Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 14 Januari 2020

Aku Bukan Wanita Bodoh #5

Cerita bersambung

Suasana kantor masih sepi saat aku tiba di lobi. Ku coba menghubungi klien yang katanya ingin bertemu dan melihat rumah yang akan di belinya.
Semoga rejeki lagi hari ini, doaku.

"Assalamualaikum, pak maaf bapak di mana saya sudah menunggu di lobi."
"Walaikumsalaam maaf bu saya sudah di lokasi, pas di depan rumah yang mau saya beli, saya harap bisa ketemu di sini aja ya bu."
"Baiklah pak, saya segera ke sana."
***

Lelaki berbadan tegap, mengenakan pakaian dinas khas TNI-AD, sedang berdiri di depan salah satu rumah yang belum ada penghuninya, sambil mengamati, kelihatannya serius.

Hati-hati aku menghampiri lelaki tersebut. Dari pangkatnya terlihat lelaki itu jauh beberapa tingkat lebih tinggi dari Mas Amin. Aku sedikit deg-degan, mengingat kasus Mas Amin yang masih hangat-hangatnya. Jangan sampai orang ini hanya datang untuk menginterogasi.

"Ah kok aku jadi parno gini ya," kataku dalam hati.
Berjalan pelan berharap apa yang ku pikirkan salah, semoga.
"Asalamualaikum Pak,"
"Walaikumsalam,"
 Orang itu menoleh dan melemparkan senyum ramah.
"Maaf apa ini Bapak Wahyu?"
"Iya bu,"

Kembali lelaki bernama Wahyu itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangan menyalamiku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling perumahan berharap ada tempat duduk buat aku dan Pak Wahyu.

"Udah bu tak perlu repot-repot saya gak lama, saya masih banyak urusan, kita selesaikan saja ya."
Sepertinya Pak Wahyu membaca pikiranku.
"Oh silahkan pak, bapak pilih rumah yang mana, mau pembayaran cash atau proses KPR pak?" tanyaku sopan.
"Saya bayar cash aja, tapi saya mau yang belum di bangun, saya ingin mendesain sendiri interiornya."
Aku mengangguk tanda paham.
"Baik pak, mau type berapa, di sini tersedia type rumah dari type 40 sampai type 80, "
"Saya mau yang type 80 aja ya bu, saat ini saya kasih tanda jadi dulu 70 persen. Sisanya saya kasih kalau rumahnya sudah selesai, gimana?"
"Bisa pak, sebentar pak saya bikin kwitansi dulu."

Alhamdulilah dalam hati aku bersyukur. Pembeli tidak neko-neko. Tanpa nawar ini itu langsung deal. Aku sudah salah menilai tadi, tadinya ku pikir orang intel yang sengaja ingin mencari tahu soal Mas Amin dan Karin. Bukannya apa-apa, aku sudah malas dan gak mau lagi berhubungan sama dua manusia itu, kalaupun harus di usut lagi silahkan staf intel bekerja sendiri tanpa melibatkan aku.

Setelah urusan dengan Pak Wahyu selesai aku segera balik ke kantor. Masih ada urusan juga dengan klien lain. Hari ini  tiga unit rumah terjual cash, alhamdulilah.

Dengan kesibukan seperti ini aku bahagia, setidaknya aku bisa melupakan masalah yang membebani selama ini.
***

Lima bulan berlalu, aku menjalani hari-hari tanpa beban. Belajar melupakan dan mulai menata hati. Waktuku ku habiskan dengan bekerja dan mengurus kedua buah hati. Saatnya kami bahagia tanpa kehadiran seorang suami juga ayah.

Bila dulu masih ada ruang yang tersisa di  sudut hati ini untuk Mas Amin, tapi saat ini hati ini tertutup rapat untuknya. Aku tak mau sisa hidupku terbuang sia-sia hanya untuk menangisi seorang suami yang sudah melupakan istri dan anak-anaknya demi wanita lain.

I love you...please say you love me to..
Nada notifikasi dari gawaiku menandakan ada panggilan masuk. Nomor tak di kenal. Biasanya kalau nomor baru yang menelpon itu adalah calon pembeli rumah. Segera ku jawab .

"Hallo, Assalamualaikum ."
"Merry ini aku Karin."
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya kesal.
"Iya ada apa." jawabku datar.
"Merry aku kan sudah memenuhi permintaan kamu, bisakah kamu memenuhi satu aja permintaanku,"
"Apa."
"Tolong gugat cerai Mas Amin, aku gak kuat hidup tanpa status begini, aku dah bela-belain ikut Mas Amin ke pelosok tapi di sini aku gak bisa tenang. Kapan saja aku bisa di tanyain soal surat-surat sebagai istri seorang anggota, aku tak punya, tolong deh Mer kamu ngajuin gugatan cerai, aku juga ingin menjadi istri sah."
Aku menutup mulut menahan tawa. Andai saja aku di rumah dan bukan di kantor, tawaku pasti sudah meledak. Benar-benar wanita di seberang telepon itu sudah tak punya urat malu.
"Eh Karin, harusnya kamu itu pelajari dulu resiko bila selingkuh dengan tentara ataupun polisi. Selamanya kamu yang rugi karena gak akan dapat apa-apa."
"Aku kan cuma minta kamu gugat cerai Mas Amin, kamu bertahan juga buat apa toh dia gak cinta lagi sama kamu"
Ucapnya lagi tanpa beban.
"Karin, kamu pikir aku bodoh ya, aku gugat cerai dan setelah itu kalian bisa menikah gitu? Kalau aku gugat cerai sekarang enak di kalian dong ya, gak segampang itu Karin. Aku gak sebodoh itu. Aku pasti gugat cerai Mas Amin tapi nanti, setelah lelaki yang kau rebut dari istri dan anak-anaknya itu di copot seragam dinasnya. Tenang aja Karin kamu pasti jadi istri sahnya Mas Amin nanti setelah kalian sama-sama jadi blangsak."

Aku tak tahu ucapanku barusan adalah doa atau kutukan. Yang jelas Karin kembali mengorek luka yang sudah lama tertutup. Ada debar aneh saat ucapanku barusan di akhiri dengan iringan petir yang menggelegar.
***

Hari libur selalu ku manfaatkan dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak. Hari ini si bungsu Radit meminta berenang ke sangkan park. Jaraknya cukup jauh dari rumah, tapi aku tak bisa menolak. Ini saatnya memanjakan anak.

Semua perlengkapan dan bekal sudah masuk mobil. Aku mengajak bibik ikut serta. Mobil segera ku nyalakan. Aku akan segera keluar pagar ketika terdengar suara gaduh dari jalan raya. Tak urung membuatku penasaran juga. Aku meminta Aliya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum sempat Aliya turun suara riuh terdengar dari depan rumah Karin di sertai teriakan warga.

"Kebakaran...kebakaran..." Di susul suara berdentum keras seperti benda berat yang jatuh.
Aku langsung turun dari mobil. Setengah berlari aku menuju jalan raya. Kobaran api di depan rumahku, rumah megah itu, rumah Karin.
Rumah megah dan mewah berlantai tiga itu runtuh menyisakan puing-puing yang berserakan. Dua buah mobil mewah yang tadinya terparkir di garasi tinggal kerangka.
Aku terpana dengan pemandangan di depanku, seakan terhipnotis aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Bunyi sirene menyadarkan aku.
"Astagfirullah.. Astagfirullah.. Astagfirullah.."
Aku hanya mampu beristigfar melihat kobaran api yang merembet ke bangunan di sebelah rumah Karin, toko bangunan dan toko meubel milik Karin.

*****

Warga berbondong-bondong mendatangi lokasi kebakaran, niat ingin membantu tapi tak ada yang bisa menerobos pintu pagar yang tinggi dan digembok. Mobil pemadam kebakaranpun tak banyak membantu. Halaman yang luas dengan posisi rumah yang jauh dari jalan raya menyulitkan proses pemadaman. Alhasil kebakaran di rumah Karin hanya jadi tontonan gratis buat warga. Hingga tanpa disadari api sudah merembet ke bangunan di sebelahnya.

Posisi rumah Karin yang bersisian dengan kedua tokonya memudahkan api menjalar dengan cepat. Api mampu dipadamkan, tapi tak ada satu pun barang yang bisa di selamatkan. Kalaupun ada yang masih utuh itu pun sudah berubah warna dan lebih pantas menjadi barang rongsokan.

Pintu pagar rumah Karin baru bisa di buka setelah di bongkar paksa. Petugas pemadam kebakaran langsung masuk menyerbu ke dalam, berharap masih ada yang bisa di selamatkan. Tapi sepertinya percuma. Dari luar pun sudah terlihat rumah megah itu tinggal jadi reruntuhan. Kalaupun ada yang masih berdiri tegak, itu hanya pilar-pilar rumah yang sudah berubah warna karena gosong.

"Itu karma buat Tante Karin ya Bun?" celoteh Aliya tiba-tiba.
"Hush, gak boleh ngomong gitu Kak, itu namanya musibah."
Aliya diam dan hanya memandang ke depan puing-puing tembok itu, entah apa yang di pikirkan putri sulungku itu.
"Tapi aneh ya Bun, rumah itu kan kosong kok bisa kebakaran." kembali Aliya bersuara.
"Udah biarin nanti juga di cari tau penyebabnya sama yang berwajib."
"Bunda gak berniat menelpon ayah?"
"Buat apa Kak?" aku mengernyitkan dahi, aneh dengan pertanyaan Aliya.
"Buat menceritakan keruntuhan rumah wanita pujaan Ayah."
"Aliyaaa...."
Aku terkejut mendengar Aliya bisa bicara seperti itu. Sepertinya dalam diamnya anakku menyimpan kemarahan untuk ayahnya.
"Jangan bilang Bunda kasihan sama Tante itu."

Aliya cemberut. Belum sempat aku menjawab anak itu sudah masuk ke dalam rumah. Aku menyusulnya diiringi rengekan Radit karena acara renangnya batal.
Aku mencoba bicara dengan Aliya. Bagaimanapun aku tak mau anakku membenci ayahnya. Hati-hati aku masuk ke kamar Aliya yang pintunya masih terbuka.

"Kak, boleh Bunda ngomong sebentar aja."
Aliya menatapku sekilas, kemudian mengangguk. Aku tersenyum duduk di sampingnya. Kubelai lembut kepala anak gadisku yang mulai beranjak remaja. Di usia belia gadisku sudah kehilangan kasih sayang seorang ayah.

"Kak, apa selama ini Kakak membenci Ayah? " Tanyaku hati-hati.
Aliya menggeleng pelan.
Aku mengenggam tangannya. Menatapnya penuh kasih.

"Kak, jangan kotori hati kita dengan kebencian pada orang lain apalagi itu ayah, tak terkecuali Tante Karin. Sekalipun orang itu sudah berbuat jahat dan menyakiti hati kita. Serahkan semua sama Alloh. Semua yang sudah terjadi sama kita itu sudah kehendak Alloh. Kita ikhlasin aja, nanti juga ada balasnya. Apa yang kita tabur itu yang kita tuai. Ayah mungkin lebih bahagia dengan pilihannya, jangan kita paksa untuk pulang ke rumah ini. Buat apa ayah di sini sama kita, kita hanya memiliki raganya, tapi hatinya di luar sana."

Aliya menangis.
"Kakak kasihan sama Bunda...Huhuhu.." Tangis Aliya makin menjadi.
Kupeluk anakku. Ku cium pipinya berkali-kali.
"Jangan khawatirkan Bunda. Yang penting kalian sama Bunda itu yang selalu jadi semangat buat Bunda. Kakak belajar yang rajin dan jadi anak yang nurut sama Bunda. Buktikan sama Ayah, tanpa dia juga kalian bisa jadi anak yang sukses."
Aliya menatapku tersenyum.
"Kakak gak akan pernah ngecewain Bunda."

Aku balas tersenyum. Kami tertawa bersama.
***

Acara liburan yang tertunda kami isi dengan membuat kue, mencoba resep baru. Aliya begitu antusias setiap kali aku ajak masak-masak di dapur. Hari ini kami mencoba resep puding biskuit.
Sebenarnya resep ini sudah lama di kasih sama teman waktu masih bertugas di Maluku Utara. Rasanya sangat lezat. Perpaduan rasa cokelat, manis, dan gurih.
Aku memasak agar-agar yang sudah di campur dengan gula dan cokelat bubuk. Sambil mengaduk rebusan agar-agar sesekali bercanda dengan Aliya yang lagi asyik mencampur telor dan mentega. Bahagia rasanya bisa menghabiskan waktu bersama anak.

Candaan kami terhenti oleh bunyi gawai milik Aliya. Sambil menjawab panggilan Aliya berjalan menjauh dan memberi kode agar aku meneruskan pekerjaannya. Aku mengiyakan. Selang beberapa menit Aliya kembali.

"Bun, teman sekolah Kakak mau nginap di sini, boleh gak?"
"Teman yang mana Kak?" Tanyaku tanpa menoleh.
"Teman baru Bun, namanya Tania. Dia baru pindah ke sekolah Kakak tiga bulan yang lalu." jelas Aliya lagi.
"Lho emang orangtuanya ke mana?"
"Ibunya meninggal saat melahirkan Tania. Sejak itu bapaknya gak pernah menikah lagi. Dulu Tania tinggal sama neneknya. Tapi sekarang sudah tinggal bersama bapaknya di sini."
Aliya menjelaskan panjang lebar soal teman barunya itu.
Aku tak menjawab meski dalam hati tergugah dengan cerita Aliya.

Agar-agar sudah matang. Aku mulai mengambil biskut satu persatu dan menyusunnya satu persatu ke loyang bersama adonan agar-agar.
"Gimana Bun?"
Aku menoleh. Kulihat Aliya menunggu jawaban dengan mimik serius.
"Bapaknya Tania ke mana gitu?"
"Dinas keluar kota. Katanya dua hari, perginya mendadak ada urusan penting jadi Tania tak sempat di titipkan di rumah neneknya. Please  Bun, kasihan Tania."
Aliya memohon sambil menangkupkan tangannya di depanku.
Aku tersenyum melihat tingkah putriku.
"Baiklah, boleh."
"Makasih Bun"

Aliya mencium pipiku lalu berlari menuju kamarnya berniat memberitahu Tania kalau dia di izinkan menginap di rumah kami. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya.
***

Pagi sedikit mendung saat aku memulai aktivitas. Setelah sarapan seperti biasa aku mengantar Aliya dulu ke sekolah. Kali ini Aliya tak sendiri. Ada Tania yang bersamanya. Gadis manis Berkulit kuning langsat dengan lesung pipi, berhidung mancung dengan alis tebal. Sikapnya sangat santun. Baru dua malam Tania menginap di rumah kami tapi aku sudah menyukainya. pribadinya yang supel dan periang membuat kami cepat dekat.

Hari ini Tania terakhir menginap di rumah kami. Katanya hari ini ayahnya akan menjemputnya.
Melewati rumah Karin aku sempatkan menengok rumah dan tokonya lewat jendela mobil. Masih sepi, hanya terlihat puing-puing bangunan berserakan. Aku heran rumah dan tokonya sudah ludes terbakar tapi kenapa Karin belum menampakan batang hidungnya. Apa dia tak di beritahu, atau jangan-jangan tak ada jangkauan signal komunikasi sama sekali. Entahlah.
***

Suasana sekolah Aliya dan Tania masih sepi saat kami tiba di depan gedung itu. Aliya dan Tania berpamitan dan turun dari mobil.

"Tante, makasih ya, selama Tania di rumah tante, tante sudah baik sekali sama Tania."
Gadis manis itu memelukku sebelum meninggalkan aku yang lagi berdiri di depan pintu mobil.
Aku hanya tersenyum dan balas memeluknya.

"Tania...."
Terdengar suara seseorang
memanggil. Aku dan Tania sama-sama menoleh, mencari arah suara.

"Ayaaah..."
Tania melepaskan pelukanku dan berlari menuju orang yang di panggilnya ayah.
Aku terkejut, di depanku lelaki yang berpelukan dengan putrinya itu tak lain adalah orang yang sudah ku kenal, Pak Wahyu.

Bersambung#6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER