Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 18 Januari 2020

Aku Bukan Wanita Bodoh #9

Cerita bersambung
Di ujung timur Indonesia
Sebelah utara tanah Maluku.
Terlahirlah propinsi baru.
Dengan kabupaten yang di mekarkan
Kabupaten pulau-pulau Sula Halmahera Timur Barat Utara dan Selatan
Negri yang kaya akan alamnya Propinsiku..
Maluku Utara..

Musik khas Maluku Utara mengiringi kegiatan bersih-bersih kami saat ini. Sengaja di setel Aliya, katanya untuk mengenang masa-masa di Maluku Utara dulu. Aku hanya mengiyakan. Tapi tak ayal mendengar alunan lagunya tak terasa air mataku kembali menetes. Lagu itu biasa kami setel saat mengadakan kerja bakti bersama masyarakat untuk menambah semangat mereka. Itu masa-masa yang selalu di lewati berdua dengan Mas Amin. Jauh di lubuk hati aku merindukan masa itu.
***

Tujuh tahun yang lalu...

"Yah, persediaan beras tinggal dikit ya. Ke warung juga habis. Kapal yang mau ke kota masih lama.." keluhku saat itu.
Mas Amin hanya menatapku sambil tersenyum manis. Di belainya rambutku dan mencium keningku mesra. Aku jadi merasa tenang.
"Bunda yang sabar ya, di hemat-hemat aja berasnya sampai nanti datang kapal yang menuju ke kota."
Aku mengangguk dan melanjutkan pekerjaanku. Sambil terus berpikir gimana caranya menghemat beras yang tinggal sedikit untuk satu minggu ke depan sampai kapal yang ke kota tiba.

Ku edarkan pandanganku ke semua sudut dapur. Banyak sekali hasil bumi pemberian warga, seperti pisang ubi dan singkong.
"Sepertinya aku bisa memanfaatkan  hasil dari petani itu untuk menghemat beras." Kataku dalam hati.

Mulailah sejak saat itu, setiap kali aku masak, selain nasi pasti ada ubi atau pisang rebus. Nasi tentunya aku khususkan untuk Mas Amin dan Aliya. Aku sendiri makan pisang rebus, singkong, ataupun ubi. Hal itu membuat Mas Amin terheran-heran.
"Bun, Ayah liat sekarang Bunda senang sekali makan pisang rebus ma singkong. Gak bosan apa ya." Tanya Mas Amin suatu hari.
Aku hanya tersenyum.
"Bunda diet Yah. Baju-baju Bunda rasanya sudah sempit." Kilahku saat  itu.
"Badan udah bagus begitu Bun, ngapain diet." Tanya Mas Amin lagi.

Aku hanya melemparkan senyum dan kembali menikmati rebusan pisang dan lauk ikan kuah kuning khas Maluku Utara. Meski jauh dari kota, dan sangat pelosok tapi desa tempat kami bertugas dulu adalah tempat yang kaya akan hasil laut. Ikan sangat melimpah. Rasanya selama bertugas di situ tak pernah sekalipun kami beli ikan. Kalau bukan di dapat dari pemberian warga, Mas Amin seringkali memancing ikan di laut. Sesekali aku juga suka menemaninya memancing. Seru-seruan berdua di atas perahu kecil, siapa yang tangkapannya paling sedikit harus bersedia memberikan ciuman ke yang hasil tangkapannya lebih banyak.

Seperti malam itu, kami berencana memancing ke laut.
"Bun ayo temenin ayah mancing." Ajak Mas Amin.
"Hayu, tapi tunggu sebentar Bunda titip Aliya dulu ke Bu Lina, tetangga sebelah."
Setelah menitipkan Aliya, aku dan Mas Amin segera menuju ke pantai yang jaraknya hanya tiga ratus meter dari tempat tinggal kami.

Di bawah cahaya sinar rembulan kami berjalan kaki menuju pantai sambil bersenda gurau. Saat-saat seperti itu yang aku rindukan. Meski sibuk dengan rutinitas kedinasan, Mas Amin selalu menyempatkan waktu untukku dan Aliya.
Di temani cahaya bulan yang mulai meremang tertutup awan, kami mulai mendayung perahu sampan milik Mas Amin hasil pemberian warga.

Perahu udah sampai ke tengah laut. Mas Amin mulai menyiapkan umpan dan kail. Aku hanya jadi penonton sambil mengunyah cemilan yang sengaja sudah kupersiapkan dari rumah.
Mas Amin lalu memberikan kail miliku yang sudah berisi umpan. Sama-sama kami menjulurkan kail ke dalam air.
"Bun, kalau ayah yang duluan dapat ikannya Bunda harus nyium pipi Ayah dua kali."
"Idih, maunya Ayah ya. Hayuuu siapa takut." Kami tertawa bersama. Mas Amin mencubit gemes pipiku.
"Hap! Dapat satu yes! "Teriak Mas Amin.
Aku tertawa kegirangan melihatnya. Ikan kerapu lumayan besar menggelepar di ujung kail. Mas Amin segera melepaskannya dan ikan itu terjun bebas ke dalam perahu.
"Satu ciuman Bundaaa." Teriak Mas Amin menggoda.
"Nanti dong Yah, di rapel."
"Yaaaah... Bunda curang. Mas Amin cemberut.
Aku tertawa.

Malam itu hasil mancing kami lumayan banyak. Lima ekor Kerapu dan dua ekor Kakap berhasil kami bawa pulang. Dan tentunya hadiah ciuman untuk Mas Amin sebanyak ikan yang di dapat, karena tak seekorpun ikan yang berhasil aku pancing.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Mas Amin terus menggodaku. Sesekali ciuman mesra mendarat di pipiku. Saat itu aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia. Mas Amin adalah anugerah terindah dalam hidupku. Tak sekalipun aku di sakiti. Semuanya sempurna di mataku.
***

"Bun, ada telepon dari Ayahnya Tania."
Aliya mengangsurkan gawaiku yang tadi ku tinggal di lantai bawah. Lamunanku buyar seketika.
"Asalamualaikum Pak, ada apa?"
"Maaf Bu, saya mendapat kabar kalau Pak Amin sakit. Saat ini akan segera di bawa ke Rumah Sakit. Apa Ibu mau menengok suami Ibu?"
Andai keadaan rumah tangga  kami masih seperti di kisah tujuh tahun lalu, mungkin saat ini aku adalah orang pertama yang ada di sampingnya.
"Maaf Pak, bukan urusan saya lagi."
"Baik Bu, saya hanya menyampaikan saja. Oh ya Bu berkas  Pak Amin sudah sampai ke Jaksa Militer, setelah itu nanti ke Mahkamah Militer, selanjutnya baru di sidang. Nanti kita lihat bobot kasusnya seberat apa." Tambah Pak Wahyu lagi.
"Oh gitu ya, semoga cepat beres ya Pak." Jawabku sekenanya. Malas juga membahas soal Mas Amin.
"Ya sudah Bu, nanti saya kabari lagi kalau ada perkembangan kasusnya." Pak Wahyu kemudian menutup telepon setelah mengucapkan salam.
***

Setahun  berlalu. Tak terasa selama itu aku hidup tenang tanpa bayang-bayang Mas Amin dan Karin. Aku hanya tahu Karinpun di jatuhi hukuman penjara selama sembilan bulan. Setelah itu tak ada kabar berita lagi tentang mereka dan akupun tak mau tahu.

Tapi hari itu Pak Wahyu mengabarkan jalannya sidang atas kasus Mas Amin. Mas Amin terbukti bersalah karena telah melanggar kedisiplinan golongan berat sebagai anggota TNI, yaitu melanggar KUHP Pasal 284 ayat 1 tentang perzinaan. Dan oleh pengadilan militer di jatuhkan hukuman penjara selama sebelas bulan dan pemecatan secara tidak hormat.

Entah harus bahagia atau sedih. Yang jelas  tiada rasa lagi untuknya. Kalaupun saat ini aku menangis mungkin menangis untuk ibunya.

*****

Tegar! Itu satu kata untuk Ibu mertua.
Tak ada air mata. Tak ada tangis, apalagi penyesalan di wajah tua itu. Justru aku yang terus terisak di pangkuannya. Tangan lembut itu tak henti mengusap kepalaku penuh kasih sayang.

"Sejak Amin memutuskan hidup dengan wanita itu, saat itu juga Ibu sudah menganggapnya tiada. Buat Ibu hanya kamu anak Ibu." Lembut dan tegas suara wanita yang sangat menyayangiku bak anak kandung itu.
Aku terus terisak. Sesak rasanya mengingat perlakuan Mas Amin sebagai seorang anak. Aku tahu Ibu sangat hancur, Ibu sangat terluka. Tapi wanita hebat itu tak ingin terlihat lemah di hadapanku.
"Sekarang kamu bebas Neng. Saatnya kamu cari kebahagiaan kamu."
Aku mendongak menatap wajah Ibu.
"Gak Bu, gak ada yang perlu Neng cari lagi, Neng sudah bahagia dengan kebahagiaan Neng sekarang. Tanpa Mas Amin  Neng cukup bahagia bersama anak-anak. Neng akan selalu bersama Ibu. Ayolah Bu, ikut tinggal bersama kami. Neng gak akan tenang ninggalin Ibu sendiri di sini." Ucapku seraya memohon.
Ibu menggeleng. Senyumnya merekah.
"Ibu akan bahagia dan tenang saat melihat kamu bahagia Neng. Jika ada seseorang yang ingin membahagiakanmu terimalah. Bagi Ibu sekarang, kamu bukan lagi menantu, tapi anak Ibu."
Aku mencoba mencerna perkataan Ibu. Menatap Ibu sekali lagi, wanita itu kembali tersenyum.
"Kamu pantas bahagia." Ibu merangkulku penuh kasih.
"Neng pamit ya Bu. Neng nanti sering ke sini nengok Ibu."

Ibu mengangguk masih dengan senyumnya yang menenangkan. Aku menyalami tangan Ibu dan berpamitan. Serasa ada beban yang lepas saat keluar dari rumah Ibu. Ibu begitu berlapang dada. Hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Ibu lebih kuat dari yang kupikirkan.

Saat akan melangkah kaki ke luar pagar, dahiku bertaut. Di anak tangga ada sepasang sandal milik lelaki dewasa. Aku mengarahkan pandanganku ke arah ruang tamu, pemandangan yang tadi ku lewatkan, ada secangkir kopi yang masih mengepul.
Dalam hati aku bertanya. Bukan kebiasaan Ibu minum kopi. Mau kembali ke ruang tamu untuk menuntaskan rasa penasaranku, tapi langkahku terhenti oleh bunyi gawai dalam tas.

Bergegas aku menaiki motor setelah melihat nama yang tertera di layar. Telepon dari salah satu klien. Aku hampir lupa kalau hari ini aku ada janji ketemu klien.
***

Di sudut pekarangan yang di hiasi kolam kecil dengan air yang mengalir jernih, lelaki berlesung pipi itu menatap kepergian Merry hingga hilang dari pandangan.
Sejak awal ketemu wanita itu, rasa itu begitu menggebu. Hasrat ingin memiliki seiring cinta dan sayang yang perlahan mulai tumbuh, terhalang oleh status kalau wanita yang di cintainya masih milik raga yang lain.

"Bahagiakan anak Ibu Ya Nak,"
Lelaki itu mencari asal suara. Wanita tua itu menatapnya sendu. Penuh harap setengah memohon.
"Tenang Ibu, saya mencintainya tulus, kalau sudah saatnya saya ingin membuatnya bahagia."

Lelaki itu menggenggam erat tangan wanita tua itu, memberi keyakinan, bahwa dialah lelaki yang pantas untuk membahagiakan seorang Merry.
***

Langkah kaki di pacu, berusaha menepis debu jalanan demi mencari mainan kesukaan putra tersayang. Bersimbah peluh aku berusaha mencari di setiap toko dan dagangan di pinggir jalan. Robot Tobot, pesanan Radit.

Hari ini Bungsuku berulangtahun yang ke lima. Kesibukan di kantor takkan membuatku lupa pertambahan umur untuk putraku. Sekian lama anak-anakku kehilangan kasih sayang seorang ayah, jangan sampai kasih sayang sebagai seorang Ibu juga terabaikan.

Ini toko yang ke sekian aku masuki. Berharap segera mendapatkan barang yang ku cari. Hari sudah menjelang sore. Radit pasti menunggu di rumah. Kue ulangtahun pun belum sempat aku beli. Dengan agak tergesa aku mencari pesenan Radit di antara deretan robot yang di pajang.

"Ini, barang yang Ibu cari?"
Sepasang tangan terulur di sertai dua benda persegi yang masing-masing sudah berhiaskan pita berwarna biru muda.
Ah, lelaki berlesung pipi itu berdiri gagah di depanku dengan senyum khasnya.
Sejenak aku terpana. Tapi jarum jam di lenganku tak bisa mengajak kompromi. Segera ku sambar kedua bungkusan itu, melihatnya sekilas, memandang lelaki itu penuh tanya.

"Bapak tahu dari mana Radit suka Tobot?"
Tak menjawab, lelaki itu malah tersenyum.
"Tapi benar ya isinya Tobot? Trus satu lagi isinya apa?"
"Kue ulang tahun tentunya." Jawab lelaki itu santai.
"Hmmm, makasih banyak Pak, nanti saya ganti uangnya ya. Sekarang saya permisi dulu. Radit sudah menunggu."

Tanpa menunggu jawabannya aku bergegas keluar menuju parkiran. Tak ku pikirkan lagi lelaki yang sudah ku tinggalkan terbengong sendirian dalam toko.
***

Senyum merekah dari bibir wanita tua itu. Sejak tadi hanya berdiri di sudut toko, memperhatikan sepasang manusia di depannya.

"Makasih Ibu, untuk hari ini. Aku janji Merry akan tersenyum kembali."
Pak Wahyu menundukan mukanya, mencium tangan wanita tua itu dengan taksim. Wanita tua itu mengusap lembut kepala lelaki di depannya.
"Merry bukanlah mantuku, tapi dia anakku. Bahagiakan dia sama saja dengan kamu bahagiakan Ibu. Menyakiti dia sama saja kamu menyakiti Ibu.

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER