Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 17 Januari 2020

Aku Bukan Wanita Bodoh #8

Cerita bersambung

Berkali-kali disakiti, dikecewain, dikhianati, masih saja cinta? Itu adalah kebodohan yang hakiki.
Menata hati, belajar ikhlas, dan berdamai dengan keadaan. Itu lebih baik.
Pilihan Mas Amin untuk tetap bersama Karin adalah bukti, tak ada cinta lagi di hatinya untuk aku juga anak-anak.
Tak sekalipun Mas Amin menanyakan kabar Aliya juga Radit. Berbeda dengan dulu saat masih bersama. Ke manapun perginya pasti menelpon hanya sekedar menanyakan kabar anak-anak. Benar-benar sudah lupa segalanya.


Tak perlu disesali yang sudah terjadi. Yang lebih penting saat ini adalah anak-anak. Menjauh dari kehidupan masa lalu mungkin jalan yang terbaik. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari Mas Amin, baik sebagai seorang suami ataupun seorang ayah.
***

Sambil menunggu kedatangan Pak Wahyu aku membuka grup jual beli rumah di salah satu medsos. Segera aku memposting foto rumah kami, beserta caption, bahwa rumah kami di jual.
Aku berharap rumah segera laku dan aku akan segera pergi menjauh dari kehidupan Mas Amin dan Karin. Aku yakin, walaupun rumah dan tokonya Karin sudah terbakar, Karin pasti masih bisa membangun rumah baru lagi di situ.

"Bu, sudah lama menunggu?"
Pak Wahyu tiba-tiba muncul dari arah belakang.
"Duh Pak, bikin keget aja."
Pak Wahyu terkekeh. Tanpa bertanya lelaki berlesung pipi itu duduk di sampingku.
"Sekarang bisa pulang dulu Bu, nanti ada panggilan lagi. Tunggu aja nanti ada pemberitahuan."
Aku mengangguk. Kami segera beranjak dari situ dan bersisian menuju parkiran.

"Merry...,"
Suara yang sangat aku kenal. Suara Mas Amin. Untuk pertama kalinya sejak mengenal Mas Amin, baru kali ini Mas Amin menyebut nama kecilku.
Aku menoleh. Terlihat Mas Amin dan Karin di kelilingi beberapa anggota prajurit. Aku mendekat ke arah mereka.
"Ada apa."
Mas Amin terlihat ingin mengucapkan sesuatu tapi ragu-ragu.
"Merry, apa kamu akan menikah lagi setelah kita bercerai?"
Dalam hati pengen tertawa mendengar pertanyaan lelaki yang masih bergelar suamiku ini.
"Emang kenapa nanya seperti itu, kamu udah bahagia dengan Karin, aku juga tentunya suatu saat pengen bahagia juga dengan orang yang tulus mencintaiku, dan tentu saja yang setia."
"Kamu gak kasihan anak-anak kalau kamu menikah lagi?"
"Kasihan? Lha kamu selama ini punya rasa kasihan gak saat memutuskan kumpul kebo sama tuanmu ini?"
"Tuan? Maksud kamu?" Mas Amin tampak kebingungan.
"Kamu kan piaraanya, jadi wanita itu tuanmu."
Kataku ketus sambil menatap Karin. Wajah Karin memerah menahan marah, Mas Amin tampak terlihat malu di depan anggota prajurit yang berdiri di situ.

Aku masa bodoh, entahlah tak ada lagi rasa sedikitpun saat ini.
"Kamu berdoa aja Mas semoga rasa yang dulu pernah ada di hatimu untuk aku gak akan kembali, karena jika rasa itu kembali kamu akan merasakan apa yang pernah aku rasakan, rasa sakit saat melihat orang yang kita cintai lebih memilih hati yang lain. "

Mas Amin terpaku. Aku berlalu dari hadapannya, memasuki mobil yang sudah di buka pintunya oleh Pak Wahyu. Mobil segera meluncur membawaku kembali pulang ke rumah menemui anak-anak, diiringi tatapan sendu lelaki yang pernah menjadi raja di hatiku, dulu.
***

Perjalanan cukup melelahkan. Tak terasa sepanjang perjalanan aku tertidur. Aku terbangun oleh tepukan halus di pundakku.
"Bu, kita sudah sampai."

Pak Wahyu tampak tersenyum menatapku. Senyum itu terlihat meneduhkan. Ada desir aneh, tak pelak aku jadi salah tingkah. Secepatnya aku turun dari mobil. Pak Wahyu ikut turun.
"Bundaaa....,"
"Ayaaah.......,"
Aliya dan Tania serentak menghambur ke arahku, memeluk dan menciumku bergantian. Aku kelabakan.
"Tania, kok Ayah di anggurin," pak Wahyu bersuara.
"Heheh..," Tania cengengesan.
"Bunda gak jadi nginap ya," tanya Aliya.
Aku hanya tersenyum memeluknya. Rasanya kangen seharian penuh meninggalkan putri sulungku itu.
"Bu, kami permisi dulu ya. Aliya makasih ya dah mau temenin Tania."
"Yaaaah, kok buru-buru sih Yah, " protes Tania sambil bergelayut manja di lengan Ayahnya.
"Udah malam nih, nanti lagi ya, dah sana salam ke Bu Merry."
Tania tak menolak. Tanganku di raihnya, lalu Tania mencium punggung tanganku lembut.
"Tania pamit ya Bun, "
Aku mengangguk. Mengelus kepalanya lembut. Pak Wahyu terlihat sumringah melihat kedekatan kami.
"Nanti main lagi ya Tania," ucap Aliya.
Tania mengiyakan, dua gadis itu berpelukan bak sahabat yang akan berpisah jauh. Keduanya tertawa renyah kemudian saling melambaikan tangan.
***

Aku sedang membuka sosmed, mengecek hasil postingan penjualan rumah kemarin. Siapa tahu sudah ada peminatnya. Benar saja, banyak pesan masuk di messenger. Segera aku membuat janji untuk bertemu calon pembeli. Dari sekian banyak peminat tentu saja aku memilih orang pertama yang membayar. Siapa cepat dia dapat, begitulah kira-kira.

Aku masih asyik dengan gawai ketika terdengar ketukan pintu di depan. Dengan malas aku beranjak.
Aku tertegun sejenak. Di hadapanku berdiri dua orang lelaki berwajah oriental. Mereka tampak kebingungan.

"Maaf, cari siapa ya?"
"Ibu Karin, itu pemilik toko meubel di seberang." Jawab salah satu dari kedua tamu itu.
"Orangnya ke mana ya Bu, itu rumah sama tokonya kayanya habis kebakaran ya." Sambung salah satunya lagi.
Aku bingung harus menjawab apa.
"Ehmm, ada perlu apa ya Pak. Emang benar orangnya lagi kena musibah. Tapi saat ini orangnya tak ada di sini."

Terlihat dua tamu tak di undang itu menggaruk kepalanya. Seperti orang putus asa.
Aku mempersilahkan keduanya duduk di bangku teras, dan meminta Bibik membuat minuman.
"Sebenarnya kami ke sini untuk menagih pembayaran. Sudah satu bulan Bu Karin belum membayar barang yang Sudah di ambil dari gudang kami.."
"Lho kok bisa,"
"Iya, biasanya setelah barang di antar langsung bayar, tapi kemarin kata karyawannya pembayarannya nunggu Bu Karin. Salahnya kami tak langsung konfirmasi ke Bu Karin, baru kemarin saya mencoba menelpon, tapi teleponnya gak aktif."
Penjelasan panjang lebar dari tamu di depanku itu.
"Mana lumayan gede pengiriman terakhir itu, satu koma lima milyar." Sambungnya lagi.

Aku terkesiap. Seperti ada yang janggal. Karin pasti tak tahu menahu soal itu. Ya walaupun sifatnya menyebalkan tapi kalau soal hutang tak ada dalam kamusnya.

"Aduh Pak, sepertinya dalam beberapa minggu Karin belum bisa di temui...."
Aku menggantung ucapanku, tak enak melanjutkan.
"Ada apa Bu?"
"Karin lagi di rawat di rumah sakit."

Akhirnya aku menjawab seadanya, dengan tujuan agar mereka tak mencari-cari Karin dulu. Ada rasa iba juga kepada wanita yg sudah merebut suamiku itu jika nanti di tagih-tagih hutang sama orang, sementara keadaannya lagi babak belur begitu.

"Rumah Sakit mana, biar kami samperin."
Deg, jawaban di luar prediksi. Kedua orang itu seperti menahan amarah.
"Atau saya minta nomor telepon yang bisa di hubungi Bu."
"Maaf saya tak punya. Kalau bapak-bapak ini mau menemui Karin silahkan ke rumah sakit aja."

Aku tak mau berlama-lama bicara. Segera aku masuk setelah menyebutkan nama rumah sakit tempat Karin di rawat. Pikirku tak mungkin juga mereka bisa menemui Karin saat ini, toh Karin lagi dalam pengawasan. Pasti tak sembarang orang yang di ijinkan menemui wanita itu.
Aku bernapas lega setelah kedua tamuku itu pergi. Malas juga berurusan soal Karin. Tapi tak aneh kalau rumahku sekarang jadi sasaran orang yang ingin mencari Karin. Tetangga paling dekat dari rumah Karin adalah rumahku. Rumah- rumah tetangga yang lain terpisah oleh sawah atau Kebun. Tak heran dulu aku bisa dekat dengan Karin. Karena hanya dia orang yang bisa ku sapa saat berada di pekarangan rumah. Tak jarang dulu kami saling bertukar makanan, mungkin itu juga adalah awal perselingkuhannya dengan Mas Amin tanpa ku sadari.
***

Dua minggu sudah Mas Amin di rawat di rumah sakit. Aku di beritahu Pak Wahyu bahwa Pak Amin akan segera di bawa ke sel tahanan. Sementara Karin akan di pulangkan. Pak Wahyu kembali memastikan apakah aku akan melaporkan Karin sesuai anjuran Kasi Intel. Aku mengiyakan. Sebenarnya tak tega rasanya. Hanya saja aku ingin memberikan efek jera ke Karin. Kalaupun nanti tak ada efeknya buat diapun, setidaknya jadi pelajaran buat calon-calon pelakor di luar sana agar tak seenaknya menjalin hubungan dengan pria beristri.

Dan hari itu juga aku melaporkan Karin ke pihak berwajib dengan membawa bukti foto dan hasil berita acara dari Kodam. Biar adil rasanya, Mas Amin di sel di tahanan militer, sementara Karin di tahanan sipil.

Alhamdulilah laporan aku di terima. Karin akan segera di panggil untuk di mintai keterangan. Aku pulang dengan hati lega.
***

Hari ini aku janji ketemuan dengan calon pembeli rumah kami. Dari data sementara yang di kasih, beliau adalah seorang duda beranak dua. Niatnya membeli rumah di pinggir jalan untuk melanjutkan usaha bengkel.

Jam menunjukan pukul tiga sore ketika terdengar ada yang mengetuk pintu.
Mungkin calon pembeli rumah, pikirku. Segera aku meminta Bibik membukakan pintu.
"Bu, orangnya sudah menunggu di teras. Disuruh masuk tapi gak mau, katanya enakan di luar adem"
"Ya sudah, saya ke depan."
Aku langsung menuju teras menemui tamuku.
"Merry?"

Aku tak menjawab. Di depanku berdiri seorang pria dari masa lalu, tepatnya masa SMU. Mas Yoga. Kelihatanya lelaki itu sangat terkejut melihat kehadiranku.
"Benar kamu Merry kan?"
Aku tersenyum dan mengulurkan tangan menyalaminya.
"Iya, Mas Yoga kaya surprise banget ya melihatku."
Mas Yoga tampak salah tingkah. Aku tertawa melihatnya.
"Jadi yang katanya duda beranak dua itu kamu toh Mas," kataku sambil tersenyum mencoba mencairkan suasana.
"Hmmmm.., iya aku cerai dengan istriku. Jadi aku dan anak-anak memilih menjauh dan mencoba mencari ketenangan di sini." Lirih suara lelaki itu.

Aku jadi tak berani lagi bertanya lebih lanjut.
"Ya sudah sekarang gimana nih, mau lihat-lihat dulu rumahku, apa gimana."
"Gak perlulah Mer, aku suka rumah ini dan lingkungannya. Asri."
"Jadi deal? Setuju dengan harga yang ku tawarkan?"
Lelaki itu mengangguk mantap, kemudian beranjak menuju mobilnya. Tak lama kemudian Mas Yoga kembali lagi dengan menenteng sebuah koper kecil.
"Ini aku bayar cash ya sekarang"

Aku tak menyangka bakal dapat pembeli seperti Mas Yoga. Padahal harga yang ku tawarkan lumayan tinggi. Lima ratus juta rupiah. Pikirku pembeli pasti akan menawar. Ternyata tanpa tawar menawar Mas Yoga langsung mau membayarnya.

"Mas, benar gak mau menawar lagi? Itu bukan harga net lho."
Jujur aku gak enak. Setelah bekerja di property aku jadi tahu standar harga untuk sebuah rumah. Untuk ukuran rumah kami harga segitu terlalu tinggi untuk saat ini. Entah kalau berapa tahun ke depannya.
Tapi Mas Yoga menggeleng.
"Aku gak keberatan, wajar kan rumah pas di pinggir jalan raya, bagus buat usaha." Katanya lagi.
Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.
"Ya sudah kalau Mas Yoga gak keberatan. Makasih ya Mas."
Mas Yoga hanya tertawa renyah. Di angsurkannya koper berisi lembaran berwarna merah tersebut ke arahku.
"Nih hitung sendiri ya."
"Ga deh aku percaya sama Mas Yoga. Mas bisa ke sini lagi besok, kita selesaikan proses jual beli. Saya belum sempat ke rumah aparat desa. Pikir saya kan biasanya pembeli lihat-lihat dulu gak langsung deal."
"Ya sudah aku pamit ya. Salam buat suami kamu."
Aku mengangguk, Mas Yoga pun meninggalkan rumah kami, rumah yang sebentar lagi jadi miliknya.

Dunia memang sempit, tak ku sangka bisa di pertemukan lagi dengan lelaki yang dulu pernah mengisi hatiku.
Mas Yoga adalah serpihan dari masa laluku. Sempat ada hati yang berbunga saat bertemu, ada rindu menggebu saat lama tak bersua. Tapi itu dulu. Sebelum takdir memisahkan kami. Lelaki yang dulu sangat di idolakan kaum hawa di sekolah. Ganteng, pintar, pemain basket yang handal, sempurna deh untuk masa-masa SMU.

"Bunda lagi apa ayoooo..."
Aku di kejutkan Aliya yang tanpa sadar senyum-senyum sendiri mengingat masa lalu.
"Isshhh... ganggu aja deh kamu"

Aku segera masuk, jangan sampai terlihat anakku kalau ibunya lagi bernostagia.
"Iiiihhh Bun....kok Aliya di tinggal sih,"
Seperti biasa Aliya menguntit dari belakang. Dasar bocah. Aku tertawa geli dalam hati.
"Yuk Al, bantuin Bunda beres-beres barang. Dikit-dikit kita nyicil ya."
"Emang udah ada pembelinya."
"Udah, sayang."
Aliya mengangguk. Kami segera mengepak barang satu-satu. Agar tak terlalu repot pas waktunya pindah.
***

Urusan jual beli rumah sudah selesai. Aku dan anak-anak bersiap-siap untuk pindah. Uang hasil penjualan aku belikan rumah lagi di kota yang berbeda. Kebetulan suami Rani membuka kantor cabang yang baru, aku di percayakan menjadi kepala cabangnya. Jadi rumah yang ku beli tak jauh dari kantor cabang. Aku sangat bersyukur dengan rizki yang melimpah dari-Nya.
***

Rumah sudah terjual beserta isinya. Semua barang sengaja aku jual agar tak ada lagi kenangan bersama Mas Amin yang tersisa.
Mas Yoga dan kedua putrinya sudah menempati rumah kami. Aku berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Mas Yoga. Terlihat binar sedih di matanya. Entah kenapa.

"Merry, suami kamu ke mana kok aku gak pernah lihat."
Aku hanya tersenyum. "Nanti juga Mas Yoga tahu."
Aku segera masuk ke mobil di ikuti anak-anak.
Mobil yang aku kendarai akan segera melaju ketika terdengar jerit histeris dari arah bekas rumah Karin.

Aku segera turun dan mencari tahu apa yang terjadi di ikuti Mas Yoga.
Di dalam halaman yang penuh puing-puing dan reruntuhan tembok, terlihat  seorang wanita yang menangis meraung-raung. Wajahnya tak kelihatan karena di tutupin rambutnya yang sudah berantakan tak karuan. Tapi dari suaranya aku kenal itu suara siapa. Siapa lagi kalau bukan wanita perebut suamiku, Karin.

*****

Wanita itu melemparkan setiap benda yang ada di dekatnya, sambil terus berteriak dan menangis. Badannya sangat kotor bercampur abu sisa pembakaran.
Terselip rasa iba, aku mencoba mendekati. Berniat ingin menenangkannya. Mas Yoga ikut menyusul.
"Karin, istigfar. Sabar yaaa."
Bukannya tenang Karin makin beringas.
"Puass kamu Merry? Senang kamu melihat hartaku habis? Kenapa kamu diam saja, kenapa kamu gak ngomong kalau rumah dan tokoku habis di lalap api? Kenapa?"

Karin melotot. Matanya membulat, seakan ingin menerkamku. Aku mundur perlahan. Tak di sangka Karin meraih balok yang ada di dekatnya, secepat kilat dilemparkan ke arahku.

"Merry, nunduk!"
Bruuk.
Terdengar benda keras beradu. Balok yang tadi di lemparkan Karin membentur pintu gerbang.
"Ayo, kita pergi dari sini Mer, wanita itu mengincar kamu."
Aku seolah terpaku melihat keadaan Karin. Nampaknya Karin sangat terpukul. Mulutnya tak henti berteriak dan memaki.
"Tidaak aku gak mau miskin, ini mimpi, gak ini cuma mimpiii huhuuuu... Merry aku yakin kamu dalang di balik semua ini, ngaku!"
Aku menggeleng, tak tahu harus bicara apa.
"Siapa wanita itu?" Tanya Mas Yoga.
"Dia pemilik rumah ini dan toko di sebelah." Jawabku.

Karin mendekat. Di pungutnya sebuah batu yang ada di dekatnya. Aku tercekat. Jarak kami semakin dekat. Perlahan aku melangkah mundur.
Kulirik Mas Yoga ikutan waspada. Tangan Karin yang memegang batu terangkat, aku menutup mata dengan kedua tangan.

Bughh..
Bersamaan dengan suara itu ku rasakan ada yang menarik kepalaku dan masuk ke dalam kungkungannya.

Meski tak melihat orangnya tapi tubuh kekar itu terasa sangat ku kenal. Aku yang masih menunduk di seretnya keluar dari halaman rumah Karin. Setelah terasa aman aku berusaha melepaskan diri dari kungkungan lengan kekar itu.

Pak Wahyu. Lelaki itu entah sejak kapan berada di halaman rumah Karin.
"Ibu ngapain ke rumah wanita itu, gimana kalau tadi batu itu kena kepala ibu, lain kali hati-hati wanita itu berbahaya buat Ibu"
Aku hanya bisa mengangguk. Dada rasanya masih berdebar. Pak Wahyu terus saja menatapku, wajahnya terlihat khawatir. Walaupun sudah di luar pagar rumah Karin, rasanya aku juga masih gemetar. Karin benar-benar sudah tak waras.

Aku akan beranjak ke mobil ketika kulihat ada cairan warna merah yang membasahi kaos abu-abu yang di kenakan Pak Wahyu. Cairan kental yang makin lama makin banyak membasahi pelipis dan turun ke baju tanpa di sadari.
Aku mendekat. Tanpa sadar tanganku reflek menyeka cairan yang mengalir itu. Bau amis, darah.
Pak Wahyu terkejut, sama terkejutnya denganku.
"Darah Pak, kepala bapak..." ucapanku menggantung.

Pak Wahyu reflek meraba kepalanya. Selanjutnya wajahnya terlihat meringis menahan sakit. Aku langsung berlari ke mobil mengambil kotak P3K.
"Sini Pak, saya obatin. Masuk dulu ke mobil."

Tanpa membantah Pak Wahyu menurut.
"Maaf Pak, ini cuma tindakan darurat, setelah ini Bapak saya antar ke rumah sakit ya."
Pak Wahyu hanya diam sambil sesekali wajahnya meringis menahan sakit. Aku jadi merasa bersalah. Demi melindungi aku Pak Wahyu rela kena lemparan batu dari Karin.

"Merry, menjauh dari sini cepat!"
Suara Mas Yoga terdengar panik dari dalam pagar Karin. Aku mendongak melihat ke arah halaman, Karin makin kalap. Mulutnya terus meneriaki namaku sambil berusaha keluar dari pagar. Mas Yoga berusaha mencegah Karin dengan mencekal lengannya.

Aku menoleh ke arah Pak Wahyu yang tampak terkulai lemah. Aliya dan Radit tampak ketakutan. Tanpa pikir panjang lagi aku segera menutup pintu mobil dan segera duduk di belakang kemudi.
Mobil siap di nyalakan ketika terlihat mobil polisi berhenti tepat di depan rumah Karin. Entah apa yang di omongkan kedua polisi itu. Suara mereka kalah oleh suara dan teriakan Karin. Yang jelas Karin terlihat di bawa pergi oleh kedua polisi itu tanpa perlawanan, hanya tatapan kebencian di matanya untukku.

Aku turun dari mobil, menatap mobil yang membawa Karin sampai hilang di tikungan. Tanpa ku sadari Mas Yoga sudah berdiri di sampingku.
"Siapa dia, Mer." Lirih Mas Yoga bertanya.
"Dia, wanita yang sudah merebut seorang ayah dari anak-anakku."
Mas Yoga terdiam, hanya menatapku sendu.
"Kamu benar-benar wanita hebat Merry, di saat sakitpun tak ada kebencian di matamu."
Aku tersenyum mendengar ucapan Mas Yoga.
"Dah ya, aku pamit. Semoga kamu sama anak-anak betah di sini."
Mas Yoga tak menjawab malah melihat ke dalam mobil, alisnya bertaut.
"Itu Pak Wahyu, perwira yang mengurus kasus Mas Amin." Aku menjawab sebelum Mas Yoga bertanya.
"Trimakasih ya Mas tadi udah nolong aku. Entah apa jadinya tadi kalau Mas Yoga gak ada." Ucapku lagi.
"Tak perlu mengucapkan terima kasih, aku melakukan itu karena tak mau orang yang ku sayang terluka. Kamu hati-hati ya."
Aku terkesiap mendengar ucapannya.
"Itu masa lalu Mas. Jangan di ungkit lagi."
Tanpa menunggu jawaban dari Mas Yoga aku segera berlalu dari hadapannya.
***

"Bun, Om Wahyu kenapa?" Tanya Radit.
"Kepalanya terluka Dek." Jawabku sambil tetap fokus menyetir.

Tak butuh waktu lama kami tiba di rumah sakit. Pak Wahyu langsung di bawa ke UGD.
Aku menunggu dengan was-was sambil tak henti berdoa Takut terjadi apa-apa dengan Pak Wahyu.
"Keluarga bapak Wahyu?" Tanya seorang perawat.
Aku mengangguk dan bergegas mengikuti langkah perawat tersebut.
Cepat ku temui Pak Wahyu yang masih terbaring di atas ranjang dengan kepala dibelit perban.
"Maaf Pak, gimana rasanya sekarang? saya khawatir terjadi sesuatu sama Bapak. Ini semua gara-gara saya."
Pak Wahyu  tersenyum.
"Gak apa-apa ini hanya cedera kepala ringan. Yang penting kamu selamat."
Aku jadi makin merasa bersalah.

Suasana hening sesaat. Kikuk jadinya.Tapi tak lama kemudian suasana kaku di antara kami segera mencair oleh kedatangan Tania.
"Ayaaah...."
Tania menghambur ke pelukan ayahnya.
"Ayah gak apa-apa sayang, udah ah jangan kaya anak kecil." Ujar Pak Wahyu sambil mencubit pipi Putri tunggalnya.
"Isshhhh," Tania manyun.
"Bun, Aliya mana?"
"Tuh di taman sama Radit."

Tania melirik ke ayahnya. Sekilas Pak Wahyu mengangkat alisnya ke putrinya itu. Tania terlihat mengedipkan sebelah matanya.
Aku yang ada di antara mereka jadi tak enak melihat anak sama bapak saling kode-kodean.
"Tania, ada apa sih hayooo." Tak sadar aku keceplosan juga bertanya.
Tania hanya tertawa dan pamit pada ayahnya mau menemui Aliya. Pak Wahyu malah tersenyum lebar. Aku sendiri jadi keki.

"Oh ya Pak, bapak tadi bisa ada di rumah Karin sih."
"Ehhm, iya tadinya pengen nemuin kamu sama anak-anak. Kata Tania mau pindahan, kok gak ngomong-ngomong."
"Iya nanti juga saya ngomong Pak, ngedadak soalnya. Yang belinya sudah pengen nempatin." Aku beralasan.
"Ya sudah sekarang saya yang antar kalian ke rumah baru kalian ya."
"Eh, jangan Pak." Aku buru-buru mencegah.
"Udah Bapak istirahat saja. Nanti saya nengok bapak lagi."

Tanpa menunggu jawaban Pak Wahyu aku segera keluar mencari Aliya dan Radit. Sekilas aku melirik wajah Pak Wahyu tampak kecewa.
Biarlah. Aku tak enak kalau terus melibatkan Pak Wahyu dalam setiap urusan.

Sampai di taman aku mengajak Aliya dan Radit pulang.
"Tania, kamu jagain ayah kamu ya. Bunda pulang dulu. Nanti ada waktu senggang Bunda nengok."
"Lho kok udah mau pulang sih Bun?" Tania cemberut.
Aku hanya tersenyum mengelus kepalanya.

Setelah berpamitan ke Pak Wahyu, aku dan anak-anak segera melanjutkan perjalanan.
***

Kamu hanyalah serpihan yang takkan pernah jadi utuh lagi.
Aku memandang sebuah pas foto milik Mas Amin yang terselip di dompetku. Foto beberapa tahun silam.
Aku tersenyum getir. Dulu foto itu selalu ku bawa ke mana-mana. Apalagi saat jauh dari Mas Amin. Ku remas perlahan foto itu dan membuangnya ke tong sampah. Aku menarik napas lega. Semoga selamanya sampai tanpa ada bayang-bayang Mas Amin.

Aku kembali bangkit dan mulai membersihkan seisi rumah di bantu Aliya. Di sini kami memulai kehidupan baru. Aliya  terlihat riang saat memilih kamar untuknya. Radit memilih kamar sendiri di lantai atas dan memilih disain bola untuk kamarnya. Aku bahagia dengan kedua anakku. Tanpa di suruh mereka sudah tahu tugas masing-masing.

Pekerjaanku terhenti ketika gawaiku berbunyi. Nomor tak di kenal terlihat di layar.
"Hallo, selamat siang Bu Merry, ini dari kantor polisi. Apa ibu bisa ke sini sekarang?"
Belum juga menjawab suara dari seberang sudah menyapa duluan.
Pasti soal Karin, pikirku.
"Siang Pak, baik saya segera ke sana."
Segera ku tutup telepon dan bergegas menuju kantor polisi tempat Karin di tahan.
***

Di depanku duduk wanita itu dengan wajah penuh kebencian. Napasnya terlihat memburu. Wajahnya yang biasa glowing di dempul bedak, saat ini terlihat pias tanpa riasan. Wajahnya terlihat sangat menderita tapi anehnya lemaknya tak berkurang.

Aku terus saja menatapnya. Memperhatikan setiap inci wajahnya yang sudah memikat hati Mas Amin sampai begitu tergila-gila.
"Ngapain sih kamu menatapku seperti.itu? Apa kamu berniat menarik tuntutanmu?"
"Aku kesini karena panggilan polisi, bukan buat kamu!" Jawabku tegas.
"Lalu? Ngapain kamu mau ketemu aku sekarang?" Karin makin emosi.
"Heran deh sama kamu dan Mas Amin. Musibah bertubi-tubi tapi gak bisa membuat kalian berdua bisa sadar dan bertobat. Rubah coba sifat kamu Karin, jadi lembut dan bisa menghargai orang lain."
"Gak usah ceramah." Jawab Karin ketus.
"Katakan apa maumu sekarang." ucapnya lagi.
"Gak ada yang ku mau Karin. Semua yang aku mau sudah ku dapatkan. Aku ke sini hanya mau bilang, aku tak serendah yang kamu tuduhkan kemarin. Aku bukanlah dalang dari musibah yang menimpamu. Jangan salahkan siapa-siapa. Instropeksi diri. Kamu ingat satu hal, sesakit apapun yang aku alami, aku tak pernah punya niat untuk merusak hak milik orang lain. Bukan seperti kamu, merebut yang bukan hak kamu, sekarang kamu rasakan sakitnya kehilangan. Permisi."

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER