Wajah tua itu begitu sendu, berkali-kali tangan keriputnya mengusap air mata di pipinya. "Maafin ibu ya Neng ibu gagal mendidik anak ibu."
"Gak bu maafin Neng juga ya dah bikin ibu sedih. Neng hanya ingin berbagi bu. Neng gak kuat nanggung beban ini sendirian hiikss.." Aku tergugu di pelukan ibu mertua.
Bagiku ibu sudah seperti ibu kandung sendiri. Aku sangat menyayangi beliau begitupun sebaliknya. Sebenarnya aku tak mau melibatkan ibu dalam masalah aku dan Mas Amin, tapi hanya ibu satu-satunya orang yang bisa ku percaya. Meski Mas Amin sudah menyakitiku dan anak-anak, aku masih ingin menjaga nama baik Mas Amin, setidaknya untuk saat ini. Sejujurnya aku berharap Mas Amin bisa sadar dan kembali seperti dulu walau bukan untukku tapi demi nama baik keluarga besarnya dan juga nama baik satuan.
"Apa yang bisa ibu bantu Neng,"
"Maafin Neng ya bu, Neng mau Ibu ikut Neng sekarang dan jadi saksi atas apa yang nanti Neng lakukan buat Mas Amin dan wanita itu." Ku raih tangan ibu, ku cium penuh kasih. Menatap penuh harap semoga ibu mau membantuku.
"Iya Neng ibu pasti bantu kamu." Suara Ibu begitu teduh. Aku sangat beruntung memiliki mertua seperti Ibu. Dulu almarhum Bapak juga sangat baik, beliau menyayangiku seperti anak sendiri. Setiap kali aku berantem sama Mas Amin, akulah yang selalu di bela. Aku tak bisa membayangkan jika saat ini Bapak masih hidup. Entah apa yang akan di lakukan Bapak dengan Mas Amin. Semoga Bapak tenang di sana ya Pak, doaku dalam hati.
Siang itu tanpa membuang waktu aku dan Ibu segera meninggalkan kediaman Ibu kembali ke rumah kami, rumah aku dan Mas Amin. Tak lupa aku mampir ke Warung makan langganan kami, membeli beberapa macam lauk untuk makan siang nanti. Aku yang terbiasa memasak di rumah, sejak Mas Amin tinggal di rumah Karin aku jadi hilang semangat buat memasak. Untung anak-anakku bukanlah anak yang rewel. Seakan tahu suasana hati ibunya. Satu hal yang membuatku bersyukur, mereka jarang menanyakan di mana ayahnya. Hanya sesekali Aliya suka menanyakan kapan ayahnya pulang. Mungkin dari bayi sering di tinggal tugas oleh ayahnya jadi ketiadaan Mas Amin bukanlah hal baru.
Mobil yang aku kendarai sebentar lagi akan memasuki pintu pagar rumahku ketika gawaiku berdering. Pelan aku menepi dan segera menjawab panggilan Ibu komandan dari satuan suami, itu terlihat dari nama yang tertera di layar.
"Asalamualaikum, ijin Ibu, petunjuk?" Aku menjawab sopan panggilan istri dari komandan Mas Amin tersebut karena begitulah etika yang di ajarkan dalam membangun komunikasi antara istri atasan dan bawahan sebagai istri anggota.
"Walaikumsalam Bu Amin nanti sore ikut mendampingi suami di acara serah terima jabatan (sertijab) komandan-komandan kompi (Danki). Dari kemarin sudah ada pemberitahuan lewat Pak Amin tapi kenapa tadi gak datang untuk gladi."
Aku terkejut mendengar penuturan Ibu komandan barusan. Gimana aku tahu kalau Mas Amin di angkat jadi komandan kompi, sementara sudah tak seatap lagi, komunikasi pun tak pernah lagi.
"Hallo Bu Amin,"
"I..Iya siap ibu." Aku tergagap menjawab
"Ya sudah nanti sore jangan lupa ya pakai baju PSK atribut lengkap. Asalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Aku lega ibu komandan segera mengakhiri pembicaraan dan tidak bertanya lebih lanjut soal ketidakhadiranku saat gladi. Keterlaluan kamu Mas. acara sepenting itu aku tak di beritahu. Apa Karin yang akan menggantikan posisi aku saat mendampinginya di sertijab nanti? Tidak Karin, istri sah seorang anggota itu sangat di lindungi dan kuat kedudukannya, tidak akan mudah digeser apalagi oleh seorang pelakor.
Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Saatnya beraksi Merry ini moment yang tepat. Segera ku telepon Rani, menceritakan rencanaku dan meminta bantuannya agar rencanaku sukses. Aku bersyukur Rani dengan senang hati mau membantu.
Tak perlu menunggu lama Rani tiba dengan membawa pesananku, dua buah meterai 6000 untuk melengkapi berkas yang sudah ku buat semalam.
"Makasih ya Ran,"
Rani hanya tersenyum memelukku kemudian menyalami Ibu yang duduk di sofa sambil memangku Radit.
"Bu ini Rani teman kuliah Neng." Aku memperkenalkan Rani pada Ibu.
"Rani ini Ibu mertuaku, ibunya Mas Amin."
Rani terlihat ragu, ada tanya di matanya.
Aku tersenyum melihat tingkah sahabatku itu.
"Tenang Ran, ibu sangat menyayangi aku sejak jadi menantunya. Ibu tahu mana yang harus di bela."
Terlihat Rani mengangguk dan tersipu melihat Ibu. Ibu hanya balas tersenyum sambil mengelus-elus kepala Radit yang terlihat sudah terlelap di pangkuan neneknya itu.
Jam menunjukan pukul satu siang ketika kami, Aku Rani dan Ibu berjalan menuju rumah Karin. Aku menggenggam tangan Ibu erat, mencoba menguatkannya agar nanti tidak terbakar emosi saat melihat Karin dan Mas Amin.
Sebelum keluar rumah tadi aku memantau rumah Karin dari atas balkon, terlihat Mas Amin sudah kembali dari kantor. Aku pastikan Mas Amin ada di rumah saat nanti kami tiba di sana.
Bel pintu itu kembali ku tekan, tak sabar menunggu dua makhluk ga bermoral itu keluar secepatnya.
"Siapa sih?"
Karin menggerutu sambil membuka pintu dan kemudian terpesona melihat pemandangan di depannya. Mulutnya membulat. Aku berharap ada belatung yang lewat dan nyelonong masuk ke mulut yang lagi mangap itu.
"Kenapa, kaget?"
Aku maju selangkah dengan santai aku menarik ibu lebih dekat.
"Kenalin Karin ini Ibu mertua aku."
Karin salah tingkah. Kulihat bibir Ibu bergetar menahan emosi. Aku merangkul pundaknya, ada iba dalam hati melihat Ibu.
"Mana anak saya."
Tak di duga Ibu bersuara. Aku melotot ke arah Karin meminta penjelasan. Karin buru-buru meraih tangan Ibu ingin menyalami, tapi secepat kilat di tepis sama Ibu.
"Jangan sentuh tangan saya. Kamu sudah merusak kebahagiaan menantu dan cucu saya."
Tanpa tangis tanpa ada air mata, ucapan Ibu begitu tegas. Tatapannya tajam ke arah Karin. Wanita jalang itu menunduk menahan malu.
"Ada apa Beb, rame amat."
Nah ini nih lelaki kebanggaan keluarga dulu. Sekarang tak lagi. Tanpa beban lelaki itu mendatangi kami dan tersentak saat melihat Ibu.
"I..Ibu."
Mas Amin terbata-bata. Sambil menundukan muka berusaha meraih tangan ibunya, tapi sama seperti Karin tadi Ibu juga segera menepis tangan Mas Amin.
"Kamu bukan anak Ibu lagi Amin, kamu sudah menyakiti Merry dan cucu-cucuku itu sama saja kamu sudah menyakiti hati Ibu, tega kamu Amin."
"Maafkan Amin Bu, Amin mencintai Karin, kalau Ibu bisa menerima Karin, dia juga bisa jadi menantu yang baik buat Ibu."
Mendengar ucapan Mas Amin jujur saja hatiku panas. Teganya dia berkata seperti itu di depan aku.
"Sampai kapanpun menantu Ibu cuma satu, yaitu Merry."
Suara Ibu meninggi. Aku tak mau kalau sampai ribut-ribut dan didengar tetangga. Ku coba meredam suasana.
"Sudah Bu sabar ya, dan kamu Karin sama Mas Amin apa kalian berdua mau jadi tontonan warga?"
Terlihat dua manusia itu saling tatap.
"Ya sudah ayo masuk."
Karin mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah dengan wajah yang di tekuk.
Untuk pertama kalinya aku masuk dan duduk di rumah mewah pelakor ini. Kalau bukan karena urusan ini rasanya tak sudi masuk ke rumah penyebab hancurnya rumah tangga aku dan Mas Amin.
"Langsung aja ya Mas aku ga mau basa basi. Oh ya kamu katanya diangkat jadi Danki ya, kok aku gak tau ya Mas."
"Itu bukan urusanmu. Ada apa sih bawa-bawa Ibu ke sini."
"Mas aku masih istri sah kamu ya, apa sekarang aja kamu mau aku mengajukan gugatan cerai aja dan melaporkan kelakuan kalian ke komandan?"
Dongkol benar aku udah setinggi itu pangkat dan jabatannya tapi kelakuannya tak bisa diterima nalar. Aku seperti tak mengenal Mas Amin.
"Jangan!"
Sontak Mas Amin menjawab. Terlihat wajahnya tegang. Ada ketakutan di matanya. Tak di sangka Mas Amin menjatuhkan tubuhnya, berlutut di depanku, memegang tanganku erat.
"Bunda maafin ayah, ayah akan lakuin apa aja asal jangan laporkan ayah. Gimana karir dan jabatan ayah Bun."
Oalaaah baru sadar rupanya lelaki di depanku ini kalau dia punya jabatan dan karir yang sewaktu-waktu bisa hancur. Dan itu semua tergantung aku istrinya.
"Jangan bilang kamu mau kembali ke istrimu Mas, aku gak mau kehilangan kamu."
Karin histeris. Di peluknya Mas Amin sambil menangis. Aku yang melihatnya merasa jijik. Apalagi Ibu, wajahnya merah menahan amarah. Rani hanya melongo melihat pemandangan melankolis di depan matanya.
"Kamu sudah menghancurkan kebahagiaan menantu dan cucuku, dan sekarang kamu akan menghancurkan masa depan anakku juga."
Ibu terlihat sangat terguncang. Aku mengelus pelan lengan Ibu, mencoba menenangkannya. Tak ingin membuang waktu, aku tahu sebentar lagi Mas Amin harus segera menghadiri pelantikan dan serah terima jabatan sebagai komandan kompi. Ku sodorkan dua lembar kertas yang sudah di bubuhi meterai. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan sebelum mengatakan tujuan kami ke rumah Karin.
"Karin, aku tak akan pernah memintamu melepaskan Mas Amin, aku ingin kesadaranmu sendiri sebagai perempuan yang punya hati untuk melepaskan sesuatu yang bukan hak kamu. Dan kamu Mas, aku tak akan memintamu kembali tanpa kesadaran dari kamu sendiri. Aku gak mau kamu kembali karena ketakutan masa depan, karir dan jabatan kamu akan hancur. Aku hanya ingin cintamu yang dulu yang akan membawamu pulang. Bukan hal mudah membiarkan kamu hidup dengan wanita lain di depan mataku. Tapi toh itu pilihan kamu. Yang penting kamu bahagia."
Kulihat Karin mulai tenang. Pelukannya lepas dari tubuh Mas Amin dan kembali duduk berhadapan denganku. Mas Amin terlihat gelisah. Mungkin dia merasa tertohok dengan kata-kataku barusan, entahlah.
"Karin, aku tahu kamu orang yang berpendidikan. Kamu tahu kan hukuman buat orang yang berzinah bagi yang sudah menikah? Kalau Mas Amin sudah jelas hukumannya di kedinasan seperti apa saat aku buka mulut. Karir dan jabatannya jadi taruhan. Di pecat dan di penjara udah pasti. Itu hukuman secara sepihak yang akan di terima Mas Amin saat aku sebagai istrinya melaporkan perbuatan kalian ke komandan. Tapi itu tak adil buat Mas Amin. Perbuatan bersama harus di tanggung bersama. Perbuatan kalian, apalagi di tambah bukti foto bugil yang kemarin kamu kirim, bisa aku laporkan dan pasti kena pasal 284 KUHP yaitu pasal perzinahan, hukumannya penjara."
Karin menelan ludah, sementara Mas Amin beberapa kali mengusap keringat yang sepertinya tak berhenti mengalir. Aku menatap tajam dua orang itu bergantian.
"Kalian pilih mana di laporkan atau jalan damai."
Karin terlihat mulai gelisah. Keringat bercucuran di dahinya.
"Sudah mau kamu apa, katakan sekarang."
Suara Karin bergetar.
"Bunda maunya gimana."
Sendu suara suamiku. Aku rindu suara itu ya Alloh. Tak bisa dipungkiri masih ada cinta dan sayang terselip di lubuk hati ini. Ah aku tak boleh terlihat lemah, aku dah cukup sakit hati.
"Ada harga yang harus di bayar Karin. Rasa sakit yang kamu dan Mas Amin torehkan di hati ini dan masa depan anak-anakku yang terpaksa kehilangan cinta dan kasih sayang seorang ayah. Semuanya sudah di renggut oleh kamu Karin. Ini surat perjanjian, ada dua saksi yaitu Ibu dan sahabatku Rani. Ini isi perjanjiannya, aku harap kamu gak menolak."
Ku geser dua lembar kertas itu lebih dekat ke hadapan Karin agar lebih mudah di baca olehnya.
"Ini pemerasan namanya. Aku gak mau. Lima belas juta sebulan bukan jumlah yang sedikit"
Karin melemparkan kertas yang kusodorkan barusan. Aku mengambilnya dan menyimpannya kembali ke dalam tas. Dengan tenang aku mengajak Ibu dan Rani beranjak dari ruangan itu.
"Berapapun uang yang kamu kasih tak akan sanggup menutup luka yang menganga. Baiklah Karin dan Mas Amin tunggu aja panggilan dari kepolisian."
Karin berlari mengejarku, memegang tanganku erat, raut wajahnya kulihat sangat panik.
"Baiklah kalau begitu aku setuju perjanjian itu. Tapi jangan laporkan aku ke polisi. Tolong Merry,"
Aku mengangguk, dan memberi isyarat ke Rani dan Ibu agar kembali duduk.
"Apa sih isi perjanjian itu,"
Rupanya Mas Amin belum membacanya sehingga membuatnya penasaran.
"Ini baca."
Ku angsurkan kertas bermaterai itu ke hadapan Mas Amin. Setelah membaca isi dari surat perjanjian itu yang intinya mengharuskan Karin dan Mas Amin membayar setiap bulan untuk satu anak tujuh juta lima ratus ribu sebagai konsekwensinya karena sudah merebut kasih sayang seorang ayah dari anak anaknya. Dan uang itu akan di bayarkan selama waktu yang tidak di tentukan. Jika melanggar perjanjian tersebut maka Karin dan Mas Amin bersedia di laporkan ke pihak berwajib untuk kasus perzinahan dan Mas Amin siap di laporkan ke satuan.
Mas Amin terhenyak setelah membaca isi perjanjian itu.
Aku tak mau berlama lama segera ku minta Karin dan Mas Amin segera menandatangani surat tersebut di lanjutkan dengan Ibu dan Rani sebagai saksi.
Kami akan segera pergi dari rumah itu ketika aku ingat sesuatu. Ku hampiri Mas Amin yang kelihatannya masih syok.
"Mas jangan lupa nafkah untuk anak-anak tiap bulan masih kewajiban kamu. Silahkan pegang kartu ATMnya, tapi setiap kali gaji masuk aku akan segera mentransfernya lewat sms banking ke nomor rekening aku."
Mas Amin tak bisa berkata apa apa, apalagi ada ibunya sudah pasti dia segan.
Ku hampiri Karin yang seperti orang linglung.
"Saat ini aku minta uang untuk pembayaran pertama."
Karin tak mampu membalas ucapanku apalagi balas menatapku, dengan langkah berat Karin berlalu masuk ke kamarnya. Tak butuh waktu lama, wanita itu sudah kembali dengan menenteng sebuah amplop cokelat.
"Ini lima belas juta."
Aku mengambilnya dan berlalu penuh kemenangan dari rumah si pelakor di iringi Ibu dan Rani. Aku ingin tahu sejauh mana Karin dan Mas Amin bertahan dengan situasi ini. Hidup tanpa ikatan dan terus di rongrong dengan isi perjanjian yang sudah di tanda tangani.
***
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Segera aku bersiap, mengenakan seragam kebanggaan bagi seorang istri TNI -AD. Aku berjalan santai ke rumah Karin, setelah sebelumnya menitipkan anak anak ke ibu.
Terlihat pintu rumah Karin masih terbuka. Dari halaman ku lihat Mas Amin sudah rapih dengan baju kebesarannya. Ada Karin di sampingnya. Saat melihat kedatangan aku Karin terkejut.
"Mau apa lagi kamu Merry,"
Suara Karin meninggi.
"Kamu lupa ya aku masih istri sah Mas Amin. Aku akan mendampingi suamiku di acara sertijab sekarang."
Jawabku tegas. Mas Amin hanya diam. Aku lalu mengajaknya naik mobil aku yang sudah ku parkir depan rumah Karin.
"Gak gampang Karin kalau mau selingkuh sama anggota TNI yang sudah beristri. Kamu gak akan dapat apa-apa. Selamanya kamu akan jadi simpanan, gak akan pernah di akui di mata hukum maupun satuan."
Aku berlalu sambil menggandeng tangan Mas Amin setelah mengatakan hal itu ke Karin. Karin hanya bisa menatap dengan menahan amarah, terlihat dari wajahnya yang memerah.
Sakit kan Karin?
*****
Sepanjang perjalanan aku dan Mas Amin membisu. Aku tak berniat memulai percakapan. Aku juga tak berharap Mas Amin mau bicara walau sekedar basa basi. Ku akui sejak kehadiran Karin di hati Mas Amin, aku seperti tak mengenal Mas Amin lagi. Perhatian, kasih sayang yang dulu setiap hari selalu tercurah untuk aku dan anak-anak kini tak pernah lagi kami rasakan.
Aku berusaha berdamai dengan keadaan, menerima sikap dan perubahan yang terjadi dalam diri Mas Amin. Bagiku cinta itu tak bisa di paksa. Entah sampai kapan aku harus bertahan hanya waktu yang bisa menjawab. Yang jelas aku tak mau terlihat lemah di hadapan Mas Amin juga Karin.
Serah terima jabatan hari ini berjalan dengan lancar Aku bersyukur meski aku harus berakting seolah rumah tangga aku dan Mas Amin baik baik saja. Mas Amin juga sepertinya sukses memerankan perannya sebagai seorang komandan kompi yang berwibawa. Meski aku dan juga Mas Amin sadar semua ini tak lebih dari drama, setidaknya hatiku puas, di luar sana ada hati yang merana dan tersiksa. Merasa tersisih dengan statusnya yang hanya seorang simpanan.
Melihat gelagat Mas Amin sepertinya susah untuk berubah. Harapan agar ayah anak-anakku itu kembali ke rumah dan kembali bersama mengarungi bahtera rumah tangga, sepertinya tinggal asa yang tak berujung. Aku sadar cepat atau lambat aku harus rela melepaskan Mas Amin buat pelakor itu.
Perlahan aku belajar melupakan Mas Amin. Harus aku lakukan agar nanti tidak terpuruk saat benar-benar harus kehilangan. Aku biarkan semua mengalir apa adanya. Aku jalani kehidupanku sebagai ibu rumah tangga, wanita karir, dan juga sebagai ibu ketua bagi istri-istri anggota kompi.
Sepuluh bulan berlalu. Dan selama itu aku masih sukses memerankan peranku. Sebagai wanita karir, gajiku cukup besar bahkan berlebihan bila hanya untuk menafkahi kebutuhan aku dan kedua anakku. Selama ini aku sudah mulai mempersiapkan semuanya, jika nanti aku harus berpisah dengan Mas Amin. Hidup tak boleh berakhir hanya karena kehilangan cinta. Bagiku saat ini Mas Amin hanya masa lalu. Aku dan anak-anak mulai terbiasa dengan ketidakhadiran Mas Amin. Perlahan si sulung mulai paham apa yang terjadi dengan kedua orangtuanya. Aku tahu hatinya terluka. Tapi kata-kata anak itu suatu hari begitu menguatkan aku.
"Bunda, biarkan ayah dengan pilihannya. Kakak percaya Alloh sudah menyiapkan yang terbaik untuk kita. Kakak sama Ade akan selalu ada untuk Bunda."
Aku sangat bersyukur anak-anak tak pernah menuntut. Padahal jarak rumah Karin dan rumah kami hanya di batasi jalan raya tapi Mas Amin tak pernah sekalipun datang menjenguk kami. Aku dan Mas Amin hanya ketemu saat ada kegiatan ibu- ibu persit di kantor. Alhasil sampai saat ini Mas Amin tak pernah tahu kalau aku sudah bekerja di perusahaan property.
Aku tak ambil pusing. Yang ku pikirkan saat ini hanyalah menyiapkan masa depan untuk anak-anakku. Di sisa malamku ku habiskan dengan sujud dan mengadu pada Rabku Sang pemilik hidup. Aku yakin suatu saat ada balasan pedih untuk mereka yang sudah menoreh luka di hidupku dan juga hati kedua malaikatku.
Setiap hari aku mengumpulkan rupiah menambah pundi-pundi aku dan anak-anak.
Selain bekerja di perusahaan property milik suaminya Rani, aku juga ikut ambil bagian sebagai marketing freelance di beberapa kantor property rekanan perusahaan tempatku bekerja. Komisinya sangat lumayan untuk menambah jumlah tabungan. Ratusan juta sudah tersimpan dalam deposito. Uang yang ku terima dari Pelakor Karin dan gaji Mas Amin tak pernah ku pakai, semuanya utuh masuk tabungan. Komisi yang ku dapatkan sebagai marketing freelance juga semua didepositokan. Aku menghidupi kehidupan ku dan anak-anak dari penghasilanku setiap bulan, itupun sudah lebih dari kata cukup. Aku sangat mensyukuri kehidupanku saat ini. Walau kehilangan kasih sayang seorang suami tapi kasih sayang dari anak-anakku lebih berarti.
Kami berusaha menjalani hari-hari dengan ikhlas walau tanpa kasih sayang seorang suami juga ayah. Aku percaya semua yang terjadi dalam kehidupan aku adalah kehendak Yang Kuasa. Aku tak mau tau lagi soal Mas Amin dan Karin. Tanggung jawabku sebagai ibu ketua di kompi tetap ku jalani tanpa beban. Walau sesekali di selingi amukan Karin di telepon karena cemburu melihat kedekatanku dengan Mas Amin saat kegiatan di kompi.
Tanpa sepengetahuan Mas Amin diam-diam Karin suka mengikuti Mas Amin saat di kantor. Aku tahu setelah hari itu Karin menelpon dan mengataiku dengan kasar.
"Hallo Merry aku gak suka kamu dekat-dekat Mas Amin, kurang apa sih aku sudah memenuhi permintaan kamu, memberi uang sesuai permintaan kamu, tapi kamu tak bisa menjaga perasaan aku." Cerocos Karin di seberang.
"Udah kamu jalani aja peran kamu sebagai simpanan dan jangan lupa kewajiban kamu setiap bulan. Aku seperti ini karena aku istri sah Mas Amin, kedudukan istri sah takkan bisa diganti pelakor. Kamu tenang aja ada saatnya kamu jadi istri sah Mas Amin tapi nanti setelah Mas Amin melepas baju dinasnya. Aku pastikan itu suatu hari nanti kalian akan hidup bahagia sebagai pasangan yang sah tapi bukan sebagai seorang perwira TNI lagi. Ingat itu!"
Aku menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Karin.
Dan hari itu tiba juga. Seperti pepatah mengatakan, sepandai-pandainya menyimpan bangkai akhirnya tercium juga.
Begitu juga dengan apa yang selama ini aku dan juga Mas Amin tutup-tutupi. Hubungan Mas Amin dan Karin akhirnya tercium juga oleh satuan. Berawal dari pernikahan sirih yang di lakukan Mas Amin tanpa sepengetahuan aku. Entah siapa yang menyebarkan foto-foto pernikahan mereka yang akhirnya sampai ke tangan Danyon.
Aku yang saat itu masih di kantor tiba-tiba di telepon oleh salah satu anggota staf satu (intel), memintaku segera datang ke batalyon.
"Selamat siang Ibu, ijin saya Sersan Sidik dari staf intel, mohon waktunya Ibu agar saat ini juga bisa datang ke batalyon."
"Baik saya merapat sekarang om".
"Siap ibu, ijin terima kasih."
Aku segera menutup telepon, membereskan meja kerjaku dan meminta izin kepala bagian agar bisa di ijinkan pulang sebelum waktunya. Alhamdulilah di ijinkan. Aku segera menjalankan mobil ke arah satuan suami.
Selama dalam perjalanan firasatku tak enak. Kalau di telepon sama anggota staf satu sudah pasti menyangkut satu kasus.
Benar saja sesampainya aku di kantor staf satu, sudah berkumpul Karin dan Mas Amin serta Kasie intel dan anggota-anggotanya.
Setelah melalu proses yang lumayan panjang, hari itu juga jabatan Mas Amin sebagai Danki di copot. Sebagai gantinya Mas Amin di mutasikan ke wilayah di daerah pelosok. Di depan aku dan anggota staf satu Danyon memerintahkan Mas Amin agar saat itu juga menceraikan Karin. Dengan berat hati Mas Amin mentalak Karin di depanku. Setelah itu saat itu juga Karin diperintahkan keluar dari ruangan dan harus segera meninggalkan lingkungan Batalyon. Salah satu anggota di perintahkan Danyon untuk membawa Karin pergi.
Karin menangis histeris. Sudah pasti malu dan hatinya tak terima diperlakukan seperti itu. Tapi apa mau dikata. Peraturan tetap berlaku. Istri TNI hanyalah satu. Kalaupun ada yang bisa beristri dua atau lebih, selamanya hanya bisa jadi simpanan. Itupun kalau tidak ketahuan oleh satuan. Kalau sudah ketahuan, hanya malu dan sakit hati yang di dapat.
Sebelum aku dan Mas Amin meninggalkan ruangan staf satu, Mas Amin diminta menandatangani surat perjanjian, bahwa Mas Amin dan Karin tak akan berhubungan lagi. Kalau sampai mengulangi kesalahan yang sama maka resikonya Mas Amin siap di pecat sebagai anggota TNI.
Kulihat Mas Amin sangat terpukul walau kelihatannya berpura-pura tegar. Andai saat itu masih ada cinta di sudut hati ini, mungkin aku akan meneteskan air mata melihat kejatuhan suamiku. Tapi hari ini membuktikan cinta dan sayang yang dulu begitu besar untuk Mas Amin sepertinya sudah punah bersama waktu. Aku yang saat itu harus segera kembali ke kantor tak mau ambil pusing, setelah urusan beres segera aku menuju mobil yang terparkir di halaman kantor staf satu.
Tiba-tiba ada yang menahan langkah ku dengan menarik tanganku. Aku menoleh. Ternyata Mas Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel