Cerita bersambung
Asmar memandang sobatnya dengan tenang.
Dicabutnya sebatang rokok, lalu diulurkannya pada wajah keruh yang duduk di depannya.
Syahbudin mengambil sebatang.
"Bukan salah, tapi tindakanmu memang sulit diterima, Bud. Sudah tentu Mutia marah. Jumlah dua puluh juta, dan untuk seorang wanita di luar hidupmu."
"Dia sama sekali tidak di luar hidupku, As. Aku mencintainya sejak dulu, kau tahu itu. Dan yang kuberikan bukan apa-apa dibandingkan apa yang dia berikan padaku,"
Sahut Syahbudin perlahan.
"Kalau kau sungguh-sungguh cinta padanya, mengapa kau tinggal dia kawin....? Aku tahu alasanmu. Dan begitulah selalu sifat kita orang Sumatra Barat. Tegar dan keras di depan orang lain, tapi menjadi agar-agar begitu berhadapan dengan keluarga. Padahal keluargamu sudah lama tinggal di sini, sudah menganut tata cara orang sini. Kau tidak lagi memberikan hasil jerih payahmu untuk kemenakan-kemenakan bukan...?"
"Keluarga adalah lembaga yang harus dijunjung tinggi, As. Orang hina adalah orang yang tidak bisa menghormati leluhur dari mana dia berasal. Kita orang timur, bukan orang Eropa ataupun Amerika."
Syahbudin menyela dengan tidak senang.
"Iya........................., iya. Tapi setiap manusia toh punya hak atas dirinya, apapun dan siapapun dia. Memang benar kita tidak bisa begitu saja mengabaikan apa kata keluarga, tetapi harus ada batas-batas sampai dimana keluarga boleh mengatur diri kita."
"Justru dalam hal inilah mereka berhak mengatur....!"
"Kalau begitu jangan lagi mengeluh. Kau sudah terlanjur kawin dengan Mutia, ya hidup saja dengan dia. Persetan Widati."
"Aku menyesal menemuimu kalau hanya untuk mendengar kata-kata sesinis itu, As."
Asmar mengendurkan otot-otot wajahnya.
Ditepuknya bahu Syahbudin dengan rasa kekawanan yang dalam.
Suaranya berubah jadi lembut dan sabar.
"Kau tahu aku ingin sekali membantumu, sobat. Tapi memang hanya itulah yang terbaik. Kalau kau benar-benar konsekuen dengan cintamu, jangan ragu-ragu. Tapi kalau keluarga memang berat, apalagi kau sudah punya anak dengan Mutia, lupakanlah Widati. Jangan temui dia lagi. Buang segala benda yang mengingatkan pada dia. Pupuklah kebahagiaan dan ketentraman rumah tanggamu sekarang. Kumpulkan kelebihan dan kebaikan Mutia, ingat-ingat itu sepanjang hari. Cuma itu caranya, Jangan memijakkan kaki pada dua dunia. Kau tidak akan pernah merasa tenang."
Syahbudin berdiam diri.
Dibenamkannya puntung rokoknya dalam asbak porselen di atas meja.
"Kau beruntung tidak mendapat tentangan waktu mau mengawini Nining....,"
Katanya perlahan.
"Tidak mendapat tantangan, katamu.....?"
Asmar berseru.
"Orang tuaku bahkan lebih terbelakang dari pada orang tuamu, Bud. Keluargaku tinggal di dusun, tidak pernah bergaul dengan orang-orang di luar lingkungannya. Tapi aku bilang pada emak, aku akan tunduk dan memenuhi semua keinginannya selain masalah yang satu ini. Sebab perkawinan adalah suatu hal yang sangat penting bagiku. Kebahagiaanku, kehancuranku, semua tergantung pada wanita macam apa yang menjadi istriku. Apa gunanya kita menunjukkan bakti pada orang tua kalau batin kita tidak rela, kalau itu membuat hidup kita tidak bahagia, kalau akhirnya kita malahan jadi mendendam pada orang kepada siapa kita ingin berbakti.....? Bagiku...."
"Aku tidak pernah mendendam pada orang tuaku.....!"
Syahbudin memotong.
"Cinta dan hormatku pada ibu tidak pernah berkurang sedikitpun karena perkawinanku dengan Mutia."
"Bagiku...........................,"
Asmar tidak mempedulikan kata-kata Syahbudin.
"Bakti yang paling baik adalah bakti yang selain membahagiakan orang tua, juga membahagiakan diri kita sendiri. Aku membangkang dalam soal perkawinan, tapi waktu orang tuaku difitnah, aku membelanya mati-matian sampai ke pengadilan. Aku bahkan tidak akan segan-segan menghabisi hidup orang itu kalau urusannya di pengadilan tidak selesai. Ketika orang tuaku bangkrut, aku jual rumahku untuk memodali mereka dan adik-adikku. Aku mengirimkan mereka ke tanah suci walau sebenarnya Nining menginginkan kendaraan yang bisa melindungi anaknya dari panas dan hujan. Begitu caraku berbakti, Bud."
Syahbudin lama memandang sahabatnya, lalu kembali mencabut rokok dan menyulutnya dengan menarik nafas panjang.
***
Suatu sore..., sepulang dari kantor Syahbudin menemukan ibunya sudah menunggu di rumah.
"Ibu dengar Mutia pulang ke rumah orang tuanya...," Kata nyonya Zuhnidar.
Syahbudin menghela nafas.
"Ya......" Sahutnya pelan.
"Kenapa........................?"
"Apakah dia belum mengadu pada ibu...?" Syahbudin balik bertanya.
"Mengadu......................? Sama sekali tidak. Begitu gawatkah pertengkaran kalian...?"
Syahbudin menjentikkan abu rokoknya ke asbak.
Semenjak terjadi pertengkaran dengan Mutia, rokoknya makin berat.
"Banyak wanita begitu picik dan terlalu dikuasai rasa cemburu yang tidak benar."
Nyonya Zuhnidar diam, menunggu.
"Saya menyumbang sebuah panti asuhan di Jakarta. Kebetulan panti asuhan itu milik Widati. Hanya itu."
Nyonya Zuhnidar menghela nafas.
Beberapa saat dipandangnya Syahbudin dalam-dalam.
"Kalau itu masalahnya, kurasa wajar Mutia jadi cemburu. Aku yakin kau tidak minta persetujuannya terlebih dulu sebelum memberikan sumbangan itu, bukan....? Atau barangkali kau bahkan tidak mengatakannya pada Mutia, dan dia tahu hal itu dari orang lain....?"
"Saya tak sempat minta persetujuan Mutia. Sumbangan itu saya berikan secara spontan waktu seminar ke Jakarta kemarin."
"Banyak.........................?"
"Dua puluh juta."
"Masya Alloh.................!" Nyonya Zuhnidar berseru.
"Kau membawa uang sebanyak itu ke Jakarta....?"
"Rencananya, uang itu akan saya pakai untuk mengambil mobil Pak Burhan. Mutia yang menginginkannya. Dia mengeluh tidak bisa pergi kemana-mana karena mobil yang ada hampir sepanjang hari saya bawa."
Nyonya Zuhnidar menghela nafas panjang.
"Ibu bukannya hendak membela Mutia, Nak. Tapi kurasa kau wajib menjaga keutuhan rumah tanggamu. Apa yang kau lakukan itu bisa menghancurkan hubunganmu dengan Mutia. Dalam sebuah rumah tangga segala keputusan harus diambil dengan persetujuan kedua belah pihak, nak. Apalagi ini menyangkut... orang yang mestinya sudah kau lupakan. Nabi melarang seorang suami yang bahkan hanya memuji masakan wanita lain di depan isterinya. Apalagi memberikan uang sebegitu banyak, yang sebelumnya sudah kau janjikan pada isterimu. Kau tahu, sejak beberapa hari ini Astari selalu pulang ke rumah ibu sehabis sekolah. Katanya, karena mama tidak ada di rumah, tidak ada yang mengurus dan memperhatikan dia."
Syahbudin merenungi rokok ditangannya dengan hati kosong.
Nyonya Zuhnidar berdiri, menepuk bahunya dan berkata lembut.
"Jemputlah Mutia besok, nak."
Itulah ibunya.
Wanita yang paling banyak menentukan jalan hidup dan kebahagiaannya.
Wanita yang selalu memperhatikan kesejahteraan dirinya, tetapi tak mengerti satu hal: dambanya pada cinta Widati.
Sebab ibunya pun kawin tanpa didahului cinta, dan merasa berbahagia dengan perkawinannya.
Ibunya tak mengerti bahwa cinta setiap orang tidak sama.
***
Hampir setiap hari Astari dan Lusia menanyakan kapan mama mereka pulang.
Sesudah jenuh bertanya, Lusia bahkan merengek, minta diantarkan ke tempat mama.
Astari tidak merengek, hanya bertanya:
Mengapa Mama tidak ingin melihat kita....?
Mengapa Papa tidak menjemput mama...?
Bagaimana kalau Mama sakit dan mereka tidak tahu...?
Kasihan Mama sendirian, Pa....
Syahbudin tidak sanggup memandang mata polos anak-anaknya bila mereka mulai bertanya demikian.
Keputusan memang harus segera diambil.
Keputusan yang benar-benar diyakininya.
Sudah tiga minggu Mutia berada di Bandung, di rumah ibunya.
Sudah cukup waktu untuk berpikir dan menetapkan hati.
==========
Widati sedang mengajari Dina memasang kancing bajunya sendiri ketika Tiwi mengatakan ada tamu ingin bertemu. Dan Widati tak mungkin melupakan wanita setengah baya yang duduk dengan anggun di kamar tamunya itu.
Tetapi dia hampir tak mempercayai matanya sendiri bahwa wanita yang sekarang tersenyum padanya itu memang nyonya Zuhnidar, ibu Syahbudin.
Beberapa saat dia berdiri saja tertegun, dan baru sadar ketika nyonya Zuhnidar menyapanya.
Tergopoh-gopoh Widati menyambut tamunya, malu menyadari sikapnya yang kurang sopan.
"Apa kabar, Widati.......?" Nyonya Zuhnidar mengulurkan tangannya.
"Atas doa restu ibu, saya selalu dalam lindungan Tuhan.
Saya sungguh tidak menyangka ibu akan sampai ke rumah saya yang buruk ini."
Widati membungkukkan tubuhnya, mencium tangan nyonya Zuhnidar dengan penuh takzim.
Apa pun penilaian ibu Syahbudin padanya, Widati selalu menempatkan wanita itu dengan penuh hormat di dalam hatinya.
"Saya harap ibu sekeluarga dalam keadaan baik," Kata Widati sambil mempersilakan nyonya Zuhnidar menempati kursi yang paling nyaman.
"Yah.............., begitulah. Kebetulan aku sedang menengok seorang saudara di Jakarta, lalu mampir kemari. Kudengar kau sekarang menampung anak-anak terlantar. Sungguh suatu usaha yang mulia."
Widati merasa tidak enak nyonya Zuhnidar langsung menyebut-nyebut panti asuhannya.
Dari mana nyonya Zuhnidar tahu dia mempunyai rumah yatim......?
Apakah Syahbudin yang menceritakannya....?
Dan soal uang itu....
Widati berusaha menenangkan hatinya yang tiba-tiba menjadi gelisah.
Dengan rendah hati dia tersenyum.
"Bukan sesuatu yang berarti, ibu. Saya hanya berusaha memberikan sebanyak mungkin apa yang bisa saya perbuat bagi orang lain. Niat saya hanya satu, mudah-mudahan apa yang saya lakukan ini diridhoi oleh Tuhan."
Nyonya Zuhnidar mengangguk.
"Begitupun..., tidak semua orang bisa berbuat seperti kau," katanya.
"Dimana anak-anak itu tinggal....?"
"Di rumah ini juga. Seandainya ibu berkenan melihat-lihat, saya akan mengantarkan dengan senang hati. Tetapi begitulah, masih jauh dari layak."
Mereka berjalan-jalan ke belakang, melihat anak-anak yang sedang bermain, belajar ataupun mengerjakan tugas-tugasnya. Beberapa masuk sekolah sore.
Widati melatih anak-anak itu mengurus keperluannya sendiri serta menjaga lingkungan dimana mereka berada.
Sebuah jadwal disusun untuk mengatur siapa yang hari ini bertugas menyapu, mengepel lantai, mengurus dapur dan lain-lain pekerjaan rumah tangga.
Baju-baju mereka cuci dan setrika sendiri, kecuali anak-anak yang masih terlalu kecil dicucikan oleh pembantu.
Widati menyayangi dan mencukupi hidup mereka, tapi tidak membiarkan anak-anaknya menjadi manja dan lupa pada ling-kungan dari mana mereka berasal.
"Senang sekali ibu melihat seperti ini. Kalau saja semua orang memiliki jiwa seperti kau, tak akan ada lagi orang yang sengsara."
"Ibu terlalu memuji." Widati menjawab dengan rendah hati.
"Memang begitulah.
Hanya..., untuk sebuah tujuan yang baik jangan sampai kita mengganggu kebaikan lain yang sudah ada."
"Maksud ibu.................?"
Widati memandang Nyonya Zuhnidar dengan kegelisahan yang makin sukar dikendalikan.
Nyonya Zuhnidar menggeleng perlahan.
"Tidak apa-apa. Ah, aku lupa menanyakan. Kau... sudah menikah tentunya...?"
Widati menggeleng. Matanya yang bening menjadi senyap.
Bukan karena menyedihkan pertanyaan terakhir Nyonya Zuhnidar, tapi karena dia mulai mengerti kemana arah pembicaraan yang dituju Ibu Syahbudin.
Hati Widati menggeliat.
Sakit oleh rasa tersinggung dan malu yang menekan begitu dalam.
Sakit karena apa yang sejak semula ditakutkannya benar-benar terjadi.
Dan bahwa yang mendatanginya adalah ibu Syahbudin, itu lebih-lebih lagi menambah pedih hatinya.
Mau rasanya dia menangis dan berteriak bahwa dia tak pernah mengharapkan apa-apa dari Syahbudin, jangan lagi berniat mengacaukan rumah tangganya.
Mau rasanya dia mengguncang Nyonya Zuhnidar, agar ibu itu tahu anak lelakinyalah yang berkeras ingin memberinya sesuatu.
Widati menelan ludah dengan susah payah.
Widati mengerti sekarang, kedatangan ibu Syahbudin tidak lain hanyalah untuk memperingatkan dia agar jangan mengganggu rumah tangga anak lelakinya.
Kata-kata Nyonya Zuhnidar begitu halus dan manis, tapi alangkah pahit di telinga Widati.
"Saya belum menikah, ibu. Dan hanya Tuhan yang tahu bahwa saya tak pernah sedikitpun berniat mengacaukan kebaikan yang sudah ada, seperti ibu katakan."
Widati hampir-hampir berbisik. Dengan sukar ditahannya air matanya yang sudah menggantung di balik kelopak.
"Saya dan mas Bud memang pernah saling mencinta, dulu. Tapi saya tahu semua itu sudah berakhir sejak mas Bud menikah. Setidak-tidaknya, kemungkinan dan harapan untuk bisa bersatu, saling memberi dan menerima sudah saya hapus jauh-jauh dari hati saya. Hanya itu yang bisa saya lakukan. Selebihnya, apa yang ada di dalam hati saya tak bisa saya pangkas sebagaimana saya membatasi gerak langkah saya, sebab hati bergerak jauh melampaui batasan wadah yang kita miliki."
Widati tersendat.
"Saya sedih dan hancur ketika mas Bud memutuskan untuk menikah dengan Mutia. Saya begitu kecewa sehingga hampir-hampir mendendam kepada orang-orang yang menyebabkan kami berpisah. Tetapi kemudian saya sadar, bahwa semua itu memang sudah menjadi garis Tuhan. Bukan salah orang-orang yang terlibat di dalamnya, sebab semua orang pasti menginginkannya. Hati saya lalu jadi damai. Saya melepaskan harapan dan pikiran dari masa lalu. Saya tak lagi menginginkan apa-apa selain berbuat baik pada orang lain."
Nyonya Zuhnidar terpukau mendengar kalimat-kalimat Widati yang diucapkan dengan perlahan, dengan suara sedih yang bersandar pada kepasrahan hati.
"Sekarang saya sudah tua. Saya tak punya suami, tak punya anak. Sedang saya tetap seorang wanita seperti ibu juga, yang mempunyai naluri untuk dicintai dan mencintai. Saya seperti wanita lain juga ingin melahirkan anak dari rahim sendiri, anak yang lahir dari cinta seorang pria. Tapi saya tak bisa. Dan saya mengambil anak-anak dari rahim wanita lain, dari cinta seorang pria pada wanita yang bukan diri saya. Saya mencintai mereka sama besar seperti cinta seorang ibu pada anak kandungnya. Hanya untuk merekalah hidup saya sekarang, ibu. Saya sudah melepaskan diri dari pamrih dunia."
Nyonya Zuhnidar menatap Widati dengan perasaan aneh. Perlahan tapi pasti hati keras yang dibawanya dari Yogya melunak, untuk akhirnya lumer dan dibasahi rasa sejuk.
"Sejak semula sudah saya katakan pada mas Bud, dia dan segala yang dimilikinya bukan lagi hak saya.
Saya bukan apa-apa. Hanya masa lalu yang kabur dan tak berarti. Tapi mas Bud ingin memberi sesuatu pada anak-anak saya. Dan saya tak mampu menolak. Saya menyesal sekali kalau ini membawa akibat buruk bagi rumah tangganya."
"Ibu tak bermaksud mengatakan demikian..., Widati."
"Apa yang ibu katakan semuanya benar. Saya... saya yang khilaf."
Malam setelah kedatangan ibu Syahbudin lama Widati duduk terpekur di kamarnya.
Tak dipedulikannya berapa lama sudah waktu berjalan. Dia duduk diam, mengkaji segenap perasaan hatinya. Dan ketika kesenyapan tengah malam sudah menggelincir ke arah pagi, Widati berdiri.
Dibukanya lemari pakaiannya, dan dengan sebuah anak kunci yang selalu ada di dalam tasnya Widati membuka laci paling atas.
Dikeluarkannya bungkusan kertas coklat yang diberikan Syahbudin sebulan berselang.
Bungkusan itu masih utuh, belum berkurang isinya barang satu lembar pun.
Dua minggu yang lalu dia sudah menghubungi tukang yang akan dipasrahinya membangun rumah baru itu, sudah membicarakan bentuk bangunan dan rencana penggunaan kamar-kamarnya dengan Tiwi, sudah bersiap-siap mengambil depositonya di bank.
Sekarang semua tak ada lagi.
Widati meletakkan bungkusan itu di telapak tangannya, menatapnya dengan hati luluh.
Untuk kedua kalinya dia harus melepaskan Syahbudin, cinta yang tak pernah terhapus dari jiwanya.
Uang itu adalah perwujudan dari kehadiran Syahbudin, bukan sekadar lembaran-lembaran kertas yang mempunyai nilai materi.
Widati ingin menjadikan rumah yatim yang akan dibangun itu sebagai monumen bagi cinta mereka, ingin menghadirkan jiwa Syahbudin ke dalam setiap orang yang berlindung di bawahnya.
Tapi rupanya untuk hanya memiliki sebuah monumen pun dia tak berhak.
Seperti sepuluh tahun yang lalu, kembali Widati mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya.
Dipungutnya sampai serpih-serpih yang paling lembut.
Dia tahu...., dia kembali tak akan memiliki apa-apa.
Dan dia tahu, kali ini akan membutuhkan waktu lebih lama untuk merekatkan kembali kepingan-kepingan itu.
Widati menghitung-hitung hari, kapan dia bisa pergi ke Yogya untuk mengantarkan kembali uang itu kepada ibu Syahbudin.
Ya..... ibu Syahbudin, sebab dia tak akan sanggup menyerahkannya dengan memandang wajah Syahbudin sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel