Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 13 Januari 2020

Aku Bukan Wanita Bodoh #4

Cerita bersambung

"Bunda maafin ayah"
Kalimat itu begitu sendu keluar dari mulut Mas Amin. Andai kalimat itu di ucapkan sepuluh bulan yang lalu mungkin terdengar indah dan menggugah hati ini. Tapi saat ini, saat hati ini dibiarkan membeku, saat netra ini terbiasa menyaksikan kemesraan belahan jiwa di depan mata, saat raga ini sudah terbiasa menahan dinginnya malam tanpa dekapan, saat air mata tak lagi menetes, permohonan maaf itu baru terucap dari bibir lelaki bergelar suamiku itu.

"Kemana kamu selama ini Mas," desahku.
"Bunda kasih ayah kesempatan buat memperbaiki semuanya."

"Tak ada yang perlu di perbaiki Mas, semuanya baik-baik saja. Saat kamu memilih perempuan itu aku sudah puas memohon, saat kamu memilih pergi dari rumah aku sudah puas menangis, kamu tinggalkan aku dan anak-anak dengan luka menganga, tanpa peduli perasaan kami Mas, sekarang air mataku sudah kering, lukaku sudah terobati, anak-anak sudah terbiasa tanpa kehadiranmu, jangan datang lagi kalau hanya untuk membuka luka yang sudah tertutup."
Mas Amin menunduk. Untuk pertama kalinya ku lihat lelaki itu menangis. Aku bergeming.
"Sudahlah Mas tak ada yang perlu di sesali. Kamu yang memulai semuanya. Kalau kamu sungguh mencintai Karin pergilah, urus perceraian kita secepatnya, aku ikhlas. Aku bukan tak mau mengurusnya tapi saat ini aku tak ada waktu banyak untuk urusan begitu."

Mas Amin memandangiku, seperti menyadari sesuatu. Netranya lekat menyusuri setiap lekuk tubuhku. Seperti menyelidiki.
"Bunda kerja?" Tanyanya ragu.
Aku mengangguk.
"Di mana Bun, sejak kapan," tanyanya lagi.
"Sejak kamu memilih hidup bersama Karin."
Jawabku datar.
"Bunda....sangat cantik." Ucapnya lebih seperti berbisik.

Dalam hati aku tergelak. Selama ini suamiku seperti tertutup mata hatinya. Yang cantik depan mata tak kelihatan malah milih yang di seberang jalan.

"Ah kamu Mas bukannya aku dari dulu juga sudah cantik, hmmm."
"Iya ayah tahu tapi sekarang beda..."
Ucapannya menggantung.

Tak urung aku jadi menelisik penampilanku hari ini. Setelan jas biru muda dengan blouse putih dipadu celana panjang warna hitam, kerudung polos segi empat warna senada dengan bros kecil menggantung manis, yah pekerjaanku yang selalu berinteraksi dengan orang lain memaksa aku untuk tampil sempurna.

Aku tersenyum menangkap binar di mata Mas Amin. Sekian lama menjadi istrinya, aku tahu binar apa itu. Sejak di tinggal Mas Amin, aku menyibukkan diri dengan pekerjaan, mengurus rumah dan anak-anak, dan tak lupa memanjakan diriku dengan perawatan tubuh dan senam aerobik. Sepertinya perubahan di tubuhku ini yang menyebabkan binar itu.

"Sudahlah Mas, kamu bisa nyuruh Karin senam. tubuhnya bisa bagus kok, jangan sibuk aja ngurusin bisnisnya, badannya tuh di rawat biar gak kaya buntelan."
Ujarku seraya tersenyum menggoda. Mas Amin terlihat salah tingkah. Aku tak mau buang waktu, pekerjaan menumpuk di kantor, aku harus segera balik sekarang. Bergegas aku masuk mobil. Meninggalkan Mas Amin yang kelihatannya masih terpukau.

"Aku pamit ya Mas, pekerjaanku banyak."
Sambil melempar senyum aku berlalu. Aku tahu masih ada sisa cinta di matanya walau sedikit. Baguslah Mas biar kamu tahu gimana rasanya di tinggalkan orang yang masih kamu cintai.
***

Pukul sepuluh malam aku baru tiba di rumah. Pekerjaanku cukup menyita waktu dan energi. Setelah memasukan mobil ke garasi aku segera masuk ke dalam rumah, tapi di depan pintu aku tertegun. Ada dua pasang sandal yang aku tahu bukan milikku apalagi milik anak-anak. Segera aku menuju ruang tengah untuk menuntaskan rasa ingin tahu.

Mas Amin dan Karin. Dua makhluk itu sudah duduk manis di depan tv. Anak-anak tak terlihat. Hanya Bibik Minah, asisten rumah tanggaku yang lagi duduk menemani tamu tak di undang itu.
"Ada apa." tanyaku langsung dan datar.
"Bunda...."
Mas Amin sepertinya mau mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu.
"Jangan pikir aku kalah Merry," tiba-tiba lantang suara Karin, sumpah aku kaget. Ku tatap tajam wajah wanita tak tahu malu itu.
"Kamu pikir selama ini kita perang gitu Karin? Perang memperebutkan apa? Laki laki ini?" tanyaku geram sambil menunjuk wajah lelaki di hadapanku.
"Ambil, ambiilll... aku sedekahkan untuk kamu, aku tak butuh!"
"Bunda, apa tak ada lagi rasa cinta untuk Ayah Bun, apa Bunda tak berniat mempertahankan ayah?"
"Hah? Kamu pikir kamu itu benda mati apa ya, jadi aku harus berjuang buat mempertahankan kamu. Kamu punya hati punya otak kamu tahu apa yang harus kamu perjuangkan. Bodoh sekali kamu Mas. Selama ini aku dan anak-anak di sini kami tak ke mana-mana, kita cuma di batasi jalan raya, tapi tak sekalipun kamu menengok kami. Harusnya kamu tahu ke mana kamu pulang. Perempuan ini benar benar sudah membuat mu lupa jalan pulang, katakan gimana caranya aku bisa mempertahankan kamu, sementara kamu sendiri tak tahu gimana caranya kamu mempertahankan diri kamu. Bertahun-tahun kamu menjadi anggota TNI, kamu tahu aturan, tapi apa, kamu seolah sengaja membiarkan karir dan jabatanmu jatuh begitu saja hanya demi perempuan ini. Lalu apa, apa yang kami harapkan lagi dari kamu. Sekarang aku tanya sama kamu sekali lagi Mas, kamu pilih keluarga kamu apa perempuan ini."
Aku benar-benar emosi, kutatap lekat wajah Mas Amin menunggu jawabannya.
"Ayah.."
"Jangan bilang kamu mau ninggalin aku Mas." Karin memotong ucapan Mas Amin.
"Bisakah kamu diam sedikit saja Karin, kasih kesempatan suamiku bicara."

Geram melihat tingkah si Karin. Muak sebenarnya. Ingin sekali menendangnya keluar dari rumahku. Tapi untuk kali ini aku ingin mendengar langsung keputusan Mas Amin.
Tapi dasar Karin wanita tak tahu malu. Seakan tak ingin membiarkan Mas Amin mengeluarkan isi hatinya. Digenggamnya tangan Mas Amin, wajah memelasnya sungguh memuakkan.

"Tolong nikahi aku lagi Mas. Aku akan mendampingi kamu di pelosok. Aku rela Mas yang penting bisa hidup sama kamu."

Benar-benar Karin kali ini bikin emosiku sampe ke ubun-ubun. Apa dia lupa, dia yang menyebabkan Mas Amin di copot dari jabatannya sampai akhirnya di pindahkan ke pelosok. Apalagi melihat Mas Amin yang bak boneka Karin. Tak ada sedikitpun usahanya untuk mempertahankan rumah tangga kami. Sikapnya yang lemah dan ketakutan saat melihat Karin marah-marah sungguh membuatku muak.

"Mas kamu pilih siapa? Kalau kamu memilih Karin silahkan keluar dari rumah ini dan jangan pernah berfikir tuk kembali."
Mas Amin beranjak dari duduknya di ikutin Karin.
"Maafkan ayah Bun." ucapnya sambil melewati aku yang lagi berdiri tanpa memandangnya.
"Itu keputusanmu Mas. Kamu tahu apa akibatnya nanti. Ku harap kamu gak pernah menyesal."

Aku membalas ucapannya tanpa menoleh. Dari tempatku berdiri ku dengar pintu pagar di tutup, tanda dua tamu tak di undang itu telah pergi dari rumah ini.
Tak terasa air mataku menetes setelah sekian lama kering. Aku tak tahu apa yang ku tangisi, selamanya ditinggalkan suamiku atau bayangan kejatuhan Mas Amin kelak.

*****

Aku melangkah menuju balkon, semilir angin terasa dingin menyentuh kulit. Di seberang jalan terlihat rumah megah itu dengan lampu yang masih menyala, menandakan penghuninya yang belum terlelap. Rumah yang sudah membuat suamiku lupa rumahnya sendiri.

Bayanganku kembali ke masa silam. Masa-masa perjuangan Mas Amin menempuh pendidikan sebagai seorang perwira. Saat ekonomi lagi terpuruk, tapi demi mendukungnya menempuh pendidikan, aku rela banting tulang.
Biaya untuk menempuh pendidikan perwira tidaklah murah. Aku rela melepas perhiasan emas pemberian orang tua aku semasa gadis, demi membantu perjuangan suamiku. Untuk sementara kami hidup berjauhan. Mas Amin di tanah Jawa, aku dan anakku Aliya di pelosok Maluku Utara. Aku ikhlas, demi mendukung karir suami.

Membiayai suami yang lagi menempuh pendidikan dan mengurus perawatan mertua yang sakit diabetes bukanlah hal yang mudah. Mengandalkan gaji Mas Amin dan uang remonerasi tidaklah cukup. Aku mulai putar otak. Dapur harus tetap mengepul, Mas Amin harus tenang melanjutkan pendidikan, dan bapak mertua harus tetap menjalankan perawatan sampai sembuh.
Dengan uang seadanya dan sedikit ketrampilan membuat kue, aku membeli bahan-bahan kue. Kue pertama buatanku adalah roti manis dan donat.

Komoditi terbesar di pulau tempat kami bertugas dulu adalah kelapa dan cengkeh. Aku melihat peluang bagus. Kebetulan saat itu lagi musim panen cengkeh. Aku menjual kue dengan cara barter sama cengkeh dan kelapa. Aku rela masuk kebun dan hutan, demi menemui pelanggan. Setelah kue habis, aku pulang membawa cengkeh mentahan yang beratnya lumayan.
Apalagi membawanya dengan menenteng di kepala, sambil berjalan kaki naik turun bukit. Jarak yang di tempuh bisa memakan waktu dua jam perjalanan. Sungguh melelahkan.
Setiap hari pekerjaan itu aku lakonin. Setelah cengkeh kering dan kelapa jadi kopra, semuanya aku jual dan hasilnya di kirim untuk Mas Amin.

Lelah ku terbayar saat mendampingi Mas Amin di lantik sebagai seorang perwira. Bangga dan bahagia menjadi satu. Perjuangan kami tak sia-sia. Aku tak perlu menceritakan ke suamiku itu seberat apa perjuanganku untuk meraih semua itu. Tak perlu, karena bagiku itu bakti seorang istri. Tapi tubuh ringkih dan muka kucel yang tak biasa jadi pertanyaan buat Mas Amin.

"Bunda kelihatan kurus, kurus banget malah, gak kaya biasanya," pertanyaan Mas Amin hanya ku jawab dengan senyum.
"Bun, ini kulitnya juga hitam gini, selama ayah ga ada bunda ngapain aja?" tanyanya lagi.
"Bunda jualan kue Yah, di tukerin sama cengkeh dan kelapa, mungkin ini efek dari menjemur cengkeh tiap hari dan mengasap kelapa jadi kopra." jawabku santai sambil tersenyum.
"Apa?" Mas Amin terkejut.
"Bunda ngapain ngelakuin itu semua?" tanya suamiku seakan tak percaya.
"Sudahlah, demi kita juga. Gaji ayah gak cukup yah, belum biaya pengobatan bapak, tiap bulan harus bunda kirim. Sudahlah sekarang bunda bahagia pengorbanan bunda gak sia-sia." Mas Amin langsung memeluk, menciumku berkali-kali.
"Bunda makasih ya, selamanya ayah gak akan lupain pengorbanan bunda."

Aku hanya tersenyum waktu itu. Aku berdoa semoga lelahku menjadi berkah. Semua yang ku lakukan tulus ingin mendukung karir suami. Tak pernah ku sangka kalau semuanya berakhir seperti ini.

Tak ada lagi yang perlu di harapkan. Saat jabatannya di copot aku masih berharap Mas Amin bakal berubah dan memilih kami, walau sakit aku akan menerimanya demi anak-anak. Aku akan tinggalkan pekerjaanku dan akan menemaninya walau di pelosok lagi seperti dulu saat masih Bintara. Tapi sepertinya semuanya takkan pernah terjadi. Semuanya sudah berakhir. Kepergian Mas Amin nanti bersama perempuan tak tahu diri itu adalah awal dari kehancurannya, aku pastikan itu. Mas Amin dan Karin sudah membuat hatiku benar-benar jadi batu.
***

Hari masih pagi ketika aku harus segera berangkat ke kantor. Hari ini ada klien yang ingin bertemu.
Ku jalankan mobil dengan tenang ketika ada yang menghadang dari depan, Karin.

"Waduh kamu kerja sekarang ya Merry? Kenapa, apa gaji Mas Amin dan uang pemberian aku masih kurang? duh Merry ternyata kamu istri yang boros ya," cerocos Karin seolah meledekku.
"Minggir Karin, aku buru-buru nih," Aku mencoba tetap tenang walau hati bergemuruh.
"Makanya jadi orang jangan kere, lihat aku nih, hartaku banyak sampai suamimu aja tega ninggalin kamu kan? Oh ya hari ini juga aku dan suamimu itu akan pergi ke pelosok, aku akan menemaninya di sana sebagai nyonya Amin.

Kesabaranku habis, tapi aku tak mau ribut di pinggir jalan.
Mobil ku parkir agak menepi. Aku melangkah turun dari mobil dan berjalan melewatinya yang berdiri di tepi pagar rumahnya.
Tentu saja Karin terkejut melihatku nyelonong masuk ke dalam rumahnya.
"Eh kamu, mau apa masuk rumahku segala, mau bujuk Mas Amin biar pulang sama kamu gitu?" Aku tak menjawab, hanya berdiri melipat tangan di dada, menatapnya tajam.

Terdengar langkah kaki dari tangga. Mas Amin turun membawa koper besar. Sepertinya benar ucapan Karin barusan, mereka sudah siap ke pelosok.
Mas Amin yang melihatku berada dalam rumahnya melihatku penuh tanya.

"Aku cuma mau mastiin kalian tak lupa dengan perjanjian yang sudah kalian tanda tangani setelah nanti di pelosok." ucapku sambil menatap Karin dan Mas Amin bergantian.
"Sudah pasti aku tak lupa, mana rekening kamu, aku akan mentransfer setiap bulan." ucap Karin pongah.
"Tidak Karin, aku gak mau kamu transfer, aku minta pembayaran untuk satu tahun ke depan."
Karin terkejut. Dalam hati aku tergelak. Suruh siapa Karin kamu selalu mengganggu kehidupan ku. Tadinya tak terpikir sedikitpun untuk meminta seperti itu, tapi kelakuan Karin barusan di jalan membuatku ingin membuatnya menyesal.

"Mana Karin? Katanya kamu banyak harta, orang kaya, masa cuma seratus delapan puluh juta kamu gak bisa kasih sekarang,"
"Kamu bohong Merry, kamu janji gak akan melaporkan Mas Amin, buktinya apa, Mas Amin di copot dari jabatannya. Sekarang kamu minta lagi uangnya, setelah ini kamu pasti melaporkan Mas Amin."
"Aku gak pernah melanggar janji. Namanya bangkai pasti suatu saat tercium juga."

Karin cemberut. Tanpa membalas ucapanku Karin berlalu ke kamarnya. Tak lama wanita itu kembali lagi sambil menenteng kantong kresek berlogo salah satu swalayan.

"Ini ambil. Sebenarnya ini buat bekal aku dan Mas Amin di pelosok nanti. Tapi gak apa-apa buat kamu aja dulu. Aku bisa ambil lagi nanti, aku lebihin jadi dua ratus juta...."
"Ooooh dengan senang hati, aku terima ya, permisi." aku memotong ucapan Karin, mengambil kantong berisi uang tersebut, aku menghampiri Mas Amin.
"Tak ada sedikitpun niat untuk melaporkan kamu juga Karin, tapi jika suatu saat ketahuan lagi hubungan kalian, kamu tak perlu repot-repot menyangka kalau itu aku yang melakukannya. Kamu pasti tahu sendiri cepat atau lambat  hal yang kamu takutkan pasti terjadi. Dan saat itu terjadi, aku dan anak-anak sudah jauh pergi dari hidup kamu. Jangan pernah berharap pintu maaf lagi dari aku juga anak-anak."

Aku berlalu diiringi tatapan menyebalkan dari dua manusia tak tahu malu itu.
Dasar bodoh, yang di pikirannya cuma nafsu. Yakin banget selamanya akan aman. Karin kamu tunggu aja gak akan sampe setahun kamu pasti menangis darah.
Dan kamu Mas, pergilah Mas, nikmati harimu bersama Karin di pelosok sana. Tunggu saja kehancuranmu di depan mata.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER