Cerbung
Author : ISRINA SUMIA
[MAS PULANG! ATAU AKU AKAN MATI!]
Seketika tubuhku membeku, pesan itu baru saja kuterima dari ponsel lelaki yang baru saja menjadi suamiku. Pesan dari seorang wanita bernama Agni, wanita berambut hitam terlihat anggun di foto profilnya. Ah tidak, bagaimana mungkin Mas Aryan berbohong. Pesta meriah yang melibatkan dua keluarga besar baru saja usai, pesta yang sejak sebulan lalu sudah dipersiapkan dengan acara adat jawa juga pengajian yang sakral tak mungkin sebuah kebohongan, aku menghela napas berusaha berpikir tenang dan tak larut dalam emosi sesaat.
Berulang kali aku menelan saliva, dadaku kembang kempis berusaha mengatur diafragma yang berantakan. Kebaya putih masih melekat ditubuhku, bahkan ranum tubuhku pun belum lelaki itu sentuh. Sementara Mas Aryan sibuk membersihkan diri di kamar mandi. Di dalam kamar beraroma melati dengan taburan bunga mawar merah di atas ranjang aku termangu. Ragu. Hingga kemudian ada napas yang menyelimuti batin, ragaku mengendur lemas ketika pesan kedua terdengar. Rasanya takut untuk membaca, aku ragu tapi aku sudah menjadi istrinya.
Ponsel yang sejak tadi ia simpan di laci nakas begitu rapi, akhirnya terlihat denganku saat ku tak sengaja mencari tisu di dalam kamarnya. Aku diam, Mas Aryan sepertinya masih lama di kamar mandi, kubuka kembali.
[MAS ARYAN! AKU AKAN LONCAT KALO KAMU NGGAK DATANG!]
Hatiku semakin panik, drama apa ini? Siapa Mas Aryan? Mengapa aku bisa bodoh. Lelaki yang sejak lima tahun lalu kucinta, lelaki yang selalu dielu-elukan keluargaku. Dia Mas Aryan, lelaki yang setauku tak pernah mengecewakan keluarganya juga tak pernah berbuat macam-macam seperti lelaki kebanyakan atau dua adik lelaki lainnya. Tapi kenapa Mas Aryan? Anganku teringat ketika dua bulan lalu akhirnya Mas Aryan datang bersama keluarganya untuk melamar, hatiku terbang, bagai bintang terang yang bersinar di cuaca mendung hingga kemudian langit hitam berubah menjadi biru yang cerah. Cahaya hatiku menyinari seluruh isi ruang, keluargaku juga keluarganya pun mengharapkan pernikahan ini.
Lalu apa yang terjadi malam ini? Apa? Buru-buru aku kembalikan ponsel Mas Aryan ketempatnya. Kemudian aku termangu ketika suara shower perlahan terdengar meredup, dan tak lama lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku keluar, ia kenakan handuk kimono seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Sementara aku diam dan terus mematung membelakanginya.
“Kamu nggak mandi, dek?” tanyanya dan aku masih diam, mencoba menerka isi pesan yang baru saja kubaca. Perlahan terdengar suara derit lemari, ia seperti baru mengambil pakaian kemudian memakainya. Hatiku sesak hingga kemudian perlahan air mata menetes, entah harus mulai dari mana? Atau aku harus katakan dan bertanya kemudian merusak malam yang seharusnya menjadi malam terindahku bersamanya? Napasku semakin cepat dan tak beraturan, aku bangkit, kebaya putih dengan kain sepan masih membuatku sulit melangkah. Perlahan aku berjalan dan masuk ke dalam kamar mandi.
“Aku harus berani, tanyakan … tanyakan,” gumamku seraya melepaskan hijab dan kembang melati yang masih menempel. Air mataku merusak celak hingga membuat kelopak mata semakin gelap, kucoba menata hati. Kemudian keluar kamar dan masih mengenakan gaun yang sama, hanya saja hiasan melati telah terlepas. Mas Aryan terlihat kelelahan ia rebahkan dirinya di atas ranjang, dan tak sedikitpun juga ia mengamatiku. Seharusnya aku sudah bisa membaca hal ini sejak awal, bodoh! Kenapa aku terima pinangannya. Tapi, jika aku tak memberitahunya bisa saja esok akan ada kabar seorang wanita yang akan mati karena melompat, entah melompat dari mana? Mungkin dari gedung tinggi atau kamar apartementnya.
“Kamu sudah selesai?” tanyanya setelah mengerjapkan mata. Ia bangkit kemudian duduk memandangku, sementara aku menoleh dan menunduk.
“Sini, duduk,” pintanya dan tak kuhiraukan hingga ia menarik lenganku dan kini aku duduk di sampingnya.
“Kamu kenapa?” tanyanya seraya menggamit jemariku, ia tarik kemudian ia cium hingga membuat hatiku berdesir. Kupejamkan mata, hingga kurasakan ia meletakkan tangannya di ubun-ubunku kemudian melafazkan sebuah doa. Air mataku mengalir, pikiranku kacau, Mas Aryan telah berdusta, bohong. Ini tak bisa dilanjutkan, ku tarik napas panjang.
“Pergi Mas!” rutukku seraya mendorong tubuhnya, ketika kurasakan embusan napasnya terasa dekat dengan wajah. Aku harus menyelamatkan harga diri sebelum semua berakhir, setidaknya aku harus tahu apa isi pesan yang baru saja kubaca. Siapa wanita berambut hitam sebahu bernama Agni? Aku harus tahu sebelum ia merasakan ranumku.
“Kamu kenapa, Dek?” tanyanya. Wajahnya pucat sama pucatnya dengan wajahku. Aku mendengkus kemudian bangkit, menghela napas panjang sebelum akhirnya aku mengempaskan tubuh ke ranjang saat tangan Mas Aryan menarik lenganku untuk kembali duduk di sampingnya.
“Mas sebaiknya pergi!”
“Pergi? Pergi ke mana? Maksudmu apa Lan?”
“Pergi … karena kekasih mas yang bernama Agni akan segera lompat dan bunuh diri!”
Matanya terbelalak, seketika pucat dan buru-buru ia mengambil ponsel di laci nakas tempat ia sembunyikan sebelumnya. Ia buka, kemudian seketika panik mendera. Bangkit dari tempat tidurnya berganti pakaian hingga perlahan senyap, suamiku pergi meninggalkanku. Tubuhku roboh, malam itu entah aku yang dikhianati atau gadis yang bernama Agni yang jelas hatiku terluka, pedih.
Mas Aryan malam ini adalah malam pernikahanmu juga malam perpisahan bagiku. Buru-buru aku membersihkan diri di kamar mandi, membuka gaun kebaya yang memiliki simbol kelembutan juga keteguhan perempuan, menggantinya dengan abaya hitam pemberian Bue juga hijab yang senada. Malam itu, ketika semua keluarga Mas Aryan tengah terlelap letih setelah pesta besar, diam-diam aku keluar. Pergi meninggalkan kediaman Ganendra.
Hampir dua jam perjalananku dari Kartasura menuju Tawangmangu, Karanganyar. Aku pergi memberanikan diri menggunakan taksi, daerah perbukitan, udara semilir menerbangkan air mata juga sedikit menyejukkan hati yang kian memanas. Aku tiba di rumah, Bapak adalah tokoh agama di desa kami. KH. Hadi Soenggono, nama Bapak. Cukup terkenal hingga ke desa sebrang karena pengaruhnya di bidang pemberdayaan umat dan karena Bapak jugalah akhirnya aku menikah dengan Mas Aryan. Kepulanganku tak boleh ada satupun yang tahu, aku tak ingin nama Bapak menjadi taruhan.
Kukenakan kain untuk menutupi wajah, kemudian senyap melangkah ke arah rumah hingga terlihat plank Pesantren Al Fatih kini terlihat jelas di mata, buru-buru aku turun, dengan membawa koper mini kemudian perlahan masuk ke dalam. Sepi.
“Loh … Mba Wulan, kok pulang?” Suara Sri, pembantu di rumah yang sudah kami anggap keluarga terdengar dari arah tak terduga.
“Wulaan ….” Bue! Ya Alloh … ingin rasanya aku berlari ke pelukannya dan menceritakan semua masalahku padanya.
“Suamimu mana Nduk? Kok malam-malam begini? Nopo toh nduk?”
“Bue ….” Tak tahan aku lari kemudian menangis di pelukan.
“Ono opo toh, Nduk?”
“Bue ….”
“Wulan kangen Bue, belum terbiasa di rumah.” Aku melengos, mendadak, mataku terbelalak, suara Mas Aryan menyambar begitu saja. Lidahku kelu, tubuhku gemetar, kemudian menoleh ke arahnya melihat dirinya sedang sibuk mengeset kaki di atas keset.
“Oalah … yo wis, malam ini kalian nginap di sini. Besok kamu harus kembali ke rumah suamimu ya Nduk.”
“Nggih Bue …,” jawabnya dan aku tahu itu semua hanya sandiwara.
Aku diam, mematung. Melihat wajah Bue yang terlihat bahagia, tak tega rasanya jika harus bercerita masalahku. Lagian toh aku sudah dewasa dan kedua orang tuaku sudah begitu tua, bagaimana jika mereka syok mendengar kejadian yang kualami.
Aku mematung hingga tak lama Mas Aryan datang kemudian merengkuh pundakku, aku empaskan tangannya kemudian berjalan menuju kamar, dan Mas Aryan mengikuti dari belakang. Hingga tiba di kamar, ia biarkan pintu terbuka kemudian memeluk tubuhku erat dari belakang.
“Aku mohon Lan, orang tua kita sudah tua. Papih sudah sakit-sakitan, aku mohon jangan ceritakan masalah ini kepada mereka,” bisik Mas Aryan membuat emosiku semakin memanas.
"MasyaAlloh … pengantin baru, romantis,” teriak Sri dan Bue berbarengan.
Seketika napas tersengal, mataku berkaca-kaca suara kegembiraan terdengar nyaring di telingaku. Ingin marah, tapi tak berdaya. Yang dikatakan Mas Aryan pun benar, kedua orang tuaku sudah renta. Lalu aku harus apa?
=====
“Lepas Mas!”bisikku ketus.
Air mataku menetes, ketika lengan itu masih melingkar di perut. Lelaki ini terus menerus berbisik memohon dan di sisi lain kegembiraan Bue, melunturkan hasratku untuk mencoba terlihat natural dari jiwa yang berapi-api, berat aku menelan saliva hingga kemudian perlahan kulepas tangan Mas Aryan, kemudian tersenyum menyembunyikan rasa pada Bue lalu menutup pintu, bukan karena aku menerimanya, tapi karena aku harus bisa menyiapkan semua amunisi agar Pae dan Bue siap mendengar.
“Lan ….” sapanya seraya mendekat.
“Cukup, Mas!” rutukku menjauh. Kamarku tak sebesar kamar di rumahnya, hanya ada satu ranjang berukuran 120 cm, dan cukup ditempati satu orang saja atau dua orang kurus. Tidak ada kamar mandi di dalam, tidak ada sofa, begitu sederhana sama seperti pendirian keluargaku. Ruangan ini juga bersebelahan dengan kamar orang tuaku. Jika aku berteriak atau bertengkar, pasti langsung menembus hingga terdengar ke telinga mereka. Gontai aku berjalan kemudian duduk di atas ranjang, kucoba tepis air mata, mencoba mempertahankan harga diri. Mas Aryan, lelaki yang selama ini selalu kuanggap baik, terhormat ternyata mengkhianatiku. Ia kemudian duduk di bawah, kedua tangannya lurus memegang ranjang, bersimpuh dan menunduk.
“Maafkan aku Lan … maafkan, Mas.”
Sakit hatiku, itu berarti benar. Agni nyata, dan ada wanita lain di antara hubungan ini. Kupejamkan mata, hingga tak sanggup aku menahan genangan di pelupuk mata, air itu menerobos keluar. Di hadapannya aku seperti wanita bodoh, menangis akan hal yang tak seharusnya terjadi. Kutarik napas dalam-dalam, perlahan jemari itu mengusap air mataku, kutepis. Ia coba kembali, kutepis hingga kutunjukkan bagaimana mata itu menatapnya dengan tajam, aku mendengkus, menarik napas panjang.
“Ke-kenapa? Apa salah Wulan dengan Mas Aryan? Kenapa?” tanyaku mengguratkan wajah kebencian. Tak berani aku bertanya tentang wanita bernama Agni, mengingatnya saja, hatiku remuk redam, laksana badai yang meruntuhkan kelopak bunga mawar, hingga habis tak tersisa. Hatiku sakit Mas, sangat sakit, bagaimana mungkin? Kutunggu jawaban darinya, ia masih menunduk dan bersimpuh di bawah.
“Maafkan Mas, Lan … maaf.”
Aku melengos, kemudian mengempaskan tangannya yang berusaha menghalangi. Mendadak menjadi jijik di dekatnya. Bagaimana mungkin lelaki yang sudah dijodohkan lima tahun lalu denganku ini melanggar janjinya, dia berasal dari keluarga baik-baik, keluarga terpandang.
“Lan …,” sapanya kembali menyergahku untuk tetap duduk. Ia beranikan diri kemudian menatapku.
“Wulan … adikku, maaf ....”
Aku menarik napas kemudian air mata kembali runtuh. Aku melengos, mengempaskan kembali tangannya hingga ia menangkap kembali lenganku dan menarik untuk duduk, ia masih bersimpuh dan ada air mata di dua sudut mata. Aku diam, tak ingin berteriak agar orangtuaku tak mendengar.
“Mas mohon … dengarkan Mas, setelah itu terserah Wulan mau berbuat apa.”
Aku diam kemudian menunggu ia melanjutkan bicara, dan yang tak ia ketahui adalah perlahan aku sedang mencoba menghapus setiap butiran rasa di hati, harapan di masa depan, juga mimpi indah, semua kutepis hingga berharap namanya punah, menghilang dan lenyap.
“Enam tahun Mas di luar negeri, dan selama itu ada wanita lain yang sudah mengisi ruang hati Mas, perjodohan ini pun sejujurnya tak pernah mas inginkan, Agni adalah orangnya. Dia orang yang mas cintai sejak lima tahun lalu, dan ….”
Deg! Perih. “Dan apa?”
“Mas sudah menikahinya.”
Bagai tersambar petir, ragaku lemah, ingin rasanya aku menancapkan sembilu di dada, mengakhiri hidup segera. Mas Aryan, jahat! Pengecut! Wajahnya ingin segera kuludahi dengan liur yang kini bercampur dengan air mata. Aku sesenggukan di hadapannya semakin membuatku terlihat bodoh. Aku harus apa? Ya Alloh … kenapa nasibku begitu berat.
“Lalu kenapa Mas, tetap menikahiku?! Kenapa?!” rutukku.
Dia diam.
“Tidak ada yang tahu pernikahan Mas dengan Agni, Lan. Tidak ada yang tahu.”
“Mas itu bodoh atau apa?! Kalau Mas memang mencintai wanita itu kenapa Mas melukainya? Mas pikir dengan apa yang Mas lakukan ini benar?! Segera ceraikan Wulan! Wulan tak ridha jika pernikahan ini diteruskan! Mas telah berdusta!”
“Wulan … Mas mohon, setidaknya hingga Papi sembuh.”
Aku melengos, Papi Ganendra memang kini tengah sakit parah. Seseorang yang sangat berjasa pada keluargaku, lelaki yang membiayai seluruh kebutuhan pesantren juga biaya kuliahku, lelaki itu juga yang banyak berperan besar terhadap keluargaku. Aku terdiam, lelaki itu juga yang selalu memohon-mohon agar aku mau dinikahkan dengan salah satu anaknya.
Anganku terbang ketika lima tahun lalu, Pak Ganendra datang bersama Ibu ke rumah. Mereka datang dengan harapan juga kegembiraan di wajah. Datang dengan membawa dua lembar foto yang kemudian disodorkan ke arah Pae juga Bue. Saat itu usiaku masih 19 tahun, baru saja merayakan kelulusan sekolah tingkat akhir. Hingga kemudian aku terdiam saat tahu kedatangan mereka untuk melamarku.
“Dek Wulan pikirkan saja dulu, untuk pernikahan tidak sekarang, insyaAlloh setelah Dek Wulan lulus kuliah, dan semua biaya kuliah biar kami yang atur,” katanya kemudian menyeruput teh buatanku.
“Memangnya kenapa toh Pak, Bu Endra? Kenapa harus Wulan? Putra Bapak itu kan sukses, kuliah di luar negeri, rasanya tak pantas Wulan bersanding dengan putra Bapak dan Ibu,” tanya Bue saat itu merendah.
“Kami itu takut Bu Hadi. Kakak kami, anaknya juga lelaki semua tapi begitu menikah, tak satupun mantu yang mau merawat mereka ketika tua. Tak satupun yang menghormati, saat itu kami sadar bahwa peran perempuan itu sangat penting dalam hubungan keluarga. Harta kami sudah ada, pangkat pun juga sudah ada, yang kami butuhkan ya anak seperti Wulan ini, anak yang saliha, lembut juga insyaAlloh berakhlakul karimah. Kami mohon, untuk menerima lamaran kami. Setidaknya satuu saja.”
Pae dan Bue diam, kemudian menatapku. Wajahku memerah, kemudian memejamkan mata. Dua lembar foto kemudian di serahkan padaku.
“Saya terserah Wulan saja Pak, Bu. Jika Wulan setuju insyaAlloh kami juga setuju.”
“Gimana Nak? Nak Wulan masih ingat kan dengan Mas Aryan dan Mas Aslan?” tanyanya semakin membuat wajahku memerah. Aku diam, saat itu napasku tak beraturan hingga terlihat gemetarnya jemariku saat memegang foto keduanya.
“Pilihan ada di tangan Nak Wulan, siapapun yang Nak Wulan pilih, kami setuju. Asal anak kami loh …,” katanya lagi membuatku semakin salah tingkah.
“Nyuwun Ngapunten Bapak, Ibu, Pae, Bue … kulo nderek izin untuk istikharah.”
“Jangan lama-lama loh Cah Ayu … secepatnya,” kata mereka lagi seraya tersenyum hingga kemudian percakapan menjadi cair.
Saat itu aku memang bodoh, sangat bodoh hingga lupa bertanya apakah kedua anaknya sudah tau rencana perjodohan ini. Aku hanya sibuk membayangkan berumah tangga dengan lelaki yang selama ini kusegani dan kuhormati. Dua foto ditanganku saat itu dan memang mata juga hatiku lebih cenderung ke Mas Aryan, sejak pertama foto Mas Aslan kututup rapat. Jawaban istikharahku pun semakin mantap memilih Mas Aryan, lelaki dewasa bertubuh tinggi tegap, berkulit putih, hidungnya mancung dan dua lesung pipi yang membuatku selalu rindu akannya.
Dulu sekali ketika aku masih SMP, Mas Aryan tak sungkan mengajarkan pelajaran bahasa inggris, ia juga tak sungkan untuk sering bermain di pesantren. Aku jatuh hati sejak lama, dia cinta pertama juga yang terakhir pikirku. Hingga kemudian lamaran itu datang, hatiku berbunga bahkan sempat terpikir kenapa tidak langsung menikah saja.
Setelah istikharah kuberitahu Pae dan Bue akan lelaki pilihanku, wajah keduanya sumringah, bahagia dan kemudian buru-buru menghubungi keluarga Ganendra. Semenjak itu, diam-diam aku menanam rasa. Rasa yang sebenarnya saat itu tak harus kupendam, kupajang foto Mas Aryan, kudoakan dia setiap malam, setiap malam kutuliskan surat untuknya, surat yang tak pernah kukirim dan tersimpan rapi di diary, beberapa lelaki datang menyatakan cinta saat kuliah dulu, kutolak mentah-mentah dan bangga mengatakan bahwa aku sudah memiliki calon dan akan segera menikah dengannya, kadang tak ragu aku menunjukkan foto Mas Aryan ke sahabat-sahabatku yang sengaja menginap di rumah untuk tugas kuliah.
Dan kini … aku merasa menjadi wanita paling bodoh, bodoh karena tak sedikitpun menyadari bahwa bisa saja Mas Aryan menolak perjodohan ini, bisa saja cintaku bertepuk sebelah tangan, begitu bodoh hingga semua itu tak terbaca di mataku. Lima tahun hanya memendam rasa, dan tak menyadari padahal tak pernah sekalipun Mas Aryan berkirim surat ataupun menelepon. Aku bodoh karena kupikir saat itu, agama yang menjadi pembatas bagi kami. Jiwaku rapuh, dia lelaki yang sudah seperti kakak, juga cinta pertamaku ternyata orang pertama yang menanamkan luka di hati.
“Lan …,” sapanya kembali membuyarkan lamunanku. Dia masih terus menatap wajah yang kini telah basah dan sembab. Mataku mengerjap, terasa berat untuk membalas tatapannya.
“Kenapa harus seperti ini? Mas kan bisa mengatakan sejak awal? Mas sudah berhubungan dengan wanita itu cukup lama, kenapa tak sedikitpun berusaha! Atau setidaknya untuk tidak menikah dengan Wulan,” lirihku bertanya.
“Sulit Lan … Agni, dia seorang cristiani.”
Mataku terbelalak, kini memandang Mas Aryan dengan penuh tanda tanya, bagaimana bisa cinta mengalahkan keyakinan?
“Mas berjanji padanya, akan menikahinya jika ia masuk islam. Dan dia penuhi semua itu, sudah terlalu banyak yang ia lakukan. Tapi sampai saat ini tak sedikitpun restu dia terima. Lan … maafkan Mas. Maaf Lan … mas tak ada pilihan. Papi begitu karena Mas yang saat itu menolak pernikahan, hingga kemudian jatuh sakit. Mas, tak ada pilihan hingga tak mampu mengatakan ke mereka mas sudah menikah. Mas bodoh, tapi mas tahu. Wulan pasti mau berbesar hati memaafkan kesalahan mas. Karena Mas tahu, Wulan anak yang baik. Lan … mas janji setelah ini, apapun … apapun, akan mas lakukan, mas akan penuhi semua permintaan Wulan.”
Aku diam, memendam sesak. Mencoba membuang rasa kemudian memejamkan mata. Mencoba berpikir dingin, meski memendam luka yang teramat besar dan sedikit goresan dendam.
“Lan ….”
“Wulan setuju, tapi ada syaratnya.”
“Katakan.”
“Setelah papi sembuh, Mas harus menceraikan Wulan. Dan … sampai saat itu tiba, raga Wulan haram untuk mas sentuh. Mas tidak berhak atas kewajiban Wulan sebagai istri. Dan ketika Mas nanti menceraikan Wulan, mas harus beritahu ke semua orang, alasan Mas menceraikan Wulan dan memberitahu mereka bahwa Wulan masih suci.”
Dia diam pertanda setuju. Padahal hatiku teriris. Kurebahkan tubuhku, kemudian membalikkan badan. Mencoba terpejam nyatanya tak mampu, menahan isak nyatanya sulit. Aku tak mampu jika lelaki itu bersamaku. Tak mampu. Aku bangkit kemudian melihat Mas Aryan tengah melapangkan selimut di atas lantai.
“Mas.”
“Ya Lan.”
“Apa Mas bisa pergi? Wulan tak bisa bermalam dengan Mas, setidaknya malam ini saja.”
“Bagaimana bisa Lan … apa kata mereka.”
“Mas bilang ke mereka apapun terserah, ada pekerjaan atau apa terserah. Nyuwun ngapunten Mas … nyuwun tulung, pergi, pahami perasaan Wulan.” Aku sesenggukan, hingga kemudian ia menunduk merasa malu dan pergi.
***
Sepertiga malam aku masih terjaga, gemericik air terdengar dari arah dapur. Bue pasti sudah sibuk menyiapkan air panas untuk membuat kopi atau teh. Buru-buru aku ke dapur membantunya, udara dingin Tawangmangu tak terkalahkan dengan udara dingin di puncak gunung ketika malam hari, sangat dingin hingga menusuk-nusuk ke persendian. Entah di mana lelaki itu bermalam, hati ini sudah enggan berpikir apalagi menyelipkan rasa iba.
“Bue ….”
“Tahajud Nduk?”
“Nggih.”
“Bangunin suamimu, tahajud bareng.”
Aku diam, hanya bisa mengangguk. Mengharap itulah yang akan kulakukan saat malam pertamaku dengan Mas Aryan, bersujud bersama, membuat harapan dan cita-cita bersama. Kupandangi wajah Bue, hingga keluar lagi air mataku. Guratan di wajahnya begitu terpancar kebahagiaan.
“Ehem ….” Suara Pae terdengar dari arah depan, yang kemudian disusul dengan suara-suara seperti orang bercakap-cakap. Penasaran aku melangkah ke depan, hingga kemudian tertegun Mas Aryan sedang berbincang-bincang dengan Pae seraya memijat kaki pae yang sudah kurus. Mas Aryan tetap saja rendah hati, dia seorang lulusan universitas luar negeri, berasal dari keluarga terpandang, tapi sejak dulu yang membuatku jatuh hati padanya karena sikapnya yang tak pernah memandang rendah orang lain, sikapnya yang penyayang, penyabar, aku melengos dan mendadak cemburu dengan wanita bernama Agni.
“Nduk … kamu tuh gimana? Kalo bisa mesti bangun lebih awal dari suamimu.”
Mas Aryan tak pergi, lalu istirahat di mana ia semalam? Aku melengos tak menjawab. Mas Aryan sepertinya pandai bersandiwara, tak ingin nama baiknya hancur, makanya ia terjaga hingga kini. Tak lama kemudian, kukembali ke dapur.
“Nduk … ini jahe hangat, kasih suamimu.”
Aku menghela napas, sudah kukeluarkan semua air mata juga perasaanku pada Mas Aryan. Aku adalah wanita pertama yang membuang rasa pada suami di saat malam pertama. Kuyakinkan diri, bahwa aku hanyalah orang lain, lelaki itu tak pantas juga tak layak untukku. Jiwaku mesti bangkit seperti dulu, tak boleh terpuruk karena keadaan. Kucoba kumpulkan satu demi satu kepingan gairah yang sempat dihancurkan olehnya. Kata maafnya pun masih enggan kuterima. Terlalu sadis Mas Aryan menancapkan luka di sukma. Biar rasa ini kupendam, hingga perlahan terbang memudar seperti pucuk dandelion yang terbang terbawa angin. Tak menyisakan sedikitpun luka.
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel