Teriakan Lusi membuat bingung suster perawat. Tak seorangpun tahu kapan Susan pergi. Dan tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi.
Satpam rumah sakit ditugaskan mencari. Tanpa hasil.
Lusi terduduk disofa diruangan itu. Badannya bagai tertindih selaksa beban. Sama sekali tak disangkanya Susan bisa kabur. Lalu Lusi bergegas keluar.
Didalam mobil Anjas masih terkantuk-kantuk. Lusi membanting pintu mobil sekuat-kuatnya, membuat Anjas hampir terlempar dari jok belakang tempat dia terbaring dan pulas.
“Ada apa sih ma?”
“Tidurlah terus sepanjang hidupmu,” hardik Lusi sambil memacu mobilnya, pulang.
“Kemana kita?”
“Pulang, bodoh !! Susan kabur dari rumah sakit,”
“Kabur ? Apa msksudnya ?”
“Kabur ya kabur, artinya dia minggat !!”
“Lhoh, kok bisa?”
Lusi tak menjawab, ia merasa bahwa anak laki-lakinya benar-benar tak berguna. Ia terus memacu mobilnya pulang. Pikirnya, Susan pasti pulang kerumah.
Ia memasuki halaman rumah, tapi dilihatnya rumahnya masih terkunci.
Lusi turun, diikuti Anjas yang masih saja mengucek-ucek matanya. Ketika membuka pintu, dilihatnya kopor Susan sang semula teronggok didepan pintu sudah tak ada. Lusi memasuki kamar Susan, berharap anaknya sudah tidur dikamarnya, tapi tak ada. Lusi teringat ada tas Susan yang semula tertinggal ketika dia mengangkat tubuh Susan sa’at pingsan, dan tas itu juga tak ada. Lusi menyesal tidak menyimpan tas itu. Barangkali ada uang didalamnya, atau ATM.. atau apa.. yang membuat Susan berani minggat.
“Aneh.”
“Gimana ma?”
“Susan sudah pulang, lalu kembali kabur setelah mengambil barang-barangnya. Benar-benar anak setan !” Lusi kembali mengumpat Susan.
“Ada apa sih ma?”
“Tidurlah terus sepanjang hidupmu,” hardik Lusi sambil memacu mobilnya, pulang.
“Kemana kita?”
“Pulang, bodoh !! Susan kabur dari rumah sakit,”
“Kabur ? Apa msksudnya ?”
“Kabur ya kabur, artinya dia minggat !!”
“Lhoh, kok bisa?”
Lusi tak menjawab, ia merasa bahwa anak laki-lakinya benar-benar tak berguna. Ia terus memacu mobilnya pulang. Pikirnya, Susan pasti pulang kerumah.
Ia memasuki halaman rumah, tapi dilihatnya rumahnya masih terkunci.
Lusi turun, diikuti Anjas yang masih saja mengucek-ucek matanya. Ketika membuka pintu, dilihatnya kopor Susan sang semula teronggok didepan pintu sudah tak ada. Lusi memasuki kamar Susan, berharap anaknya sudah tidur dikamarnya, tapi tak ada. Lusi teringat ada tas Susan yang semula tertinggal ketika dia mengangkat tubuh Susan sa’at pingsan, dan tas itu juga tak ada. Lusi menyesal tidak menyimpan tas itu. Barangkali ada uang didalamnya, atau ATM.. atau apa.. yang membuat Susan berani minggat.
“Aneh.”
“Gimana ma?”
“Susan sudah pulang, lalu kembali kabur setelah mengambil barang-barangnya. Benar-benar anak setan !” Lusi kembali mengumpat Susan.
Rasa sayang ketika melihatnya pingsan lenyap diterjang air bah kemarahan yang memuncak.
“Kemana dia?”
“Mana mama tahu, bodoh ! Bukankah kamu juga tahu bahwa mama sedang bingung?’
Ketika didengarnya suara mobil berhenti didepan rumah, Lusi setengah berlari keluar. Ia berharap Susan kembali, tapi yang muncul adalah Indra bersama Naya. Susan terkejut, rupanya anak muda yang bersama Susan dirumah makan itu adalah anaknya Indra.
“Lusi, aku mau bertemu Susan.”
“Siapa anak muda itu?”
“Anakku. Mana Susan?”
“Kamu tidak usah berpura-pura Indra, kamu maling berteriak maling bukan?”
“Apa maksudmu?”
“Bukankah kamu menyembunyikan Susan, lalu pura-pura datang kemari untuk mencari Susan? Kamu kira aku ini orang bodoh?”
“Kamu bukan bodoh, tapi kamu dungu, pengecut dan penjahat.”
“Apa?”
“Katakan dimana Susan !”
“Aku sedang mencari Susan !! Mana yang dungu diantara kita?”
“Tak mungkin kamu mencari Susan. Dia sakit berhari-hari dirumah sakit saja kamu tak perduli. Kalaupun kamu mencari kamu pasti hanya akan menyakiti dia.”
“Orang gila! Pergilah atau aku laporkan kamu ke ;polisi karena telah menculik anakku.”
Indra terdiam, melihat kemarahan Lusi, yang tampaknya memang kehilangan Susan. Mungkin Susan sudah kembali, lalu kabur, atau entahlah. Tapi kabur kemana? Indra menghela nafas.
“Aku bingung karena Susan tak masuk kerja, aku pikir dia masih sakit karena baru saja keluar dari rumah sakit.”
“Pergilah, kamu membuat kepalaku bertambah pusing.”
Indra menggamit tangan Naya, mengajaknya pergi dari sana.
***
“Kemana kita?” tukang taksi bertanya kepada Susan yang sejak tadi tak mengatakan akan pergi kemana.
“Bawa saja yang jauh dari sini. Jauh..”
“Jauh kemana mbak,” tanya tukang taksi bingung.
“Jalan saja.. dan jangan berhenti kalau aku tidak menyuruh kamu berhenti.”
“Baiklah, tapi nanti ongkosnya bisa berlipat.”
“Tak apa pak, aku punya uang.”
Susan masih merasa lemas, kepalanya terasa berat dan pusing. Harus ada tempat untuk ia menumpang, dimana? Rumah Indra? Rumah Tikno, semuanya membuatnya sungkan. Lalu Susan minta berhenti disebuah hotel. Setelah membayarnya, ia meminta tolong agar sopir taksi menolong membawa kopernya kedalam.
Susan memesan sebuah kamar, tubuhnya mulai limbung, dan pasti akan terbating keras apabila seseorang tidak menangkap tubuhnya.
“Susan?”
Susan membuka matanya yang terasa berat, tapi sempat menangkap wajah itu. Wajah sok ganteng yang pernah dibencinya. Bagaimana dia bisa berada disini? Ia tak sempat bertanya karena kemudian ia benar-benar pingsan. Petugas hotel mengantarkan Liando yang membopong Susan kedalam kamar yang dipesannya. Liando membaringkan tubuh Susan diranjang. Mata itu masih terpejam. Liando bingung akan melakukan apa.
“Susan.. Susan...”
Lalu Liando memanggil dokter keluarga langganannya agar pergi ke hotel itu.
“Susan..” sesekali dipanggilnya nama itu, tapi tubuh itu masih tetap diam tak bereaksi. Liando semakin bingung, lalu ditelponnya Dayu.
“Dayu, kamu dimana?”
“Dalam perjalanan pulang dari mengantarkan makanan ibu. Katanya kamu ada meeting dihotel ? Mau pulang?”
“Tidak, kamu datanglah ke hotel.”
“Apa? Mengapa aku harus ke hotel?”
“Aku sudah selesai meeting, cepatlah kemari, Susan pingsan.”
“Kamu bersama Susan?” suara Dayu meninggi.
“Dayu.. kamu belum-belum sudah ingin mencakar aku ya? Dengar, aku baru mau pulang ketika melihat Susan memasuki hotel lalu pingsan sebelum masuk kekamarnya.”
“Bukankah dia sudah pulang kerumahnya?”
“Ayolah Dayu, jangan banyak bertanya, segera kemari, aku bingung.”
“Mengapa tidak dibawa kerumah sakit saja?”
“Aku sudah memanggil dokter, tapi aku butuh kamu Dayu.”
***
Dayu memasuki kamar hotel setelah Liando memberi petunjuk. Dilihatnya seorang dokter sedang memeriksa keadaan Susan. Liando menarik tangannya mengajaknya duduk disofa.
“Aku sudah mau pulang, tiba-tiba melihat dia mau pingsan. Aku bawa dia kekamarnya,” Liando mengulangi keterangannya, khawatir Dayu curiga.
“Mengapa dia memesan kamar hotel? Apa dia tidak pulang?”
“Entahlah, aku belum sempat bicara sama dia. Tampaknya dia lemah sekali.”
“Sudah mengabari mas Naya?”
“Belum. Aku bingung .”
Ketika LIando mau mengambil ponselnya, dokter sudah selesai memeriksa Susan.
“Bagaimana dok ?”
“Tekanan darahnya lemah sekali, saya sarankan anda membawanya kerumah sakit.”
“Oh, baiklah dokter, terimakasih.”
“Bagaimana keadaan mama?”
“Sehat dok, kapan-kapan datanglah kerumah.”
“Baik. Sekarang akan saya panggilkan ambulan agar membawa dia kerumah sakit.”
“Terimakasih banyak dok.”
***
“Ini benar-benar aneh. Susan lenyap tak berbekas, tak bisa dihubungi, sementara mama nya ketika aku datang malah menuduh aku menculiknya. Gila nggak sih.” Kata Indra kesal.
“Kalau begitu apa sebaiknya lapor polisi saja mas,” kata Seruni.
“Gimana aku mau melapor, ada mamanya yang juga kehilangan. Pastilah mamanya juga sudah melapor.
“Berkali-kali Naya mncoba menelpon tidak bisa. Naya yakin pasti ponselnya tertinggal dirumaha, Naya tahu biasanya Susan menyimpan di tas yang tertinggal itu."
"Ya sudah Naya, kamu tenang dulu.. jangan panik."
Ketika ponsel berdering, Naya segera mengangkatnya.
“Hallo.. Liando ?”
“Naya, kamu dimana?”
“Dirumah.. aku baru bingung mencari Susan..”
“Susan bersamaku.”
“Apa?”
“Aku dan Dayu bersamanya, sedang dalam perjalanan kerumah sakit.”
“Apa? Sakit apa lagi dia?”
“Belum jelas, aku ketemu ketika dia masuk hotel dalam keadaan limbung dan kemudian pingsan. Cepat menyusul kwrumah sakit sekarang.”
“Baiklah..segera.”
“Susan sakit?” tanya Indra...
“Iya bapak, tapi belum jelas bagaimana ceritanya. Naya kesana dulu.”
“Ya sudah, hati-hati, kabari bapak kalau ada apa-apa.”
“Baik bapak..” kata Naya sambil bergegas pergi setelah mencium tangan bapak dan ibunya.
“Apa yang terjadi pada anak itu?” tanya Seruni.
“Aku juga bingung. Tapi pasti terjadi sesuatu dirumah Susan. Kita tunggu saja sampai Susan bisa mengatakan semuanya.”
“Perlukah mas mengabari Lusi ?”
“Tidak, kita harus tahu dulu permasalahannya, jangan-jangan Susan justru kabur dari ibunya.”
***
Dayu dan Aliando duduk diruang tunggu. Susan sedang dirawat. Ini disebuah rumah sakit langganan keluarga bu Diana, berbeda dengan rumah sakit dimana Lusi membawa Susan ketika pingsan.
Keduanya tak berbicara apapun, karena semua pertanyaan tak akan bisa terjawab sampai Susan bisa membuka mulutnya.
Ketika Naya datangpun, tak banyak yang bisa dikatakan Liando.
“Ada apa sebenarnya?”
“Kami juga belum tahu. Tadi aku meeting di hotel dari jam 9 sampai jam setengah duabelas, lalu ketika aku mau pulang, aku melihat Susan dengan diiringi sopir taksi yang membawakan kopornya. Aku heran melihat Susan memesan kamar, tapi sebelum melangkah kekamar yang dipesan, dia terlihat limbung. Aku sempat menangkapnya sebelum tubuhnya terbanting ke lantai. Lalu aku membawanya kekamar yang telah dipesannya. Aku memanggil dokter keluarga, dan juga memanggil Dayu untuk menemani aku.”
“Lalu..?”
“Dokter menyarankan agar Susan dibawa kerumah sakit. Tapi aku belum mendapatkan keterangan apapun tentang kejadian yang sesungguhnya.”
“Mas Naya tenang saja, mbak Susan sudah ditangani, dia akan baik-baik saja,” kata Dayu menenangkan Naya yang tampak kalut.
“Terimakasih Dayu.”
Beberapa sa’at lamanya merekapun terdiam, dan hanya bisa menunggu. Naya sesekali berdiri, dengan gelisah.
“Naya, duduklah, Susan tak apa-apa,” kata Liando.
Naya baru saja meletakkan kembali pantatnya dikursi tunggu, ketika suster yang keluar dari ruang ICU menyebut namanya.
“Adakah yang namanya Nayaka?”
Naya berdiri dan bergegas menghampiri.
“Saya Nayaka.”
“Pasien menyebut-nyebut nama bapak.”
“Baiklah,” dan Nayapun menghambur masuk kedalam. Dilihatnya Susan memejamkan mata, wajahnya pucat.
“Susan..” bisik Naya lirih.
“Naya.. aku..”
“Bagaimana perasaan kamu?”
“Aku ingin melihat wajahmu..”
“Ini aku Susan.. “
“Aku mohon, jangan sampai mama tahu bahwa aku dirawat lagi.”
“Dirawat lagi? Setelah peristiwa didepan rumah makan itu?”
“Tidak.. aku .. dikeram didalam kamar selama dua hari, lemas tidak diberi makan..”
“Ya Tuhan, mama kamu melakukannya?”
“Aku pingsan lalu mama membawaku kerumah sakit. Tapi ketika mama pulang dan aku sadar, aku melarikan diri. Aku bisa mengambil kopor dan tas yang tertinggal, lalu pergi tanpa tujuan,” kata Susan tersendat.
“Mengapa tidak kerumahku? Bapak sama ibu pasti akan menerima kamu.”
“Aku menuju ke sebuah hotel, pingsan disana, dan untungnya bertemu Liando.”
“Susan, alangkah sengsaranya hidup kamu.”
“Aku tak punya siapa-siapa, ketika mama yang melahirkan aku begitu tega menyiksa aku.”
“Kamu punya aku Susan, aku cinta kamu,” bisik Naya ditelinga Susan.
Susan mengangkat tangannya, memegangi kepala Naya.
“Kamu istirahatlah dulu, dan harus segera sehat. “
“Terimakasih Naya. Tolong, ada uang di tas aku, ada ATM yang entah ada berapa isinya, tolong bayarkan ke hotel itu.”
“Sudah, itu nanti aku yang urus, sekarang kamu tidur. Perawat akan segera membawamu ke ruang inap.”
***
Indra dan Dayu heran mendengar penuturan Naya tentang Susan.
“Mengapa Susan dikeram oleh ibunya?”
“Masa memperlakukan manusia seperti hewan peliharaan saja?”
“Apa lagi dia anak kandungnya. Kok tega-teganya.”
Liando dan Dayu mengomentari berganti-ganti.
“Tapi apa ya sebabnya Susan dikeram? Tidak boleh bekerja, apa begitu?” tanya Liando.
“Sepertinya Susan bermaksud pergi dari rumah, karena aku melihat kopor yang sudah disiapkan didepan pintu,” kata Naya yang sudah memasuki rumah itu sebelum dikunci.
“Ooh.. ya, Susan ingin pergi dari rumah, tapi kemudian mamanya menghalangi.”
“Untunglah mas Naya sudah kerumah itu sebelumnya, jadi bisa mengira-ira kejadiannya.”
“Aku kesana karena Susan tidak masuk kerja. Bapak mau menelpon, takut dikira minta segera masuk kerja. Jadi akulah yang menelpon berkali-kali tanpa hasil. Sampai dua hari aku masih mengira dia masih sakit dan belum siap bekerja. Tapi aku merasakan sesuatu yang tak enak., Entah mengapa sore setelah pulang membantu bapak di kantor, aku nekat kerumahnya. Aku melihat rumah itu kosong, lalu ada kopor tergeletak didepan pintu, dan sebuah kamar yang terbuka tapi kosong. Aku tak menemukan siapapun ketika itu. Oh ya, ada tas tangan Susan tergeletak dikamar itu. Sa’at itu aku mengira Susan diculik. Aku mengajak bapak kerumah itu lagi tapi rumahnya sudah terkunci. Entah apa yang terjadi.”
“Susan pasti tak akan mau pulang kerumahnya.”
“Biar dirumah aku saja,” kata Dayu.
“Atau dirumah aku,” kata Naya.
“Bagus, banyak sahabat yang bersedia membantu, jadi kita tak perlu menghawatirkannya. Sekarang tinggal menunggu Susan sembuh, dan kita serahkan saja pada dia, dia mau tinggal dimana,” kata Liando.
***
“Seruni, aku berangkat kekantor ya,” Indra berpamit kepada isterinya.
“Naya tidak perlu ikutkah ?”
“Naya sedang sibuk mengurus Susan, biarkan saja.”
“Tapi keadaannya semakin membaik kan?”
“Katanya sudah lebih tenang, walau masih tampak lemas.”
“Kasihan anak itu, untunglah Dayu mau menemani. Katanya nanti malam Yayi juga mau ikut menemani di rumah sakit.”
“Ya sayang, biar dia merasa punya banyak orang yang mengasihinya. Semula kan dia merasa sendirian. Semoga dia sudah nyaman dan cepat pulih.”
“Aamiin, semoga hanya satu Lusi saja ibu yang tega kepada anaknya, dan semoga dia segera sadar.”
“Ya sudah, aku berangkat dulu, kalau ada apa-apa Naya suruh mengabari bapak ya.”
Tapi baru selangkah Indra turun dari teras, dilihatnya sebuah mobil polisi berhenti didepan pagar. Indra dan Seruni terkejut, polisi itu melangkah mendekati mereka.
“Selamat pagi,” sapa salah seorang polisi dari dua orang yang mendekat.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” kata Indra.
“Benarkah ini rumah bapak Indra?”
“Sayalah Indra.”
“Ma’af pak, saya membawa surat penangkapan untuk bapak.”
Indra dan Seruni terkejut.
==========
Seruni berteriak dan memegangi lengan suaminya.
“Mengapa? Memangnya suamiku salah apa?”
“Ada tuduhan penculikan, aku menculik siapa?” kata Indra sambil menepuk tangan isterinya, setelah membaca surat yang diberikan polisi tadi.
“Bapak bisa menerangkannya nanti di kantor polisi.”
“Baiklah, tapi saya akan mengendarai mobil saya sendiri. Kalau bapak takut saya kabur, salah satu dari bapak ini boleh ikut dimobil saya,” kata Indra.
“Sebaiknya bapak ikut saya saja,” polisi itu tampaknya keberatan.
“Ya sudah, saya ikut bapak, Seruni kamu tak usah khawatir, suami kamu tak melakukan sebuah kejahatanpun.”
“Baiklah, tapi tunggu, aku akan membawa mobil kamu,” kata Seruni yang kemudian masuk kedalam, berganti pakaian sekenanya lalu mengunci pintu rumah dan mengikuti mobil polisi itu.
“Kemana dia?”
“Mana mama tahu, bodoh ! Bukankah kamu juga tahu bahwa mama sedang bingung?’
Ketika didengarnya suara mobil berhenti didepan rumah, Lusi setengah berlari keluar. Ia berharap Susan kembali, tapi yang muncul adalah Indra bersama Naya. Susan terkejut, rupanya anak muda yang bersama Susan dirumah makan itu adalah anaknya Indra.
“Lusi, aku mau bertemu Susan.”
“Siapa anak muda itu?”
“Anakku. Mana Susan?”
“Kamu tidak usah berpura-pura Indra, kamu maling berteriak maling bukan?”
“Apa maksudmu?”
“Bukankah kamu menyembunyikan Susan, lalu pura-pura datang kemari untuk mencari Susan? Kamu kira aku ini orang bodoh?”
“Kamu bukan bodoh, tapi kamu dungu, pengecut dan penjahat.”
“Apa?”
“Katakan dimana Susan !”
“Aku sedang mencari Susan !! Mana yang dungu diantara kita?”
“Tak mungkin kamu mencari Susan. Dia sakit berhari-hari dirumah sakit saja kamu tak perduli. Kalaupun kamu mencari kamu pasti hanya akan menyakiti dia.”
“Orang gila! Pergilah atau aku laporkan kamu ke ;polisi karena telah menculik anakku.”
Indra terdiam, melihat kemarahan Lusi, yang tampaknya memang kehilangan Susan. Mungkin Susan sudah kembali, lalu kabur, atau entahlah. Tapi kabur kemana? Indra menghela nafas.
“Aku bingung karena Susan tak masuk kerja, aku pikir dia masih sakit karena baru saja keluar dari rumah sakit.”
“Pergilah, kamu membuat kepalaku bertambah pusing.”
Indra menggamit tangan Naya, mengajaknya pergi dari sana.
***
“Kemana kita?” tukang taksi bertanya kepada Susan yang sejak tadi tak mengatakan akan pergi kemana.
“Bawa saja yang jauh dari sini. Jauh..”
“Jauh kemana mbak,” tanya tukang taksi bingung.
“Jalan saja.. dan jangan berhenti kalau aku tidak menyuruh kamu berhenti.”
“Baiklah, tapi nanti ongkosnya bisa berlipat.”
“Tak apa pak, aku punya uang.”
Susan masih merasa lemas, kepalanya terasa berat dan pusing. Harus ada tempat untuk ia menumpang, dimana? Rumah Indra? Rumah Tikno, semuanya membuatnya sungkan. Lalu Susan minta berhenti disebuah hotel. Setelah membayarnya, ia meminta tolong agar sopir taksi menolong membawa kopernya kedalam.
Susan memesan sebuah kamar, tubuhnya mulai limbung, dan pasti akan terbating keras apabila seseorang tidak menangkap tubuhnya.
“Susan?”
Susan membuka matanya yang terasa berat, tapi sempat menangkap wajah itu. Wajah sok ganteng yang pernah dibencinya. Bagaimana dia bisa berada disini? Ia tak sempat bertanya karena kemudian ia benar-benar pingsan. Petugas hotel mengantarkan Liando yang membopong Susan kedalam kamar yang dipesannya. Liando membaringkan tubuh Susan diranjang. Mata itu masih terpejam. Liando bingung akan melakukan apa.
“Susan.. Susan...”
Lalu Liando memanggil dokter keluarga langganannya agar pergi ke hotel itu.
“Susan..” sesekali dipanggilnya nama itu, tapi tubuh itu masih tetap diam tak bereaksi. Liando semakin bingung, lalu ditelponnya Dayu.
“Dayu, kamu dimana?”
“Dalam perjalanan pulang dari mengantarkan makanan ibu. Katanya kamu ada meeting dihotel ? Mau pulang?”
“Tidak, kamu datanglah ke hotel.”
“Apa? Mengapa aku harus ke hotel?”
“Aku sudah selesai meeting, cepatlah kemari, Susan pingsan.”
“Kamu bersama Susan?” suara Dayu meninggi.
“Dayu.. kamu belum-belum sudah ingin mencakar aku ya? Dengar, aku baru mau pulang ketika melihat Susan memasuki hotel lalu pingsan sebelum masuk kekamarnya.”
“Bukankah dia sudah pulang kerumahnya?”
“Ayolah Dayu, jangan banyak bertanya, segera kemari, aku bingung.”
“Mengapa tidak dibawa kerumah sakit saja?”
“Aku sudah memanggil dokter, tapi aku butuh kamu Dayu.”
***
Dayu memasuki kamar hotel setelah Liando memberi petunjuk. Dilihatnya seorang dokter sedang memeriksa keadaan Susan. Liando menarik tangannya mengajaknya duduk disofa.
“Aku sudah mau pulang, tiba-tiba melihat dia mau pingsan. Aku bawa dia kekamarnya,” Liando mengulangi keterangannya, khawatir Dayu curiga.
“Mengapa dia memesan kamar hotel? Apa dia tidak pulang?”
“Entahlah, aku belum sempat bicara sama dia. Tampaknya dia lemah sekali.”
“Sudah mengabari mas Naya?”
“Belum. Aku bingung .”
Ketika LIando mau mengambil ponselnya, dokter sudah selesai memeriksa Susan.
“Bagaimana dok ?”
“Tekanan darahnya lemah sekali, saya sarankan anda membawanya kerumah sakit.”
“Oh, baiklah dokter, terimakasih.”
“Bagaimana keadaan mama?”
“Sehat dok, kapan-kapan datanglah kerumah.”
“Baik. Sekarang akan saya panggilkan ambulan agar membawa dia kerumah sakit.”
“Terimakasih banyak dok.”
***
“Ini benar-benar aneh. Susan lenyap tak berbekas, tak bisa dihubungi, sementara mama nya ketika aku datang malah menuduh aku menculiknya. Gila nggak sih.” Kata Indra kesal.
“Kalau begitu apa sebaiknya lapor polisi saja mas,” kata Seruni.
“Gimana aku mau melapor, ada mamanya yang juga kehilangan. Pastilah mamanya juga sudah melapor.
“Berkali-kali Naya mncoba menelpon tidak bisa. Naya yakin pasti ponselnya tertinggal dirumaha, Naya tahu biasanya Susan menyimpan di tas yang tertinggal itu."
"Ya sudah Naya, kamu tenang dulu.. jangan panik."
Ketika ponsel berdering, Naya segera mengangkatnya.
“Hallo.. Liando ?”
“Naya, kamu dimana?”
“Dirumah.. aku baru bingung mencari Susan..”
“Susan bersamaku.”
“Apa?”
“Aku dan Dayu bersamanya, sedang dalam perjalanan kerumah sakit.”
“Apa? Sakit apa lagi dia?”
“Belum jelas, aku ketemu ketika dia masuk hotel dalam keadaan limbung dan kemudian pingsan. Cepat menyusul kwrumah sakit sekarang.”
“Baiklah..segera.”
“Susan sakit?” tanya Indra...
“Iya bapak, tapi belum jelas bagaimana ceritanya. Naya kesana dulu.”
“Ya sudah, hati-hati, kabari bapak kalau ada apa-apa.”
“Baik bapak..” kata Naya sambil bergegas pergi setelah mencium tangan bapak dan ibunya.
“Apa yang terjadi pada anak itu?” tanya Seruni.
“Aku juga bingung. Tapi pasti terjadi sesuatu dirumah Susan. Kita tunggu saja sampai Susan bisa mengatakan semuanya.”
“Perlukah mas mengabari Lusi ?”
“Tidak, kita harus tahu dulu permasalahannya, jangan-jangan Susan justru kabur dari ibunya.”
***
Dayu dan Aliando duduk diruang tunggu. Susan sedang dirawat. Ini disebuah rumah sakit langganan keluarga bu Diana, berbeda dengan rumah sakit dimana Lusi membawa Susan ketika pingsan.
Keduanya tak berbicara apapun, karena semua pertanyaan tak akan bisa terjawab sampai Susan bisa membuka mulutnya.
Ketika Naya datangpun, tak banyak yang bisa dikatakan Liando.
“Ada apa sebenarnya?”
“Kami juga belum tahu. Tadi aku meeting di hotel dari jam 9 sampai jam setengah duabelas, lalu ketika aku mau pulang, aku melihat Susan dengan diiringi sopir taksi yang membawakan kopornya. Aku heran melihat Susan memesan kamar, tapi sebelum melangkah kekamar yang dipesan, dia terlihat limbung. Aku sempat menangkapnya sebelum tubuhnya terbanting ke lantai. Lalu aku membawanya kekamar yang telah dipesannya. Aku memanggil dokter keluarga, dan juga memanggil Dayu untuk menemani aku.”
“Lalu..?”
“Dokter menyarankan agar Susan dibawa kerumah sakit. Tapi aku belum mendapatkan keterangan apapun tentang kejadian yang sesungguhnya.”
“Mas Naya tenang saja, mbak Susan sudah ditangani, dia akan baik-baik saja,” kata Dayu menenangkan Naya yang tampak kalut.
“Terimakasih Dayu.”
Beberapa sa’at lamanya merekapun terdiam, dan hanya bisa menunggu. Naya sesekali berdiri, dengan gelisah.
“Naya, duduklah, Susan tak apa-apa,” kata Liando.
Naya baru saja meletakkan kembali pantatnya dikursi tunggu, ketika suster yang keluar dari ruang ICU menyebut namanya.
“Adakah yang namanya Nayaka?”
Naya berdiri dan bergegas menghampiri.
“Saya Nayaka.”
“Pasien menyebut-nyebut nama bapak.”
“Baiklah,” dan Nayapun menghambur masuk kedalam. Dilihatnya Susan memejamkan mata, wajahnya pucat.
“Susan..” bisik Naya lirih.
“Naya.. aku..”
“Bagaimana perasaan kamu?”
“Aku ingin melihat wajahmu..”
“Ini aku Susan.. “
“Aku mohon, jangan sampai mama tahu bahwa aku dirawat lagi.”
“Dirawat lagi? Setelah peristiwa didepan rumah makan itu?”
“Tidak.. aku .. dikeram didalam kamar selama dua hari, lemas tidak diberi makan..”
“Ya Tuhan, mama kamu melakukannya?”
“Aku pingsan lalu mama membawaku kerumah sakit. Tapi ketika mama pulang dan aku sadar, aku melarikan diri. Aku bisa mengambil kopor dan tas yang tertinggal, lalu pergi tanpa tujuan,” kata Susan tersendat.
“Mengapa tidak kerumahku? Bapak sama ibu pasti akan menerima kamu.”
“Aku menuju ke sebuah hotel, pingsan disana, dan untungnya bertemu Liando.”
“Susan, alangkah sengsaranya hidup kamu.”
“Aku tak punya siapa-siapa, ketika mama yang melahirkan aku begitu tega menyiksa aku.”
“Kamu punya aku Susan, aku cinta kamu,” bisik Naya ditelinga Susan.
Susan mengangkat tangannya, memegangi kepala Naya.
“Kamu istirahatlah dulu, dan harus segera sehat. “
“Terimakasih Naya. Tolong, ada uang di tas aku, ada ATM yang entah ada berapa isinya, tolong bayarkan ke hotel itu.”
“Sudah, itu nanti aku yang urus, sekarang kamu tidur. Perawat akan segera membawamu ke ruang inap.”
***
Indra dan Dayu heran mendengar penuturan Naya tentang Susan.
“Mengapa Susan dikeram oleh ibunya?”
“Masa memperlakukan manusia seperti hewan peliharaan saja?”
“Apa lagi dia anak kandungnya. Kok tega-teganya.”
Liando dan Dayu mengomentari berganti-ganti.
“Tapi apa ya sebabnya Susan dikeram? Tidak boleh bekerja, apa begitu?” tanya Liando.
“Sepertinya Susan bermaksud pergi dari rumah, karena aku melihat kopor yang sudah disiapkan didepan pintu,” kata Naya yang sudah memasuki rumah itu sebelum dikunci.
“Ooh.. ya, Susan ingin pergi dari rumah, tapi kemudian mamanya menghalangi.”
“Untunglah mas Naya sudah kerumah itu sebelumnya, jadi bisa mengira-ira kejadiannya.”
“Aku kesana karena Susan tidak masuk kerja. Bapak mau menelpon, takut dikira minta segera masuk kerja. Jadi akulah yang menelpon berkali-kali tanpa hasil. Sampai dua hari aku masih mengira dia masih sakit dan belum siap bekerja. Tapi aku merasakan sesuatu yang tak enak., Entah mengapa sore setelah pulang membantu bapak di kantor, aku nekat kerumahnya. Aku melihat rumah itu kosong, lalu ada kopor tergeletak didepan pintu, dan sebuah kamar yang terbuka tapi kosong. Aku tak menemukan siapapun ketika itu. Oh ya, ada tas tangan Susan tergeletak dikamar itu. Sa’at itu aku mengira Susan diculik. Aku mengajak bapak kerumah itu lagi tapi rumahnya sudah terkunci. Entah apa yang terjadi.”
“Susan pasti tak akan mau pulang kerumahnya.”
“Biar dirumah aku saja,” kata Dayu.
“Atau dirumah aku,” kata Naya.
“Bagus, banyak sahabat yang bersedia membantu, jadi kita tak perlu menghawatirkannya. Sekarang tinggal menunggu Susan sembuh, dan kita serahkan saja pada dia, dia mau tinggal dimana,” kata Liando.
***
“Seruni, aku berangkat kekantor ya,” Indra berpamit kepada isterinya.
“Naya tidak perlu ikutkah ?”
“Naya sedang sibuk mengurus Susan, biarkan saja.”
“Tapi keadaannya semakin membaik kan?”
“Katanya sudah lebih tenang, walau masih tampak lemas.”
“Kasihan anak itu, untunglah Dayu mau menemani. Katanya nanti malam Yayi juga mau ikut menemani di rumah sakit.”
“Ya sayang, biar dia merasa punya banyak orang yang mengasihinya. Semula kan dia merasa sendirian. Semoga dia sudah nyaman dan cepat pulih.”
“Aamiin, semoga hanya satu Lusi saja ibu yang tega kepada anaknya, dan semoga dia segera sadar.”
“Ya sudah, aku berangkat dulu, kalau ada apa-apa Naya suruh mengabari bapak ya.”
Tapi baru selangkah Indra turun dari teras, dilihatnya sebuah mobil polisi berhenti didepan pagar. Indra dan Seruni terkejut, polisi itu melangkah mendekati mereka.
“Selamat pagi,” sapa salah seorang polisi dari dua orang yang mendekat.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” kata Indra.
“Benarkah ini rumah bapak Indra?”
“Sayalah Indra.”
“Ma’af pak, saya membawa surat penangkapan untuk bapak.”
Indra dan Seruni terkejut.
==========
Seruni berteriak dan memegangi lengan suaminya.
“Mengapa? Memangnya suamiku salah apa?”
“Ada tuduhan penculikan, aku menculik siapa?” kata Indra sambil menepuk tangan isterinya, setelah membaca surat yang diberikan polisi tadi.
“Bapak bisa menerangkannya nanti di kantor polisi.”
“Baiklah, tapi saya akan mengendarai mobil saya sendiri. Kalau bapak takut saya kabur, salah satu dari bapak ini boleh ikut dimobil saya,” kata Indra.
“Sebaiknya bapak ikut saya saja,” polisi itu tampaknya keberatan.
“Ya sudah, saya ikut bapak, Seruni kamu tak usah khawatir, suami kamu tak melakukan sebuah kejahatanpun.”
“Baiklah, tapi tunggu, aku akan membawa mobil kamu,” kata Seruni yang kemudian masuk kedalam, berganti pakaian sekenanya lalu mengunci pintu rumah dan mengikuti mobil polisi itu.
mBak Darmi sedang kepasar, dia membawa kunci sendiri, jadi Seruni tak usah khawatir.
“Ini pasti ulah Lusi. Ia menuduh mas Indra menculik Susan. Dasar orang yang tidak pernah waras,” gumam Seruni sambil terus mengikuti mobil polisi itu.
Ketika itu Naya ada dirumah sakit, dan Yayi sudah berangkat ke kampus. Seruni tak ingin mengabari kejadian itu kepada Yayi.
“Jangan sampai Yayi juga panik. Tapi tampaknya aku harus mengabari Naya. Naya bersama Susan, nanti Susan yang akan bisa membebaskan mas Indra dari tuduhan,” gumam Seruni sambil terus memacu mobilnya.
“Ini pasti ulah Lusi. Ia menuduh mas Indra menculik Susan. Dasar orang yang tidak pernah waras,” gumam Seruni sambil terus mengikuti mobil polisi itu.
Ketika itu Naya ada dirumah sakit, dan Yayi sudah berangkat ke kampus. Seruni tak ingin mengabari kejadian itu kepada Yayi.
“Jangan sampai Yayi juga panik. Tapi tampaknya aku harus mengabari Naya. Naya bersama Susan, nanti Susan yang akan bisa membebaskan mas Indra dari tuduhan,” gumam Seruni sambil terus memacu mobilnya.
Ia belum sempat mengabari Naya karena jalanan sedang ramai. Sa’atnya anak-anak masuk sekolah dan orang pergi ke kantor.
Seruni mencoba menenangkan hatinya. Bagaimanapun, berurusan dengan polisi sangat membuatnya takut. Namun dengan keyakinan bahwa suaminya tak bersalah, Seruni merasa agak lebih tenang.
Ketika tiba di kantor polisi Indra sudah menghadap polisi , dan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.
Seruni duduk agak jauh, dan mencoba menghubungi Naya, tapi diurungkannya, karena tampaknya polisi akan menemui Susan di rumah sakit.
***
“Bagaimana sekarang rasanya ?” tanya Naya yang setia menunggui kekasihnya.
“Lebih merasa enak, tapi aku masih merasa lemas. Tekanan darahku belum naik juga ya?”
“Kalau kamu tenang, senang, kamu pasti akan segera pulih. Apa rencanamu setelah ini? Maukah tinggal dirumahku?”
“Tidak Naya, mana mungkin aku tinggal dirumah kamu, nggak enak aku.”
“Bapak sama ibu tak akan keberatan.”
“Tapi kita tak bisa tinggal serumah Naya, aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut ada setan lewat..” dan Naya tertawa lucu.
“Lalu apa rencana kamu setelah ini?”
“Aku akan mencari tempat kost saja.”
“Sebenarnya mengapa kamu disekap mama kamu? Bukankah kamu baru kembali dari rumah sakit?”
Susan menghela nafas sedih, teringat kejahatan yang dilakukan mamanya. Ia memang belum sempat bicara banyak tentang awal kejadian itu, dan melihat kebaikan keluarga Naya, ia memang harus berterus terang, walau itu kejahatan ibu kandungnya.
“Mama kamu melarang kamu bekerja?”
“Kalau melarang bekerja, itu memang sudah lama. Ini hal yang berbeda. Ketika aku memasuki rumah sepulang dari rumah sakit dan kamu sudah pergi setelah mengantar aku, aku melihat mama sedang bersama Anjas dan teman-temannya yang berandalan. Aku sangat terkejut mendengar percakapan itu, karena ketahuan bahwa yang mengeroyok ketika kita keluar dari rumah makan itu adalah mereka, atas perintah mama.”
“Haaa? Tapi mengapa?”
“Aku tidak tahu, mereka ingin menghajar kamu, tapi aku ikut terkena, itu membuat mama memarahi mereka dan aku mendengar kata-katanya. Lalu aku memutuskan untuk keluar dari rumah. Aku membenahi pakaian yang pantas aku bawa, dan semua uang, tapi ketika aku mau keluar, mama menyuruh mereka menghalangi aku, lalu mereka menyekapku didalam kamar.”
“Ya Tuhan, sayang, pasti kamu sedih sekali,” kata Naya iba.
“Aku menangis meraung-raung tapi mama tak mau mendengar. Dua hari aku disekap dan mama entah lupa atau sengaja, tidak memberi aku makan dan minum.”
“Ya Tuhan..”
"Ketika aku sadar, aku sudaah ada dirumah sakit. Mungkin mama menyesal membuat aku pingsan gara-gara tak makan minum selama dua hari. Tapi begitu aku sadar, dan mama sedang tak ada didekatku, aku kabur dari rumah sakit. Aku pulang kerumah, dan untunglah rumah itu kosong, mungkin mama dan Anjas sedang ke rumah sakit atau kemana entahlah, aku masuk rumah, mengambil kopor yang untunglah belum berubah tempatnya, dan untung pula tas tanganku masih tergeletak di kamar. Aku naik taksi tak tentu arah, lalu minta diberhentikan di hotel. Tuhan menolong aku karena ada Aliando disana. Cerita selanjutnya kamu sudah tahu kan?”
“Aku tak bisa mengerti mama kamu bisa melakukan hal sekejam itu,” kata Naya sambil meremas tangan Susan dan menciumnya lembut.
Tiba-tiba Naya melihat ibunya masuk keruangan itu. Naya terkejut karena ibunya tidak sendiri. Ada polisi mengikutinya.
Naya berdiri dan menghadapi ibunya.
“Ibu, ada apa?”
“Bapak kamu ditangkap polisi.”
“Apa?”
“Lusi menuduhnya telah menculik Susan.”
“Ya Tuhan.. mama..” pekik Susan.
“Aku mengantarkan bapak-bapak ini untuk bertemu Susan, agar semuanya menjadi jelas.”
“Bapak-bapak, ini yang bernama Susan, yang bapak kira telah diculik oleh suami saya. Silahkan bertanya tentang kebenarannya,” kata Seruni.
“Bapak mana bu, tanya Naya khawatir.
“Bapak masih ada di kantor polisi, nanti setelah semuanya menjadi jelas, bapak baru boleh pulang.”
“Biarlah Naya menemani bapak.”
“Baiklah, kasihan bapak kamu.”
“Itu siapa?” tanya salah satu dari polisi yang datang bersama Seruni.
“Itu Naya, anak saya. Dia yang selalu menemani Susan disini, bergantian dengan anak saya yang perempuan.”
“Ibu, Naya pergi dulu.”
“Ya nak, biarlah bapak-bapak ini berbicara dengan Susan. Susan, katakan semuanya apa yang terjadi kepada bapak-bapak ini.”
“Iya bu Indra, saya minta ma’af telah menyusahkan pak Indra dan bu Indra,” kata Susan sedih.
“Tidak apa-apa Susan, kebenaran harus dipegang, kejahatan harus diungkapkan. Ma’af kalau nanti mama kamu terbawa dalam kasus ini.”
“Tidak apa-apa..bu Indra.”
“Silahkan bapak-bapak, saya akan menunggu disini,” kata Seruni yang kemudian duduk menjauh dari ranjang Susan.
***
“Lega aku sekarang Njas, sa’at ini Indra pasti sudah ditangkap polisi.”
“Biar dia rasakan ma, dia kan tidak berhak mengatur hidupnya Susan.”
“Benar, Susan anakku, bukan anak dia. Kalau dia menguasai Susan, itu salah, dia tak berhak apapun atas Susan.”
Tiba-tiba suara dering ponsel menghentikan pembicaraan mereka. Tomy menelpon Anjas.
“Ada apa? Jangan bilang kamu minta uang lagi gara-gara luka kamu belum sembuh.”
“Tidak, aku hanya ingin memberitahu, diluar ada polisi.”
“Polisi ? Mau apa dia?”
“Aku tidak tahu bos. Aku baru mau masuk kemari tapi melihat mereka berhenti disebelah timur pagar.
“Bagaimana ini ma, katanya ada polisi datang kemari.”
“Jangan bodoh, polisi datang kemari kan karena laporan mama itu. Pasti mereka akan mempertemukan mama dengan Indra yang sudah ditangkap duluan.”
“Tapi mama harus hati-hati. Indra bukan orang bodoh. Menurut Anjas, lebih baik mama bersembunyi saja.”
“Bersembunyi kemana? Aduh, mengapa kamu membuat mama takut?”
“Mama lari saja, dibelakang ada kebun, dan pagar belakang kan dari pohon-pohon perdu, mama lari dari sana. Cepat ma, perasaanku tidak enak. Eh.. tidak.. tidak... masuk ke bagasi mobil saja.. cepat ma..” kata Anjas yang kemudian juga merasa takut.
Tak urung tiba-tiba Lusi merasa panik. Ia mengambil tas dari dalam kamar lalu masuk kedalam bagasi mobil, meringkuk disana.
Anjas mengunci pintu, dan pura-pura tidur.
Ketika suara pintu digedor, Anjas berjalan kedepan dengan pelan-pelan.
Gedoran pintu masih terdengar, ketika Anjas membuka pintu sambil menguap.
“Oh, ada tamu... mau menjari siapa bapak?” tanya Anjar pura-pura bangun dari tidur, dengan mengucek matanya sampai merah.
“Ini rumah ibu Lusiana?”
“Ya, benar, ada apa ya, mama lagi pergi.”
“Pergi kemana ?”
“Saya tidak tahu pak, mama kan banyak bisnisnya. Jadi terkadang pergi sampai malam, atau kadang menginap sehari atau dua hari.”
“Itu mobilnya ada..”
“Mobil itu saya yang pakai pak..”
Salah seorang polisi mendekati mobil, melongok-longok kedalam. Anjas dengan berdebar menatapnya.
“Kapan ya kembalinya?”
“Sungguh saya tidak tahu pak..”
***
Indra sudah bisa pulang, karena orang yang katanya diculik sama sekali tak berhubungan dengan Indra sebelumnya. Mungkin sekarang polisi justru sedang memburu Lusi atas laporan palsunya.
“Ma’af saya jadi merepotkan bapak,” kata Susan kepada Indra yang langsung datang menemui Susan dirumah sakit sepulangnya dari kantor polisi.
“Tidak Susan, jangan pikirkan.. kamu kan sudah menjadi anakku..”
Titik air mata Susan mendengar kata-kata Indra. Susan, si anak terbuang, dipungut dari kehidupan yang keras dan membuatnya gundah, oleh keluarga terhormat yang berhati mulia.
“Jangan menangis nak.. tenangkan saja hatimu, supaya sehat, dan bisa kembali berkarya, kantor sepi tanpa kamu.”
“Masa sih pak?”
“Iya benar.”
“Pasti karena saya cerewet...”
“Aku senang kamu sudah nampak segar. Semoga satu dua hari lagi bisa pulang.”
“Saya minta tolong Naya agar mencarikan tempat kost buat saya.”
“Tidak mau dirumahku?”
“Jangan pak, kurang bagus kelihatannya. Lebih baik saya kost sendiri saja dan itu akan lebih nyaman buat saya.”
“Baiklah, nanti aku bilang sama Naya. Ya sudah.. oh ya, Yayi ssudah kesini? Kalau aku pulang siapa yang mau menemani?”
“Saya pak Indra,” tiba-tiba Surti muncul bersama Dayu.
“Ya ampun, lihat, bu Tikno sudah datang untuk kamu Susan,” kata Indra sebelum pergi.
“Ada pak Indra, mana bu Indra?” tanya Surti.
“Mungkin nanti mau kesini, aku mau langsung ke kantor. Dayu.. anak baik.. temani mbak Susan ya.”
“Iya pak, sudah dari kemarin. Sama Yayi juga.”
"Aku bangga sama kalian. Yuk.. aku ke kantor dulu. Susan, bahagialah, banyak cinta diantara kamu.”
Indra melangkah menjauh, diiringi untaian air mata mengaliri pipi Susan.
“Nak Susan, mengapa menangis?”
Susan menatap wanita cantik bermata teduh disampingnya. Inilah ibunya Dayu, yang mamanya bilang adalah bekas pembantu.. tapi yang punya kebaikan tak terhingga, dan membuat jiwanya terpuruk oleh sesal yang membebaninya.
“Bu Tikno...ma’afkan saya..” isaknya.
“Sayang, sudahlah, untuk apa ma’af itu. Kamu tidak bersalah. Kamu anak baik yang sedang tersesat, tapi sekarang sudah kembali melangkah di jalan terang. Kami akan terus bersamamu nak,” kata Surti sambil mengelus kepala Susan, dan membuat air mata Susan semakin deras mengalir.
“Sudahlah, apa yang kamu fikirkan?”
“Saya minta ma’af ya bu.. besar dosa saya pada ibu dan keluarga ibu...” tangisnya sambil sebelah tangannya memeluk Surti.
Ketika tiba di kantor polisi Indra sudah menghadap polisi , dan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.
Seruni duduk agak jauh, dan mencoba menghubungi Naya, tapi diurungkannya, karena tampaknya polisi akan menemui Susan di rumah sakit.
***
“Bagaimana sekarang rasanya ?” tanya Naya yang setia menunggui kekasihnya.
“Lebih merasa enak, tapi aku masih merasa lemas. Tekanan darahku belum naik juga ya?”
“Kalau kamu tenang, senang, kamu pasti akan segera pulih. Apa rencanamu setelah ini? Maukah tinggal dirumahku?”
“Tidak Naya, mana mungkin aku tinggal dirumah kamu, nggak enak aku.”
“Bapak sama ibu tak akan keberatan.”
“Tapi kita tak bisa tinggal serumah Naya, aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut ada setan lewat..” dan Naya tertawa lucu.
“Lalu apa rencana kamu setelah ini?”
“Aku akan mencari tempat kost saja.”
“Sebenarnya mengapa kamu disekap mama kamu? Bukankah kamu baru kembali dari rumah sakit?”
Susan menghela nafas sedih, teringat kejahatan yang dilakukan mamanya. Ia memang belum sempat bicara banyak tentang awal kejadian itu, dan melihat kebaikan keluarga Naya, ia memang harus berterus terang, walau itu kejahatan ibu kandungnya.
“Mama kamu melarang kamu bekerja?”
“Kalau melarang bekerja, itu memang sudah lama. Ini hal yang berbeda. Ketika aku memasuki rumah sepulang dari rumah sakit dan kamu sudah pergi setelah mengantar aku, aku melihat mama sedang bersama Anjas dan teman-temannya yang berandalan. Aku sangat terkejut mendengar percakapan itu, karena ketahuan bahwa yang mengeroyok ketika kita keluar dari rumah makan itu adalah mereka, atas perintah mama.”
“Haaa? Tapi mengapa?”
“Aku tidak tahu, mereka ingin menghajar kamu, tapi aku ikut terkena, itu membuat mama memarahi mereka dan aku mendengar kata-katanya. Lalu aku memutuskan untuk keluar dari rumah. Aku membenahi pakaian yang pantas aku bawa, dan semua uang, tapi ketika aku mau keluar, mama menyuruh mereka menghalangi aku, lalu mereka menyekapku didalam kamar.”
“Ya Tuhan, sayang, pasti kamu sedih sekali,” kata Naya iba.
“Aku menangis meraung-raung tapi mama tak mau mendengar. Dua hari aku disekap dan mama entah lupa atau sengaja, tidak memberi aku makan dan minum.”
“Ya Tuhan..”
"Ketika aku sadar, aku sudaah ada dirumah sakit. Mungkin mama menyesal membuat aku pingsan gara-gara tak makan minum selama dua hari. Tapi begitu aku sadar, dan mama sedang tak ada didekatku, aku kabur dari rumah sakit. Aku pulang kerumah, dan untunglah rumah itu kosong, mungkin mama dan Anjas sedang ke rumah sakit atau kemana entahlah, aku masuk rumah, mengambil kopor yang untunglah belum berubah tempatnya, dan untung pula tas tanganku masih tergeletak di kamar. Aku naik taksi tak tentu arah, lalu minta diberhentikan di hotel. Tuhan menolong aku karena ada Aliando disana. Cerita selanjutnya kamu sudah tahu kan?”
“Aku tak bisa mengerti mama kamu bisa melakukan hal sekejam itu,” kata Naya sambil meremas tangan Susan dan menciumnya lembut.
Tiba-tiba Naya melihat ibunya masuk keruangan itu. Naya terkejut karena ibunya tidak sendiri. Ada polisi mengikutinya.
Naya berdiri dan menghadapi ibunya.
“Ibu, ada apa?”
“Bapak kamu ditangkap polisi.”
“Apa?”
“Lusi menuduhnya telah menculik Susan.”
“Ya Tuhan.. mama..” pekik Susan.
“Aku mengantarkan bapak-bapak ini untuk bertemu Susan, agar semuanya menjadi jelas.”
“Bapak-bapak, ini yang bernama Susan, yang bapak kira telah diculik oleh suami saya. Silahkan bertanya tentang kebenarannya,” kata Seruni.
“Bapak mana bu, tanya Naya khawatir.
“Bapak masih ada di kantor polisi, nanti setelah semuanya menjadi jelas, bapak baru boleh pulang.”
“Biarlah Naya menemani bapak.”
“Baiklah, kasihan bapak kamu.”
“Itu siapa?” tanya salah satu dari polisi yang datang bersama Seruni.
“Itu Naya, anak saya. Dia yang selalu menemani Susan disini, bergantian dengan anak saya yang perempuan.”
“Ibu, Naya pergi dulu.”
“Ya nak, biarlah bapak-bapak ini berbicara dengan Susan. Susan, katakan semuanya apa yang terjadi kepada bapak-bapak ini.”
“Iya bu Indra, saya minta ma’af telah menyusahkan pak Indra dan bu Indra,” kata Susan sedih.
“Tidak apa-apa Susan, kebenaran harus dipegang, kejahatan harus diungkapkan. Ma’af kalau nanti mama kamu terbawa dalam kasus ini.”
“Tidak apa-apa..bu Indra.”
“Silahkan bapak-bapak, saya akan menunggu disini,” kata Seruni yang kemudian duduk menjauh dari ranjang Susan.
***
“Lega aku sekarang Njas, sa’at ini Indra pasti sudah ditangkap polisi.”
“Biar dia rasakan ma, dia kan tidak berhak mengatur hidupnya Susan.”
“Benar, Susan anakku, bukan anak dia. Kalau dia menguasai Susan, itu salah, dia tak berhak apapun atas Susan.”
Tiba-tiba suara dering ponsel menghentikan pembicaraan mereka. Tomy menelpon Anjas.
“Ada apa? Jangan bilang kamu minta uang lagi gara-gara luka kamu belum sembuh.”
“Tidak, aku hanya ingin memberitahu, diluar ada polisi.”
“Polisi ? Mau apa dia?”
“Aku tidak tahu bos. Aku baru mau masuk kemari tapi melihat mereka berhenti disebelah timur pagar.
“Bagaimana ini ma, katanya ada polisi datang kemari.”
“Jangan bodoh, polisi datang kemari kan karena laporan mama itu. Pasti mereka akan mempertemukan mama dengan Indra yang sudah ditangkap duluan.”
“Tapi mama harus hati-hati. Indra bukan orang bodoh. Menurut Anjas, lebih baik mama bersembunyi saja.”
“Bersembunyi kemana? Aduh, mengapa kamu membuat mama takut?”
“Mama lari saja, dibelakang ada kebun, dan pagar belakang kan dari pohon-pohon perdu, mama lari dari sana. Cepat ma, perasaanku tidak enak. Eh.. tidak.. tidak... masuk ke bagasi mobil saja.. cepat ma..” kata Anjas yang kemudian juga merasa takut.
Tak urung tiba-tiba Lusi merasa panik. Ia mengambil tas dari dalam kamar lalu masuk kedalam bagasi mobil, meringkuk disana.
Anjas mengunci pintu, dan pura-pura tidur.
Ketika suara pintu digedor, Anjas berjalan kedepan dengan pelan-pelan.
Gedoran pintu masih terdengar, ketika Anjas membuka pintu sambil menguap.
“Oh, ada tamu... mau menjari siapa bapak?” tanya Anjar pura-pura bangun dari tidur, dengan mengucek matanya sampai merah.
“Ini rumah ibu Lusiana?”
“Ya, benar, ada apa ya, mama lagi pergi.”
“Pergi kemana ?”
“Saya tidak tahu pak, mama kan banyak bisnisnya. Jadi terkadang pergi sampai malam, atau kadang menginap sehari atau dua hari.”
“Itu mobilnya ada..”
“Mobil itu saya yang pakai pak..”
Salah seorang polisi mendekati mobil, melongok-longok kedalam. Anjas dengan berdebar menatapnya.
“Kapan ya kembalinya?”
“Sungguh saya tidak tahu pak..”
***
Indra sudah bisa pulang, karena orang yang katanya diculik sama sekali tak berhubungan dengan Indra sebelumnya. Mungkin sekarang polisi justru sedang memburu Lusi atas laporan palsunya.
“Ma’af saya jadi merepotkan bapak,” kata Susan kepada Indra yang langsung datang menemui Susan dirumah sakit sepulangnya dari kantor polisi.
“Tidak Susan, jangan pikirkan.. kamu kan sudah menjadi anakku..”
Titik air mata Susan mendengar kata-kata Indra. Susan, si anak terbuang, dipungut dari kehidupan yang keras dan membuatnya gundah, oleh keluarga terhormat yang berhati mulia.
“Jangan menangis nak.. tenangkan saja hatimu, supaya sehat, dan bisa kembali berkarya, kantor sepi tanpa kamu.”
“Masa sih pak?”
“Iya benar.”
“Pasti karena saya cerewet...”
“Aku senang kamu sudah nampak segar. Semoga satu dua hari lagi bisa pulang.”
“Saya minta tolong Naya agar mencarikan tempat kost buat saya.”
“Tidak mau dirumahku?”
“Jangan pak, kurang bagus kelihatannya. Lebih baik saya kost sendiri saja dan itu akan lebih nyaman buat saya.”
“Baiklah, nanti aku bilang sama Naya. Ya sudah.. oh ya, Yayi ssudah kesini? Kalau aku pulang siapa yang mau menemani?”
“Saya pak Indra,” tiba-tiba Surti muncul bersama Dayu.
“Ya ampun, lihat, bu Tikno sudah datang untuk kamu Susan,” kata Indra sebelum pergi.
“Ada pak Indra, mana bu Indra?” tanya Surti.
“Mungkin nanti mau kesini, aku mau langsung ke kantor. Dayu.. anak baik.. temani mbak Susan ya.”
“Iya pak, sudah dari kemarin. Sama Yayi juga.”
"Aku bangga sama kalian. Yuk.. aku ke kantor dulu. Susan, bahagialah, banyak cinta diantara kamu.”
Indra melangkah menjauh, diiringi untaian air mata mengaliri pipi Susan.
“Nak Susan, mengapa menangis?”
Susan menatap wanita cantik bermata teduh disampingnya. Inilah ibunya Dayu, yang mamanya bilang adalah bekas pembantu.. tapi yang punya kebaikan tak terhingga, dan membuat jiwanya terpuruk oleh sesal yang membebaninya.
“Bu Tikno...ma’afkan saya..” isaknya.
“Sayang, sudahlah, untuk apa ma’af itu. Kamu tidak bersalah. Kamu anak baik yang sedang tersesat, tapi sekarang sudah kembali melangkah di jalan terang. Kami akan terus bersamamu nak,” kata Surti sambil mengelus kepala Susan, dan membuat air mata Susan semakin deras mengalir.
“Sudahlah, apa yang kamu fikirkan?”
“Saya minta ma’af ya bu.. besar dosa saya pada ibu dan keluarga ibu...” tangisnya sambil sebelah tangannya memeluk Surti.
Susan ingat bahwa dia juga pernah ikut-ikutan ibunya mengumpat keluarga Surti. Sekarang rasa sesal itu memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Rasa kotor dan rendah menyelimuti perasaannya.
“Sudah nak, tak ada yang perlu dima’afkan. Saya yang minta ma’af karena baru sekarang bisa menjenguk nak Susan.”
“Ibu.. benarkah ibu mau mema’afkan saya ?”
“Kamu tidak bersalah nak, tidak ada yang harus dima’afkan. Dalam setiap langkah, pasti ada saja sandungannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kalau kita sadar bahwa jalanan itu berbatu, temukan jalan lain yang lurus, yang lapang, yang lempeng. Dan kalau sudah ditemukan jalan lempeng itu, maka kamu harus melepaskan semuanya.”
“Ibu sungguh bijak. Saya menemukan banyak keluarga yang berhati mulia.. saya menemukan dunia yang begitu indah dan penuh kebaikan serta cinta.”
“Inilah jalan dimana kamu bisa melangkah dengan penuh wangi bunga.” Kata Surti sambil mencium kening Susan.
“Aku akan melangkah dengan penuh wangi cinta...” bisik Susan sambil mengusap air matanya.
***
“Mama jangan pulang dan jangan pernah menampakkan diri, karena polisi sedang mencari mama, kata Anjas disebuah rumah terpencil diluar kota yang dipergunakan untuk bersembunyi, kedua-duanya.
“Jadi aku kamu taruh didalam rumah terpencil ini, tanpa boleh keluar rumah, tanpa boleh bertemu siapapun biarpun itu kawan-kawan mama?”
“Sebaiknya jangan dulu.”
“Mama akan mengubah penampilan mama saja. Potong rambut mama lebih pendek dan mengecat rambut mama dengan warna coklat,” kata Lusi kesal.
“Terserah mama saja, pokoknya aku sudah memperingatkan, jadi mama harus berhati-hati.”
“Aku benci kehidupan ini, aku benci semua kegagalan, aku marah kepada setiap orang, aku ingin menghancurkan apapun yang ada dihadapanku.”
“Sabar ma, sa’at untuk bertindak itu pasti ada.”
“Dan kebencianku kepada Dayu juga tak pernah berakhir. Gadis itulah yang mematahkan harapanku untuk berbesan dengan keluarga Diana.”
“Dayu itu bagianku ma, mama tenang saja. Kesempatan itu pasti ada.”
“Aku tidak sabar Anjas, belum puas rasanya kalau belum menyiksa dia dan keluarganya.”
***
Susan sudah boleh pulang, dan kost disebuah rumah yang tak jauh dari kantornya. Naya merasa lega, ketika membantu bapaknya bisa seringkali bertatap muka dengan gadis yang dicintainya.
Tapi Adit ragu-ragu ketika Indra menawarinya pekerjaan di kantornya.
“Mengapa menolak Dit?” tanya Tikno.
“Nggak enak saja bapak, masa sih aku harus merepotkan pak Indra lagi?”
“Tidak merepotkan Adit, kamu bekerja, kamu dibayar atas pekerjaan kamu. Tapi bapak tidak memaksa, kalau kamu bersedia ya baguslah, kalau mau cari sendiri ya bapak tetap mendukung kamu.”
“Ya nanti Adit pikirkan, kan belum wisuda juga.”
“Sebentar lagi kalian wisuda. Bapak sama ibu tidak lupa itu. Hm.. akhirnya anak-anak bapak tumbuh dewasa dan berhasil menyelesaikan pendidikan yang bukan main. Bapak bangga atas kamu.”
“Terimakasih bapak, ini semua atas dorongan dan do’a yang tak pernah henti dari bapak dan juga ibu.”
“Do’a orang tua tak akan pernah berhenti nak. Sukseslah dan segera cari isteri yang baik yang bisa mendampingi kamu selamanya.”
“Bapak membuat Adit berdebar. Besok kalau Adit sudah bekerja, Adit ingin melamar Yayi, apakah bapak setuju ?”
“Apapun yang membuat kamu bahagia, bapak akan mendukungnya. Bahagia kamu juga bahagia bapak dan ibu.”
Adit memeluk ayahnya dengan terharu.
***
Hari untuk wisuda telah tiba. Susan berdandan cantik untuk menemani Naya. Demikian juga Yayi. Dua pasang orang tua bersiap dengan kebahagiaan yang meluap.
Keluarga Indra dengan senang hati menjemput keluarga Tikno, agar bisa berangkat dan pulang bersama. Namun Dayu memilih berangkat sendiri, karena Aliando akan menjemputnya.
Tapi tiba-tiba Liando menelpon, bahwa ada urusan mendadak di kantor. Ia menyuruh pak Karjo untuk menjemput Dayu.
“Ma’af mbak Dayu, mas Liando menyuruh saya mengantarkan mbak Dayu sampai ke kampus, nanti mas Liando akan menyusul, kira-kira setengah jam an lagi.”
“Baiklah pak Karjo, terimakasih.”
Walau sedikit kecewa, Dayu pun berangkat diantar pak Karjo. Namun setelah sampai disana, Dayu belum ingin masuk kedalam. Ia akan tetap menunggu Liando.
Ia duduk disebuah kursi yang terletak agak kepinggir, sehingga bisa melihat kalau sewaktu-waktu Liando datang.
Tamu yang datang sudah banyak. Yang mau diwisudah sudah bersiap di baris depan.
Dayu menoleh kearah jalan, tapi Liando belum tampak nongol. Tiba-tiba sebuah taksi berhenti didepan, seseorang dengan pakaian perlente turun dari taksi.
“Saya mau ketemu mbak Dayu, apa sudah ada didalam?”
Mendengar itu Dayu langsung berdiri.
“Saya Dayu, ada apa?”
“Saya anak buahnya pak Liando, diminta menjemput mbak Dayu.”
“Lho, menjemput bagaimana? Dia katanya akan menyusul kemari.”
“Mas Liando hanya ada disalon dekat situ, dia ingin datang bersama mbak Dayu.”
“Oh, dasar manja,” gerutu Dayu, tapi dia tetap saja naik kedalam taksi itu, yang kemudian membawanya melaju keluar dari kawasan kampus.
Bersambung #13
“Sudah nak, tak ada yang perlu dima’afkan. Saya yang minta ma’af karena baru sekarang bisa menjenguk nak Susan.”
“Ibu.. benarkah ibu mau mema’afkan saya ?”
“Kamu tidak bersalah nak, tidak ada yang harus dima’afkan. Dalam setiap langkah, pasti ada saja sandungannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kalau kita sadar bahwa jalanan itu berbatu, temukan jalan lain yang lurus, yang lapang, yang lempeng. Dan kalau sudah ditemukan jalan lempeng itu, maka kamu harus melepaskan semuanya.”
“Ibu sungguh bijak. Saya menemukan banyak keluarga yang berhati mulia.. saya menemukan dunia yang begitu indah dan penuh kebaikan serta cinta.”
“Inilah jalan dimana kamu bisa melangkah dengan penuh wangi bunga.” Kata Surti sambil mencium kening Susan.
“Aku akan melangkah dengan penuh wangi cinta...” bisik Susan sambil mengusap air matanya.
***
“Mama jangan pulang dan jangan pernah menampakkan diri, karena polisi sedang mencari mama, kata Anjas disebuah rumah terpencil diluar kota yang dipergunakan untuk bersembunyi, kedua-duanya.
“Jadi aku kamu taruh didalam rumah terpencil ini, tanpa boleh keluar rumah, tanpa boleh bertemu siapapun biarpun itu kawan-kawan mama?”
“Sebaiknya jangan dulu.”
“Mama akan mengubah penampilan mama saja. Potong rambut mama lebih pendek dan mengecat rambut mama dengan warna coklat,” kata Lusi kesal.
“Terserah mama saja, pokoknya aku sudah memperingatkan, jadi mama harus berhati-hati.”
“Aku benci kehidupan ini, aku benci semua kegagalan, aku marah kepada setiap orang, aku ingin menghancurkan apapun yang ada dihadapanku.”
“Sabar ma, sa’at untuk bertindak itu pasti ada.”
“Dan kebencianku kepada Dayu juga tak pernah berakhir. Gadis itulah yang mematahkan harapanku untuk berbesan dengan keluarga Diana.”
“Dayu itu bagianku ma, mama tenang saja. Kesempatan itu pasti ada.”
“Aku tidak sabar Anjas, belum puas rasanya kalau belum menyiksa dia dan keluarganya.”
***
Susan sudah boleh pulang, dan kost disebuah rumah yang tak jauh dari kantornya. Naya merasa lega, ketika membantu bapaknya bisa seringkali bertatap muka dengan gadis yang dicintainya.
Tapi Adit ragu-ragu ketika Indra menawarinya pekerjaan di kantornya.
“Mengapa menolak Dit?” tanya Tikno.
“Nggak enak saja bapak, masa sih aku harus merepotkan pak Indra lagi?”
“Tidak merepotkan Adit, kamu bekerja, kamu dibayar atas pekerjaan kamu. Tapi bapak tidak memaksa, kalau kamu bersedia ya baguslah, kalau mau cari sendiri ya bapak tetap mendukung kamu.”
“Ya nanti Adit pikirkan, kan belum wisuda juga.”
“Sebentar lagi kalian wisuda. Bapak sama ibu tidak lupa itu. Hm.. akhirnya anak-anak bapak tumbuh dewasa dan berhasil menyelesaikan pendidikan yang bukan main. Bapak bangga atas kamu.”
“Terimakasih bapak, ini semua atas dorongan dan do’a yang tak pernah henti dari bapak dan juga ibu.”
“Do’a orang tua tak akan pernah berhenti nak. Sukseslah dan segera cari isteri yang baik yang bisa mendampingi kamu selamanya.”
“Bapak membuat Adit berdebar. Besok kalau Adit sudah bekerja, Adit ingin melamar Yayi, apakah bapak setuju ?”
“Apapun yang membuat kamu bahagia, bapak akan mendukungnya. Bahagia kamu juga bahagia bapak dan ibu.”
Adit memeluk ayahnya dengan terharu.
***
Hari untuk wisuda telah tiba. Susan berdandan cantik untuk menemani Naya. Demikian juga Yayi. Dua pasang orang tua bersiap dengan kebahagiaan yang meluap.
Keluarga Indra dengan senang hati menjemput keluarga Tikno, agar bisa berangkat dan pulang bersama. Namun Dayu memilih berangkat sendiri, karena Aliando akan menjemputnya.
Tapi tiba-tiba Liando menelpon, bahwa ada urusan mendadak di kantor. Ia menyuruh pak Karjo untuk menjemput Dayu.
“Ma’af mbak Dayu, mas Liando menyuruh saya mengantarkan mbak Dayu sampai ke kampus, nanti mas Liando akan menyusul, kira-kira setengah jam an lagi.”
“Baiklah pak Karjo, terimakasih.”
Walau sedikit kecewa, Dayu pun berangkat diantar pak Karjo. Namun setelah sampai disana, Dayu belum ingin masuk kedalam. Ia akan tetap menunggu Liando.
Ia duduk disebuah kursi yang terletak agak kepinggir, sehingga bisa melihat kalau sewaktu-waktu Liando datang.
Tamu yang datang sudah banyak. Yang mau diwisudah sudah bersiap di baris depan.
Dayu menoleh kearah jalan, tapi Liando belum tampak nongol. Tiba-tiba sebuah taksi berhenti didepan, seseorang dengan pakaian perlente turun dari taksi.
“Saya mau ketemu mbak Dayu, apa sudah ada didalam?”
Mendengar itu Dayu langsung berdiri.
“Saya Dayu, ada apa?”
“Saya anak buahnya pak Liando, diminta menjemput mbak Dayu.”
“Lho, menjemput bagaimana? Dia katanya akan menyusul kemari.”
“Mas Liando hanya ada disalon dekat situ, dia ingin datang bersama mbak Dayu.”
“Oh, dasar manja,” gerutu Dayu, tapi dia tetap saja naik kedalam taksi itu, yang kemudian membawanya melaju keluar dari kawasan kampus.
Bersambung #13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel