Pak Wahyu tersenyum ramah ke arahku. Aku balas tersenyum.
Setelah Aliya dan Tania masuk ke halaman sekolah Pak Wahyu menghampiriku.
"Apa kabar Bu Merry." ucapnya basa basi.
"Allhamdulilah baik Pak." Jawabku santun.
"Saya sangat berterimakasih Ibu sudah menjaga Tania. Maaf ya Bu kalau merepotkan. Saya harus buru-buru sampai gak sempat menitipkan Tania ke neneknya. Hari itu saya meninggalkan rumah malah tanpa pamit sama Tania, untung ada Ibu dan Aliya. Maaf ya Bu."
Panjang lebar Pak Wahyu menjelaskan seakan tak enak hati.
Aku tertawa lepas, berusaha mencairkan suasana.
"Gak perlu sungkan gitu Pak, saya malah senang ada Tania, gak merepotkan sama sekali."
"Alhamdulilah kalau begitu Bu, saya gak enak aja."
"Santai aja Pak, kapan aja Tania mau menginap di rumah silahkan aja. Apalagi kalau nanti Bapak dinas keluar kota, kan kasihan kalau Tania sendiri di rumah."
Pak Wahyu mengangguk. Wajahnya yang tadi tegang jadi sumringah.
"Maaf Pak saya harus pamit mau meneruskan perjalanan ke kantor."
Aku pamit ke Pak Wahyu dan melemparkan senyum untuk beberapa anggota prajurit yang berdiri menunggu Pak Wahyu di samping mobil dinas.
"Silahkan Bu, saya juga sama anak buah saya mau ke daerah bojong, di jalan Meranti"
Aku mengernyitkan dahi saat mendengar nama daerah tempat tinggal aku di sebut. Apalagi menyebut nama jalan Meranti, itu persis lokasi rumahku. Tak urung menimbulkan rasa penasaran juga dalam hati.
"Mau ke siapa Pak? Itu daerah rumah saya." tanyaku langsung.
"Oh ya? kebetulan sekali ya Bu. Saya mau mencari istri salah satu anggota TNI yang tinggal di situ. Mungkin ibu kenal."
"Siapa nama anggota itu pak." tanyaku datar. Dalam hati aku berdebar.
Di daerah tempat tinggal aku cuma Mas Amin yang berprofesi Tentara. Tapi semoga dugaanku salah.
"Amin Pratama."
Deg!
"Ada masalah yang harus segera di selesaikan. Makanya saya harus menemui istrinya. Istrinya harus segera menghadap ke Kodam."
Glek. Aku menelan saliva. Pasti Mas Amin sudah melakukan hal yang memalukan.
"Saya tak mau lagi berurusan dengan suami saya. Apapun keputusannya saya terima Pak, saya sudah ikhlas."
Suaraku bergetar. Bagaimanapun aku malu dengan kelakuan Mas Amin. Aku diam karena aku menjaga nama baiknya. Tapi dia sendiri tak bisa menjaga nama baiknya.
"Maksud ibu?"
Aku menoleh, mendengar pertanyaan Pak Wahyu. Wajahnya penuh tanda tanya.
"Saya orang yang bapak cari."
Pak Wahyu menatapku tajam, kemudian menarik nafas panjang. Tangannya melambai ke arah anggota prajurit yang sejak tadi menunggunya.
Salah satu anggota prajurit maju dan mengangguk hormat di depannya.
"Petunjuk Dan!"
"Kayanya kita gak perlu ke daerah Bojong. Orang yang kita cari ada di sini. Kabarin ke yang lain. Kita balik ke kantor."
"Siap Dan!"
Prajurit itu berlalu. Pak Wahyu menatapku lekat.
"Kapan ibu ada waktu. Kita harus ikut prosedur. Ibu harus ikut saya ke Kodam."
Aku berpikir sebentar. Sejujurnya hatiku berat berurusan dengan Mas Amin dan Karin. Tapi peraturan dan prosedur harus di ikuti.
"Saya ijin atasan saya dulu."
Pak Wahyu mengangguk sambil tersenyum.
"Suami ibu dan wanita itu sudah di amankan, tapi untuk sementara dua-duanya lagi di rawat di rumah sakit karena banyak luka. Mereka babak belur di gebukin warga. Telepon genggam keduanya kami sita, kalau ibu mau bicara sama suami bisa saya hubungkan sekarang."
"Tidak perlu." cepat aku menjawab.
"Ya sudah, kabarin kalau ibu sudah siap ke Kodam. Saya permisi ya Bu."
Pak Wahyu dan anak buahnya sudah berlalu, meninggalkan aku yang masih mematung. Pantes saja sampai detik ini saat rumahnya hancur leburpun Karin tak menampakan batang hidungnya. Ternyata telepon genggamnya di sita. Dalam hati ada rasa iba untuk wanita itu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tapi perbuatan mereka pasti sungguh memalukan sampai bisa di amuk warga seperti itu.
***
Setelah mendapat ijin dari atasan di kantor, aku segera menghubungi Pak Wahyu.
"Asalamualaikum Pak, ijin pak, hari ini saya siap berangkat ke Kodam."
"Walaikumslaam, baik Ibu, Ibu siap-siap aja nanti anggota saya menjemput ibu."
"Terimakasih Pak asalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Aku menutup telepon. Segera bergegas menyiapkan beberapa perlengkapan untuk ku bawa.
***
Aku menghampiri Aliya dan Tania yang lagi belajar. Melihatku datang Tania langsung menyalami dan mencium kedua pipiku. Kebiasaan anak itu, setiap ketemu aku anak itu sangat manja.
"Aliya dan Tania Bunda tinggal ya, kalau urusannya belum kelar sepertinya Bunda menginap. Kalian gak apa-apa?"
"Siap bunda." Aliya dan Tania menjawab kompak dengan gaya ala tentara. Aku tertawa geli melihatnya.
"Tania udah kasih tau ayah belum kalau lagi di sini?"
"Sudah dong Bun, malah ayah yang ngomong mau anterin Bunda Merry ke Kodam."
Aku terkesiap mendengar ucapan Tania barusan. Sejak kapan anak itu menyebut aku dengan sebutan Bunda bukan tante lagi.
"Bun jagain ayah Tania yaaa..." sambung Tania dengan senyum menggoda.
"Emang ayah Tania anak kecil ya jadi harus di jaga" aku balas bercanda. Kedua gadis belia itu malah tertawa cekikikan. Dasar anak jaman sekarang.
"Aliya jagain adik kamu ya. Perlu apa-apa ngomong ke Bibik. Daaah Sayang."
Aku mengecup kedua pipi Aliya dan Tania bergantian, kemudian berlalu ke lantai bawah menghampiri anak buah Pak Wahyu yang sudah menunggu.
*****
Pagi yang cerah, mengiringi perjalanan kami. Aku duduk di jok belakang seorang diri. Sementara pak Wahyu duduk di depan, di samping anak buahnya yang mengemudi.
Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Tapi dalam hati beribu pertanyaan muncul.
Apa sebenarnya yang sudah di lakukan Mas Amin dan Karin sampai bisa menimbulkan kemarahan warga. Meski aku tahu Mas Amin tergila-gila sama Karin, tapi setidaknya dia bisa menjaga nama baiknya saat di tempat tugas.
Aku seperti tak mengenal Mas Amin lagi. Dulu saat bersamaku Mas Amin lelaki yang santun, selama bertugas di pelosok Mas Amin sangat dihormati oleh masyarakat. Aku akui pengaruh Karin terhadap Mas Amin luar biasa.
Seharusnya di usia dan jabatan sekarang Mas Amin lebih bijak, bukan malah sebaliknya.
Tak sengaja aku melirik Pak Wahyu. Sepertinya Pak Wahyu usianya di bawah usia Mas Amin, tapi pangkatnya lebih tinggi. Jelas saja karena Pak Wahyu jebolan Akademi Militer. Beda dengan Mas Amin yang lulusan Bintara. Tapi menilik sifatnya Pak Wahyu sangat dewasa, lebih matang dari usianya. Pembawaanya kalem dan sangat santun.
"Maaf Bu kita istirahat dulu ya kita minum dulu atau makan. Nanti di lanjutkan lagi perjalanannya."
Ups, lamunanku buyar oleh ucapan Pak Wahyu barusan. Mukaku memerah, bukankah tadi aku lagi menatap ke arah Pak Wahyu walau dari arah belakang.
"Ayo Bu."
Pak Wahyu membukakan pintu mobil. Aku gelagapan. Duh mikir apa aku ini. Rutukku dalam hati.
Pak Wahyu menatapku tersenyum. Sambil mempersilahakn aku menuju ke dalam Rumah Makan. Tak sadar rupanya aku saat mobil sudah menepi, ampun deh.
Lantunan musik tarling mengiringi makan siang kami. Aku memilih menu ringan, karedok seporsi dan segelas es jeruk. Pak Wahyu dan rekannya memilih menu yang sama, ayam bakar plus sambal lalap. Kami makan dengan lahap. Sesekali di selingi guyonan dari Pak Wahyu. Anehnya sejak Pak Wahyu tahu aku istrinya Mas Amin, tak sedikitpun Pak Wahyu membahas masalah atau kasus Mas Amin. Sepanjang perjalananpun Pak Wahyu hanya diam tak pernah menyinggung soal Mas Amin dan Karin. Entahlah, mungkin nanti setelah di buat berita acara di Kodam, aku harus siap menjawab setiap pertanyaan yang di lontarkan penyidik.
Setelah makan, Pak Wahyu berpamitan ke toilet, di susul rekannya yang baru ku tahu namanya kopral Dodi.
Aku menyempatkan menelpon anak-anak.
"Hallo asalamualaikum Bunda,"
Belum sempat ku sapa Aliya sudah menjawab duluan.
"Walaikumsalam sayang, lagi apa Kak, udah pada makan belum?"
"Udah dong Bun. Ini Bun Tania mau ngomong."
"Hallo Bundaaa," suara manja khas Tania terdengar di seberang telepon.
"Iya Tania, ada apa,"
"Bun Tania mau ngomong sama Ayah dong."
Aku celingukan mencari Pak Wahyu, tapi batang hidungnya tak kelihatan.
"Ayah Tania tadi ke tolilet. Belum balik lagi. Langsung aja deh Tania telepon ke Ayah ya."
"Udah Bun tapi ayah gak angkat. Tolong deh Bun cari Ayah."
Aku menarik napas panjang. Dengan terpaksa aku harus ke toilet.
Belum sampai ke toilet ku lihat Pak Wahyu lagi duduk di pinggir kolam sambil memainkan ponsel. Sepertinya aku di kerjain Tania, katanya tak bisa menelpon ayahnya, buktinya itu Pak Wahyu lagi memegang telepon genggamnya. Aku berniat pergi dari situ sebelum ketahuan Pak Wahyu. Cepat aku berbalik.
"Bu Merry"
Duh ketahuan deh. Ini gara-gara Tania, omelku dalam hati.
"Tante, udah ketemu ayah belum?"
Suara gadis jail itu terdengar lagi di seberang.
"Tania, itu Ayah kamu kan lagi megang handphone masa susah di hubungi?"
"Nanggung Tante..,"
"Bu Merry, ada apa?
Pak Wahyu sudah berdiri di belakang punggung. Secepatnya aku memberikan gawaiku ke Pak Wahyu.
"Maaf Pak ini Tania."
Dengan wajah penuh tanda tanya Pak Wahyu menerima gawai yang kusodorkan padanya.
Aku berlalu dari hadapan Pak Wahyu dan kembali ke meja. Belum nyampe lima menit di susul Pak Wahyu.
"Ini Bu, makasih ya. Saya heran kenapa Tania gak langsung menelpon saya malah ke Bu Merry."
"Iya Pak, mungkin tadi kebetulan saya nelpon Aliya."
Pak Wahyu mengangguk. Aku merasa aneh dengan suasana yang tiba-tiba menjadi kaku. Di kantor aku terbiasa menghadapi klien dengan berbagai latar belakang, tapi aku tak pernah canggung. Apa karena saat ini berhadapan dengan atasan suami, entahlah.
"Bu kita lanjut lagi ya"
"Siap Pak."
Kami beriringan menuju parkiran. Sebentar lagi sampai. Pikiranku berkecamuk. Memikirkan apa yang terjadi nanti setelah bertemu Mas Amin dan Karin. Tak pernah terbayang sebelumnya kalau lelaki yang berhasil meluluhkan hatiku dengan lantunan ayat suci itu, sekarang mengalami nasib tragis hanya karena nafsu yang tak terbendung.
***
Mobil memasuki pelataran parkir. Aku segera turun meski tak urung hati ikut berdebar.
Pak Wahyu menatapku lama sebelum kaki kami melangkah ke dalam Rumah Sakit. Jelas saja aku jadi salah tingkah. Tatapan mata itu begitu teduh, seakan ikut merasakan suasana hatiku yang galau.
"Bu Merry yang kuat ya, sabar."
Tangan Pak Wahyu tanpa di sadari mengelus lembut pucuk kepalaku yang tertutup kerudung.
Aku tersentak, dan refleks menarik kepalaku menjauhi jangkauan Pak Wahyu. Pak Wahyu juga seperti baru sadar. Buru-buru minta maaf.
"Maaf Bu, saya reflek tadi, ga di sengaja, sekali lagi maafkan saya ya Bu kalau saya dianggap kurang sopan."
Pak Wahyu menangkupkan kedua tangannya, aku jadi serba salah.
"Ya sudah Pak kita masuk sekarang ya."
Pak Wahyu mengangguk canggung.
***
Kami disambut salah satu prajurit yang bertugas menjaga Mas Amin di ruangan tempat Mas Amin di rawat. Tanpa banyak basa basi aku dan Pak Wahyu segera masuk ke dalam ruangan.
Terlihat Mas Amin masih terbaring lemah. Wajahnya terlihat membengkak tak berbentuk dengan luka di kedua pipi. Kepalanya di balut perban. Aku berulangkali mengucapkan istighfar. Melihat kondisi Mas Amin tak pelak membuat linu. Tepatnya linu di sudut hati. Bayangan kejadian sebelum di sergap warga seolah menari-nari di pelupuk mata.
Menahan gemuruh di dada aku menghampiri ranjang tempat Mas Amin berbaring. Aku mencoba menyentuh lengannya.
"Mas." Panggilku lirih.
Mas Amin menoleh. Sedikit terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
"Bun...." lirih suara Mas Amin.
Aku duduk di sisinya, menatapnya dalam-dalam.
"Kenapa harus seperti ini Mas, kenapa kamu mempermalukan harga diri kamu demi perempuan itu?"
Aku tak dapat menahan emosiku. Suaraku bergetar.
"Aku mencintainya." jawab Mas Amin singkat sambil memalingkan wajahnya.
"Cintamu padanya sampe kamu rela semua yang kita perjuangkan hancur Mas. Berapa kali aku bilang, kamu boleh lupain aku dan anak-anak tapi ingat ibumu. Saat kamu melakukan sesuatu jangan ingat kami tapi ingat ibu. Apa yang terjadi sama kamu ini bukan hanya mempermalukan kami tapi juga keluarga besar kamu."
"Peduli apa aku sama keluargaku. Toh mereka juga kalau sudah merasakan uang Karin pasti luluh."
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Amin. Begitu rendahnya pikiran lelaki yang masih bergelar suamiku ini.
"Segitu rendahkah keluarga besar kamu di matamu Mas, semua kamu nilai dengan uang. Kamu pikir perasaan keluarga terutama Ibu bisa di beli?"
"Iya!" jawaban dari arah pintu membuatku menoleh, Karin.
Dengan menggunakan kursi roda yang di dorong oleh seorang perawat, perempuan itu mendekati Mas Amin dan aku yang lagi duduk di tepi ranjang.
"Kenapa sih kamu tak bisa melepaskan Mas Amin untukku Merry. Apa yang kamu harapkan lagi dari dia, tak ada cinta lagi untukmu Merry. Berapa yang harus saya bayar biar saat ini juga kamu melepaskan Mas Amin."
Andai saja wajah Karin tak babak belur seperti itu sepertinya tangan ini sudah menapak sempurna di pipinya. Tak habis pikir aku sama dua manusia ini, entah terbuat dari apa hatinya, hingga sudah babak belur seperti ini saja masih keras kepala dan angkuh. Wanita itu begitu membanggakan hartanya yang tanpa sepengetahuannya sudah ludes di lalap api.
Pak Wahyu terlihat menahan amarah. Menatap tajam ke arah Mas Amin, sepertinya ingin mengutarakan sesuatu tapi masih menunggu reaksiku.
"Jawab Merry, berapa yang kamu minta biar aku bisa sah menjadi istri Mas Amin."
Karin mengulang pertanyaan yang sama. Dengan muka bonyokpun perempuan itu tetap angkuh.
"Mas kamu bisa di beli berapa?" aku balik bertanya ke Mas Amin.
"Jangan menghina, aku mencintainya tulus." ketus suara Mas Amin.
Aku meraih tas yang tadi sempat ku letakkan di ujung ranjang. Segera berlalu dari ruangan itu tapi sebelumnya aku menghampiri Karin di kursi roda.
"Gratis, ambillah lelaki itu untukmu."
Aku berlalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel