Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 24 Mei 2022

Jalan Jodoh Sang Dokter #6

Cerita bersambung
Jilid #5
 
Malam mulai menjelang.
Fira rebahan di kasurnya yang nyaman.
Mencoba tidur sejenak menghilangkan penat sambil menunggu ayahnya pulang praktik sore.
Tapi sia-sia saja.
Ia berusaha keras memejamkan mata, tapi pikirannya yang menerawang ke mana-mana membuatnya sama sekali tidak bisa tidur.
Akhirnya ia menyerah.
Diambilnya ponsel di meja.
Ia mulai mengetik pesan.

'Assalamu'alaykum .... Mas Raffi, Fira bisa minta waktu ketemu kah...? Dua hari lagi, tolong Mas Raffi ke Jogja, ya....! Ada yang mau Fira omongin. Penting banget. Soal masa depan.'
Tak terasa air mata Fira menetes saat menulis pesan tersebut.
Benar-benar tak disangka, sebentar lagi masa depan hubungannya dengan Raffi akan segera ditentukan.
Sepuluh tahun perjalanan kebersamaan mereka akan segera menemui jawaban.
Dan Fira masih belum sepenuhnya mengikhlaskan takdirnya jika memang tidak bisa bersama dengan Raffi.

Tiin.....! Tiin.......!
Bunyi klakson mobil mengejutkan Fira.
Pertanda kedatangan bapaknya yang pulang dari praktik sore.
Fira segera beranjak keluar kamar.
Menyiapkan diri untuk membicarakan pilihan jodohnya.
Bukankah ini tujuan utamanya pulang ke Sragen.

"Assalamu'alaykum ...."
Dokter Kusuma memberi salam saat masuk rumah.

Anak istrinya serempak menjawab salam dan masing-masing mencium tangan imam keluarga itu.

"Kamu pulang, Ndhuk...? Sebentar ya..., Bapak mandi dan bersih-bersih dulu. Kontak banyak pasien tadi, risiko infeksi", Ucap dokter Kusuma sebelum berjalan ke arah kamar mandi setelah sebelumnnya menerima uluran baju bersih dan handuk dari istrinya.
Beliau jelas paham apa tujuan Fira pulang mendadak.

Fira menyuguhkan secangkir teh tawar hangat kepada ayahnya.
Itu minuman favorit beliau, mengingat penyakit diabetes mellitus yang dideritanya mengharuskan membatasai dengan ketat konsumsi gula.

"Ini unjukane, Pak......", Fira menyodorkan cangkir teh itu pada ayahnya.
"Ya...., Ndhuk. Maturnuwun ya......!"
Dokter Kusuma sejenak terdiam.
Matanya tidak lepas dari wajah putri tunggalnya itu.
Tak dirasa putri kecil kesayangannya saat ini telah tumbuh dewasa.
Bahkan mungkin sebentar lagi ia akan melepaskan tanggung jawab akan putrinya itu pada lelaki yang akan menjadi suami Fira.

"Ada yang mau diomongin sama Bapak dan Ibu yo...? Sampai kamu pulang ndadak nggak ngabari dulu ..?"
Meluncur juga kalimat tanya dari bibir lelaki kharismatik itu.
Meski ia jelas tahu apa yang akan dibicarakan putrinya.

"Nggih, Pak ... Bu ... Ini soal Mas Raffi dan Mas Fajar. Mengingat Fira sudah menyelesaikan pendidikan Fira dan sebentar lagi UKDI dan sumpah dokter, berarti syarat dari Bapak dan Ibu agar sebelum mempertimbangkan pernikahan, Fira harus selesai pendidikan dokter sudah terlaksana ...",
Fira berhenti berkata.
Kalimatnya menggantung.
Ada keraguan besar dari dalam hati untuk melanjutkan kalimatnya.

"Iya, Ndhuk. Kenapa diem..............? Ayo lanjutin omongannya",
Dokter Kusuma berkata sambil menyesap sedikit tehnya yang masih mengepulkan asap.

"Ada dua orang lelaki yang menyampaikan maksud untuk meminta Fira menjadi teman hidupnya. Satunya Bapak dan Ibu pasti sudah kenal, Fira sudah berteman dekat dengan Mas Raffi hampir sepuluh tahun ini. Bapak bahkan sudah lama membicarakan soal ini dengan Mas Raffi sejak Fira lulus S.Ked.
Dan Bapak Ibu juga paham tentang semua syarat yang Mas Raffi ajukan.."
"Nggak..........! Ibu nggak setuju kamu nerima Nak Raffi, Ndhuk. Percuma kamu disekolahin tinggi-tinggi jadi dokter dan susah-suah belajar kalau akhirnya harus jadi ibu rumah tangga ...", Bu Rindi memotong kalimat Fira.
"Sssttt........! Jangan emosi, Bu.....! Biarlah Fira menyelesaikan bicaranya dulu ...!" Dokter Kusuma menasihati istrinya.
"Nggak apa-apa, Pak...! Fira paham kok kenapa ibu emosi. Dan paham juga kenapa Bapak dan Ibu nggak sepenuhnya merestui Mas Raffi. Karena kalau restu itu sudah diberikan, mungkin saat ini Fira sudah jadi istri Mas Raffi ...",
Fira berkata sambil sesekali tangannya mengusap butiran bening yang mengalir di pipinya.

"Lalu ada Mas Fajar. Bapak dan Ibu juga pasti paham. Mas Fajar mantan suami almarhumah Ifah.
Dan Fira juga sudah pernah cerita soal wasiat almarhumah. Fira pernah membicarakan soal rencana masa depan dengan Mas Fajar, dan dia tidak masalah andaikan Fira tetap bekerja dan lanjut ambil spesialis. Asalkan bukan yang terkait emergency, misalnya rehab medis, patologi klinik, atau patologi anatomi. Mengingat Mas Fajar ambil orthopedi dan nanti bakal jadi konsultan spine yang tentu saja sangat sibuk.
Soal Naysilla, Fira sama sekali nggak keberatan untuk menjadi ibu sambungnya. Toh selama ini juga Fira sering mengasuh Naysilla di perinatologi.." Fira berkata di tengah isak tangis yang sebisa mungkin ditahannya.

"Ibu juga ndak setuju, Pak....! Fira anak kita satu-satunya. Dia gadis yang sangat cantik, terpelajar, pintar, dan agamanya bagus. Apa Bapak nggak malu anak kita nikah sama duda beranak satu...? Apa kata orang nanti, putri tunggal dokter Kusuma nikah sama duda. Dikira nggak laku ..."
Emosi Bu Rindi hampir meledak, tangis pun sudah tumpah sejak tadi

Fira hanya terdiam mendengar ibunya sedikit histeris.
Ia paham benar perasaan ibunya.
Sebenarnya jika menolak keduanya pun, kemungkinan besar akan ada lelaki lain yang datang kepadanya.
Tapi ada satu hal yang tak sanggup Fira ungkapkan di hadapan orang tuanya, bahwa sebenarnya jauh di lubuk hati terdalamnya ia sudah menjatuhkan pilihan.
Dan sekarang ia hanya ingin memastikan bahwa pilihan hatinya tidak salah.
Juga memastikan bahwa orangtuanya merestui pilihannya.

"Astaghfirullah ... Ibu kok ngomongnya gitu....! Kasihan Fira, Bu. Dia jadi tambah bimbang kalau denger omongan Ibu", Dokter Kusuma memperingatkan istrinya.

Pandangan dokter Kusuma beralih ke Fira.
Guncangan keras di bahu putrinya menunjukkan bahwa gadis itu juga sedang menangis demi meluapkan perasaannya.

"Ndhuk........! Sekarang dengarkan Bapak, ya...! Prinsipnya dalam suatu pernikahan itu, suami pemimpinnya. Suami wajib membimbing istrinya ke arah yang benar sesuai syariat. Suami juga wajib memberi nafkah baik lahir dan batin. Ingat mencari nafkah itu tanggung jawab suami, istri tidak wajib mencari nafkah. Jika istri bekerja pun harus seizin suaminya. Ada beberapa pekerjaan yang disunnahkan untuk muslimah, salah satunya dokter. Tapi tetap prinsipnya harus seizin suami. Dan tentang omongan orang yang bilang kalau istri nggak kerja, nggak ada pemasukan. Terus nanti kalau suaminya selingkuh atau bahkan meninggal siapa yang nafkahin. Itu omongan orang yang nggak percaya dengan rezeki Alloh ...."
"Pak........! Bapak kok ngomong gitu, sih....?! Bapak rela Fira yang kita didik susah payah dari kecil itu cuma jadi ibu rumah tangga...?" Bu Rindi kembali memotong pembicaraan suaminya.
"Rin.........! Kalau aku lagi ngomong, mbok kamu diem dulu...!" Ucapan dokter Kusuma tegas tapi tanpa nada amarah.

Bu Rindi akur dengan perkataan suaminya.
Jika sang suami sudah menyebut namanya, pertanda kesabaran beliau hampir habis.
Dokter Kusuma kembali menatap Fira.
Ia lanjutkan kalimat yang sempat diinterupsi Bu Rindi,

"Rezeki Alloh itu dianugerahkan adil pada setiap makhluk. Tak perlu khawatir kalau kekurangan. Dan soal selingkuh, bisa diminimalisir dengan memilih laki-laki yang baik akhlaknya sebelum menikah. Dan kewajiban istri yang utama itu berbakti pada suaminya, tidak boleh durhaka dan membangkang perintah suami asalkan tidak melanggar syariah. Paham, Fira....?"
"Nggih, Pak......!" Jawab Fira, masih dengan kepala tertunduk.
"Mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya itu bukan kewajiban mutlak istri. Justru kewajiban suami lah memastikan istri dan anak yang dalam tanggungannya hidup sejahtera. Hanya saja rumah tangga itu seperti sebuah tim. Yah ... anggap saja tim bulutangkis ganda. Nggak mungkin semuanya merangsek maju ke depan, pertahanan belakang bisa bobol diserang lawan. Begitu juga rumah tangga. Nggak mungkin sepasang suami istri mengejar karier bersama-sama. Tetap ada salah satu yang lebih fokus mengurus keluarga. Seperti ibumu, dulu dia dapat beasiswa spesialis orthodonti, tapi bapak melarang. Karena bapak jelas akan sibuk praktik sore dan visite malam. Toh ibumu juga masih bisa berkarier sebagai PNS di Dinas Kesehatan."

Dokter Kusuma terdiam sejenak.
Diambilnya cangkir tehnya dan kembali menyesap isinya.
Ia memandang ke arah putrinya yang masih menundukkan wajah.
Bedanya kali ini bahunya tidak berguncang karena tangisan.

"Dan jika kamu memilih nak Fajar, Bapak nggak keberatan kamu menikah dengan duda. Bagaimanapun dia lelaki yang shalih, insya Alloh. Dan perceraian dengan istrinya juga karena maut yang ditakdirkan Alloh. Bapak juga nggak keberatan kamu tidak jadi ambil spesialis penyakit dalam seperti bapak. Kalau mau ambil Rehab Medik, PK, atau PA ya monggo saja, toh nak Fajar sudah setuju untuk mengizinkanmu PPDS sepanjang tidak menguras waktumu. Bapak yakin nak Fajar pria yang bertanggung jawab dan jelas mampu menafkahimu lahir batin."

Dokter Kusuma menarik nafas beberapa kali.
Ada desakan berat di dadanya saat akan mengucapkan kalimatnya.
Dengan mengatur emosinya beliau berkata lagi,
 
"Atau jika memang kamu sangat mantep sama nak Raffi. Mengingat sepuluh tahun kebersamaan kalian.
Bapak dan ibu bisa apa, selain merestui kalian. Karena pernikahan tidak akan jadi ladang ibadah jika diawali dengan berbuat dosa, mengabaikan restu orang tua. Dia lelaki yang baik, pekerja keras, dan pantang menyerah. Tambahan lagi dia sangat mencintaimu, hingga berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan dirinya layak bersanding denganmu. Tapi yang harus kamu ingat, Fira. Jika kamu memilih nak Raffi, kamu harus siap dengan semua konsekuensinya. Syarat yang nak Raffi ajukan jelas tidak ringan buatmu.."
"Jadi.. Bapak merestui Fira dan Mas Raffi...?"
Fira langsung berbinar bahagia mendengar penuturan bapaknya barusan.
Restu yang diminta sejak bertahun-tahun lalu akhirnya terlontar keluar dari bibir ayahnya.

"Iya.. Jika memang kamu mantep sepenuhnya untuk membina rumah tangga dengannya. Setidaknya agar pertimbanganmu setara. Seandainya kamu menolak nak Raffi, bukan karena terhalang restu dari Bapak dan Ibu. Tapi karena sebab lain. Lagipula memang kamu yang harus memutuskan pilihanmu sendiri. Karena kamu yang nantinya akan menjalani rumah tangga, bukan Bapak dan Ibu."

Fira sedikit lega mendengar penuturan bapaknya.
Setidaknya tidak ada ganjalan lagi tentang restu untuk Raffi.
Tapi ada sedikit rasa aneh di benak Fira.
Ia paham tentang retorika ayahnya.
Beliau seringkali tidak menunjukkan langsung kecenderungannya, hanya mengungkapkan dengan sindiran atau diksi yang terarah.
Dan maksud perkataan ayahnya tadi sangat terang bagi Fira.
Yah.. Dia tahu siapa lelaki yang lebih disukai ayahnya untuk jadi menantu.

==========
 
"Sudah ya, Ndhuk........! Sudah paham to maksud Bapak....? Pilihan ada padamu. Istikhoroh lah...............! Minta petunjuk sama Gusti Alloh. Percaya saja................! Kersane Gusti Alloh pasti yang terbaik. Meskipun awalnya mungkin terasa berat, tapi nanti kamu pasti akan paham. Semua ada hikmahnya. Bapak dan ibu cuma bisa merestui semua keputusanmu", Ucap dokter Kusuma sambil menepuk-nepuk bahu putrinya.
"Nggih.............., Pak. Fira ke kamar dulu. Besok masih harus ke Jogja, menyelesaikan semua yang harus diselesaikan. Lagipula Fira janji sama mas Fajar untuk memberi jawaban maksimal dua hari dari sekarang. Dan jika Fira menerima mas Fajar, maka sebelum menberi jawaban padanya, tentu Fira juga harus menyelesaikan urusan dengan mas Raffi ...."
Fira setengah berbisik.

Dokter Kusuma menghela nafas panjang.
Ia kembali menatap putrinya.
Sebuah pertanyaan kembali beliau lontarkan,
"Kamu udah ada bayangan po ..? Siapa kira-kira pilihanmu, Ndhuk...?"

Fira sontak mendongak ke arah ayahnya.
Menatap tajam mata lelaki yang sangat disayanginya itu.
Mencoba menerka isi hati beliau.
Dan berharap terkaannya tepat sehingga pilihan yang diambilnya nanti bisa melegakan ayahnya.

"Belum sepenuhnya yakin, Pak. Tapi Fira berusaha memahami nasihat Bapak. Dan Fira berharap pilihan yang Fira ambil sesuai harapan Bapak dan Ibu."

Bu Rindi hanya diam saja mendengar perkataan Fira.
Sejujurnya ia lebih suka Fira tidak memilih Fajar atau Raffi.
Tapi apa boleh buat jika suami dan putrinya itu punya pendapat sendiri.
Lain halnya dengan dokter Kusuma.
Ia tersenyum simpul mendengar ucapan Fira.
Pertanda Fira memahami maksud tersiratnya.
●●●

Fira menghantamkan badannya ke arah springbed di kamarnya.
Wejangan dari bapaknya tadi jelas mengganggu pikirannya.
Teranglah maksud bapaknya, jika lebih mengharapkan Fajar Hanafi menjadi menantunya.
Fira mendadak teringat sesuatu, segera diraihnya ponsel di atas mejanya.
Berharap membaca balasan dari Raffi.
Tapi justru tertera sepuluh panggilan tak terjawab dari Raffi.
Fira pun segera memencet layar ponselnya menghubungi Raffi.

"Halo .........,Assalamu'alaykum, Sayang ..? Ada yang penting banget po...? Kok Mas disuruh ke Jogja",
Jawab Raffi di ujung sana.
Pria itu jelas tahu maksud Fira.
Tapi ia tidak mau mendahului.

"Iya, Mas .... Mas Raffi nggak sibuk banget to..? Please ya ke Jogja", Kata Fira sambil sekuat mungkin mengendalikan dirinya.
Ia tidak mau Raffi mendengar isakannya.

"Ada apa to, Sayang....? Nggak bisa diomongin lewat telepon aja...? Maaf......! Mas beneran sibuk banget ngurusi cabang yang di Karawang. Jadi nggak bisa ke Jogja", Raffi jelas berbohong.
Faktanya saat ini ia berada di Jogja.
Hanya saja Raffi enggan menemui Fira.
Ia jelas tahu apa yang akan dibicarakan Fira.
Dan ia tidak mau tampak lemah di hadapan Fira.

"Please, Mas .... Fira mau ketemu ...." Isakan Fira mulai terdengar.

Raffi menahan getir di dadanya mendengar suara tangis di seberang sana.
Terang baginya siapa yang akan dipilih Fira.
Dengan berat hati ia berkata, "Soal pernikahan wasiat itu kah, Fira..?"

Fira terperanjat mendengar pertanyaan Raffi.
Sangkaannya Raffi tidak tahu karena memang ia tidak pernah memberitahu kekasihnya itu.

"Mas..........? Mas tahu dari mana soal ini.....? Mas Fajar yang memberitahu Mas...? Jawab, Mas..............!",
Tangis Fira meledak.
Tak perlu ia tutupi lagi kesedihannya.

"Bukan .... Bukan Fajar .... Tapi bapakmu, Fir.....! Yah................! Pak Kusuma menceritakan soal pernikahan wasiat itu. Juga kondisi anak Fajar yang tuna netra .... Sekaligus menanyakan padaku tentang syarat yang kuajukan padamu dulu. Apakah dengan kondisi ini aku akan melunakkan hatiku ...." Raffi berkata sedikit terputus-putus.
Ia pun berusaha kuat mengendalikan dirinya.

"Lalu.........? Apa jawaban Mas....? Itu juga yang ingin Fira tanyakan, Mas", Sahut Fira pelan.

Raffi terdiam agak lama.
Ingin rasanya ia mengatakan bahwa cintanya tulus tanpa syarat apapun.
Tapi sebuah pernikahan bukankah harus dilandasi dengan komitmen dan rencana masa depan yang jelas.

"Fira sayang .... Mas sangat mencintaimu .... Tapi, maafkan Mas ya, Sayang...!"
Raffi terbata-bata dalam tangisan lelakinya.
Tak sanggup lagi ia pendam kepedihan rasanya.

"Mmmaakksud Mas Raffi....?" Air mata Fira sudah deras mengalir saat menanyakan ini.

Raffi kembali menghela nafas beberapa kali.
Ia memaksa melanjutkan kalimatnya,
"Maafkan Mas, Sayang .... Mas tidak bisa melunakkan syarat untukmu. Sudah beberapa kali kuutarakan penyebabnya. Maafkan Mas juga, Mas tidak sanggup menjadi imammu jika syarat itu tidak kamu terima. Mas tidak yakin kalau kariermu melonjak cemerlang di masa depan nanti, kamu nggak akan meremehkan Mas sebagai suamimu. Apalah Mas yang cuma apoteker biasa, usaha Mas juga pasti ada pasang surutnya. Sementara kamu sangat pintar, Fir. Seorang pengusaha pasti roda usahanya akan selalu berputar, ada kalanya di bawah. Sementara kamu jelas akan jadi dokter spesialis dan akademisi sesuai mimpimu. Kariermu seperti anak tangga. Memang berat di awal, tapi saat sampai puncak, secara hitungan dunia jelas kariermu tidak akan jatuh. Saat itu apakah Fira masih akan menghornati Mas sebagai suami..?"

Tangis Fira semakin keras.
Mengharapkan Raffi melunak, walaupun ia tahu hampir mustahil, tapi sesaat tadi asa itu sempat timbul.
Dan kini asa itu kembali terhempas dengan menyesakkan.

"Mas Raffi .... Fira nggak nyangka .... Mas Raffi berpikiran sepicik itu. Mas anggap apa pengorbanan Fira selama ini...?", Tangis Fira semakin keras di sela kalimatnya yang putus-putus.
"Fira.....! Sayangku.....! Janganlah kita saling menghitung, siapa yang paling banyak berkorban...! Kamu nyesel po udah kenal deket sama Mas selama ini ..? Mas pribadi nggak nyesel. Meskipun mungkin akhirnya kita nggak berjodoh .... Tapi Mas sudah mengusahakanmu dengan maksimal, dan buah usaha Mas adalah pencapaian yang didapat saat ini ...."

Raffi berhenti sejenak.
Suara paraunya jelas terdengar pilu.
Pertanda si empunya tengah menahan gejolak kesedihannya.

"Fira .... Sayang .... Mas sangat mencintaimu. Kamu jelas paham itu. Mas sudah berusaha menghalalkanmu dua tahun lalu. Apa bukti itu tidak cukup, Sayang...?"
"Dan Mas menuntut Fira untuk menerima syarat yang absurd itu..? Sementara Mas tahu semua yang Mas minta itu jelas berkebalikan dengan cita-cita Fira. Mas juga tahu, Fira sudah sedikit mengalah, nantinya akan memilih bidang spesialis yang tidak ada emergency nya. Kenapa Mas tidak mau mengalah sedikitpun..?! Tetap dengan pendirian Mas yang keras itu...?!", Potong Fira.
Ia sendiri tak tahu apakah amarah atau kesedihan yang lebih menguasainya saat ini.

"Sayang, bukan waktunya lagi kita berdebat soal ini. Pembicaraan tentang hal ini jelas sudah berkali-kali kita lakukan. Dan bukankah kita berdua sepakat untuk istikhoroh...? Sekarang saatnya kita laksanakan hasil istikhoroh kita .... Maafkan Mas, Fira. Mungkin Fajar lebih cocok jadi imam mu.
Potensi kariernya jelas sangat cemerlang. Kalian sekufu ...."
Berat sekali rasanya hati Raffi mengatakan kalimatnya.
Tapi sepahit apapun kenyataan haruslah dihadapi dengan tegar.

"Mas Raffi....!! Jahat....!!!" Fira berteriak dengan keras, bersamaan dengan ratap tangis yang tak terbendung.

Raffi hanya mendiamkan saja tangisan Fira yang terdengar histeris di ujung telepon.
Pilihannya untuk tidak bertemu dengan gadis itu jelas tepat.
Ia sendiri tidak yakin bisa 'tega' berkata seperti ini jika bertatap muka langsung.

"Fira, sayangku .... Biarlah Mas puaskan manggil kamu 'sayang' sebelum kamu resmi dikhitbah Fajar ...." Lirih suara Raffi.
Lelaki itu juga memendam kepedihannya sendiri.

"Mmass ...."
Fira tak sanggup berkata lagi.
Tangisnya masih tak terbendung.

"Sayangku.........! Tolonglah berhenti menangis ..! Hati Mas teriris kalau mendengar tangisanmu.
Sepuluh tahun kita saling kenal dekat, nggak pernah Mas dengar kamu sesedih ini .... Yakinlah takdir Alloh yang terbaik, Sayang...!"
Raffi mencoba menghibur kekasihnya.

"Mas Raffi, seandainya Fira menerima syarat dari Mas. Apakah Mas masih menghendaki Fira untuk jadi istri Mas...?" Kalimat tanya itu terdengar begitu pilu di telinga Raffi.
"Sayang, jika memang kamu benar-benar ikhlas berkhidmat jadi ibu rumah tangga, Mas segera matur ke dokter Kusuma, kapan kiranya Mas dan orangtua boleh datang mengkhitbahmu. Bukankah hal baik disunnahkan untuk disegerakan. Dan makruh untuk mendahulukan orang lain dalam beribadah. Tapi apakah orangtuamu sudah merestui jika kamu memang benar-benar sudah mantap menerima Mas dengan segala konsekuensinya...?" Kata Raffi panjang lebar.

Fira terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengatakan yang sebenarnya,
"Mas .... Sebenarnya bapak merestui apapun keputusan Fira. Kalau soal ibu, beliau manut sama bapak sih. Jadi ...."

Seberkas bahagia menjalar di hati Raffi.
Tapi segera ditepisnya, mengingat kenyataan yang ada justru lebih pahit.
Dengan suara parau menahan perih, ia kembali berucap, "Jika itu kenyatannya .... Artinya Fira yang tidak bersedia dengan syarat yang Mas ajukan. Nggak apa-apa, Sayang. Mas sangat paham. Wanita secemerlang dirimu jelas akan sangat berat jika mencukupkan diri jadi ibu rumah tangga .... Mas nggak nyalahin kamu, Sayang, kalau kamu lebih milih Fajar. Dia lelaki shalih, insya Alloh. Mas berharap Fajar jauh lebih mampu menjadi imammu, Sayangku ...."

Kedua sejoli itu terdiam.
Masing-masing larut dalam kesedihannya.
Fira sayup-sayup mendengar isak tertahan Raffi di ujung telepon.
Teranglah baginya, lelaki pujaannya itu sangat sedih dengan kenyataan yang tidak berpihak padanya.
Tapi keputusan Fira hampir bulat.
Kepastian Raffi sudah didapatnya, tinggal besok ia akan menemui Fajar memastikan janji yang pernah diucapkan lelaki itu.

"Mas Raffi .... Maaf ...."
Hanya itu yang mampu diucapkan Fira.

"Nggak apa-apa, Sayang, Mas paham banget .... Hanya Mas minta, apapun keputusanmu, tolong beritahu Mas, ya...! Biar Mas nggak lama-lama berharap padamu ...."
Isakan Raffi sudah tak dapat dikawal lagi.

Fira segera mengakhiri pembicaraan mereka.
Karena meneruskan obrolan hanya akan menambah sesak di dada.
Raffi bersandar di nakas hotel.
Badannya limbung.
Memang Fira belum memutuskan, tapi Raffi jelas paham, hanya tinggal masalah waktu saja ia harus mengikhlaskan Fira.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER