Cerita bersambung
Aku tersenyum lega menatap amplop di depanku. Ku buka perlahan surat yang sudah di tunggu-tunggu dari kantor pengadilan
"Alhamdulilah.." ucapku perlahan.
Aku resmi berstatus janda kini. Ada perasaan sedih sekaligus lega. Yang terpenting sekarang statusku sudah jelas. Tak lagi di bayang-bayangi sebagai istri Mas Amin.
"Jalan purabaya no 5. Mau di antar?"
Bunyi sms dari Pak Wahyu. Aku menggeleng.
"Maaf Pak, aku bisa sendiri, makasih infonya ya." Ku balas chat dari Pak Wahyu dan segera berkemas.
***
Aku berdiri ragu di depan rumah bernomor lima itu. Rumah yang terlalu sederhana untuk orang yang pernah hidup mewah. Ingin mengetuk tapi keduluan oleh pemilik rumah membuka pintu.
"Kamu?" Seperti biasa suara wanita itu ketus malah terkesan membentak.
"Karin....," Ucapanku menggantung.
Aku menatap lelaki di sebelahnya. Mataku menyipit. Lelaki yang dulu sangat ku banggakan, tak pernah sekalipun ku biarkan kumisnya tumbuh, dengan telaten ku jaga penampilannya. Aku yang paling cerewet jika ada yang salah dengan penampilannya. Tapi kini di depanku aku seakan melihat makhluk lain. Lelaki bercambang lebat dengan kumis yang tumbuh tak beraturan menutupi sebagian bibir atasnya, di lengkapi tubuh kurus yang hanya berbalut kaus gombrang yang lusuh.
Ada nyeri di dada. Bagaimanapun lelaki ini dulu pernah membuatku menjadi wanita yang paling bahagia. Aku menelan saliva berkali-kali. Akan ada yang luruh dari sudut mata. Cepat-cepat aku merogoh amplop yang ada di dalam tas. Ku sodorkan ke arahnya.
"Ini akte cerai kita Mas, kamu gak usah capek-capek mengurusnya. Semoga pilihanmu kini membuatmu bahagia selamanya.
Aku berlalu tanpa pamit. Meninggalkan dua manusia yang sukses menjadikanku jadi single parent itu.
***
[author]
Perceraian adalah hal yang paling di inginkan Amin. Tapi saat melihat surat resmi dari kantor pengadilan itu, tak urung menyesakan dada.
Perlahan bayangan masa lalu satu persatu muncul. Tawa ceria Merry, tawa riang anak-anaknya, silih berganti mengusik otaknya. Tangis sedih Merry saat melepaskannya bertugas, tangan lembut Merry yang menggenggamnya, memberi kekuatan saat harus berpisah karena melanjutkan pendidikan sebagai calon perwira. Genggaman tangan Merry seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Bunda, apa gak sebaiknya pendiidkan Ayah di tunda dulu ya. Keuangan kita lagi seret. Bapak butuh banyak biaya. Bunda sama Aliya juga butuh makan. Ayah di sana nanti butuh biaya gak sedikit."
Merry menggeleng. Tersenyum memberi kekuatan. Di lepaskannya satu-persatu perhiassn yang menempel di tubuhnya.
"Bunda akan menjualnya buat bekal Ayah. Jangan pikirkan kami di sini. Bunda akan lakukan apa saja agar Ayah bisa menyelesaikan pendidikan dengan tenang. Tiap bulan Bunda pasti kirimin Ayah uang. Bunda gak akan berpangku tangan mengandalkan gaji. Ini kesempatan Yah.."
Wanita berparas manis dan lembut itu menatap penuh keyakinan ke arah suaminya. Wajah itu penuh harapan akan masa depan. Itu yang selalu memberi kekuatan buat suaminya.
Tak terasa ada air di sudut matanya, luruh mengalir membasahi pipinya yang tirus. Tak kuasa menahan tangis, lelaki itu terisak. Bahunya terguncang. Baru terasa kini, betapa berharganya Merry. Wanita tangguh yang mau berbuat apa saja demi mendukung karirnya. Wanita yang sudah bertaruh nyawa demi memberinya buah hati.
Bodoh! Satu kata untuk dirinya. Amin mengutuk dirinya sendiri. Andai masih ada kesempatan, hal yang ingin di lakukannya adalah bersimpuh di kaki Merry dan memohon ampun.
Tanpa di sadari Amin, ada hati yang teriris menyaksikan lelaki yang di cintainya menangisi cintanya yang hilang. Karin hanya bisa mengelus dada saat sadar bahwa cinta sejati takkan bisa terganti.
*****
"Mas, aku mau ngomong."
Karin mencoba berbicara hati-hati saat melihat Amin sudah agak tenang.
Amin tak menjawab, hanya menatapnya sekilas.
"Kemarin Pak RT ke sini nanyain kartu keluarga sama Buku Nikah."
"Aku gak mau nikahIn kamu." Jawab Amin ketus.
Karin terperangah. Tak pernah menyangka jawaban Amin seperti itu.
"Terus sampai kapan kita hidup seperti ini Mas. Aku capek. Malu kalau sampai ketahuan kita hanya kumpul kebo." Karin mulai terisak.
Amin terdiam. Dalam hati membenarkan ucapan Karin, tapi jauh di lubuk hatinya rasanya sangat berat. Berbeda dengan dulu saat masih bersama Merry. Hasrat menikahi Karin begitu menggebu. Berbagai cara dilakukan agar Merry membencinya dan segera meninggalkannya. Tapi hal yang di.pikirkan di luar prediksinya. Merry cukup pintar untuk tak meninggalkannya saat masih berstatus sebagai anggota TNI.
Sekarang saat dia tak punya apa-apa lagi baru kesadaran akan kebodohonnya itu datang. Keluarga kecilnya sudah di sia-siakan.
"Jangan bicara soal pernikahan sekarang," ucap Amin gusar.
"Lalu? Hubungan kita begini terus sampai kapan? Mana janji kamu dulu Mas? Aku sudah berkorban banyak buat kamu." Karin berang.
"Heh kamu pikir aku jadi seperti ini karena siapa? Merry susah payah berjuang demi karir aku, tapi kamu menghancurkan semuanya dan membuatku jadi gembel!" Amin naik pitam. Dadanya naik turun menahan emosi.
"Sekarang kamu nyalahin aku, dulu kamu diam aja, kamu selalu nurut apa mauku, tapi kini kamu berubah Mas, kamu bukan orang yang ku kenal dulu." Karin makin terisak.
"Iya, itu dulu saat aku begitu bodoh dan mau menuruti semua keinginanmu. Huh!"
Amin mendengus kesal.
"Terus? Sekarang kamu nyesal gitu Mas? Kamu mau balik sama Merry? Sana!"
Sesenggukan Karin masuk ke kamar dan membanting pintu. Meninggalkan Amin yang terpaku sendiri.
Andai saja semua itu mungkin, saat itu juga Amin sudah bergegas menemui Merry. Tapi saat ini untuk menatap Merrypun dia tak sanggup. Amin mengusap wajahnya kasar. Sesal kemudian memang tiada gunanya. Saat ini yang harus pikirkan adalah hidupnya dan Karin ke depan.
Pecah rasanya kepala memikirkan wanita itu. Entah kenapa ada kebencian di hatinya untuk Karin. Tapi untuk meninggalkan wanita itu bukanlah hal yang mudah. Hidupnya bergantung pada Karin. Mengingat hal itu Amin segera mencari dompetnya. Biasanya Karin selalu memberinya uang yang langsung di selipin ke dalam dompetnya.
Amin tertegun. Dompetnya kosong melompong. Hanya berisi uang dua ribuan lima lembar, itupun sudah lecek.
"Ada apa dengan Karin. Sejak awal ketemu setelah di penjara sifatnya jadi aneh. Sudah beberapa hari makan cuma sama tempe atau mie instan.
"Mungkin karena sifatku yang berubah padanya, sehingga diapun jadi pelit begitu. Baiklah aku harus bisa mengambil hatinya Karin. Lagian kalau tak memegang uang, gimana aku harus menemui anak-anakku." Pikir Amin.
"Yank, buka pintunya dong. Maafin aku ya."
Tak butuh waktu lama, Karin sudah membukakan pintu. Amin segera meraih tubuh gempal milik Karin. Rasa itu telah hilang. Tak ada hasrat lagi yang menggebu seperti sebelumnya. Tapi Amin masih bisa berpura-pura dalam ketidaksukaannya.
Mau atau tidak, suka tak suka, hanya Karin wanita yang mendampinginya saat ini. Capek juga setiap hari harus berantem.
"Kamu urus saja pernikahannya, aku ikut aja gimana kamu."
Karin mengangguk senang. Di peluknya Amin, di ciumnya penuh hasrat. Tapi Amin bergeming. Dengan pelan pelukan Karin di lepasin.
"Maaf Yank, aku mandi dulu, gerah,"
Karin hanya mampu menelan saliva, menahan kecewa atas sikap Amin yang tak biasanya.
***
Sah...? Sah! Suara itu terdengar di salah satu ruangan yang ada di Kantor Urusan Agama.
Di depan penghulu dan para saksi Amin dan Karin melangsungkan Ijab Kabul. Tanpa kehadiran satupun anggota keluarga, apalagi pasta meriah.
Jangankan pesta, bisa memiliki Buku Nikah yang sah saja sudah membuatnya bersyukur. Hidupnya yang serba pas-pasan sekarang membuatnya tak berpikir lagi untuk hal yang hanya menghambur-hamburkan uang.
Kedua pengantin baru itu pulang ke rumah sederhana mereka menggunakan angkutan kota. Amin tak bisa lagi menyembunyikan rasa herannya.
" Yank, mobil kamu pada ke mana? Sejak aku datang kamu bilang mobil kamu di titip di rumah teman, masa buat hari bahagia kita ini gak bisa di ambil sih?"
Karin tertunduk. Ada genangan air di sudut matanya.
"Ayo ikut aku,"
Amin hanya menurut saja mengikuti Karin, hingga mobil yang mereka tumpangi berhenti persis di sebuah lahan kosong, tepatnya tanah kosong bekas rumah yang kebakaran.
Amin mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tempat yang sangat amat di kenalnya. Di seberangnya terdapat rumah dua lantai minimalis, rumah yang sangat akrab di memorinya. Rumahnya dulu bersama Merry. Pandangannya kembali berputar ke arah rumah di depannya, itu rumah Karin, tepatnya.bekas rumah Karin.
Amin menatap reruntuhan rumah itu tak percaya. Di sela-sela reruntuhan itu terdapat beberapa rangka mobil mewah, salah satunya adalah mobil miliknya, hadiah dari Karin. Mobil yang dulu membuatnya meninggalkan Merry dan kedua anaknya, mobil yang tanpa di sadarinya menjadi penyebab awal kehancuran dirinya juga keluarganya.
Bersambung #11
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel