Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 21 Januari 2020

Aku Bukan Wanita Bodoh #12

Cerita bersambung

"Sudah saatnya kamu bahagia Neng,"
Ucap Ibu sambil membelai kepalaku lembut, ketika ku tanya soal kedekatannya dengan Pak Wahyu.

"Terimalah Wahyu Neng. Dia lelaki yang pantas untukmu. Ibu akan bahagia jika melihatmu dengannya, hati Ibu akan tenang."

"Tapi Bu..."
"Ssttt....udah, gak usah banyak pertanyaan lagi. Hampir setahun kamu menjanda. Jangan sibuk kerja terus. Radit butuh sosok ayah. Kasihan dia, sejak kecil tak lagi merasakan kasih sayang seorang ayah."

Aku terisak mendengar ucapan Ibu. Begitu tulus kasih sayang wanita yang dulu pernah jadi mertuaku itu. Sekarang bagiku Ibu adalah ibu kandungku.

Aku sudah kehilangan orang tua saat usia remaja. Di pertemukan dengan mertua sebaik ibu dan almarhum bapak adalah anugerah buatku.


"Kasih waktu Neng buat berpikir ya Bu. Neng gak mau gagal lagi."
Ibu mengangguk. Menatapku penuh sayang. Aku mencium punggung tangannya.

"Bu, jika Neng menikah lagi, apa kasih sayang Ibu gak berubah terhadap Neng ?"
Ibu menjawab pertanyaanku dengan tawanya yang renyah.
"Ngomong apa kamu Neng. Kamu itu anak Ibu. Selamanya akan begini. Dah sekarang kamu pulang berdoa. Minta petunjuk sama yang Kuasa." Lanjut Ibu lagi.

Aku hanya mengangguk, kemudian berpamitan. Akupun berlalu di iringi senyuman Ibu.
***

Satu bulan berlalu. Kuhabiskan malam-malamku dengan bersujud dan meminta petunjuk dari-Nya. Aku meyakinkan diri jika keputusanku nanti adalah yang terbaik untuk diriku juga kedua anakku.
Aku baru saja menyelesaikan sholat subuh ketika terdengar bunyi notifikasi dari gawaiku.

"Asalamualaikum Merry, aku ingin bicara denganmu."
Yoga. Chat darinya membuatku bertanya. Rasanya enggan bertemu Yoga saat ini.
"Maaf Mas, lain kali aja ya, saya lagi gak ada waktu." Balasku berkilah.
"Tapi aku sudah di depan pintu rumah kamu." Aku membelalakan mata membaca chat itu. Bergegas aku menuju balkon, terlihat di halaman ada mobil berwarna metalik terparkir. Segera aku turun menemui pemiliknya sekalipun enggan. Dalam hati aku heran juga Yoga nekat datang sepagi itu sepertinya ada hal yg sangat penting.

Sebelum membuka pintu, aku membangunkan Aliya, memintanya agar mau menemaniku menemui Yoga. Saat aku membuka pintu lelaki yang dulu pernah mengisi ruang di hatiku itu sudah duduk manis meski agak canggung.

"Maaf kalau aku mengganggu."
 Yoga berdiri ingin menyalami. Aku hanya menangkupkan tangan sambil melempar senyum. Yoga menarik tangannya lagi dan membalas senyumku. Amazing rasanya di kunjungi pagi-pagi begini kalau tak punya tujuan yang sangat penting.

"Ada apa?" Tanyaku langsung tanpa basa basi.
Yoga tak menjawab tapi pandangannya beralih ke jalanan di depan seakan menunggu seseorang. Aku jadi mengikuti tatapan mata Yoga.

Di luar pintu pagar berhenti sebuah mobil di susul beberapa orang yang turun dari dalam mobil. Dua di antaranya yang ku kenal sebagai orangtua Yoga. Aku jadi menyipitkan mata, dengan sejuta tanya yang membuatku was-was. Segera ku alihkan pandangan ke arah Yoga menuntut penjelasan.

"Orangtuaku sekarang mau balik ke kampung. Sekalian aku ajak menemui kamu."
"Maksudmu?"

Yoga belum sempat menjawab pertanyaanku ketika terdengar salam dari rombongan keluarga Yoga. Aku dan Yoga bersamaan membalas salam lalu menyalami mereka satu persatu. Setelah semuanya duduk, tak ada basa-basi, Yoga lalu membuka suara.

"Sebelumnya aku minta maaf ya Mer, tanpa ngomong dulu sama kamu aku mengajak kedua orangtuaku ke sini."
Yoga berhenti sejenak dan aku tak sabar menunggu kelanjutannya.
"Iya Nak Merry, Yoga meminta kami ke sini untuk melamar Nak Merry." Sambung Bapaknya Yoga hati-hati.
Sungguh aku terkejut. Aku benar-benar tak siap.

"Gimana Nak Merry?"
Aku gelagapan. Dalam hati tak terima. Meskipun dulu Yoga pernah mengisi bagian di hati ini, tapi itu dulu. Saat ini tak ada lagi rasa itu.

"Aduh maaf Mas, selama ini saya menganggap Mas tak lebih dari seorang sahabat." Ucapku hati-hati.
"Aku gak minta jawabanmu saat ini Mer, pikirkan lagi ya?" Kata Yoga penuh harap.
"Aku mengantar orangtuaku pulang dulu. Kapan kamu siap kamu telepon aku."  Lanjutnya lagi.
"Mas, dengarkan aku. Sampai kapanpun jawabanku tetap sama." Kali ini jawabanku tegas.
Yoga terdiam. Ada rasa bersalah tapi aku sendiri tak mau memberi harapan. Ini hidupku, aku tak mau menjalani hidup dengan terpaksa atau di paksa.

"Aku bukan orang yang tepat untukmu Mas. Maaf ya. Jangan paksa aku." Suaraku melunak.
Yoga tersenyum. Menatap orangtuanya lama. Kedua orangtuanya mengangguk, lalu tersenyum ramah ke arahku.
"Jangan maksain kehendak Ga, cinta itu harus keluar dari hati, bukan karena terpaksa. Biarkan Merry dengan pilihannya." Ucap Ibunya Yoga, sangat bijak.

Yoga menarik napas panjang dan menghembuskannya.
"Apa karena Pak Wahyu?" Suaranya lirih. Jelas saja wajahku memerah. Tak tahu harus menjawab apa.
"Jawab aku Merry, jika benar kamu mencintai Pak Wahyu aku akan ikhlas melepasmu. Aku hanya ingin meyakinkan jika kali ini aku tak salah melepasmu."
Tanpa sadar aku menganggukan kepala.
"Iya, aku mencintai Pak Wahyu."

Lelaki masa laluku itu tertawa renyah.
"Semoga kali ini aku tak salah melepasmu lagi, untuk orang yang kamu cintai. Aku harap ini cinta terakhir untukmu. Bahagia ya."
Sambil tersenyum lebar lelaki itu memamerkan barisan giginya yang rapih.

Aku jadi ikut tertawa, tapi ada yang terasa hangat di pipi, aku menangis. Menangis tapi rasanya sangat bahagia.
"Makasih ya. Aku doain kamu menemukan seseorang yang tepat."

Yoga menatapku yang bersimbah air mata dalam senyum, meraihku dalam pelukannya. Aku tak bisa menolak. Tubuh itu sedikit terguncang. Aku meregangkan pelukan, Menatap matanya yang berair.

"Kamu berhak bahagia. Pak Wahyu orang baik. Aku akan tenang jika kamu bersamanya."
Yoga menepuk bahuku pelan.
"Aku pamit."
Aku hanya mengangguk. Menatap kepergian Yoga dan keluarganya hingga mobilnya hilang di tikungan.

Aku termangu sendirian di bangku taman. Mengingat lagi moment terakhir tadi bersama Yoga. Lelaki berhati seluas samudera. Lelaki yang selalu rela melepas cintanya demi orang yang di cintainya bahagia.

"Semoga aku tak salah dengar tadi, cintaku tak bertepuk sebelah tangan."
Aku menoleh mencari asal suara.
"Ibu juga bahagia Merry."

Aku berdiri. Di depanku sudah ada Pak Wahyu, Ibu, Tania dan tentu saja Aliya. Kedua gadis remaja itu tersenyum penuh arti.
Pak Wahyu maju selangkah ke arahku. Menjatuhkan tubuhnya, berjongkok di hadapanku.
"Terima ya?"

Pak Wahyu mengangsurkan sebuah kotak cantik berwarna merah hati,yang sudah terbuka, sepasang cincin terpajang di sana.
Aku menatap Ibu, wanita bijak itu menganggukan kepala. Pandanganku beralih ke Aliya dan Tania. Kedua gadis itu kompak dengan Ibu, menatap penuh harap.

"Apa aku harus menunggu lagi?"
Kembali lelaki di hadapanku itu bertanya.
"Apa aku pantas menyematkan cincin ini di jarimu?"

Sorot mata lelaki itu penuh harap. Tanpa Ragu aku mengangguk. Bismillah, semoga ini lelaki yang di pilih Alloh untukku dan kedua anakku.
Pak Wahyu tersenyum memamerkan lesung pipinya. Jariku di raihnya dengan hati-hati cincin itu di sematkan di jari manisku.
Semua yang ada di situ bertepuk tangan. Ibu menghampiri, lalu memelukku penuh kasih.

"Semoga ini awal kebahagiaan kamu sayang." Ibu menangis bahagia.
***

Setelah melewati prosedur yang panjang sesuai aturan pernikahan dalam militer, aku dan Pak Wahyu bisa melangsungkan ijab kabul walau tanpa resepsi yang mewah atau pesta meriah.
Sesuai permintaan Ibu, aku dan Pak Wahyu melaksanakan ijab kabul di rumah Ibu. Hanya di saksikan keluarga dan kerabat dekat.

"Aku gak akan memberimu janji, tapi aku sudah berjanji sama Alloh, akan membahagiakan kamu, juga anak-anak kita. Aku bukanlah lelaki sempurna, tapi semoga cinta dan kasih sayangku bisa membuatmu selalu tersenyum."

Lelaki berlesung pipi itu mengecup mesra keningku, meraihku dalam pelukannya. Perlahan tubuh kekar itu membawaku luruh di ranjang yang bertaburan bunga mawar.

Aku pasrah, baktiku sebagai seorang istri akan kutunai kini.
"I love you,"
Bisikan lirih di sela napas yang kian memburu, pun ada doa yang terselip, semoga cinta ini, cinta dunia akhirat.
" _I love you to_ ."

* T A M A T *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER