Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 25 April 2022

Keberangkatan #4

Cerita bersambung

Mutia tampak jauh lebih kurus ketika Syahbudin datang.
 
Satu bulan tidak bertemu membuat segalanya terasa berubah.
Mutia menyambut Syahbudin dengan pandangan bertanya.
Bertanya mengapa baru sekarang datang, dan untuk apa datang.
Syahbudin merasa sukar memulai bicara, apalagi Mutia begitu diam kepadanya.
Beruntung Astari dan Lusia ikut, sehingga kekakuan itu tersamar oleh kicau dan gerak mereka.
Baru pada malam hari ketika semua sudah masuk ke kamar, mereka bisa berbicara dengan agak leluasa.

"Aku ingin kau kembali ke rumah kita, Tia. Anak-anak membutuhkan kehadiranmu." Syahbudin membuka percakapan.
"Kalau hanya demi anak-anak, biarlah anak-anak yang ikut aku," Sahut Mutia datar.
"Tia................................," Syahbudin berusaha bersikap sabar.
Akhir-akhir ini dia banyak belajar untuk bersikap lebih bijaksana.

"Kuharap kita bisa melupakan semua yang pernah terjadi. Marilah kita bersama-sama memulai lagi dengan lembaran baru."

Lama Mutia diam.

"Mas bersungguh-sungguh dengan niat itu....? Bukan sekedar menginginkan ada seorang wanita yang disebut istri di rumah...?" Akhirnya dia bertanya.
"Aku sungguh-sungguh, Tia. Kurasa waktu satu bulan sudah cukup untuk mengkaji hatiku."

Mutia memutar tubuhnya.
Ditatapnya Syahbudin lama-lama, lalu begitu saja tubuhnya rebah ke dada lelaki itu.
Syahbudin menerimanya dengan sebuah pelukan, yang walaupun tidak dengan sepenuh cinta, toh tetap sebuah pelukan.

"Aku mencintaimu..., mas. Cinta sekali. Aku sudah putus asa ketika sudah sebulan mas Bud tidak datang," Bisik Mutia antara sedu sedannya.
"Ya....................., ya Tia. Aku mengerti................," Sahut Syahbudin perlahan.

Dia sadar seharusnya mengatakan 'Ya Tia, aku pun mencintaimu'.
Tapi dia tak dapat.
Kalimat itu seakan terikat erat diujung lidahnya.
***

Siang itu...., di kantor Syahbudin menerima telepon dari ibunya, minta agar sepulang kantor Syahbudin mampir ke rumah.
Masih ditambahi satu pesan lagi: agar Syahbudin datang sendirian.
Dengan hati bertanya-tanya, Syahbudin memasuki rumah ibunya pada jam dua siang.

"Ibu menyesal sekali terpaksa memanggilmu dengan cara seperti ini," nyonya Zuhnidar membuka percakapan setelah selesai membuat air jeruk dan menghidangkannya di depan Syahbudin.

Syahbudin memandang ibunya dengan diam, menunggu.
Nyonya Zuhnidar meneguk air jeruknya, tampak kesulitan menyampaikan persoalan yang dibawanya.

"Ada apa, ibu................?" Akhirnya Syahbudin bertanya.
"Mudah-mudahan apa yang ibu sampaikan nanti tidak terlalu melukai hatimu, walau mungkin harapan ibu ini suatu kenaifan yang amat keterlaluan."
"Ibu membuat saya gelisah. Saya harap ibu bersedia mengatakan semua dengan sejelas-jelasnya. Mengenai saya bukan....?"

Nyonya Zuhnidar mengangguk.

"Lebih dari kau saja, nak. Jelasnya begini. Ibu sangat sedih waktu melihat rumah tanggamu kacau beberapa saat berselang. Ibu ingin membantu menjernihkan persoalannya. Dan itulah yang mendorong aku pergi ke Jakarta beberapa minggu yang lalu."
"Maksud ibu.................." Syahbudin memandang ibunya dengan cemas.

Nyonya Zuhnidar mengangguk.

"Maafkan ibu, nak. Ibu memang lancang, walau sesungguhnya untuk sebuah itikad yang baik. Ibu menyesal sekali setelah bertemu dengannya, melihat kehalusan hatinya. Ibu mengerti sekarang bagaimana perasaanmu kepadanya."
"Ibu...............................,"

Keluhan Syahbudin seperti orang kesakitan.
Tubuhnya tersandar lemas ke kursi, dan lehernya seperti patah, tertekuk ke depan.
Nyonya Zuhnidar memandangnya dengan sedih.

Masih ada satu lagi tembakan yang harus dilepaskannya, tembakan yang barangkali akan menghabiskan sama sekali hati anaknya, tapi yang bagaimanapun harus dilepaskannya.

"Lalu beberapa hari berselang Widati menemui ibu, menyerahkan ini. Dia mohon agar ibu meneruskannya kepadamu. Dia juga minta maaf karena tidak dapat menemui kau sendiri."

Syahbudin sudah terlalu sakit untuk melihat ibunya meletakkan bungkusan uang itu di depannya.
Dengan sebelah tangan ditutupnya wajahnya, ditopangnya di atas lutut.
Keheningan terasa amat mencekam menguasai keduanya.

"Ibu menyesal sekali, nak....," Kata nyonya Zuhnidar lirih.

Syahbudin tidak menjawab.
Juga tidak bergerak.
Sejenak nyonya Zuhnidar mengiranya telah menjadi arca kaca.
Arca kaca yang memperlihatkan bagaimana hancur segenap bagian dalam dadanya.

Lama kemudian..., ketika Syahbudin menurunkan tangan dari wajahnya serta menegakkan duduknya kembali, nyonya Zuhnidar hampir-hampir tak mengenalinya lagi.
Syahbudin telah begitu berubah dari Syahbudin beberapa menit yang lalu.

"Ibu...............................," Suara Syahbudin terdengar datar, dingin dan tanpa ekspresi.
"Ketika ibu menginginkan saya menikah dengan Mutia, saya memutuskan untuk melakukannya, walau hati saya sendiri menolak. Saya menikah, dan sejak itu seluruh hidup saya, jasmani saya, semuanya menjadi milik Mutia. Sampai saya mati kelak. Berapa nilainya semua itu, ibu....? Tak ada nilainya, sebab memang tidak bisa dinilai dengan apapun juga. Saya bekerja, dan saya mendapat uang. Seandainya dikumpulkan, entah sudah berapa yang saya berikan kepada Mutia. Saya bukan mau menghitung jasa ibu, sama sekali tidak. Itu memang sudah menjadi kewajiban saya yang tak perlu lagi disebut-sebut. Saya hanya ingin membandingkan.
Lalu ketika saya memberikan sebagian kecil dari apa yang saya dapatkan kepada Widati, orang yang sebenarnya berhak atas seluruh hidup, jasmani dan rohani saya, untuk rumah yatimnya, kalian tidak rela. Kalian protes, dan terlebih lagi, ibu melukai hatinya yang begitu tulus.
Ibu, sebenarnya apakah saya ini....? Seorang manusia yang memiliki hak-hak atas diri dan dambanya, ataukah seorang budak yang boleh dikendalikan hidupnya dan tak boleh memiliki perasaan apa-apa....?"
"Syahbudin...................," Mata Nyonya Zuhnidar basah.
"Jangan berkata seperti itu, nak. Ibu bisa mati karena sedih. Baiklah..., ibu menerima penyesalanmu atas kelancangan ibu kemarin. Hanya satu yang ibu ingatkan, bukankah engkau dulu memilih Mutia dengan kemauan sendiri....? Ibu sama sekali tak pernah mengatakan kau harus menikah dengan Mutia dan meninggalkan Widati, bukan...?"
"Ibu memang tidak pernah mengatakannya, Bu. Tetapi apakah sebuah kehendak harus selalu dinyatakan dengan perkataan....? Ibu begitu ramah kepada Mutia, begitu menganak-emaskan. Sementara untuk Widati pintu tertutup rapat. Ibu tak memberi kesempatan kepada dia untuk mendekat, untuk memperkenalkan diri dengan lebih baik. Ketika dia berkunjung, ibu hanya menunjukkan punggung dan berlalu. Ibu tahu saya mencintai Ibu. Dan Ibu juga tahu saya tak mungkin melakukan sesuatu kalau Ibu tidak menunjukkan sikap senang, walau itu tidak mengatakan melarang. Apakah ibu masih mau mengatakan, ibu tidak ikut campur dalam masalah ini....?"

Nyonya Zuhnidar menatap Syahbudin dengan air mata berlinangan.

"Apakah sesungguhnya perkawinan itu ibu, sehingga dia boleh mematikan hati nurani dan naluri kemanusiaan yang fitri....? Saya memang mencintai Widati, sebagai perwujudan perasaan itu saya memberinya sesuatu. Tetapi tak pernah terbetik dalam hati saya untuk meneruskan hubungan kami dahulu, sebab sekarang saya bukan lagi orang yang sah baginya. Saya sudah berkeluarga dan bagaimanapun juga saya akan setia dan bertanggung jawab pada keluarga saya. Mengapa kalian, ibu dan Mutia masih juga tak mengerti setelah mengenal saya sekian lama....?"

Nyonya Zuhnidar terduduk di kursinya dengan lunglai, tak mampu berkata sepatah pun.

"Maaf ibu, saya ingin pulang."

Syahbudin berdiri, melangkah panjang-panjang keluar rumah.
Bungkusan uang di meja sama sekali tak disentuhnya.
Pikiran Syahbudin hampir-hampir tak berada pada kesibukan lalu lintas yang ada di sekitarnya.
Tangan dan kakinya hanya secara insting saja mengendalikan jalannya mobil.
Tak tahu dia, bagaimana bisa sampai ke rumah dengan selamat.
Semua lengkap ada di rumah: Mutia, Astari, Lusia.
Tapi Syahbudin tak melihat apa-apa, tak melihat siapa-siapa.
Dia hanya melihat kepingan-kepingan hatinya sendiri, hanya merasakan kegerahan dan sakit pada seluruh dirinya.

Sore itu juga, hanya dengan membawa beberapa lembar pakaian ganti, Syahbudin melarikan mobilnya ke Jakarta.
Kepada Mutia yang kebingungan dan bertanya-tanya Syahbudin hanya mengatakan 'Ada urusan penting ke Jakarta', membanting pintu dan melesat tanpa menoleh lagi.
Mutia memandang mobil yang ditumpangi Syahbudin sampai lenyap di tikungan, menundukan muka dan berjalan kembali ke rumah dengan air mata menggenang.
Ada urusan penting ke Jakarta, ada urusan penting ke Jakarta....?
Ya..., Widati memang selalu urusan penting, sehingga Syahbudin boleh pergi dengan begitu tergesa-gesa dan tanpa pamit kalau tidak ditanya, membanting pintu mobil di depan hidungnya.
Mutia tidak mendengar suara anak-anaknya yang ribut menanyakan kemana papa pergi, kapan pulang.
Dia tidak mendengar apa-apa lagi selain tangis dalam hatinya.

==========

Widati menatap lelaki yang masih baru perjalanan jauh di depannya dengan senyap.
Syahbudin terpukul menyadari bahwa di wajah itu tak ada lagi senyum.
Tetapi nun jauh dari warna marah.
Yang ada hanyalah pancaran kesedihan dan luka yang dalam.
Widati selalu tersenyum, dalam sedih dan marah sekalipun.
Tetapi sekarang senyum itu sudah pupus dari wajahnya.

"Aku khawatir sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi, Mas....," Suara Widati seolah terdengar jauh dari seberang.

Syahbudin tertegun.
Ludahnya terasa menyakitkan ketika melewati kerongkongan.

"Aku mengerti...., Widati," Suaranya lirih dan kering.
"Dan aku sama sekali tak menyalahkan kalau sekarang di matamu aku sudah tak bernilai apa pun lagi. Tetapi kalau masih ada sedikit sisa maafmu, pandanglah aku Widati, dan lihatlah bahwa seberat apa pun yang kau rasakan, masih lebih berat lagi bagiku."

Widati memutar tubuhnya, perlahan-lahan berjalan ke ujung teras belakang yang dimandikan cahaya matahari sore.
Ujung bunga-bunga Bougenvil kerdil yang tumbuh di dalam pot sepanjang tepi teras menyapu-nyapu leher dan pipinya dengan lembut.

"Kalau aku masih boleh meminta sesuatu darimu Mas, maka permintaanku hanyalah, jangan jadikan aku perusak rumah tangga orang. Rumah tanggamu. Aku sudah cukup hidup dengan kesendirianku. Jangan lagi membuat para wanita mengawasi suaminya dengan curiga ketika berbicara denganku, sesudah mendengar apa yang terjadi dalam rumah tanggamu karena aku," Kata Widati lirih.

Syahbudin melangkah perlahan, dan berhenti di belakang punggung Widati.
Begitu lembut, hampir tanpa menyentuh, dielusnya bahu Widati dengan sepenuh perasaan tertumpah.
Dia tak mampu lagi berbicara, dan kata-kata terlalu miskin untuk mengungkapkan perasaannya.
Widati merasakan sentuhan tangan Syahbudin di bahunya, dan keping-keping hatinya makin lebur menjadi butir-butir lembut.
Digigitnya bibirnya kuat-kuat, dipalingkannya wajahnya jauh dari jangkauan pandangan Syahbudin.
Dia tidak ingin lelaki itu melihat air mata yang turun mengaliri pipinya.

"Pulanglah Mas...., pulanglah." Widati berbisik, tak mampu menahan suara yang bergetar.
"Tidak.... sebelum air matamu kering, Widati."

Widati memutar tubuhnya, menatap Syahbudin dari balik deraian air mata yang mengaliri wajahnya.
Dan ketika matanya bertemu dengan mata lelaki itu, menemukan cinta dan sakit yang sama, dia tahu bahwa dia tak ingin saat itu Syahbudin meninggalkannya.

Seperti baju zirah yang dilepaskan dari tubuh seorang prajurit kerajaan, lepas semua jabatan yang membuat Widati gagah.
Dia bukan lagi dosen senior yang disegani di Fakultas Teknik Trisakti, bukan lagi PD I yang memegang kata penting di lingkungan Fakultas Psikologi, bukan lagi psikolog yang santun dan memberi keteduhan bagi kliennya, bukan lagi ibu anak yatim kepada siapa nasib lima belas orang anak bergantung.
Dia hanyalah seorang Widati, seorang wanita dengan sebuah cinta di hatinya yang telah menjadi hancur.
Syahbudin menenggelamkan Widati ke dadanya dengan sedih.
Dadanya dingin dirembesi air mata Widati, dan dingin itu menyusup sampai ke dalam hati dan jantungnya.

Tiwi tertegun diambang pintu, dan cepat-cepat mengundurkan diri.
Dia baru saja bangun tidur, tidak tahu ada tamu datang. Tamu yang begitu istimewa lagi.
Sejenak dia menganalisa kejadian-kejadian yang beruntung dalam beberapa minggu terakhir ini.
Mula-mula lelaki gagah bernama Syahbudin itu diperkenalkan oleh Widati sebagai kawan lamanya semasa di Yogya.
Lalu kegairahan Widati merencanakan pembangunan panti asuhan yang baru.
Dan tiba-tiba rencana itu batal tanpa dikatakan sebabnya oleh Widati.
Lalu Widati pergi ke Yogya.
Dan ketika kembali, Tiwi melihat wajah itu letih oleh kesedihan.
Sekarang lelaki itu muncul lagi, dan Widati menangis di dadanya.
Tiwi menghela nafas.
Dia pun pernah merasakan cinta, dan dia tahu betapa besar makna cinta itu dalam hidup seseorang, diakui atau tidak.

Orang yang mengatakan cinta sebagai suatu kecengengan sesungguhnya adalah orang yang kecewa karena tidak pernah menemukan cinta.
Kebutuhan jiwa manusia selalu sama.
Kepada anak-anak Tiwi berpesan agar tidak pergi ke teras belakang dulu.
Ada tamu Bu Wid yang tidak boleh diganggu.
***

Syahbudin menemukan rumahnya dalam keadaan kosong.
Seorang tetangga yang tinggal di sebelah rumah memberikan kunci rumahnya, mengatakan bahwa Mutia pergi sehari berselang dengan membawa serta Astari dan Lusia.
Pembantu juga sudah disuruh pulang.
Syahbudin menerima kunci, mengucapkan terimakasih dan kembali ke rumahnya dengan diam.
Rumah terasa begitu lengang dan hampa.
Semua perabotan masih teratur rapi, dingin setelah satu hari tidak tersentuh kehangatan tubuh manusia.
Syahbudin menemukan sepucuk surat di meja kerjanya, dialamatkan kepada dirinya.
Tulisan di amplop jelas tulisan tangan Mutia.
Sejenak Syahbudin merenung, lalu perlahan dirobeknya sisi amplop, dibacanya sekali pintas.

~~Mas Syahbudin...........,
Ketika kembali ke rumah ini, aku mengira kita benar-benar akan memulai dengan lembaran baru yang lebih baik dan lebih bersih.
Aku begitu yakin kita akan mampu melakukannya.
Tapi sejak kepergianmu kemarin lusa, aku jadi sadar bahwa harapanku hanyalah impian yang sia-sia saja.
Anak-anak kubawa, sebab aku yakin mereka akan lebih aman dan terpelihara bersamaku.
Seandainya BP4 tidak dapat menyelesaikan masalah kita, aku rasa pengadilan akan dapat membantu.
Sekianlah...., mudah-mudahan dengan ini kau bisa lebih leluasa memperoleh apa yang kau inginkan.
salam............,
Mutia~~

Syahbudin meremas surat itu hingga urat-urat tangannya mengeras.
Dilayangkannya matanya ke langit di luar jendela yang sudah mulai dirambati kemerahan senja.

Jadi aku benar-benar sendiri sekarang, gumamnya dengan kering.
Anak-anak dibawa, bahkan pembantu disuruh pulang.
Hm.................................,
Mengapa rumah ini tidak sekalian kau bawa, Mutia.......? Kan bagus. Jadi sekalian aku pulang ke hotel.
***

Syahbudin mengisap sekali lagi rokoknya, lalu dilemparkannya jauh-jauh keluar jendela.
Ditolehnya Asmar yang duduk menopang dagu.

"Begitulah ceritanya....," Katanya dengan datar.
Asmar menghela nafas.

"Jadi rumahmu kosong sekarang....?"
"Ada ibu........................"

Keduanya berdiam diri.
Sebenarnya Syahbudin tidak ingin menceritakan keadaan rumah tangganya kepada siapa pun.
Tapi Asmar mengundang dia dan Mutia makan bersama untuk merayakan ulang tahun Nining, jadi terpaksalah cerita itu bocor.
Lagipula Asmar sahabat karib sejak masih sama-sama kuliah, dan sampai sekarang pun mereka bekerja bahu membahu di lembaga penelitian fakultas.
Asmar kenal Widati, sama baik seperti dia mengenal Syahbudin.
Dulu..., semasa masih pacaran, mereka sering berkumpul berempat dengan Nining.

"Aku ingin pergi, persetan kemana. Aku muak melihat rumahku. Suasana suram begini membuatku frustasi," Kata Syahbudin selang beberapa saat kemudian.

Asmar berpikir sejenak, menimbang-nimbang.
Apa yang akan dikatakannya haruslah suatu keputusan yang bulat.

"Kau kenal Pak Selo.....?" Tanyanya kemudian.
"Prof. Selo....................? Pernah beberapa kali ketemu. Ada apa........................?"
"Beliau baru saja menawari aku belajar ke Amerika Serikat. Ada beasiswa dari Fulbright-Hays Grant.Kalau kau mau, kau bisa pakai beasiswa itu. Syaratnya cuma: bahasa Inggris baik, dosen universitas negeri. Kau memenuhi keduanya."

Syahbudin termangu.
Belajar ke Amerika Serikat....?
Bukan main.....................! Entah sudah berapa lama dia mengimpikan itu...!

"Kau sungguh-sungguh....?" Tanyanya dengan ragu.
"Telponlah Pak Selo sekarang juga."
Syahbudin merenung.

"Tapi tawaran itu untukmu bukan....? Dan omong kosong kalau kau tidak ingin ke Amerika."
"Siapa bilang aku tidak ingin....? Tapi kan masih ada waktu lain. Beasiswa biasanya diberikan selama empat tahun, sesudah itu dialihkan kepada orang lain. Aku bisa mengambil sesudahmu."
"Tapi ini benar-benar tidak masuk akal. Masa' kesempatan begitu bagus kau lempar saja kepadaku....? Biarlah, aku saja yang berangkat sesudahmu."

Syahbudin merasa tidak enak.

"Kalau engkau harus menunggu empat tahun lagi -apalagi aku belum tentu lulus secepat itu- aku khawatir kau sudah keburu jadi morfinis."

Syahbudin tertawa masam.

"Kau harus membicarakannya dulu dengan Nining."
"Yang mendapat tawaran aku 'kan....? Dia tidak bersangkut-paut."
"Omong kosong............! Dia istrimu, dan segala yang menyangkut dirimu bersangkut-paut pula dengan dirinya. Kau pikir kau membina karier hanya untuk kepentingan dirimu...?"
"Keinginan Nining sama persis dengan keinginanku. Apalagi bila hal itu menyangkut kepentinganmu."
"Kita lelaki tak pernah tahu persis bagaimana hati wanita, As. Bicaralah dulu dengannya. Aku tak mau pergi dengan salah seorang mereka kecewa. Jangan sampai semuanya jadi hancur karena aku."
"Baik...................., baik. Kembali soal beasiswa itu. Fulbright-Hays hanya menyediakan biayanya, kita harus cari universitas sendiri. Lagipula jumlah yang diberikan kecil sekali, cuma $950 sebulan. Hanya cukup untuk hidup satu orang...."
"Aku memang cuma mau pergi sendiri," Syahbudin menyela.
"Kalau kau bisa memperoleh beasiswa dari Ford Foundation, lebih baik lagi. Beasiswa Ford Foundation kira-kira tiga kali lipat dari Fulbright-Hays Grant. Sayang aku tak punya kenalan dekat dari Ford Foundation."
"Aku pernah berbincang-bincang dengan ketua yayasan itu di sini, tapi entah dia ingat kepadaku."

Syahbudin berpikir-pikir.

"Seandainya universitas yang kupilih tidak mau menerima aku, bagaimana....?"
"IIE - 'Institue for International Education' akan mencarikan universitas yang mau menerimamu. Tapi kadang-kadang mutunya kurang baik. Jadi sebaiknya kau berusaha keras agar bisa diterima di universitas pilihanmu sendiri. Harvard terkenal baik untuk bidang ilmu-ilmu sosial. Besoklah kita cari informasi yang lebih jelas. Aku juga tidak tahu banyak."

Syahbudin memandang Asmar dengan terharu.

"Aku kepingin menangis memikirkan persahabatanmu," Katanya lirih.

Asmar tersenyum.

"Sebaliknya..., aku kepingin melihatmu tersenyum."

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER