknya begitu pak, kan Susan bekerja di kantornya pak Indra? Lalu mereka jadi dekat deh.”
“Tidak apa-apa sih, asalkan mamanya Susan tidak membuat keributan saja. Dia itu kan orang aneh.”
“Susan melarang kita memberi tahu mamanya.”
“Kok gitu?”
“Katanya mamanya tidak akan perduli, gitu.”
“Kasihan anak itu. Bu Indra juga pernah cerita kalau Susan sebenarnya baik. Dia suka makan siang dirumah bu Indra lho.”
“Semoga semuanya baik-baik saja. Cinta kan tidak pernah mengenal dia itu siapa?”
“Benar. Saya mau kerumah sakit dulu ya pak, bu.”
“Tunggu, bapak juga mau ikut, aku bonceng kamu saja, bisakah?”
“Bisa pak, ayolah, Adit tungguin., Ibu enggak?”
“Ibu besok saja, kan ibu harus belanja untuk masak besok pagi.”
“Ya sudah, Adit sama bapak saja.”
“Kamu nggak sama Yayi?”
“Yayi semalaman tidur dirumah sakit bu, kasihan katanya, Susan nggak ada yang menemani.”
“Owalah, syukurlah, anak-anak baik, tidak keberatan saling menolong. Ibu suka itu.”
***

Tikno berboncengan dengan Adit menuju rumah sakit.

“Jangan ngebut le, pelan saja,” pesan Tikno.
“Iya bapak, Adit tahu. Eh, tapi di perempatan itu berhenti sebentar ya.”
“Ada apa?”
“Ada kakek penjual koran, Adit mau beli.”
“Ooh, kakek yang suka menolong kamu itu? Baiklah.”

Adit menghentikan motornya. Ia turun menghampiri kakek penjual koran, lalu mengulurkan uang limapuluh ribuan.

“Beli satu kakek, tapi tidak usah kembaliannya,” kata Adit.

Kakek tua itu menggelengkan kepalanya, mengembalikan uang yang diberikan Adit.

“Tolong kakek, terimalah.”
“Jangan..” lalu kakek itu meninggalkan Adit.
“Selalu begitu,” gumam Adit.

Tiba-tiba Tikno mendekat.

“Bagaimana ? Ada uangnya?” tanya Tikno.
“Kakek itu tak mau menerimanya pak, ini, uangnya dikembalikan.”

Tikno mengambil uang itu, lalu berjalan mendekati sang kakek yang sudah siap menaiki motornya.

“Pak.. sebentar pak.”

Kakek tua itu menatap Tikno.

“Tolong terimalah, agar anak saya tidak kecewa.”

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER