Setelah kejadian di rumah Karin, Mas Amin makin menjauhiku. Setiap malam Mas Amin menghabiskan malamnya di rumah Karin. Setiap hari sehabis pulang kerja Mas Amin hanya pulang berganti baju kemudian pergi lagi ke rumah Karin dan akan kembali ke rumah keesokan harinya. Aku bagai tak ada di rumah ini. Setiap masakan yang ku suguhi tak pernah di sentuh sedikitpun. Aku begitu nelangsa. Ku habiskan malam-malam dengan bersujud pada-Nya. Berserah diri dan memohon petunjuk agar bisa menjalani hidup ini dengan tenang.
Tingg.. bunyi notifikasi WA di gawaiku berbunyi. Dengan malas aku mengambil gawai dan perlahan jari ini memindai benda pipih tersebut.
Deg!!!
Kutahan air mataku biar tak tumpah di depan anak-anak. Aku bergegas masuk ke kamar. Menatap foto yang di kirim Karin untukku. Foto mesra layaknya suami istri terpampang di mata. Dua makhluk berlainan jenis kelamin yang tak tahu malu lagi berpose tanpa sehelai benangpun. Benar-benar sudah putus urat malunya wanita jalang itu. Selama ini aku diam saja dan itu makin membuatnya merasa di atas angin.
Sungguh kesabaranku habis. Kering sudah air mata. Takkan lagi ada air mata. Terlalu mahal air mata ini kalau hanya untuk menangisi lelaki biadab seperti Mas Amin.
Baiklah Karin dan kau Mas Amin kita lihat siapa yang akan menangis selanjutnya. Aku tersenyum kecut. Dasar bodoh, bisanya ngembat laki orang tanpa mikir kelanjutannya seperti apa. Apa dia lupa laki-laki yang di peluknya itu bukan warga sipil yang bila ketahuan kedoknya hanya berakhir dengan jalan damai, apa dia tak paham resiko yang bakal di terima lelaki pujaannya itu jika nanti kedok mereka ketahuan komandan. Apa dia pikir uangnya bisa menyelesaiakn masalah. Baiklah Karin kalau uangmu jadi senjatamu, akan ku pakai uangmu juga untuk mengobati sakit yang kau torehkan di hati ini.
Dengan ringan aku melangkah ke lemari baju milik Mas Amin. Ku ambil koper besar yang bertengger di atas lemari. Tanpa beban aku membereskan semua baju dan barang-barang milik Mas Amin, semuanya sempurna masuk koper.
Tanpa membangunkan kedua anakku aku berjalan perlahan ke rumah Karin. Rumah bak istana itu di mataku seperti sebuah neraka baru buat Mas Amin .
Kupencet bel yang menggantung manis di depan rumah wanita pelakor itu. Tak butuh waktu lama si janda gatal itu muncul dengan busana yang minim bahan.
"Hai Karin suamiku mana" tanyaku santai sambil bersandar ke pilar rumahnya dengan kedua tangan melipat di dada. Karin yang melihatku terheran-heran, mungkin penampilanku hari ini di luar prediksinya. Sepertinya Karin berharap aku akan datang dengan tangisan dan air mata di tambah drama yang mendayu-dayu. Oh tidak Karin kalian berdua sudah membuatku menjelma jadi wanita bermental baja hmmmm.
"Ada apa Beb," suara dari dalam rumah sangat kukenal. Aku tersenyum manis.
"Ini Mas barang-barang kamu, biar kamu ga perlu capek bolak balik aku bantuin deh."
Tanpa menunggu jawaban dua manusia laknat itu aku segera berlalu, tapi kemudian berbalik lagi, menatap dua makhluk yang masih mematung itu mungkin terpesona dengan ulahku barusan.
"Karin ambil deh laki-laki ini untukmu, besok malam aku ke sini lagi ya kita buat kesepakatan dan jangan coba-coba menghindar. Kamu Mas tunggu aku besok malam, tenang aja aku gak akan memintamu kembali."
Dengan melangkah pasti aku keluar dari rumah mewah itu, rumah yang membuat Mas Aminku lupa jalan pulang.
Malam itu aku selesaikan semua yang sudah ku rencanakan. Tak ada rasa sesal, aku mencoba berdamai dengan keadaan. Mas Amin hanya jadi milikku di atas kertas. Biarlah yang penting aku tak boleh terpuruk. Masih ada dua malaikat kecil yang membutuhkanku.
Malam ini aku boleh tidur dengan tenang. Semua sudah ku persiapkan. Besok pagi tujuanku hanya satu, rumah mertua.
*****
Melepasmu bukanlah hal yang mudah tapi memilikimu kembali seutuhnya adalah hal yang mustahil.
Berdamai dengan diri berdamai dengan keadaan demi masa depan sang buah hati. Tapi tak akan ku biarkan hatiku nelangsa sendiri sementara dua makhluk tak tahu malu itu hidup tenang.
Hari ini kumantapkan hatiku, masalah ini harus selesai. Aku bersiap menuju rumah mertua. Bagaimanapun sebagai orang tua mereka harus tahu kelakuan anaknya. Aku tak ingin menutup-nutupi masalah ini dan menanggungnya sendiri.
Mobil akan segera ku jalankan saat gawaiku berbunyi. Sebuah nomor tak di kenal tertera di layar. Dengan penuh tanda tanya aku menjawab panggilan itu.
"Hallo Asalamualaikum ."
"Walaikumsalam Merry." Suara wanita yang begitu riang terdengar dari seberang.
"Mer, aku Rani. Aku mencarimu ke mana-mana tau Mer, aku pikir kamu masih di luar Jawa tapi kemarin aku lihat status kamu di medsos ternyata kamu sudah di Jawa Barat." Suara itu begitu bersemangat sementara aku masih diliputi tanda tanya.
"Maaf Rani mana ya, aku lupa...."
"Duh Merry aku Rani teman kuliah kamu. Masa lupa ma sohib sekamar.."
"Waduh Raniiii kamu di mana, aku gak mungkin lupa dong maaf ya." Aku kegirangan. Setelah sekian lama aku ketemu lagi dengan sahabat yang sudah seperti saudara.
"Aku mencarimu Mer, pengen ngajak kamu kerja bareng ma aku, kamu mau ya, ini masih di kotamu kok Mer. Harus Mau yaaa.." Rani begitu semangat. Aku berpikir sejenak.
"Kerja apa ya Ran,"
"Duh Merry aku ajak kamu bergabung di perusahaan milik suamiku, tentu saja masih sesuai dengan bidangmu. Ayolah, walau gaji kamu nanti gak sebesar dengan gaji di perusahaan tempat kerja kamu yang dulu, toh ini kan dekat dengan rumah kamu, kamu gak perlu ninggalin anak dan suami kamu." Rani begitu bersemangat di seberang telepon.
"Kita ketemuan dulu ya Ran, kamu ke rumah aja sekarang aku tunggu." Aku menutup telepon dan keluar dari mobil. Sementara menunggu Rani aku menyiapkan cemilan ringan untuk menyambut sahabatku itu.
Setelah lulus kuliah kami terpisah, masing-masing dengan kesibukannya. Aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang property dan kemudian resign seminggu sebelum akad nikah. Sementara Rani tak ada kabar lagi. Untung saja no teleponku semenjak kuliah tak pernah di ganti. Sehingga memudahkan komunikasi dengan teman-teman semasa kuliah termasuk Rani.
Semoga ini petunjuk dari-Mu Ya Alloh, saatnya mencari pundi-pundi rupiah. Harus bisa mandiri demi anak-anak.
Suara bel di luar membuyarkan lamunanku. Itu pasti Rani. Benar saja sahabat semasa kuliah itu langsung menghambur ke pelukanku. terdengar isakan pelan dari wanita tomboy itu. Aku mendorong bahunya perlahan.
"Apa rasa kangen kamu begitu besar sehingga membuat sahabatku ini sampe berderai air mata begini?" Aku tersenyum menggodanya. Rani menggeleng.
"Aku tahu semuanya Mer. Aku tahu yang terjadi dengan rumah tangga kamu. Karin itu sepupu aku. Tak sengaja kemarin aku berniat silahtuhrahmi dengan Karin tapi urung setelah melihat insiden kalian kemarin. Aku melihat semuanya Mer." Rani tertunduk.
"Jadi kamu menawarkan aku pekerjaan karena kasihan dengan nasibku Ran?"3 Aku menatap Rani sambil tersenyum seolah aku baik-baik saja.
"Bukan gitu Mer aku tak mau kamu terpuruk. Aku tahu potensi kamu. Aku ingin kamu semangat seperti Merry yang dulu lagi." Rani menggenggam tanganku erat.
Aku mengangguk. Senyum cerah tersungging di bibirku, aku yakinkan Rani bahwa aku tak serapuh yang di bayangkannya. Kami berpelukan penuh haru. Rani berpamitan setelah memastikan aku sudah menjadi bagian dari keluarga besar perusahaan suaminya besok. Aku mengangguk pasti, mengantar kepergian Rani dengan senyum menandakan ada secercah harapan di tengah kekalutan yang ku alami.
Aku menarik napas lega. Setidaknya satu beban lepas. Aku tak perlu was-was jika suatu saat Mas Amin terpaksa menanggalkan seragam kebanggaannya. Aku tersenyum senang, satu-satu masalah bisa ku selesaikan. Dengan riang aku menjalankan mobil, meluncur dengan pasti ke rumah mertua.
Di persimpangan jalan tanpa sengaja berpapasan dengan dua makhluk tak bermoral itu. Aku menepikan mobil pelan setelah melihat isyarat dari Mas Amin agar aku berhenti. "Mau apa dia," hatiku bertanya.
Aku keluar dari mobil bersandar di pintu mobil, dengan melipat kedua tangan di dada aku menatap tajam ke arah mobil mereka. Pintu mobil Karin terbuka, Mas Amin turun dari mobil berjalan menuju ke arahku.
"Ada apa."
"Kamu mau ke mana, tadinya aku berniat ke rumah mengambil ATM milikku yang ada di kamu."
"Bukan main kamu Mas, setelah kamu sakiti aku dan anak-anak kamu mau mengambil hak mereka juga. Benar-benar gak punya hati jadi ayah." Aku berang melihat tingkah Mas Amin yang sudah keterlaluan.
"Terserah kamu deh aku butuh ATM itu."
"Terus anak-anak makan, bayar sekolah dari mana,"
"Ya itu urusan kamu," jawab Mas Amin ketus.
Emang sudah tak bisa di pertahankan lagi lelaki di depanku ini. Tanpa ragu-ragu ku ambil dompet dan mengeluarkan kartu ATM milik lelaki itu, kulemparkan pelan ke wajahnya.
"Tuh ambil." Aku langsung masuk ke mobil dan segera menyalakan mesin. Terlihat senyum sinis tergambar di wajah wanita jalang di seberang sana, bahagia dia rupanya merasa berkuasa penuh atas Mas Amin.
Sebelum mobil ku jalankan, aku sempatkan membuka kaca mobil dan berujar pada lelaki yang masih berdiri di samping mobilku itu.
"Mas aku mau ke rumah ibu kamu sekarang."
Sepertinya Mas Amin terkejut, terlihat dari air mukanya yang tiba-tiba berubah.
"Mau apa kamu,"
"Ya mau cerita kelakuan anaknyalah biar aku gak gila menanggung beban ini sendirian."
Aku berlalu meninggalkan lelaki itu dengan wajah yang pucat pasi. Aku tahu benar Mas Amin sangat menyayangi ibunya, dan Mas Amin juga tahu aku menantu kesayangan ibunya. Bisa di bayangkan apa yang akan terjadi nanti jika ibunya sampai tahu kelakuannya.
Kulirik sekilas Mas Amin lewat kaca spion. Lelaki itu masih berdiri di belakang sambil mempermainkan kartu ATM berlambang merah putih itu, tanda orang yang sedang gelisah. Aku tertawa lepas. Kamu pikir aku bodoh Mas. Semalam semua uang tabungan di ATM itu sudah ludes ku pindahkan ke rekening atas namaku. Makan tuh ATM kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel