Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 26 April 2022

Keberangkatan #5

Cerita bersambung

Tiga bulan penuh Syahbudin bekerja siang malam untuk mempersiapkan keberangkatannya.
Seperti anjuran Asmar, dia mengajukan lamaran untuk menjadi mahasiswa di Departement of Sociology Harvard University.

Tiga minggu kemudian datang balasan dari Harvad.
Dia ditolak.
Harvard hanya bersedia menerima Syahbudin sebagai 'Special Student', itupun kalau ada seorang profesor Harvard yang bersedia menjadi sponsornya.
Syahbudin menghubungi rekan-rekannya yang pernah belajar di Amerika, menanyakan kemungkinan program Special Student dan profesor yang kira-kira mau menjadi sponsornya.
Program Special Student adalah program non-degree, jadi tidak untuk mendapat gelar apapun.
Tapi hasil yang didapat bisa diperhitungkan bila yang bersangkutan melamar program gelar.
Secara kebetulan Syahbudin bertemu dengan Afid di YIIS, seorang doktor keluaran Harvard yang baru saja pulang ke tanah air.
Dari Afid dia mendapat banyak petunjuk-petunjuk yang berharga.
Profesor Johan Martin Lidbeg mungkin besedia menjadi sponsor Syahbudin.
Segera Syahbudin mengetik surat untuk Prof. Lidbeg, disertai dengan copy artikel-artikel yang pernah ditulisnya, dikirimkan dengan pos kilat.

Jawaban dari Prof. Lidbeg datang cepat dan amat menggembirakan.
Sang profesor tidak keberatan menjadi sponsor Syahbudin, malahan menyuruhnya secepat mungkin datang ke kota Cambridge, sebab sebulan lagi kuliah sudah akan dimulai.

Sejak Mutia tidak ada di rumah, Nyonya Zuhnidar tinggal bersama Syahbudin.
Rumahnya sendiri ditunggui seorang kemenakan yang kebetulan ikut menumpang.
Ibu itu sekarang lebih banyak diam, membiarkan keadaan berjalan seperti yang dikehendaki Syahbudin.
Pada saat-saat Syahbudin berada di rumah, dia berusaha memberikan perhatian sepenuhnya, mengurus keperluan Syahbudin dan menyiapkan segalanya dengan sebaik mungkin.

Ketiadaan Mutia dan anak-anak justru mendatangkan kebaikan bagi Syahbudin.
Dia merasa tenang dan dapat mencurahkan segenap waktu dan pikirannya untuk mempersiapkan diri.
Syahbudin sengaja tidak mengatakan apa-apa pada ibunya.
Dia ingin pamit nanti, pada saat terakhir menjelang keberangkatannya.

Dan ketika sepuluh hari sebelum berangkat Syahbudin minta do'a restu pada ibunya, wanita yang dalam beberapa bulan terakhir kelihatan jauh lebih tua itu terkejut dan kebingungan.
Pengalaman mendatangi Widati menjadi pelajaran yang diingatnya terus, tetapi diapun tidak dapat berdiam diri melihat keadaan rumah tangga anaknya yang tidak berketentuan.
Bagaimanapun Mutia masih istri Syahbudin, dan Astari serta Lusia adalah darah daging yang tak mungkin dipisahkan.
Karena itu pada suatu kesempatan yang dirasanya tepat, dengan hati-hati Nyonya Zuhnidar minta izin pada Syahbudin untuk memberi tahu Mutia akan keberangkatannya.

Beberapa lama Syahbudin berdiam diri, tidak segera menjawab permintaan ibunya.
Lalu dengan datar dia mengambil keputusan.

"Kalau hanya sekedar memberitahu, saya rasa itu terserah pada ibu. Tetapi saya harap ibu mengerti, Mutia menaruh perhatian atau tidak, tidak akan mempengaruhi apa yang akan saya lakukan."
"Ibu tahu............, nak."

Seminggu menjelang keberangkatan, sekali lagi Syahbudin duduk di ruang tamu Asmar dengan wajah bimbang.
Sekali ini Nining ikut menemui sambil memangku anak keduanya yang baru berumur tiga tahun.

"Aku ingin menemui dia sebelum berangkat," Syahbudin minta pertimbangan.

Asmar tidak cepat menjawab.

"Apakah itu tidak hanya akan membuka kembali luka hatinya....?" Akhirnya dia berkata dengan ragu-ragu.
"Aku kira tidak. Kita semua kenal Widati. Kita tahu bagaimana kepribadiannya. Lagipula, tanpa kau kunjungi pun dia toh selalu mengingatmu. Kupikir kau malahan akan mendapat restu dari dia, mas Bud...,"

Nining berpendapat lain.
Asmar mengangguk-angguk.

"Aku sependapat dengan istriku...," Akhirnya dia malahan meninggalkan pendapatnya sendiri.
"Akupun berpikir begitu...," Syahbudin menguatkan.
"Setidak-tidaknya, aku akan berangkat dengan tenang setelah minta diri padanya."
"Kapan kau akan pergi...?" Asmar bertanya.
"Kurasa dua hari ini aku punya waktu yang baik." Asmar mengangguk.
"Sampaikan salam kami padanya, juga untuk anak-anaknya."

Asmar dan Nining mengantar Syahbudin sampai ke pintu halaman.
Dan baru beranjak setelah mobil Syahbudin tidak kelihatan lagi.

"Kalau saja aku menjadi istri Syahbudin, betapa aku ingin mencintai dan membahagiakan hidupnya...," Kata Nining sambil menapaki kerikil di halaman rumah.

Asmar menoleh pada istrinya.

"Rasanya aku cemburu mendengar kata-katamu...," Katanya dengan senyum.
"Ah.......," Nining menoleh pada Asmar dengan cepat, lalu tersenyum melihat senyum Asmar.

Digayutkannya lengannya ke lengan Asmar.

"Betapa bahagianya kita bukan, mas...?"
"Ya, betapa bahagianya kita. Tapi aku tetap merasa prihatin, sebab saudara kita tidak bahagia."
"Mudah-mudahan dia berbahagia setelah berada di lingkungan dan suasana yang baru nanti."
"Kau sungguh tidak kecewa tidak jadi ke Amerika...?"
"Oh, mas.....................! Aku lebih kecewa kalau tidak bisa membantu sahabat kita."

Asmar menatap Nining dengan senyum bangga.
Alangkah tinggi nilai seorang sahabat...!
***

Syahbudin merasa bahagia sekali melihat wajah Widati telah kembali bening.
Dia selalu menemukan telaga tiap kali menatap wajah itu, sekaligus juga api yang mengopak semangatnya.

"Aku ikut gembira mas Bud memperoleh kesempatan begitu bagus. Kalau boleh jujur, aku iri tidak mendapat kesempatan serupa," Kata Widati dengan senyum.

Syahbudin pun tersenyum.

"Hanya belum saatnya saja. Lagipula aku khawatir, kalau kau mendapat kesempatan belajar ke luar negeri, akhirnya orang malah akan takut menyebut namamu karena terlalu banyak gelar yang harus dicantumkan."

Widati tertawa.
Dia tak pernah merasa dirinya pandai.
Hanya sering bernasib baik.
Dia merasa, Tuhan memang cinta padanya.

"Dan jodohku akan semakin jauh terbirit-birit," Sambungnya.
"Aku berharap ada seorang profesor yang cukup muda untukmu," Kata Syahbudin bersungguh-sungguh.

Widati memandang Syahbudin dengan tenang.
Senyum tidak hilang dari wajahnya, tetapi Syahbudin tahu apa yang dikatakannya bukanlah apa yang menjadi pikiran Widati.

"Aku ingin minta restumu, Widati. Bekalilah aku dengan kemuliaan dan kebesaran jiwamu."
Syahbudin memegang kedua belah tangan Widati, menatap dalam-dalam matanya yang bening.

Bulu mata Widati bergerak-gerak.
Matanya merunduk memandangi tangan Syahbudin yang menggenggam tangannya.

"Sampai kapanpun, kemana pun, aku mengantarmu dengan cinta kasihku...., Mas," Bisiknya tanpa mengangkat muka.

Syahbudin mengangkat tangan Widati, menciumnya dengan lembut.
Lalu begitu saja kepalanya sudah berada di pangkuan Widati.
Dulu..., lebih sepuluh tahun lalu, kepala itu selalu jatuh ke pangkuan Widati bila Syahbudin telah tak sanggup lagi mengatasi kemelut perasaannya, bila dia merasa menjadi anak kecil yang butuh perlindungan dan penghiburan.
Sekarang...., pada kematangan usianya yang empat puluh, ternyata Syahbudin belum berubah.

Widati merenungi hitam rambut yang ada di pangkuannya, menyelusupkan jemari-jemarinya dan mengelusnya dengan lembut.
Seperti dulu, sekarang pun dia tahu bahwa saat itu dia bukanlah seorang kekasih yang boleh bermanja, tetapi lebih seorang ibu bagi Syahbudin.
Hanya, dulu dia memerankannya dengan damai.
Sekarang dia hampir-hampir tak sanggup karena hatinya sendiri sudah lebih dulu berkeping-keping.

Perlahan Widati mengangkat bahu Syahbudin, ditegakkannya di depannya.
Mereka berpandangan dalam diam.
Kedua belah tangan Widati berada di bahu Syahbudin, lunak dan hangat.

"Kita tidak boleh menuruti keinginan hati semata-mata, mas. Ada aturan dan larangan-larangan yang harus kita patuhi kalau kita masih ingin dihormati orang lain. Tetapi sekali ini, untuk melepas keberangkatanmu, biarlah kita lupakan dunia dan segala aturan-aturannya," Bisiknya perlahan.

Lalu..., dengan kelembutan yang meruntuhkan hati diciumnya mata Syahbudin, hidung dan bibirnya.
Syahbudin merengkuh bahu Widati, dibenamkannya kedadanya.
Begitu lama dia tak merasa sentuhan selembut itu, sentuhan khas Widati.
Dan sekarang dambanya menderasi segenap detak jantung dan aliran darah di tubuhnya.

"Sesudah ini kita tidak akan bertemu lagi bukan, mas...?" Bisik Widati di bahu Syahbudin.

Antara harapan, dan kesadaran bahwa harapan itu tidak semestinya ada.
Syahbudin memerlukan waktu lama untuk menjawab.

"Sebaiknya kita memang tidak merencanakan pertemuan sesudah ini, Widati. Ini pertemuan kita yang terakhir, kecuali Tuhan mempertemukan kita lagi dalam kesempatan yang tidak kita ketahui."

Syahbudin berhenti untuk meredakan sakit yang menggigit tenggorokannya.
Tapi sakit itu justru bertambah, sebab bahunya basah oleh air mata Widati.

"Seperti kau katakan Widati, kita harus mematuhi aturan-aturan dunia kalau masih ingin dihormati orang. Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi kita untuk bertemu. Tetapi kalau kita menurutkan hati, aku hanya akan menjadi seorang suami yang menyeleweng, dan kau perusak rumah tangga orang. Cinta kita menjadi hina dan tak berharga. Kita tidak menginginkan itu, bukan...?"

Air mata Widati menetes lagi.

"Pertemuan denganmu tak lagi menjadi obsesi bagiku. Sebab engkau bukan lagi hanya berarti sebuah wadag bagiku, yang agar memberikan arti harus ditemui dan disentuh. Kau ada dalam diriku, Widati. Kau sepenuhnya berada dalam jiwaku. Kita tidak bersatu dalam wadag, tapi kita bersatu dalam jiwa, dan itu lebih tinggi."

Syahbudin menjauhkan tubuh Widati, menatapnya dengan sungguh-sungguh.

"Kau harus kawin, Widati.Kau tak boleh hidup begini terus."

Widati menatap Syahbudin dari balik kekaburan air matanya.

"Kawin.......................? Untuk apa, mas.........? Aku sudah bahagia, sudah mantab dengan hidupku sekarang. Aku tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak membutuhkan siapa-siapa lagi. Aku merasa cukup hidup dengan apa yang ada sekarang."

Syahbudin menggeleng.

"Itu karena kau masih muda, masih kuat, tenaga dan pikiranmu masih terpakai dimana-mana. Tetapi orang tidak selamanya muda, Wid. Dan kita tidak tahu apakah Tuhan akan memelihara hidup kita seperti apa yang sekarang. Mungkin kau memang tak butuh seorang suami dalam arti pencari nafkah, sebab kau sendiri sudah kaya. Tapi arti seorang suami tidak cuma itu. Bagaimanapun kuatnya engkau, suatu saat kau akan merasa cape, letih dan mungkin sedih. Kau membutuhkan seorang kawan, yang tak sekadar mendengarkanmu pada pada saat dia sempat, tetapi setiap saat. Bagaimanapun juga, hidup akan menjadi lebih ringan bila dijalani bersama orang lain. Membagi kesedihan dengan seseorang, melipatkan kegembiraan bersama seseorang. Semua itu hanya bisa diberikan secara penuh dengan orang yang hidup bersama-sama kita."

Widati menggeleng lirih.

"Aku mencintaimu, mas Bud. Selamanya akan selalu begitu."
"Cinta tidak harus dibuktikan dengan tidak mau menerima orang lain, Widati. Betapa sempitnya hidup kalau kau memandang cinta secara demikian. Mungkin kau memang sukar mencintai orang lain, tapi kau bisa mempunyai rasa kekawanan dan sayang, dan itu cukup untuk dasar sebuah perkawinan."

Widati diam.
Syahbudin mengulurkan tangannya, mengusap air mata di pipi Widati.

"Aku sedih sekali kalau kau masih seperti ini terus. Aku selalu dikejar-kejar rasa bersalah," Katanya perlahan.

Widati menggelang keras-keras.

"Jangan. Engkau tidak boleh merasa begitu."
"Bagaimana aku tidak akan merasa bersalah kalau kau sendiri bilang, tidak ingin kawin karena masih mencintaiku, sedang kita dulu pernah berjanji akan menikah dan aku menyalahinya...?"

Widati menghela nafas.
Disandarkannya punggungnya ke kursi.

"Kurasa, mas Bud berbahagia dengannya bukan...?"

Syahbudin melingkarkan lengannya ke bahu Widati dengan erat.
Jadi Widati manusia biasa, yang juga bisa merasa sedih dan sakit hati mengetahui bekas kekasih yang pernah amat mencintainya hidup berbahagia dengan wanita lain.
Tetapi lebih baik begitu.
Lebih baik berhadapan dengan manusia biasa, bukan bidadari yang tak pernah bersentuhan dengan kesalahan.
Sebab..., alangkah sukarnya hidup dengan orang yang sempurna....!

"Tak sebahagia dugaanmu, Widati. Tetapi kita harus menerima apa yang ada untuk kita, bukan.....? Dan Tuhan menitipiku anak-anak, yang harus kudidik, kubesarkan dan kucintai. Kuharap kau tidak bepikir salah tentang aku."

Syahbudin merasa tidak ada perlunya menceritakan keadaan rumah tangganya sekarang.
Apalah gunanya.
Hanya akan semakin mengganggu perasaan Widati, mungkin bahkan menumbuhkan keinginan yang bukan-bukan, sedang dia sendiri belum tahu akan akhir hubungannya dengan Mutia.

"Sejak dulu aku mencintaimu, Wid. Benar..., setelah sepuluh tahun tidak mendengar kabarmu, tidak bertemu denganmu, perasaan itu seakan-akan mengendap. Tapi sekarang, perasaanku mekar lagi. Dan memperoleh bentuknya yang hakiki. Aku tak lagi mendambakan dirimu secara fisik, sebab kau sudah ada dalam diriku. Kau nyala jiwaku. Aku hidup di dunia, terikat pada setiap hal dalam lingkunganku, tapi jiwaku terpisah jauh. Jiwaku berada lebih diatas kefanaan dunia ini, di atas setiap wadag kasar manusia. Untuk memiliki jiwa pertapa, orang tidak harus tinggal di pucuk gunung, Widati. Aku hidup ditengah dunia, bahkan di porosnya mungkin, sebab hanya dengan begitulah hidupku bisa bermanfaat bagi orang banyak. Aku merasa memiliki kewajiban umat. Aku tidak mungkin melepaskan diri dari dunia, dan hidup hanya untuk diriku sendiri."

Air mata Widati sudah habis.
Kini dia duduk dengan tenang dan diam.

"Sejak dulu kau tersulam dalam perjalanan hidupku, Widati.

Dari seorang pemuda ingusan, kau menjadikan aku seoran lelaki yang tahu dan mengerti hidup. Sekarangpun demikian," Kata Syahbudin perlahan.
"Aku ingin sepertimu...,"

Widati memandang lelaki di sampingnya dengan lembut.

"Sebab itu kau harus menikah, Widati. Orang tak mungkin mencapai hakiki hidup sebelum dia menjalani semua jenjang kehidupan."

Syahbudin mengambil tangan Widati, digenggamnya erat-erat.

"Kau mau berjanji, akan menerima orang yang sesuai dengan dirimu, yang mempunyai rasa kekawanan di hatimu...?"

Perlahan sekali kepala Widati terangguk.

"Kalau orang itu ada....," Bisiknya.

Syahbudin tersenyum, mengeratkan lingkaran lengannya di bahu Widati.

"Kalau aku pergi nanti, aku tidak ingin melihat air matamu lagi. Kau harus membekali aku dengan senyum, dengan kedamaian. Ya.............................?"
"Sebenarnya aku pun tidak kepingin menangis tadi. Air mataku keluar begitu saja. Yah..., kadang-kadang tubuh tidak mau menuruti kemauan kita bukan....? Kita lapar, padahal kita sudah melarang perut kita agar jangan lapar. Mas Bud harus percaya, sekalipun air mataku mengalir, aku tak pernah kehilangan semangat untuk hidup dengan sukses, untuk bekerja dan berbuat sebaik-baiknya."
"Itulah engkau. Walau air mata bercucuran, kau tetap mengangkat muka dan maju. Dan apa yang tidak bisa kau kalahkan, Widati....?"
"Banyak. Cinta. Takdir."
"Jangan bicara soal cinta dan takdir, itu wewenang Yang Di Atas sana."

Widati tersenyum, tetapi Syahbudin melihat benda cemerlang di dalam kepala itu memikirkan sesuatu yang lain.

"Hanya yang masih kupikirkan, mas Bud, tidak mungkinkah kita bertemu di waktu-waktu yang akan datang sebagai sesama pengamat masyarakat, sebagai sesama pecinta ilmu dan kebudayaan...? Bukan sebagai sepasang kekasih gelap yang melupakan norma-norma. Kupikir, sesudah ini kita mampu menjadi manusia dewasa yang bisa mengendalikan diri dan tingkah laku kita. Keributan yang terjadi ini adalah karena keterkejutan kita bertemu kembali, karena emosi cinta yang tak terbendung. Tapi nanti, sesudah kita tenang kembali, kurasa kita dapat menempati posisi kita dengan lebih baik. Aku yakin kita cukup dewasa, cukup terpelajar untuk menjaga diri kita masing-masing."

Syahbudin menghadapkan wajahnya lurus kepada Widati, mengamati bibir mungil itu meluncurkan setiap kata-katanya dengan yakin dan mantap.

"Kita selalu berbeda pendapat, tetapi betapa lengkapnya bila kedua pendapat itu dikumpulkan. Engkau benar sekali, Wid. Alangkah naifnya kalau hubungan antar manusia harus diputuskan hanya karena kita takut tidak bisa menguasai diri."

Syahbudin melamun. Kalau saja.... kalau saja kita bisa hidup bersama-sama, Widati, alangkah... serasinya....

"Tidak terbayangkan olehku, bahwa kita tidak akan bertemu lagi. Rasanya seperti... dijebloskan ke ruang bawah tanah tanpa sinar matahari... selama-lamanya..." Widati berbisik.

Syahbudin meraih kepala Widati, dibenamkannya ke dadanya dengan haru.
 
"Untuk terakhir kalinya Wid, untuk terakhir kalinya. Sesudah ini mungkin kita masih akan bertemu lagi, tapi tidak dengan sebuah pelukan. Mungkin di sebuah seminar lagi, atau pertemuan ilmiah entah apa atau kapan."

Syahbudin mencegah Widati mengantarnya sampai ke pintu halaman.
Dipegangnya bahu Widati di ujung tangga teras depan rumah.

"Aku ingin melihatmu di sini, dalam lindungan rumahmu yang damai, bukan dalam terik matahari," Katanya perlahan.

Dan Syahbudin melintasi halaman sendiri.
Di luar pintu pagar, di samping mobil sedan hitam yang selalu menemaninya ke mana-mana, sekali lagi ditolehnya Widati.
Suatu gerak bibir yang menyerupai senyum menggantikan segala ucapan selamat tinggal yang seharusnya disampaikan.
Widati menatapnya dengan tenang dan damai.
Syahbudin membuka pintu mobil, masuk dan pergi dengan perlahan.
Masih beberapa saat Widati berdiri merenung di tempatnya.

Dan ketika akhirnya masuk rumah kembali, pandangannya tertumbuk pada Tiwi yang berdiri di ambang pintu antara kamar tamu dan kamar tengah.
Mereka berpandangan, dan Widati tersenyum.
Tiwi menghambur, memeluknya erat-erat.

"Aku bahagia sekali mbak Wid tersenyum....!" Katanya parau.

Widati membalas pelukan Tiwi.

"Kita harus tetap mengangkat muka dan maju Wi, betapapun dengan air mata bercucuran."

Tiwi tak tahu apa makna kalimat Widati, dan dia tidak merasa perlu tahu.

Pokoknya Widati tak lagi pucat dan menangis.

==========

Ketika melangkah masuk ke rumahnya kembali, Syahbudin menjumpai suasana rumahnya jauh berbeda dengan sewaktu dia pergi.
Di dekat pintu masuk ditemukannya boneka panda besar milik Lusia, dan kamar mandi terdengar suara Astari bernyanyi 'si Heli'.
Mutia berdiri di ambang pintu kamar tidur, setelah tergesa-gesa merapikan diri mendengar suara mobil Syahbudin memasuki garasi.
Sejenak mereka berpandangan.
Lalu dengan halus Mutia mengambil traveling-bag di tangan Syahbudin, membawanya ke kamar.

"Baik-baik, mas.............?" Tanyanya tanpa menyinggung dari mana Syahbudin pergi.

Syahbudin mengikuti dengan langkah perlahan.

"Baik. Aku sungguh merasa terhormat kau kunjungi," Sahutnya.

Mutia memandang Syahbudin dengan sedih.

"Bukankah rumah ini rumahku juga, mas....? Aku bukan berkunjung. Aku pulang ke rumahku sendiri. Dan anak-anak... mereka adalah milik kita yang paling berharga."
"Kurasa kau tidak berpendapat begitu tiga bulan yang lalu," Sahut Syahbudin dengan datar.

Mutia melayangkan pandangannya keluar jendela.
Anggrek Cattleya yang bergantungan di tembok tampak kabur oleh air matanya.

"Tidak bolehkah seseorang suatu kali melakukan kekeliruan dalam hidupnya, Mas....?" Katanya tanpa menoleh kepada Syahbudin.

Syahbudin menghela nafas.
Dia tidak tahu apakah perkawinan mereka masih bisa dipertahankan setelah begitu banyak yang terjadi.
Dan hatinya sudah menjadi demikian senyap terhadap wanita yang sekarang berdiri di depannya.
Tetapi dia dan Widati telah menemukan suatu bentuk cinta yang abadi.
Cinta yang tidak harus diwujudkan dalam kebersamaan lahiriah.
Dan Astari, Lusia, adalah darah daging yang tak mungkin dikorbankan hanya untuk menuruti perasaan pribadi seorang ayah. Dan seorang ibu kandung, seorang istri....

"Aku berterimakasih kau masih bersedia tinggal di rumah ini. Tapi beberapa hari lagi aku akan pergi untuk waktu yang cukup lama,"

Akhirnya Syahbudin memilih yang terbaik.

"Ibu sudah menceritakan semuanya. Aku..., dengan Astari dan Lusia akan menunggu. Sampai kapan pun Mas pulang."

Syahbudin memandang dengan perasaan aneh.
Haru yang berbaur dengan kasihan.
Bagaimanapun juga, orang-orang ini adalah istrinya, anak-anaknya.
Keluarganya.
Kesunyian dikoyak oleh pekikan Lusia yang menubruk pintu kamar hingga terbuka lebar.

"Papa pulang..................! Hore, papa pulang.........!"

Lusia melonjak-lonjak, bergayut di kaki Syahbudin.
Astari menyusul, memeluk lengan ayahnya.
Syahbudin membungkuk, mengangkat tubuh Lusia tinggi-tinggi.

"Hm...., Lus banyak makan ya. Perutnya gendut nih."

Syahbudin mencubit perut Lusia, dan Lusia tertawa-tawa kegelian.
Dengan sebelah tangan yang lain Syahbudin merangkul dan mengacau rambut Astari.

"Lama sekali papa tidak minum kopi buatan anak gadis papa," Katanya sambil tersenyum kepada Astari yang tunduk kemalu-maluan.
"Papa dari mana sih......? Tidak membawa oleh-oleh buat kita, pa...?" Astari memandang ayahnya dengan mata bulat.

Seperti biasa, Astari selalu berbicara dengan lembut dan perlahan.

"Papa dari tugas, sayang.Tidak tahu kalian sudah datang, jadi tidak bawa oleh-oleh. Nanti sore kita cari oleh-oleh, mau...?"
"Hore, kita jalan-jalan. Beli es juss ya pa, ya....? Mbak Tari mau ess juss....?" Lusia berteriak-teriak.
"Mau." Sahut Astari dengan sopan.
"Mbak Tari adpokat, Lus nanas, nanti kita tukaran, ya....?"

Syahbudin tersenyum.

"Baik............., baik.Masing-masing dua gelas juga boleh, asal habis. Sekarang main dulu, papa belum mandi."

Lusia turun dari lengan ayahnya, dan dengan berlari-lari pergi keluar.
Astari mengikuti dengan lebih perlahan.
Mutia mengambil kaos dan celana pendek, mengulurkannya pada Syahbudin.

"Ini buat ganti......, mas. Handuknya di luar, barusan aku cuci."
"Terima kasih."

Syahbudin menerima pakaiannya dan pergi keluar.
Mutia mengawasi semuanya berlalu dari kamar.
Lalu dengan berdiam diri dirapikannya botol-botol make-up, tirai jendela dan bantal-bantal.
***

Suasana di airport begitu riuh dan sibuk.
Para penumpang berkumpul dengan sanak saudara dan handai taulan yang mengantar.
Bergurau, menyampaikan pesan-pesan, menitip salam.
Sekelompok yang lain berkumpul dengan diam, mata sembab oleh air mata dan wajah memancarkan keberatan hati menghadapi perpisahan.
Setiap orang menjalani upacara perpisahannya dengan cara sendiri-sendiri.
Tangis sedih, tawa bahagia, haru, harapan, semua simpang siur mengawang di atas hati setiap orang.

Di sebuah sudut, Syahbudin berkumpul dengan para pengantarnya.
Mutia tampak pucat walau berusaha untuk selalu tersenyum, Nyonya Zuhnidar berbicara ramah kepada setiap orang, Astari, Lusia, Asmar, Nining dan beberapa rekan dari fakultas.
Syahbudin akan ke Jakarta dulu untuk menyelesaikan beberapa urusan, baru kemudian terbang ke Cambridge.

"Papa di sana ngomongnya pakai bahasa Inggris, pa....?" Astari menatap ayahnya dengan penuh perhatian.
"Iya dong. Masa pakai bahasa jawa....?" Syahbudin tersenyum.
"Tari musti rajin belajar bahasa Inggris ya, biar bisa nyaingi papa."
"Ya.........................., pa," Angguk Tari dengan sopan.
"Lus mau juga.............?" Syahbudin menoleh kepada Lusia.
"Mau..., pa....................!" Seru Lusia dengan senang.
"Nah.................., bagus. Anak papa harus rajin-rajin."

Syahbudin menarik Astari dan Lusia masing-masing dengan lengan kanan dan kirinya.

"Jeng Mutia dan anak-anak toh akan menyusul nanti....?" Pak Syarif -senior Syahbudin di fakultas- nyeletuk.
"Dari pengalaman teman-teman, untuk program doktor biasanya baru selesai dalam waktu lima - enam tahun. Bukan waktu yang sebentar lho. Apalagi di negeri orang, kita sering lebih merasa kesepian tanpa keluarga."

Syahbudin berpandangan dengan Asmar.
Nining sibuk membujuk anaknya yang tidak apa-apa.
Mutia menunduk, berdiam diri.
Menyusul suami ke Amerika...?
Oh, tak perlu ditawari dua kali....!
Masalahnya, apakah Syahbudin senang disusul anak beranak...?
Setelah baru saja perkawinan mereka diancam perceraian...?

"Belum dapat dipastikan sekarang Pak...," Akhirnya Syahbudin menjawab.
"Beasiswa dari Fulbright-Hays hanya untuk saya sendiri. Dan saya mendapat nasehat dari teman-teman yang pernah belajar di Harvard, sebaiknya jangan bekerja sambil kuliah kalau mau lulus cepat."

Pak Syarif mengangguk-angguk.
Dan Syahbudin dengan lega segera mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lain.
Di ujung kursi, Mutia merasa hatinya disiram es.
Beasiswa hanya untuk satu orang ...
Jangan kerja kalau mau selesai cepat ...
Itu hanya kalimat halus untuk menyatakan ketidakinginan Syahbudin mengajak keluarganya.
Dari pengeras suara terdengar panggilan untuk penumpang DC-9 yang akan menuju Jakarta.
Syahbudin menyalami semua pengantarnya, pamit dan minta doa restu.

Ketika tiba giliran Asmar, lama keduanya saling berpandangan dan menggenggam tangan erat-erat.
Asmar tersenyum, menepuk-nepuk bahu Syahbudin tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Nining tersenyum memandang keduanya, mengejap-ngejapkan mata yang terasa panas.

"Engkau lebih dari seorang saudaraku," bisik Syahbudin dengan serak.
"Cepatlah pulang. Aku juga mau cari gelar Ph.D," Sahut Asmar senyum.

Berpamitan pada Mutia menjadi saat yang paling sukar bagi Syahbudin.
Dia sadar harus memperlihatkan kesan baik kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, tetapi alangkah sukarnya mengatakan sesuatu yang akrab.
Akhirnya, dengan menyingkirkan segala perasaan, Syahbudin merangkulkan lengannya ke bahu Mutia.
Mutia tersenyum dengan manis, tetapi bukannya dia tidak tahu, pelukan Syahbudin hanyalah karena di sekitar mereka banyak orang, dan sungguh aneh berpisah sekian tahun dengan istri tanpa suatu pelukan pun.
Syahbudin mencium tangan ibunya, memeluk Astari dan Lusia, dan melambai pada semua orang yang mengantarnya.

Ketika pesawat mulai menderu di runway,
Mutia mengenakan kacamata gelapnya.
Sambil memeluk Astari dan Lusia dipandangnya burung baja itu terbang sampai tak terlihat lagi oleh mata.
Lalu perlahan-lahan diajaknya mertua dan kedua anaknya pulang.
Di dalam mobil yang disopiri Pak Amat, Mutia membuka kacamata gelapnya.
Diusapnya matanya dengan sapu tangan.
Nyonya Zuhnidar memandangnya dengan sedih.

"Mudah-mudahan tidak sampai tujuh tahun, Tia," Dia mencoba menghibur.
"Bukan itu yang saya tangisi, Bu. Saya menangisi perkawinan ini. Ibarat piring, perkawinan kami sudah retak. Mungkin bisa direkatkan kembali, tetapi tidak akan pulih seperti sedia kala.
Saya tidak tahu apakah mas Syahbudin akan kembali kepada saya dengan hatinya yang utuh. Saya juga tahu apakah saya bisa berbahagia seperti dulu, seandainya pun dia kembali."
"Waktu akan merubah segalanya, Tia. Tidak ada orang yang berhenti pada suatu titik waktu selamanya. Waktu akan menyembuhkan engkau dan Syahbudin."

Mutia mengangguk.

"Saya mencoba mengerti krisis yang baru saja dialaminya, Bu. Walau sebagai istri, itu terasa pahit sekali."
"Kebijaksanaan memang mahal, Tia. Tetapi hanya seorang wanita yang bijaksanalah yang bisa memiliki cinta suaminya."
"Hanya saya merasa sedih, mengapa wanita saja yang harus selalu mengerti....? Mengapa dia tidak mencoba mengerti perasaan saya karena perbuatannya...? Seolah-olah keutuhan perkawinan hanya menjadi tanggung jawab saya saja, dia boleh berbuat semaunya tanpa peduli apakah itu menghancurkan hati saya atau tidak. Ibu.... adakah seorang istri yang tidak marah atau sedih bila mengalami hal seperti saya.....?"
"Tidak ada seorang pun dari kita yang tidak hancur oleh kejadian ini, Tia. Aku, engkau, Syahbudin, bahkan Widati sendiri."
"Dan rupanya Widatilah yang akan mengantar mas Syahbudin dari Bandara Soekarno-Hatta nanti, dari tanah air yang terakhir dipijaknya."
"Jangan berpikir yang buruk-buruk, Tia. Pikirkanlah segala hal yang menyenangkan, agar hatimu pun menjadi lebih enak."

Mutia tidak menjawab.
Dipeluknya Lusia yang sudah tertidur di atas pangkuannya.
Langit mulai menyilaukan oleh matahari menjelang siang.
Di bawah langit yang sama, di atas bumi yang sama, beberapa hati manusia saling berbicara dengan dirinya sendiri.

Di dalam sebuah pesawat terbang, di dalam sebuah mobil dan pada sebuah rumah di Jakarta.
Semuanya tentang satu hal yang sama: cinta anak manusia.

--- Tamat ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER