Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 10 Maret 2022

Bagai Rembulan #11

Cerita Bersambung

“Pak, sebentar pak..” kata Tikno..

Tapi kakek tua itu malah menstarter sepeda motor bututnya.

“Bukankah....”

Dan motor butut itu melaju meninggalkan Tikno dan Adit yang bengong seperti sapi ompong.
Tikno menghela nafas.

“Bapak kenal dia?” tanya Adit.
“Kenal? Tidak.. tidak kenal..”
“Tadi bapak mau bicara apa?”“Bukan apa-apa.. hanya.. ingin ngomong apalah gitu.. tapi kok dia kabur ya?”
“Dia orang aneh. Tak pernah banyak bicara. Ketika kita mau bicara banyak dia pasti kebur. Tapi kalau melihat dia, Adit pasti membeli korannya. Tapi ya itu pak, bayarnya selalu harus dipaksa, awalnya menolak keras.”
“Ya sudah.. ayo.. semoga dilain kesempatan bisa berbincang.”

Adit mengambil motornya dan melanjutkan perjalanan.
Namun Tikno tak habis pikir, bayangan laki-laki yang baru saja dilihatnya, membuatnya merasa bahwa dia seperti terus mengikuti keluarganya. Mungkin setelah dipenjara dia kemudian memilih tinggal disini, beralas bumi beratap langit, seperti pernah diceritakan anaknya. Dan itu hanyalah karena Adit.
Tikno masih ingat, ketika laki-laki itu buron, dia berusaha menggendong Adit yang masih bayi, hanya ingin menggendongnya, dan itu membawanya kembali kepenjara, dengan luka tembak dikakinya, serta membuatnya tak bisa berjalan tegak kecuali dengan tongkat penopang.
 
Tiba-tiba ada rasa iba dihati Tikno. Laki-laki itu benar, dulu dikenalnya dengan nama Sardiman, penjahat dan pemerkosa, tapi setelah mengetahui hasil perkosaan itu menjadi benih, janin yang dirindukannya karena selamanya tak bisa memiliki anak, maka timbul keinginan untuk memilikinya. Kalau tidak ya menyentuhnya, menggendongnya, dan itupun tak berhasil. Ia berkelana dan terus mengawasi Adit bayi sampai dewasa, tumbuh gagah dan pintar, tampan dan mempesona, hati Sardiman bagai teriris.

“Orang itu aneh, hanya ingin menyentuh tangan Adit, lalu mengelusnya perlahan, meremasnya seperti ingin merengkuhnya,” kata Adit ketika itu.

Dan itulah.. hanya itu yang bisa dilakukan Sardiman, tak mungkin memilikinya, walau benar dia itu tumbuh karena tetesan benihnya. Walau benar, darahnya mengalir ditubuh laki-laki ganteng nan menawan itu. Kebanggan itu ditelan Sardiman, dibenamkannya dalam angan dan mimpinya yang paling dalam. Puas hanya memandanginya, menatapnya penuh cinta, menatapnya dengan rasa pilu karena ada dosa yang menyelimuti tumbuhnya anak itu.
Tikno masih tetap duduk di boncengan ketika Adit sudah menghentikan motornya di parkiran.

“Bapak, kita sudah sampai,” tegur Adit.
“Oh.. eh.. apa? Oh.. sudah sampai ya?” katanya sambil melompat turun.
“Bapak memikirkan apa? Masih memikirkan bapak tua itu tadi?”

Tikno tersenyum..

“Tidak.. ada-ada saja.”
***

Susan masih tergolek diranjang. Sudah dua hari dia dirawat, dan memang benar bahwa tak satupun keluarganya menjenguknya. Mamanya, kakaknya.. tidak. Susan benar-benar merasa sendirian. Hanya keluarga Indra dan sahabat-sahabatnya yang menengoknya, seperti pagi ini, Tikno datang bersama Adit.

“Nak Susan, saya Tikno, bapaknya Adit dan Dayu..” kata Tikno lembut.
“Ya Tuhan.. ya Tuhan,.. ini keluarga yang mama bilang bekas pembantu, begitu santun, begitu baik mau menjenguknya walau nggak pernah mengenal sebelumnya. Laki-laki gagah yang punya ucapan lembut dan menenangkan, orang yang selalu direndahkan mama. Ampuni aku ya Tuhan, aku pernah terhanyut oleh kata-kata mama, merendahkan martabat seseorang karena derajatnya yang aku anggap rendah, dan sekarang begitu baik, begitu mulia,” rintih Susan dalam hati.

Susan merasa telah memasuki sebuah dunia yang lain, dunia penuh kasih sayang diantara sesama, dunia yang begitu penuh damai dan menenangkan. Susan merasa bahwa dia telah melewati jalan gelap dan sesat. Sekarang semuanya menjadi benderang. Maka titiklah air matanya. Air mata sesal, air mata syukur, air mata bahagia yang tak ternilai.

“Nak Susan, ada apa?” tanya Tikno lagi.
“Ma’afkanlah saya.. ma’af ya pak..”
“Lho.. kok tiba-tiba minta ma’af.. tidak ada yang salah, kami ini ikut prihatin atas kejadian yang menimpa nak Susan dan mas Naya.”
“Saya merasa banyak salah.. merasa rendah diantara orang-orang baik,” katanya sambl mengusap air matanya.
“Jangan berfikir yang bukan-bukan. Kita semua sahabat. Sakit dan bahagia akan kita rasakan bersama.” Kata Adit.
“Ma’afkan saya ya pak, ma’af Adit..”
“Tidak ada yang perlu dima’afkan, sudahlah, lupakan semua yang nak Susan anggap sebagai hal yang kurang baik. Sekarang nak Susan berada diantara keluarga yang saling menyayangi.”
“Terimakasih banyak..” hanya itu yang diucapkan, karena tenggelam dalam tangisan yang tak mampu dibendungnya.
“Lho, mbak Susan ada apa?” tiba-tiba Yayi muncul dan memeluknya, dan itu membuat tangis Susan semakin keras.
“Ada apa ini?”
“Tidak apa-apa Yayi, aku terharu.. kalian begitu baik sama aku.. mamaku jahat sama kalian...”
“Heiiiii... sudah, jangan difikirkan..kamu istirahat saja supaya segera sembuh.” Kata Yayi.
“Ya sudah, saya ke Naya dulu ya,” kata Adit sambil mengajak bapaknya.
“Iya mas.. terimakasih pak Tikno.” Kata Yayi.

Begitu mengharu biru, ketika seseorang menyadari kesalahannya, ketika seseorang bisa melihat kebaikan diantara kejahatan.

“Aku ingin melihat Naya,” akhirnya Susan merasa lebih tenang.
“Kamu belum boleh bangun, mas Naya baik-baik saja.”
***

“Mas Naya....” panggilan itu membuat mata Naya terbuka. Seorang gadis cantik berdiri tersenyum disampingnya. Naya mengerjapkan matanya. Ia pernah sangat menyukai gadis ini, bahkan merindukannya. Tapi Naya biarpun pendiam, dia tidak cengeng. Kanyataan bahwa gadis ini mencintai laki-laki lain, membuatnya perlahan membalut kekecewaannya. Sekarang gadis itu tersenyum disampingnya. Senyum yang selalu membuat dadanya bergetar, senyum yang membuatnya miris karena dia ternyata bertepuk sebelah tangan. Tapi tidak. Hari-hari yang menggilasnya telah menyurutkan air bah yang hampir membenamkannya dalam khayal tak berujung.

“Mas Naya...” Dayu memanggilnya lagi karena Naya tanpa menjawab hanya menatapnya tak berkedip.
“Dayu.. kamu sama siapa?”
“Sendiri, tapi nanti Liando akan kemari sa’at makan siang.”
“Sudah kuduga,” desis Naya lirih, tapi kemudian terkejut dengan desisnya sendiri.
“Apa?”
“Pasti Liando akan menjemput kamu kan?”
“Ya, ia harus selalu datang untuk melihat keadaan mas Naya dan juga mbak Susan.”
“Bagaimana keadaan Susan?”
“Sudah baik,”
“Dia lebih parah dari aku.”
“Benar, tapi sudah lebih baik.”
“Nanti aku mau melihatnya.”
“Tapi kan mas Naya masih diinfus?”
“Besok aku sudah boleh pulang.”
“Kalau begitu, nanti saja kalau infusnya sudah dilepas.”

Naya mengangguk.

“Aku membawa makanan dari ibu. Mas Naya mau ya?”
“Apa tuh ?”
“Ini bubur mutiara dan ketan hitam. Dicoba ya?”
“Tampaknya enak.”
“Biar aku suapin ya? Sudah aku siapkan semuanya, tunggu ya..” kata Dayu yang kemudian menyibukkan diri menyendokkan bubur kedalam mangkuk yang sudah disiapkan, lalu kembali mendekati Naya, dan siap menyuapkannya.

“Biar aku sendiri..”
“Jangan, biar aku suapin, nanti kalau makan sendiri bisa berlepotan kemana-mana,” kata Dayu sambil nekat menyuapkan bubur ke mulut Naya.

Naya mengenyam bubur itu, dan mencium aroma wangi rambut Dayu ketika agak menunduk karena menyuapinya.
Naya menghela nafas.

“Apa aku sudah gila? Bukankah aku ingin rasa itu terkubur bersama hari yang kulewati ?” batin Naya sambil mengumpat dirinya sendiri.

Dayu yang tak mengerti apa-apa menyuapinya dengan telaten, sampai bubur dimangkuk bersih ludes.
***

“Hallow.. Susan..”

Susan membuka matanya. Terkejut melihat pria ganteng berdiri disampingnya, menatapnya lembut dan tersenyum begitu menawan. Pria sombong dan sok ganteng sedunia, yang ternyata memiliki hati mulia.
Susan membalas senyuman itu.

“Terimakasih banyak,” ucapnya pelan.
“Kamu sudah mengatakannya berkali-kali..” kata Liando.
“Oh.. benarkah?”
“Bagaimana keadaanmu ?”
“Baik, aku ingin pulang..”
“Aku sudah bicara dengan dokter, dan kamu belum boleh pulang. Bukankah kamu masih merasa pusing dan mual?”
“Sedikit..”
“Yang sedikit itu terkadang masih menghawatirkan. Sebaiknya jangan bandel dan ikuti nasehat dokter.”
“Rupanya dia juga seperti bapak-bapak yang memberi nasehat kepada anaknya,” batin Susan.
“Tapi Naya besok mungkin boleh pulang.”
“Ah, syukurlah...kasihan dia..”
“Mengapa kasihan sementara kamu sendiri juga sakit?”
“Dia mana punya musuh? Tiba-tiba diserang orang.. aduuh.. pasti sakit sekali.. aku bisa membayangkannya karena aku juga merasakan sakit.”
“Kamu nekat, diantara orang sedang menyerang Naya, kamu menubruknya..”
“Ya Tuhan, kalau sampai itu terjadi.. entah bagaimana.”
“Kamu sangat menyayangi dia ?”
“Sangat,” kata Susan berterus terang..

Liando mengangguk-angguk.

“Semoga kalian berbahagia.”
“Terimakasih..”
“Apa kamu masih membenci aku ?” Liando tersenyum lucu..

Susan juga tersenyum..

“Dulu aku mengata-ngatai kamu.. sombong.. sok ganteng sedunia...” lalu Susan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, untuk menahan tawanya.
“Aku dengar kamu bilang begitu.. dirumah makan itu ketika bersama Umi.”
“Ternyata kamu baik.. ma’af ya..”
“Aku suka kamu dengan enteng berterus terang.. aku ingin memanggil kamu waktu itu juga, tapi kamu menolak.”
“Oh.. itu.. ogah ah, aku lagi benci-bencinya sama kamu. Kalau sekarang sih.. aku juga ogah.. takut jatuh cinta sama kamu.”

Dan Liando terbahak. Benar-benar Susan sangat menyenangkan. Begitu ceplas ceplos, mengatakan apa yang ada didalam hatinya, tanpa tedeng aling-aling.
Seharusnya dia tak membenci Susan, dia anak baik. Lusi yang jahat.
Tawa itu hilang ketika tiba-tiba Dayu muncul disitu.

“Hm.. asyiknya.. aku mengganggu ya?”
“Tidak, ya ampun Dayu, apa kamu cemburu? Dia bukan type aku..”

Dayu tertawa, Liando merangkul pundaknya, takut Dayu marah. Tapi Dayu tidak marah, tersenyum manis sambil mendekati Susan.

“Apa kabar ? Sudah lebih baikan ?”
“Sudah.. ini.. pacar kamu lucu.. perutku sampai sakit.”
“Oh, sayang,,, kalau begitu, makan bubur yuk, ini ibu aku yang membuat. Satu rantang tadi buat mas Naya, aku sudah menyuapinya sampai habis semangkok. Sekarang giliran kamu.”
“Bubur apa tuh?”
“Ini ibu aku yang buat, bubur mutiara dan ketan hitam.”
“Wau.. enak, aku mau..”
“Aku suapin ya..”
“Nggak, aku makan sendiri saja..”
“Jangan, biar aku saja. Eh, Liando, kamu ditungguin mas Naya lho, sudah sana, jangan-jangan pengin disuapin juga kamu.”
“Iya aku pengin, tapi dirumah. Ogah kalau disini, malu dilihatin Susan.”
“Sudah... sanaa!,” Dayu berteriak. Liando pergi dengan tertawa.
“Dayu, kamu tahu nggak, dulu aku benci sekali sama dia.”
“Iya, aku sudah tahu, dia sombong, sok ganteng sedunia kan?”

Susan tertawa lagi.

“Tapi ternyata dia baik, semoga kalian bahagia ya.”
“Terimakasih Susan.. ya sudah, ayo buburnya dimakan. Tadi mas Naya semangkok sebesar ini habis, jadi kamu juga harus habis.”
***

Indra mengurus kepulangan Naya, dan membayar semua biaya, termasuk biaya untuk Susan. Ia agak kesal terhadap orang tuanya karena sama sekali tak peduli anaknya dirawat dirumah sakit. Padahal sakitnya lebih parah daripada Naya.

“Ada ya, orang tua yang tak peduli pada anaknya.”
“Mungkin tidak tau kalau Susan sakit mas.” Jawab Seruni.
“Tidak pulang sudah tiga hari, dan dia tidak berusaha menanyakannya? Ke kantor misalnya. Kan dia tahu Susan bekarja dimana.” Sahut Indra kesal.
“Iya juga sih. Masa sih marah karena gagalnya perjodohan antara Susan dan Liando lalu membuat Lusi juga kesal sama anaknya?”
“Hanya ada satu. Dia manusia yang luar biasa, mahluk Tuhan yang berbeda dengan mahluk lainnya.”
“Ya sudah mas, jangan dilanjutkan kebencian itu. Katanya mas sudah menganggap Susan sebagai keluarga kita, ya sudah, dia keluarga kita, bukan keluarganya Lusi.”
“Kamu benar sayang, kok aku dari tadi marah-marah terus sih.”
“Makanya, sudah semakin tua harus lebih sabar.”
“Iya, aku tahu.”
“Sebentar lagi anak-anak wisuda lho mas, syukurlah Naya tak apa-apa.”
“Iya benar, Naya dan Adit. Anak mas Tikno itu juga hebat.”
“Keduanya hebat mas, aku kagum dengan cara mas Tikno dan Surti mendidiknya. Orang lain merendahkan dia, tapi nyatanya mereka bisa membuat anak mereka berhasil.”
“Memang benar. Orang terpandang juga belum tentu bisa membuat anaknya sukses. Oh iya Seruni, aku sedang berfikir, Naya dan Adit kan sudah lulus, nanti setelah wisuda bagaimana kalau kita suruh belajar memegang perusahaan kita?”
“Naya dan Adit ?”
“Ya, mereka kan anak-anak luar biasa. Bapak sudah tua, pengin istirahat nih.”
“Terserah mas saja, tapi kan mas juga masih harus menuntunnya ?”
“Iya, lagian aku juga belum bertanya kepada mereka, akan mau atau tidak.”
“Nanti saja kalau sudah wisuda kita bicarakan.”
***

Diantara keluarga Tikno dan Indra yang sedang bahagia karena anak-anak mereka hampir diwisuda, ada keluarga lain yang tak pernah merasa tenang dalam hidupnya. Hari-hari yang dilalui hanyalah rasa ingin membalas dendam dan ingin mencelakakan orang yang dianggap menyakitinya.

Siang itu Lusi berada dirumah, memanggil Tomy dan kawan-kawannya yang sudah dikeluarkannya dari tahanan.
Tapi Lusi mencak-mencak tidak karuan karena mereka telah salah sasaran.

“Kalian itu ya, tahu nggak kalau aku merasa percuma telah membayar mahal, mengeluarkan duit banyak, untuk pekerjaan kalian yang mengecewakan?”
“Lain kali kalau mengecewakan, suruh mereka mengembalikan separuh uang yang sudah mereka terima,” sambung Anjas sambil bertolak pinggang berdiri diantara teman-temannya.
“Apa sebaiknya begitu ya?” kata Lusi.
“Ma’af bu, itu bukan sepenuhnya kesalahan kami. Kami sudah berhasil membuat laki-laki itu roboh bukan?”
“Benar, tapi kalian juga menghantam anak gadisku sampai pingsan.”
“Itu salahnya Susan bu, tiba-tiba saja dia menubruk laki-laki itu, ketika saya sedang mau menghajarnya kembali.”
“O.. jadi semua ini adalah perbuatan mama?” tiba-tiba sebuah suara melengking masuk kedalam rumah. Susan mendengar semua percakapan itu.

==========

“Susan? Kemana saja kamu?”
“O.. mama pura-pura tidak tahu ? Atau lupa? Bukankah begundal-begundal ini yang telah mencelakai Susan dan teman Susan? Dan mama masih bertanya aku kemana?”
“Susan, kamu selalu kurangajar kepada mama kamu ya?”
“Mama selalu melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Rasa hormat yang bagaimana yang mama butuhkan ? Bukankah kehormatan itu tercipta dari perilaku kita sendiri?.”
“Omong kosong! Aku tidak butuh kuliahmu!”
“Aku juga sudah bosan hidup dilingkungan kotor seperti ini.” Kata Susan langsung masuk kedalam kamarnya.
“Dia benar-benar kurangajar ma. Harus diberi pelajaran.”
“Itu pasti gara-gara bergaul dengan orang rendahan yang tidak sadar akan kedudukannya. Mereka merusak adik kamu.”
“Kalau begitu jangan lagi Susan boleh keluar rumah.”
“Haa, kamu benar Anjas. Ia harus tetap berada dirumah.”
“Tak lama setelah itu Susan keluar dari kamar dengan menarik sebuah kopor, langsung kearah depan.
“Hee.. mau kemana kamu?”
“Ma’af mama, aku tak tahan lagi, ijinkan aku hidup sendiri.”
“Apa maksudmu hidup sendiri?”
“Aku akan meninggalkan rumah ini, kalau aku kangen mama, aku akan datang kemari,” kata Susan sambil terus melangkah.
“Halangi dia !!” perintah Lusi kepada Tomy dan kawan-kawannya.

Dan mereka langsung menghalang didepan Susan sehingga langkah Susan berhenti.

“Minggir !! Berandal-berandal tak tahu sopan santun.”
“Ma’af mbak, saya harus menghalangi mbak. Ini perintah bu Lusi.”

Susan terus melangkah, tapi dua orang dari mereka menghadang didepan.

“Minggir tidak?” hardik Susan.

Dan tanpa disuruh mereka sudah menarik tubuh Susan untuk dibawa kedalam. Susan berteriak marah.

“Apa ini? Lepaskan ! Lepaskaaaan!” Susan berteriak-teriak, tapi apa dayanya menghadapi orang-orang kuat teman-teman Anjas?
“Langsung masukkan kedalam kamar dan kunci dari luar. Anjas ! Cepaatt!” perintah Lusi.
“Lepaaas... lepaskaaaan...” Susan terus berteriak dan meronta, tapi dibantu Anjas mereka bisa melemparkan Susan kedalam kamar, lalu menguncinya dari luar.
“Tolooong.. mama tega ya sama aku... buka maaa... tolong biarkan aku pergi mama... toloooong!”

Anjas menarik mamanya menjauh dari pintu kamar itu. Raungan Susan sedikit membuatnya tak tega, tapi Anjar membawanya kedepan.
Susan membiarkan tubuhnya terserak dilantai. Agak terasa sakit bahunya yang baru saja sembuh ketika kembali terantuk dilantai itu. Susan merangkak kearah pintu, terus menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil mamanya.

“Mama... tolong ma.. tega sekali mama sama Susan ma...Mama.. biarkan aku pergi kalau mama tak sayang sama Susan.. biarkan aku pergi mama...”

Susan terus berteriak teriak sampai suaranya serak.. dan tubuhnya terasa lemas. Ia membiarkan tubuhnya meringkuk dilantai, menangisi nasibnya yang buruk.

“Mengapa aku mama lahirkan kalau akhirnya mama siksa aku seperti ini mama? Bukankah aku tak minta? Bukankah seorang ibu harus menyayangi anak kandungnya? Mengapa sayang itu tak pernah aku rasakan ma? Setiap hari kanya kata kasar dan bentakan yang aku dengar, setiap hari hanya hardikan dan caci maki yang mama lontarkan, entah kepada siapa. Mana ketenangan itu ma, mana naungan teduh yang sebenarnya sangat aku dambakan mama? Aku rindu didekap olehmu mama, aku rindu mendengar bisikan kasihmu. Mamaa.. aku ingin mengadu kepada mama ketika hatiku sedih, ketika hatiku resah, tapi justru orang lain yang menopang jiwaku ketika lunglai. Mana mama yang melahirkan aku.. mana mamaku... mamaaa...” rintihan yang semakin lirih itu terdengan sangat memilukan. Tapi siapa yang mendengarnya?

Diluar sangat sepi sejak beberapa jam yang lalu. Mungkin Lusi dan Anjas pergi entah kemana.
Susan merasa sangat letih. Letih lahir dan batinnya. Ia masih meringkuk dilantai ketika matanya terpejam dan tubuhnya tak bergerak. Mungkin ketiduran, mungkin juga pingsan.
***

Pagi itu Indra masuk kedalam ruangannya, tapi tak melihat Susan disana. Apa dia kembali sakit? Belum merasa sehat karenanya belum siap masuk kerja?

“Mungkin saja dia belum merasa sehat benar. Biar Naya saja aku panggil kemari, sekalian belajar sedikit-sedikit.”
“Hallo.. Naya..”
“Ya bapak..”
“Kamu lagi sibuk ?”
“Sibuk ngapain bapak, Naya kan pengangguran..” canda Naya.
“Hei.. pengangguran.. coba ke kantor bapak, butuh bantuan nih..” kata Indra sambil tertawa.
“Baiklah bapak,” kata Naya bersemangat. Bukankah nanti dikantor bisa ketemu Susan? Pikir Naya yang segera berganti baju dan bepamit pada ibunya.
“Ibu, Naya pergi dulu ya..”
“Ke kantor...”
“Waah.. gayamu le.. “ canda Seruni.
“Iya bu, ini mau kekantor bapak, barusan bapak memanggil agar Naya kesana.”
“Hm, pantesan bersemangat... mau ketemu sih..”
“Ah, ibu..”

Seruni tertawa.

“Ya sudah, berangkatlah nak, hati-hati ya.”
***

Tapi sesampai di kantor, mata Naya yang mencari cari tak menemukan yang dicarinya. Kemana dia? Meja kerjanya juga bersih.

“Sudahlah, nggak usah mencari-cari Susan.. dia belum masuk hari ini,” kata Indra yang tahu bahwa anaknya sedang mengamati meja kerja Susan.
“Oh, apakah dia masih sakit?”
“Mungkin saja.. ya biarlah nggak apa-apa, kan baru kemarin pulang dari rumah sakit.”
“Bapak sudah menelponnya?”
“Belum, nggak enak rasanya, nanti dikira ingin agar dia cepat masuk. Maksud bapak biarlah dia beristirahat saja dulu dalam satu dua hari ini.”
“Oh, begitu ya pak?”

Naya sebenarnya ingin menelpon, tapi mendengar kata bapaknya, jadi ikutan sungkan, nanti dikira pengin dia segera kerja. Tapi kalau Naya kan nggak mungkin menelpon karena urusan pekerjaan. Lalu Naya mengambil ponselnya, dan berusaha menelpon. Tapi ponsel Susan tidak aktif.

“Tidak aktif pak..”
“Kamu menelpon Susan?”

Naya mengangguk.

“Ponselnya nggak aktif.”
“Mungkin dia lagi istirahat, sudahlah, jangan diganggu.”
“Baik bapak. Sekarang apa yang harus Naya kerjakan?”
“Sini, duduk dekat bapak sini, bapak ingin kamu meneliti berkas-berkas ini, kalau ada yang salah kasih tahu bapak.”
“Baiklah bapak.”
***

Namun sampai sore hari Naya mencoba lagi menelpon, ponsel itu nggak juga aktif.

“Masa sih, istirahat nggak ada bangun-bangunnya? Apakah sakitnya parah?” gumam Naya sambil mengendarai mobilnya pulang.

Perasaan Naya mulai tak enak. Kemudian dengan nekat ia memutar mobilnya, menuju kerumah Susan, setelah sebelumnya membaritahu bapaknya tentang kepergiannya.
Lusi membuka pintu kamar Susan dengan membawa nasi bungkus yang sudah ditempatkan di piring, dan juga minuman. Seharian dia pergi dan tak perduli pada anak gadisnya.
Batinnya terkesiap ketika melihat Susan meringkuk dilantai. Bagaimanapun Susan adalah anaknya, perasaan tak enak mulai menggayuti perasaan Lusi.

“Susan.. Susan..” Lusi menggoyang-goyang tubuh Susan, yang dingin seperti es.
“Susan ?” Lusi meletakkan jari di hidung Susan..
“Aah, masih bernafas. Anjaaaas !! Anjaaaas...”

Tapi yang dipanggil tak menyahut. Lusi tidak tahu bahwa Anjas pergi beberapa sa’at sebelum mamanya pulang.

“Aduuh,... bagaimana ini. Susaaan.. bangun nak... bangun Susan..” tak urung Lusi panik melihat keadaan Susan. Dengan susah payah dia menarik tubuh Susan, mengangkatnya, dan menyeretnya keluar. Aduuh.. mobilnya diparkir agak jauh. Lusi turun setelah meletakkan tubuh Susan begitu saja dilantai. Lalu dia membawa mobilnya agak dekat dengan tangga terasnya. Lalu dengan susah payah pula dia menyeret tubuh Susan, membawanya masuk ke mobil.

“Susan.. Susan...” terus dipanggilnya nama Susan sambil memacu mobilnya kerumah sakit.
***

"Dokter.. tolonglah, kenapa anak saya dokter?” tanya Lusi setelah dokter keluar dari ruang pemeriksaan.
“Anak ibu kritis.”
“Apa? Mati ?”
“Kritis, bukan mati.. keadaannya parah. Tekanan darahnya sangat rendah, dan dia dehidrasi. Entah mengapa bisa seperti ini.”
“Lalu bagaimana dokter? Apakah anak saya bisa tertolong?”
“Kita tunggu saja bagaimana hasilnya. Dia belum sadar. “
“Dokter.. tolonglah...”
“Iya, pasti, itu sudah kewajiban kami, sabar dan berdo’a ya..” kata dokter sambil berlalu.

Lusi merangsek masuk kedalam ruang rawat. Dilihatnya Susan tergolek dengan wajah putih pucat, selang infus menghiasi lengannya.

“Susan, anakku.. ma’afkan mama ya.. bangunlah Susan.. kamu jangan mati.. jangan mati ya Susan.. jangan meninggalkan mama.. Susan...”
“Ibu, silahkan ibu menunggu diluar saja, agar pasien bisa lebih tenang. Ayolah bu.. “ kata perawat karena Lusi berbicara dan menangis sangat keras , serta mengganggu pasien di ruang ICU itu.

Lusi keluar dengan sesekali menoleh kearah wajah nan pucat dan tampak tak berdaya.

“Ya Tuhan...” Lusi baru teringat untuk menyebut nama Tuhan, lalu menghempaskan tubuhnya dikursi.
“Anjaas.. Anjaaas..” Lusi menelpon Anjas, tapi yang terdengar adalah suara gaduh. Anjas menjawab sambil tertawa tawa, diiringi tawa kawan-kawannya.
“Ya ampun Anjaaaas... menjauhlah dari suara gaduh itu, dan bicaralah dengan mama.”

Tapi Anjas tak menjawab, malah mematikan ponselnya. Lusi menitikkan air mata. Sekarang dia merasa benar-benar sendirian.

“O.. anakku... mengapa aku sampai lupa meninggalkan kamu selama dua hari dikamar? Ya Tuhan.. tolonglah Tuhan..” beberapa kali menyapa Tuhan.. bergetar hati Lusi. Dimana sebenarnya Tuhan yang dijeritkan hati Lusi? Ataukah karena merasa papa barulah dia mengingat yang namanya Tuhan?”

Tangisnya tak berhenti.. sepanjang penantiannya diruang ICU itu.
***

Naya menghentikan mobilnya didepan rumah Susan, tak ada tanda tanda bahwa rumah itu kosong. Agak berdebar Naya karena selama ini belum pernah masuk kerumah Susan. Pintu depan tidak terkunci, sedikit terbuka. Naya naik keteras, mendekati pintu.. mendorongnya perlahan.. sepi..

“Permisi...” sapanya. Tapi tak ada jawaban.
“Susan..”

Naya nekat masuk kedalam, ada sebuah kamar terbuka.. berdebar Naya melongok kedalam.. kosong, tapi ia melihat sebuah tas kecil terserak dilantai. Naya mengenalinya sebagai milik Susan.

“Kok tergeletak dilantai ya, dimana Susan?”

Lalu Naya menemukan sebuah kopor tergeletak didekat pintu depan.
Naya melangkah pelan masuk kerumah, benar-benar tak ada siapa-siapa. Perasaan tak enak segera merayapi hati Naya. Ia keluar dari rumah Susan dan masuk kedalam mobilnya. Kembali dia menelpon Susan. Tapi ponsel Susan tetap tidak aktif.

“Pasti sesuatu telah terjadi.”

Hati Naya cemas sekali, ia memacu mobilnya pulang dan dengan gagap bercerita kepada bapaknya bahwa ia menemukan hal aneh dirumah Susan, Tapi Susan tidak ditemukannya.

“Jangan-jangan Susan diculik.”
“Dirumah itu tak ada siapa-siapa, Naya melihat tas tangan Susan tergeletak dilantai kamar, dan sebuah kopor juga teronggok didekat pintu depan.”
“Jadi penasaran, ayo kita kesana.”
***

Anjas pulang kerumah dengan sempoyongan. Tampaknya dia mabuk berat. Ketika masuk kerumah dia berteriak-teriak.

“Mama... mama dimana?”

Tak ada jawaban, Anjas menuju kamar mamanya, terkunci, tapi kamar Susan terbuka. Anjas melongok kedalam.. Susan tak ada.

“Celaka, Susan melarikan diri ?”
“Mamaaa....” Anjas kemudian menelpon mamanya.
“Anjas?” jawab mamanya dengan nada marah dari seberang.
“Mama... celaka mama.. Susan melarikan diri, bagaimana bisa ?”
“Dasar gila!”
“Aku tidak tahu ma, baru saja aku masuk rumah yang tidak terkunci.”
“Sekarang kunci pintunya dan pergi kemari.”
“Kemana ma?”
“Kamu tidak tahu, Susan ada dirumah sakit.”
“Dirumah sakit? Sakit apa lagi dia?”
“Sudah jangan banyak bertanya, mama lagi bingung.”
“Anjas yang bingung ma.”
“Sudah, kunci semua pintu dan pergi kerumah sakit, mama ada didepan ruang ICU.”

Anjas, menutup semua pintu, lalu melarikan mobilnya kerumah sakit, dengan penuh tanda tanya didalam benaknya.
***

Dan tak lama setelah itulah maka Indra datang bersama Naya.

“Kok tertutup?” tanya Indra.
“Tadi Naya menutupnya, tapi sembarang saja, lalu Naya pergi. Takut kalau ada apa-apa lalu dikira Naya melakukan sesuatu.”

Indra turun dari mobil, diikuti Naya. Keduanya berjalan kearah pintu. Tapi pintu itu terkunci.

“Terkunci tuh.. Kamu tadi benar masuk kemari atau kerumah orang lain?”
“Ya ampun bapak, masa sih Naya nggak tahu dimana rumahnya Susan?”
“Ternyata beda dengan yang kamu katakan. Tuh rumahnya terkunci.”
“Tadi tuh Naya sampai masuk kedalam bapak, benar-benar ada yang aneh. Apa yang terjadi pada Susan ya? Jangan-jangan Susan diculik.”
“Aduh, bagaimana ya.. kalau kita lapor polisi, kok datanya nggak jelas. Ya sudah kita tunggu saja dulu, dan sesekali kamu coba menelponnya, barangkali dia bisa menjawabnya.”
“Pasti ponselnya ada didalam tasnya yang tergeletak dilantai itu.”
“Atau besok bapak mau menemui Lusi saja. Barangkali bapak bisa bicara.”

Indra dan Naya pulang, dengan rasa tak puas dihati Naya. Entah mengapa dia merasa bahwa Susan ada dalam bahaya.
***

“Sakit apa sih ma?”
“Kamu tuh, ditelpon mama malah ketawa ketiwi sama teman-teman kamu.”
“Aku kira mama cuma menyuruh Anjas cepat pulang.”
“Mama minta kamu membantu mengangkat tubuh Susan kedalam mobil. Dia pingsan didalam kamar, mama lupa memberinya makan dan minum. Pergi seharian dari pagi.”
“Ya ampun.. untung dia tidak mati.”
“Hampir mati !”
“Ya ampun ma..”
“Tadi perawat sudah mau memindahkannya kekamar rawat.”
“Sudah sadar?”
“Sudah, kamu tunggu dulu disini. Aduh, mulut kamu bau minuman keras.”
“Mama.. seperti nggak tahu saja.”
“Tunggu disini, mama mau memastikan kamar yang bagus untuk adik kamu.”

Tapi walau sudah sadar Susan belum mau membuka mulutnya. Badannya masih lemah, tekanan darah masih terus dipantau. Lusi sedikit lega, setidaknya wajah Susan sudah tidak sepucat tadi.
***

Pagi itu Lusi sudah siap dimobil untuk pergi kerumah sakit. Ia membawakan baju-baju ganti dan keperluan yang mungkin Susan butuhkan. Semalam dia pulang larut, karena tak bisa tidur dirumah sakit kendati harus menunggui anaknya yang sedang sakit.

“Anjas, kamu itu disuruh mengantar mama kerumah sakit supaya mama punya teman, malah tidur terus dimobil.” Omel Lusi karena ternyata ia harus setir mobil sendiri.
“Nanti pulangnya biar Anjas ma, ini masih ngantuk,” jawab Anjas sambil terus memejamkan matanya.

Sesampai dirumah sakit, Anjas belum mau turun. Lusi bergegas sendiri menuju keruangan dimana Susan dirawat. Ia membawa roti, minuman dan juga baju-baju Susan.
Perlahan dia membuka pintu

“Susan, kamu sudah bangun?” sapa Lusi dengan riang, senang karena semalam Susan bisa tidur nyenyak.

Tapi ketika sampai diranjang Susan, tak dilihatnya Susan disana. Selang infus tergantung tanpa tuan. Menetes cairannya membasahi lantai. Ada bercak darah juga disana.

“Susan ?” Lusi berteriak.

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER