Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 20 Januari 2020

Aku Bukan Wanita Bodoh #11

Cerita bersambung
Pemandangan di depannya sungguh menohok, semua harta itu yang dulu di bangga-banggakan olehnya, yang membuatnya lupa jalan pulang, lupa anak istri, lupa akan kehormatannya sebagai seorang lelaki.

Terasa ada yang menghangat di sudut mata. Dadanya terasa sesak. Harta yang dikejarnya ternyata semu. Dia lupa akan kuasa Tuhannya. Semuanya bisa di ambil dalam sekejap. Amin tergugu. Baru kali ini setelah mengenal Karin, Amin mengingat Sang Pemilik Hidup.

Tangisnya menjadi, tubuhnya luruh ke tanah. Amin merasa menjadi orang yang paling hina. Malu rasanya.

Karin yang sejak tadi tertunduk di sampingnya terkejut melihat kondisi Amin. Sadar kalau mereka bukanlah ada di sebuah rumah tapi di pinggir jalan raya, dengan cepat Karin berjongkok di samping Amin.

"Sudahlah Mas, malu dilihat orang. Pulang yuk." Karin segera menarik tangan Amin.
"Malu katamu? Iya aku malu. Harusnya aku malu sejak awal kenal kamu, harusnya aku malu saat dulu aku memutuskan meninggalkan keluargaku dan lebih memilih kamu, harusnya dari dulu aku sudah maluuuuu,.."Amin makin histeris.

Karin panik. Dia takut kalau sampai jadi tontonan warga. Meski begitu Karin tak terima kalau saat ini Amin selalu menyudutkan dirinya.
"Mas, aku juga sudah rugi banyak. Semua hartaku habis dan hutangku numpuk di mana-mana. Aku di tipu sama anak buahku. Uang toko semua mereka ambil, tapi aku tak bisa menuntut mereka karena aku tak punya bukti. Aku stres, nyaris gila, tapi aku berusaha tegar, itu karena aku masih punya kamu. Kalau kamu juga terpuruk seperti ini aku harus bersandar pada siapa?" Karin mulai terisak.
"Kamu emang kehilangan harta kamu, tapi itu tak lebih berharga dari sebuah keluarga. Aku kehilangan keluargaku, keluarga yang aku perjuangkan dari nol. Aku kehilangan kasih sayang anak istri, juga kasih sayang Ibu. Kamu gak pernah merasakan itu karena kamu gak punya. Tapi aku? Itu adalah hartaku, hartaku adalah anak-anakku juga Merry. Ya Tuhan kenapa aku baru sadar sekarang?" Amin memukul dadanya sendiri.

Karin tertegun di sampingnya. Hatinya membenarkan perkataan Amin. Sekian lama mereka hidup  melanggar adab dan norma di masyarakat. Tapi mereka seakan tak peduli. Nafsu mengalahkan rasa malu. Dulu dia begitu bangga saat Amin memilihnya.

"Oohhh jadi kamu datang lagi ke sini? Wanita tak tahu malu, wanita perebut suami orang."
Karin dan Amin terkejut dengan suara yang datang tiba-tiba. Belum sempat mereka mengangkat wajahnya, sekelilingnya terasa sempit.
"Benar ya Azab Alloh itu pedih. Ini lagi Pak Amin, lelaki tak tahu malu, rasain sekarang di pecat kan?" Sambung suara seseorang.
Ingin berdiri tapi rasanya sangat malu. Karin merasa telinganya panas tapi tak berani mengangkat muka.

"Karin, kamu lihat kan harta yang kamu bangga-banggakan ludes. Kamu tahu gak, kalau itu hukuman buat kamu karena sudah merebut suami orang. Pak Amin kamu harusnya bersyukur punya istri seperti Bu Merry. Sekarang nyesal kan?"
Entah suara siapa lagi itu. Karin dan Amin hanya bisa mendengar tanpa bisa membantah. Rasanya seperti di neraka.

Di tengah kepungan orang-orang, Amin melirik wanita di sampingnya. Rasanya kebenciannya menyeruak.Kalau saja dulu tak mengenal Karin hidupnya tak akan setragis ini.
Entah apa lagi cemoohan dan umpatan yang terdengar. Semuanya serasa berputar. Keriuhaan orang-orang yang mengurung mereka perlahan mereda. Terasa ada sedikit ruang. Sayup-sayup terdengar suara tegas seseorang membubarkan warga.

Amin memberanikan diri menatap sang pemilik suara.
"Yoga?" Amin menautkan alisnya.
Yoga tak menjawab. Hanya memandang Amin tajam.
"Jadi benar ya, demi wanita ini kamu membuat orang yang aku sayang selama ini menderita hah?" Wajah Yoga memerah.
"Maksudmu Merry?"
"Iya! Siapa lagi kalau bukan dia. Aku merelakan dia untukmu karena aku tahu dia sangat mencintai kamu. Aku rela kehilangan dia karena ingin melihatnya bahagia. Tapi apa, kamu malah meninggalkannya dan membuatnya terluka." Yoga tampak emosi.
"Aku tak menyangka kamu masih menyimpan rasa itu." ucap Amin lirih.
"Sampai kapanpun aku tetap mencintai Merry, walau tanpa harus memilikinya. Melihatnya bahagia dengan hidupnya saja itu sudah cukup bagiku. Tapi kamu menyia-nyiakan wanita sebaik Merry demi perempuan ini."

Amin tertunduk. Tak bisa membantah ucapan Yoga, sahabatnya dulu semasa SMU. Tapi ada perih di sudut hati saat mendengar kata cinta untuk mantan istrinya itu. Tak rela rasanya Merry di miliki orang lain.
Karin yang mendengar ucapan Yoga nampak cemberut. Serasa tak sudi jika mendengar nama Merry di puji-puji.

"Andai tak ingat persahabatan kita dulu, mungkin saat ini kamu sudah babak belur di tanganku." ucap Yoga lagi.
"Kamu bisa ada di sini, apa karena Merry?" Lirih suara Amin.
"Aku yang jadi pemilik baru rumah kamu, rumah kalian. Semoga kamu gak menyesal dengan pilihan kamu. Kamu tahu apa yang ingin kulakukan sekarang?"
"Apa." Amin mendongak.
"Aku ingin membahagiakan Merry."

Selesai berkata seperti itu Yoga berlalu. Amin hanya bisa menatapnya pasrah.
"Kenapa sih, semua orang memuji Merry, seolah dia itu malaikat. Semua orang berpihak padanya. Heran aku." Celetuk Karin.
"Karena dia memang berlian, berlian yang sudah aku buang. Dan itu adalah penyesalanku seumur hidup."

*****

Jalanan tak terlalu ramai sore ini. Aku dan Aliya berjalan santai sambil menenteng tas berisi belanjaan. Sengaja kami berjalan kaki karena jarak swalayan dan rumah kami tak terlalu jauh.

Sepanjang perjalanan pulang kami bersendagurau. Kebersamaan dengan Aliya jarang terjadi sejak Aliya duduk di bangku SMU. Kami jarang bertemu. Hanya pagi dan malam hari waktu kami untuk bicara. Selebihnya aku sibuk di kantor dan Aliya sibuk dengan sekolah dan ekstrakurikulernya. Sehingga di saat bisa berdua, kami manfaatkan waktu kami sebaik-baiknya.

"Bun, kapan-kapan kita main ke gunung ya. Kaya waktu di Halmahera dulu, asyik seru. Apalagi waktu di gendong  Ayah sambil manjat gunung, Kakak keenakan, Ayah ngos-ngosan ya Bun." Celoteh Aliya sambil mulutnya tak henti mengunyah permen karet.

Aku tertegun sejenak. Langkahku terhenti. Aliya mengingatkan lagi memori masa lalu. Aliya tanpa sadar masih suka menyebut Ayahnya.
Aliya yang sudah berjalan jauh menyadari kalau aku tertinggal di belakangnya, segera berbalik.

"Maafin Kakak ya Bun. Bukan maksud..."
"Apa Kakak kangen sama Ayah?" Aku memotong ucapannya.
"Kakak kangen, tapi kangen Ayah yang dulu bukan yang sekarang."
Aliya tersenyum merangkulku.
"Udah ah Bun. Jalan lagi yuk." Aliya berusaha mengalihkan perhatianku.

Aku melanjutkan langkahku dengan bayang-bayang masa lalu yang terus mengusik pikiranku. Bunyi klakson kendaraanpun seakan tak terdengar. Hingga telingaku dikejutkan dengan teriakan Aliya dan sebuah dorongan keras, hingga tubuhku membentur aspal.
Aku berusaha bangun. Tubuhku terasa remuk. Kuraba kepalaku tak ada yang berdarah. Tak ada yang terluka hanya tubuhku nyeri bukan kepalang.

"Bunda, Bunda baik-baik aja kan?"
Aliya tanpa cemas dan memelukku.
"Tadi kenapa ya, Al?" Tanyaku bingung.
"Tadi bunda nyaris di tabrak motor, tapi Bunda di dorong sama seseorang."
"Hah? Trus orang yang nolong Bunda mana."

Aku celingukan mencari penolongku tadi.
"Orangnya sudah di bawa ke rumah sakit Bun."
"Ayo kita ke sana."
Tanpa menunggu jawaban Aliya aku segera memesan taksi online. Tak butuh waktu lama taksi yang ku pesan datang.

Sepanjang perjalanan entah kenapa jantungku berdebar tak karuan.
"Kak, kamu tahu gak siapa orang yang nolomg Bunda tadi."
"Gak Bun, Kakak terlalu takut Bunda kenapa napa jadi gak merhatiin siapa orangnya."
Aku menghela napas panjang. Rasanya aku terlalu mengkhawatirkan penolongku tadi. Semoga tak terjadi apa-apa sama orang itu Ya Alloh. Doaku dalam hati.

Taksi yang kami tumpangi akhirnya sampai ke rumah sakit. Bergegas aku dan Aliya menuju ke UGD.
Tanpa perlu bertanya mataku tertumbuk pada sosok yang sangat ku kenal. Aku menarik Aliya mendekati tubuh yang terbaring lemah dengan perban yang melilit kepalanya.

Kedua lengan dan kakinyapun di balut perban. Tak terasa air mataku menetes. Aku sesenggukan di samping tubuh itu. tanpa sadar ku raih jemarinya, menggenggamnya erat. Air mataku luruh di jemari itu.

Sungguh aku sangat takut kehilangan sosok itu. Entah kenapa ada yang perih di sudut hati saat melihat tubuh itu penuh balutan perban.
Aku merapatkan tubuh ke telinganya. Berharap walau hanya bisikan lelaki itu bisa mendengarku.
"Tolong jangan pergi, aku takut kehilangan, sembuh ya."
Tubuh itu masih diam. Tangisku makin menjadi. Air mataku tumpah.

Tanpa aku sadari sosok yang ku tangisi itu sudah membuka matanya. Tersenyum penuh arti saat menyebut namaku, "Merry."
Aku menoleh, Pak Wahyu tersenyum semakin lebar. Aku jadi salah tingkah, segera ku hapus air mata yang masih mengalir. Rasanya mukaku merah menahan malu.

"Makasih ya." Ucap Pak Wahyu lirih.
"Makasih untuk apa?" Aku bertanya sambil terus membersihkan wajahku dari sisa sisa airmata.
"Makasih untuk semuanya." Senyum itu makin lebar, dan aku makin kikuk.

Mataku mencari Aliya. Anak itu tak terlihat. Makin kikuk rasanya. Aku berdiri hendak pamit mencari Aliya. Tapi tangan kekar itu menahannya.
"Jangan pergi, tetaplah di sini."
Aku tak menjawab, Menatap wajahnyapun rasanya tak sanggup. Rasanya dadaku terus saja berdebar.
"Aku juga takut kehilangan kamu."
Mata itu memandang tajam seakan meminta jawaban. Aku tak tahu harus menjawab apa.

"Hmm, makasih Pak sudah menolongku tadi. Malah Bapak yang terluka. Maaf ya" Ku coba mengalihkan pembicaraan.
"Itu karena aku tak mau terjadi apa-apa sama kamu. Luka ini tak seberapa di banding keselamatan kamu."
Pak Wahyu mencoba bangkit dari tidurnya. Melihatnya aku berusaha membantu.
"Tidur aja Pak, takut kenapa napa."
"Aku tak apa-apa. Ini cuma luka lecet. Kepalaku cuma di jahit sedikit." Pak Wahyu sepertinya mencoba menghiburku.
"Beneran Pak?" Tanyaku dengan nada khawatir.

Pak Wahyu mengangguk seraya tersenyum. Wajah itu mendekat, aku berusaha menjauhi, tapi kembali tangannya dengan cepat menahanku.
"Aku ingin melamarmu Merry."
Aku terkejut. Tak menyangka jika Pak Wahyu akan mengatakan itu di saat seperti ini, di ruangan UGD rumah sakit pula.

Aku tak tahu rasa apa ini. Tapi sungguh dadaku berdebar tak karuan. Mukaku mungkin sudah merah layaknya udang rebus. Tak tahu harus menjawab apa.

"Tak perlu menjawab sekarang ya. Aku tunggu jawaban kamu, nanti."
Pak Wahyu cukup bijak untuk tidak memaksaku menjawab saat itu juga. Tatapan itu begitu teduh, menimbulkan desir aneh di sudut hati. Mungkinkah aku jatuh cinta?
***

"Satu suapan lagi ya Pak." Pak Wahyu hanya tersenyum memamerkan lesung pipinya.
Suapan terakhir kuberikan, lalu menyodorkan segelas air putih.

Sejak Pak Wahyu pulang dari rumah sakit, aku menyempatkan diri merawatnya, sebagai rasa terima kasihku karena sudah menyelamatkan nyawaku.
Luka di kedua lengannya juga kaki membuatnya susah untuk melakukan aktifitas. Setiap hari aku dan Aliya datang ke rumah Pak Wahyu. Sekedar membuatkan makanan dan menyuapinya. Kadang bergantian, antara aku, Aliya dan Tania.

"Bun, nikah deh sama Ayah biar kita bisa serumah."
Aku yang lagi menumis bumbu jadi terbatuk-batuk, kaget mendengar omongan Tania.
"Ish, ngomong apa sih Tania." Aku pura-pura gak paham tujuannya.
"Ah Bunda, Ayah dah cerita, Ayah sayang sama Bunda, Nenek Lastri juga udah tau kok Bun, malah Nenek setuju lho."
"Uhuk...." Rasanya ada yang nempel di tenggorokan mendengar ocehan Tania. Apalagi saat nama ibu Mas Amin di sebut.
"Tania, sejak kapan kenal Nenek Lastri?"
"Udah lama, ada setahun yang lalu. Tania sering main sama Ayah ke sana."
Aku menelan saliva. Dalam hati bertanya, ada apa antara Pak Wahyu dan Ibu.
"Sejak Pak Amin di tahan, sejak itu pula saya sering mengunjungi Bu Lastri."

Pak Wahyu tiba-tiba sudah ada di belakangku bersama kursi rodanya. Aku menatapnya tajam meminta penjelasan. Tania seperti sudah paham, gadis manis itu segera berlalu dari antara kami sambil melemparkan senyum ke arah ayahnya.

"Awalnya aku menemui Bu Lastri hanya untuk keperluan penyidikan. Tapi lama kelamaan aku merasa menemukan sosok seorang Ibu dalam dirinya. Seiring waktu aku ke situ bukan lagi karena tugas, tapi naluriku sebagai seorang anak yang merindukan Ibu. Apalagi Tania jadi begitu akrab dengan Bu Lastri."
Pak Wahyu menjelaskannya panjang lebar.
Aku seakan terpesona dengan ceritanya. Sebegitu dekatkah Pak Wahyu dengan Ibu?

"Dengannya aku bisa bercerita tentang apa saja." Lanjutnya lagi.
"Termasuk yang tadi Tania omongin?" Tanyaku cepat.
"Iya." Jawabnya juga tak kalah cepat.
"Buat apa?"
"Bagi Ibu kamu adalah anaknya bukan mantunya, jadi gak salah dong aku meminta restu calon ibu mertua."
Kata Pak Wahyu sambil mengedipkan sebelah matanya seakan meledekku.
"Iiishh," Dengusku kesal.
Pak Wahyu malah terbahak melihatku yang cemberut.

Aku berlalu dari hadapannya, Aliyapun tak ku ajak. Secepatnya ku pacu motorku menuju rumah Ibu.

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER