Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 04 Februari 2020

Aku Bukan Madumu #2

Cerita bersambung
[Pov. ARYAN]

“Nikah lagi?!” tanya Agni padaku dengan mata melotot dan jemari meremas gelas yang hampir pecah karenanya. Buru-buru aku raih, sebelum gelas itu melukai jemarinya.
“Dengarkan aku dulu ….”
“Nggak mas … nggak, inilah alasan aku ragu dengan kalian!”
“Apa maksudmu?!”
“Yaaa … kalian! Hanya kalian kan yang bisa memiliki wanita lebih dari satu?!”
“Cukup Agni, kamu jangan bawa-bawa agama!”
“Mas … aku ini istrimu, aku yang harusnya kamu kenalkan dan kamu bawa ke orang tuamu! Aku rela masuk islam demi kamu, ini balasan kamu?!”

“Agni mengertilah, mendengar namamu saja Bapak jatuh pingsan, jantungnya tak kuat. Sayang, aku tahu ini berat, tapi percayalah … aku berjanji aku hanya sekedar menuruti keinginan mereka.”
“Nggak!” katanya seraya membanting pintu kamar.

Agni Anastasia, wanita yang bertemu denganku enam tahun lalu di Australia ini, adalah wanita keturunan Indonesia dan Australia. Awalnya adalah sahabatku di kampus, kami cukup dekat, canda, tawa, diskusi bersama, selalu kami lakukan. Kadang saat melihatnya aku seperti melihat diriku sendiri, banyak kesamaan yang kumiliki. Dia suka berdebat politik, bisnis, juga traveling. Bersamanya perlahan ada rasa nyaman, ketika dia pun merasakan hal yang sama aku semakin bahagia.

Enam tahun aku mengenalnya, tak sedikitpun Agni memberikan luka di jiwa, senyum juga kehadirannya cukup membuat nyaman untuk tinggal di negeri orang. Rambutnya ikal, matanya bulat sedikit kemerahan, kulitnya putih campuran barat dan asia, bagiku semua cukup asal bisa bersamanya. Namun, aku sadar. Ada dinding besar yang tak bisa membuatku bersamanya. Hingga pada bulan itu, 22 maret tahun ke lima semenjak aku mengenalnya, dia mengajakku makan siang di sebuah taman di hari pertama musim gugur.

Hamparan rumput berwarna kehijauan ditambah dengan hangatnya sinar matahari juga sejuknya udara Cenberra. Membuat tubuhku gemetar ketika semilir angin menggelayutkan rambut juga membuat wajahnya semakin cerah. Karpet bermotif kotak ia hamparkan di atas rumput, beberapa kotak bekal makanan juga dua gelas berkaki berdiri di atasnya. Tak mampu menutupi rasa, aku bahagia. Senyumku mengembang, hari pertama, sejarah dalam hidupku, aku dan dia hanya kita berdua makan bersama, di bawah pohon rindang seraya mengamati runtuhan bunga dandelion di sekitar kami yang terbang terbawa angin.

“Mas Aryan … tak bosankah, kamu bersahabat denganku? Sementara aku tahu, dirimu selalu memperhatikanku dari jauh, kutahu juga dirimulah yang selalu menulis pesan di loker kerjaku, dirimu jugalah yang selalu membuat mataku terbuka di pagi hari dengan serentetan pesan yang kaukirimkan di ponsel, juga susu segar yang selalu kauletakkan di depan pintu, dengan pesan tertempel di pintu, bertuliskan jangan terlambat. Tak tahukah, apa yang kaulakukan itu membuatku bertanya? Apa yang sedang kaulakukan? Kenapa kau begitu peduli pada wanita yang selama ini hanya menganggapmu sahabat? Atau aku hanya dianggapmu adik? Hingga kemudian aku memutuskan untuk lebih dulu bicara, lebih dulu membuka rasa, karena nyatanya apa yang kaulakukan telah membuat hatiku terbang seperti bunga dandelion yang kini bertebaran seperti serangga. Rasa ini mulai memaksaku untuk bertanya? Apa yang kaurasa terhadapku? Apa mungkin kita bisa bersama? Apa kita hanya terus saling bercerita tanpa mengungkap rasa? Atau kita akan menjadi sebuah kisah di jurnal Tuhan?” katanya membuat hatiku berdesir.

Senyum di wajahku mengembang, aku memang tak pernah memintanya menjadi kekasih. Kusadar ada perbedaan besar diantara kita yang tak mungkin kutembus, tapi aku tenggelam, tenggalam ketika melihat bibir merahnya menyala, matanya berbinar, toh Tuhan telah mempertemukan aku dengannya. Tapi kami berbeda? Dan ada satu hal lagi yang Agni tak tahu, aku sudah berjanji akan menikah dengan wanita pilihan orang tuaku. Wulan Soenggono, seorang gadis berwajah manis yang terakhir kukenal masih duduk dibangku SMA. Seorang adik yang jelas berbeda jauh dengan Agni, Wulan wajahnya begitu sederhana, kepribadiannya santun, alim. Terkadang ada rasa rindu yang kurasa untuknya tapi tak lebih dari sekedar rindu seorang kakak kepada adiknya, terkadang ketika kubuka fotonya yang sengaja kusimpan, tak ada desiran rasa di hati.

Berbeda dengan Agni, gadis modern, yang terlihat sangat intelektual. Pernah menjuarai beragam kompetisi debat tentang Ekonomi. Agnia di hadapanku, terlihat sempurna. Dan hari itu ketika Agni mengungkap rasa padaku, aku seperti orang bodoh yang direndu kegalauan. Bagaimana mungkin aku melepasnya? Bagaimana mungkin aku mengorbankan rasa demi sesuatu hal yang tak kuharapkan?

“Agni … apa yang kamu inginkan?”
“Aku ingin kita bersama, selamanya.”

Deg! Hatiku semakin berdesir, bidadari dunia kini sedang bertekuk lutut di hadapan.
“Agni kita berbeda,” kataku menyesal.

Dia menunduk, kemudian terasa napasnya tersengal dan aku terpukul melihatnya.

“Bukankah Islam itu agama yang damai, mengapa justru perbedaan menjadi masalah?”
“Agni … kita tak mungkin bersama, jika kita tidak di dalam satu kendaraan. Jika kau ingin bersamaku, setidaknya kau harus masuk ke dalam kendaraanku.”
“Apa mas mencintaiku?”

Aku diam. Rasaku pun berdesir ketika ia mengungkapkan rasa, dan ini Agni, wanita populer di kampus, wanita yang juga sempat direbutkan oleh Samuel dan Kevin lelaki populer asal Indonesia yang memiliki keyakinan yang sama dengannya. Tapi dia justru memilihku. Lelaki jawa yang tak seputih Samuel maupun Kevin. Lelaki jawa yang selalu menunjukkan bagaimana cara orang Indonesia bersantun juga yang selalu terlihat kuno dan tak modern.

“Agni ….”
“Mas jawab saja, dari kesekian perhatian mas pada Agni, apa sama sekali mas tidak menyukai Agni? Lalu atas niat apa mas melakukan itu semua?” katanya. Ya … karena ku memang benar-benar kagum akannya, aku kagum akan kecerdasan juga kecantikannya.

“Mas … suka, juga cinta. Tapi anggaplah rasa ini tak pernah ada, atau anggap saja mas ini hanya buku agenda yang senantiasa mengingatkan kamu di saat kamu lupa, jam weker di saat kamu kesiangan, dan sarapan pertama di saat kamu membuka mata.”
“Mas! PENGECUT!” katanya menoleh seraya bangkit membalikkan badan, kemudian refleks aku meraih tangannya dan kusadar ia telah menangis membuat hatiku terluka.

“Kamu mau apa?”
“Aku mau kita bersama.”
“Sudah kujelaskan kita berbeda kendaraan.”
“Kalau begitu mas saja yang naik kendaraanku.”
“Aku tak bisa, maaf. Karena keyakinanku begitu kuat, bahwa kendaraanku lebih baik dari kendaraan manapun.”
“Maksud mas? Kendaraanku tidak baik?!”
“Aku tak bicara begitu, aku bilang ini keyakinanku. Kalau kamu menganggap kendaraanmu lebih baik, itu juga hakmu. Mas tidak akan melarang, tapi yang jelas Agni. Mas tidak bisa naik  ke kendaraanmu. Itu saja.”
Dia menunduk, menangis terisak.
“Teman-temanku banyak yang melakukan pernikahan beda agama, kenapa mas tidak?!”
“Karena Mas berbeda dengan mereka.”

Agni diam, kutahu dia pun begitu meyakini kendaraan yang membawanya menuju Surga kini. Begitupun aku, dan keputusan ini mutlak bagiku. Agni hanya sekedar sahabat tak lebih, meski hatiku pun sama mungkin dengannya terombang-ambing. Agni bangkit, tetap dengan keputusannya, pergi meninggalkanku seraya berlari menutup wajahnya karena sedih. Ia mungkin malu, karena permintaannya berujung pada penolakan, bukan penolakan sebenarnya melainkan karena sebuah perbedaan.

“Aku akan menikahimu, jika kamu memutuskan untuk masuk ke kendaraan yang sama,” nazarku dalam hati dan kutahu itu tak mungkin, Agni seorang fanatik akan keyakinannya, ia juga keras dan tak mungkin kami bisa bersama.

Semenjak hari itu, aku tak lagi mengirim surat, tak lagi mengirim pesan, tak lagi mengantarkan susu ke apartament tempat ia tinggal yang jaraknya hanya dua blok dari tempatku. Aku salah, ya aku tahu. Seharusnya ketika kutahu aku tak bisa menggapainya tak semestinya aku menanam rasa. Hari-hari sulit dalam diriku, ketika Agni membuang wajah, ketika ia seakan-akan tak acuh, dan ketika ia memutuskan untuk menerima tawaran makan malam Samuel, Kevin dan bahkan beberapa lelaki yang tak kukenal.

Berulang kali kuintip dirinya melalui jendela kamarku, ia selalu keluar setiap malam, membuat hati cemas juga ragu. Malam itu, Agni pergi bersama Kevin, mengenakan gaun malam yang cukup terbuka, gaun malam selutut tanpa lengan berwarna hitam ia kenakan kemudian pergi, entah kebutaan apa aku pergi mengikutinya. Dan kemudian melihatnya meronta ketika Kevin berusaha merampas apa yang menjadi miliknya. Ku berlari, melindungi, bertengkar hingga berujung pada perkelahian. Sesudahnya Agni berlari memelukku kemudian menangis. Aku luluh.

“Aku akan masuk islam, aku mohon jangan tinggalkan aku Mas,” katanya ketika aku memutuskan kembali ke Indonesia. Melihatnya pun desiran cinta itu kembali lagi, lalu janji yang pernah kuucapkan pun seperti menari-nari untuk mengiyakan.

Tak sanggup meninggalkannya, aku ajak Agni ke Indonesia menemui orangtuaku.

Luka pun kembali kami terima. Ya, ini memang mustahil, seribu kali aku menolak menikahi wanita bernama Wulan, seribu kali aku mengatakan bahwa hanya Agni wanita yang kucinta, jutaan sayatan pedih keluar dari mulut kedua orang tuaku. Malam itu, dalam duka ketika Agni telah membebaskan diri pada sebuah keyakinan yang selama ini ia anut, permintaan kami justru diabaikan. Restu tak kuterima. Sementara Agni tak henti-henti memohon untuk terus menerus bersama. Orang tuaku tak merestui dan aku diambang kegalauan yang teramat parah. Aku pergi dari rumah meninggalkan mereka dan memutuskan untuk hidup membimbing gadisku.

Hingga kemudian ketika kalimat syahadat itu terucap di lidahnya, dan air mata menetes karena  sebuah pengorbanan yang ia lakukan. Aku pun menikahinya.

Begitu senang gadisku, Agni Anastasia. Kami menjadi pasangan halal, meski hati resah karena restu yang belum juga kuraih, gundah ketika aku bersamanya. Kami menyewa apartament di Kartasura, dan sebulan pertama hidupku penuh dengan kekhawatiran, sementara ia tidak. Ia terlihat bahagia.
***

“Mas … Bapak masuk UGD.”

Wajahku pucat pesan Ibu masuk dan membuat hariku kelabu, tubuhku gemetar, sebulan ini pun aku terus memikirkan orang tuaku, mereka yang telah kukecewakan, mereka yang harusnya kuberi bahagia, tapi aku justru lalai akannya. Malam itu aku pergi ke rumah sakit. Tiada satu pun saudara-saudaraku di sana, karena dua adikku lainnya sedang menempuh pendidikan. Ibu duduk di bangku rumah sakit, menutup wajahnya. Menangis.  Kudekati hingga kemudian aku luluh kemudian memeluknya.

“Yan … begitu besar harapan Bapakmu, sangat besar memiliki menantu seperti Wulan. Jika kamu tak mau menikahi Wulan, setidaknya carilah gadis yang seperti dia. Hanya itu Mas. Siapa yang akan merawat kami jika bukan menantu-menantu kami nanti, apa tangan kamu bisa merawat kami? Mas … Agni itu berbeda agama, dia mungkin cantik juga cerdas, tapi bukan itu yang Bapak dan Ibu inginkan,” kata Ibu padaku di samping tubuh Bapak yang terbaring lemah, napas Bapak tersengal, lalu bagaimana aku katakan bahwa aku sudah menikah? Aku bodoh, ya memang aku bodoh.

“Agni sudah masuk Islam Bu ….”
“Apa itu menjamin? Islam itu bisa dimiliki siapapun Mas, tapi mencari mutiara di dalam Islam itu sulit. Mencari iman itu susah, bayangkan Yan, sampai saat ini Bapak dan Ibu bahkan tak bisa membaca Al Quran, jika di dunia kami sudah mensejahterakanmu, apa kalian tidak bisa mensejahterakan kami di akhirat? Lalu siapa yang akan mengajarkan, mengingatkan kami sholat ketika kami sudah tak mampu bangun karena penyakit? Siapa? Di saat kalian sibuk bekerja mencari nafkah untuk anak-anak kalian, siapa yang akan membimbing kami ketika kami akan sakaratul maut? Siapa Yan?” lirih Ibuku, air matanya berderai. Hingga kemudian napasku tersengal, dan ketika aku ingin mengatakan aku sudah menikah dengan Agni, Bapak bangun dari lelapnya, mengangkat tangan dan memintaku untuk mendekat.

“Jangan kecewakan kami …,” katanya membuat air mataku semakin pecah.
“Aryan akan menikahi Wulan, Bapak tenang saja.”

Kupejamkan mata, kutepis rasa pada Agni karena nyatanya rasa ini begitu menganggu. Tanpa sepengetahuan Agni, acara pernikahan pun diatur oleh orang tuaku. Kudatangkan guru ngaji untuk Agni, agar ia kelak bisa menjadi istri yang diharapkan ibuku. Karena niatku, menikahi Wulan hanya sekedar menuruti keinginan Bapak, setelah ia sehat aku berikrar akan memintanya untuk berpisah dan membawa ratuku yang sesungguhnya ke dalam rumah.
***

Dan malam ini kami bertengkar, aku tahu ini pahit untuknya. Berat dan sakit untuk ia rasa, di luar kamar kurasakan Agni bersandar di balik pintu dan menangis.

“Percayalah sayang … jika Bapak sembuh, aku akan menceraikannya. Percayalah hanya kamu wanita yang akan kusentuh dan halal untukku. Percayalah.”

Hening, isak tangis terdengar semakin menjadi.
“Agni keluar, jika tak keluar. Mas akan pergi.”

Hening, dan nyatanya ia tak keluar. Rasa sakitnya sepertinya begitu pedih.
“Nanti Mba Salima akan datang, kamu mengaji seperti biasa ya,” kataku di balik pintu.

Masih tetap hening. Aku keluar dari apartement, satu bulan sudah aku menikah dengannya dan hubungan kami begitu rumit.
***

Acara pengajian telah diadakan di rumah, ratusan bunga mawar putih dihias rapi di sekitar pekarangan rumah, harum menyerbak, karpet merah tergelar di sepanjang pekarangan rumah dengan tenda berhias kain putih yang menghiasi. Keindahan juga kesedihan menguasai hati. Dan aku, hanyalah seorang aktor dalam sebuah kisah yang dibuat kedua orang tuaku, senyum gemilang terukir di wajah keduanya. Ponsel tak henti-henti kupegang menunggu kabar dari orang terkasih, karena sudah satu minggu sejak pertengkaranku dengan Agni, wanita itu tak kunjung mengangkat telepon atau setidaknya membalas pesanku, ia juga enggan kutemui.

Hingga kemudian untuk pertama kali, dalam kurun waktu lima tahun. Seorang gadis yang dulu masih kuingat hitam manis, melangkah perlahan ke hadapan, gadis dengan balutan gaun putih dan khimar putih yang terbuat dari chiffon sutra, begitu rapi, tertutup, malu-malu menunduk, matanya bulat, hidungnya mancung, bibirnya tipis, alisnya menukik dan natural dan kulitnya tak sehitam dulu, ia lebih putih dari dulu, lebih terlihat cantik dan manisnya tak memudar. Aku suka melihatnya, ia cantik tapi sayang tak mampu membuat hati berdesir.

Egoisnya aku, yang kuingat adalah dia adalah Wulan adikku yang selalu menuruti permintaan kakaknya dulu, ya itu aku. Wulan selalu menurut dan tak pernah mengecewakan. Aku tak mencintainya, meski aku tahu ia gadis baik dan alim juga sempurna bak bidadari surga. Tapi inilah hati, hanya untuk Agni dan seterusnya akan seperti itu. Enam tahun aku tak berjumpa dengannya, rasanya tak mungkin jika Wulan menyukaiku, ia pasti setuju dengan perpisahan yang akan kurencanakan kelak untuknya.

“Wulan … memangnya serius mau menikah dengan Mas Aryan?” kataku meledek, berharap ia menangis dan menunjukkan ketidaksukaan. Tapi ini justru di luar dugaan, ia mengangguk dan wajahnya memerah seperti tomat. Kemudian aku tersenyum, teringat ketika dulu ia masih duduk di bangku SMA dan selalu membuatku gemas dengan sikapnya. Perlahan rasa sayang itu kembali untuknya, tapi ini rasa yang biasa. Rasa yang sama kuberikan seperti adik-adik lelakiku, ya hanya sebatas itu. Rasa yang tak membutuhkan energi untuk memikirkannya, dan bukan rasa yang bisa membuat ruangan menjadi hampa dan napas menjadi berkurang. Rasa ini natural dan datar.

=====

“Seorang lelaki dikatakan suami, jika ia menjalani kewajibannya sebagai seorang suami, jika ia memiliki visi untuk menjadikan keluarga yang sakinah, tapi Wulan bukan istri Mas, semenjak Mas merencanakan akan berpisah dengan Wulan. Sejak itu bagi Wulan, Mas bukan siapa-siapa. KIta hanya sandiwara bukan? Jadi ketika di depan orang, Wulan akan menjadi istri Mas, dan di kamar kita orang asing, keburu pagi mas. Wulan salat dulu.”
***

“Mba Salima, apa mba Salima tau di mana Agni?” tanyaku di telepon. Setelah kusadari istriku tak berada di rumah.
“Maaf toh Mas Aryan, saya tidak tahu. Mba Agni bilang mau liburan katanya, jadi mengaji libur dulu.”

Aku menghela, Agni pasti pergi membawa luka, aku tak tahu dia di mana. Aku terdiam, menangis, merindukan kekasih yang seharusnya bisa memahami posisiku. Aku paham ini berat, tapi aku pun berjanji takkan menyentuh Wulan, berjanji hanya akan mencintainya, mengapa ini sulit ia lakukan, atau aku harus membuat hitam di atas putih agar semua ini jelas. Atau seperti apa?

Hari itu, sebelum pesta pernikahanku. Agni belum kunjung datang,ia bahkan tak menjawab semua panggilanku. Kutunggu ia sampai malam, hingga lelah dan letih seluruh tubuh ini. Menahan rasa juga kegalauan yang teramat mendera.

“Mas … kamu di mana? Kamu jangan bikin kecewa Bapak dan Ibu ya Mas, pulang sekarang. Besok acara pernikahanmu,” tulis Ibu melalui pesan singkat.

Kulempar ponselku ke atas ranjang. Menunggu istriku kembali, hingga kemudian pintu knop berputar. Wajahku sumringah, istriku kembali. Buru-buru aku bangkit dan berlari ke arah pintu. Kubuka kemudian tercengang kaget. Istriku mengenakan kemeja dan rok selutut, kelopak matanya membesar dan celak di mata meleleh, matanya merah, ia menangis kemudian jatuh memelukku.

“Kamu dari mana? Kenapa tak balas pesan Mas? Tak jawab panggilan Mas?” Kemudian aku mendengkus, ketika Agni berjalan tanpa menghiraukanku.

“Jawab Mas! Kamu tahu kalo kamu keluar rumah, pergi harus atas seizin Mas, bukankah dulu pernah Mas bilang!”
Agni diam, memejamkan kelopak mata yang sudah membesar dan memerah.
“Oooh … harus seperti itu? Jadi aku harus mentaati semua kata-katamu? Bahkan untuk permintaanmu menikah lagi? Harus juga aku taati?!”

“Kamu pikir, aku bahagia dengan pernikahan ini?!” rutukku, seraya menarik lengan Agni mendekat hingga wajah kami begitu dekat. Mataku berkaca-kaca rasanya pun tak sanggup melihat kondisi Agni seperti malam ini. Dia diam melengos.

“Kamu pikir aku menginginkan pernikahan ini?! Aku mohon mengertilah!”
“Mengerti apa? Sakit apa yang paling besar selain berbagi lelaki? Hah!”
Kuusap wajahku, “Agni … aku menikah bukan untuk kebahagian, bukan karena cinta, bukan karena nafsu ataupun gairah, aku menikah demi Bapak, itu saja ….”
“Oh ya … lalu kamu akan berani mengatakan bahwa seumur pernikahanmu dengannya kalian takkan bersentuhan, begitu?!”
“Ya. Aku berjanji takkan menyentuhnya!”
“Bullshit!
“Agni!”
“Semua itu dusta!”
“Aku mohon mengertilah, kamu pikir aku senang? Kamu pikir aku tenang memikirkan ini semua? Katakan apa yang harus kulakukan?!”
“Bawa aku, kenalkan aku sebagai istrimu. Cukup!”
“Ya!” Aku mengangguk.
“Lalu kemudian, aku akan bicara pada Bapakku yang sedang terbaring lemah di Rumah sakit karena penyakit jantungnya, kemudian aku katakan semua. Hingga ia tak sanggup, kemudian pergi selamanya karena anaknya. Aku … akan menyesalinya seumur hidup!
”Jadi kamu menyesal menikah denganku Mas?”
“Stop Agni! Berhenti! Mengerti aku, pahami aku!” Kemudian aku diam, lelah meyakinkannya, hingga kemudian aku duduk dan menutup wajahku dengan telapak tangan. Senyap, Agni seperti masuk ke dalam kamar, dan tak lama ia kembali.

“Ini.”
“Apa?”
“Kamu harus berjanji, bahwa hanya aku istrimu. Dan aku tak mau diduakan, kamu tak boleh menyentuhnya, kamu harus janji! Tanda tangan.”

Agni melengos, gurat amarah nampak jelas di wajahnya yang kini memerah, Aku bangkit, kemudian menandatangani surat yang sudah ia susun rapi dan mungkin sudah ia pikirkan matang-matang. Di atas matrai dihadapannya, aku taburi tanda tangan. Hingga kemudian ia kembali menangis dan aku memeluknya. Pecah air matanya di pelukan, napasnya tersengal, kucium ubun-ubunnya.

“Kamu harus janji juga sama Mas.”
“Apa?”
“Kamu harus terus belajar mengaji dengan Mba Salimah, Mas ingin saat kau bertemu dengan Bapak dan Ibu kamu sudah siap.”

Agni mengangguk pelan, kemudian kucium kembali ubun-ubunnya, dan merebahkan diri di atas ranjang, kami berpelukan hingga akhirnya ia terlelap dan aku pergi meninggalkannya.
***

Hari ini adalah hari pernikahanku, hari di mana aku akan melangsungkan pernikahan bersama seorang gadis yang sudah cukup lama kukenal. Kemudian anganku terbang membayangkan pernikahan ini adalah pernikahanku dengan Agni. Ya, kami menikah di bawah tangan, tentu itu teramat menyakitkan baginya. Sedang Wulan, adalah wanita sah yang kunikahi di depan catatan sipil dan juga orang tua.

Begitu hangat Ibuku menyambut para tamu, sedang Bapak duduk bersandar di kursi rodanya, aku terdiam. Seperti orang bodoh, kemudian mengedarkan pandangan dan tersadar aku duduk di tengah-tengah puluhan undangan yang hadir, aroma bunga hidup menusuk-nusuk penciuman, di hadapanku sebuah pelaminan jawa telah terpajang rapi, meja akad dengan hiasan bunga mawar putih dan semua saksi juga Kyai haji Hadi, lelaki paruh baya yang akan menjadi mertuaku kelak. Mertua sementara, lebih tepatnya.

“Kita langsung saja.”
“Mempelai wanitanya mana?” tanya penghulu.
“Mempelai wanita akan turun begitu sudah sah.”

Aku menghela napas, seperti pengantin kebanyakan yang selalu ingin melihat betapa cantiknya pengantin perempuan, tapi tidak untuk aku. Aku sama sekali tak penasaran akan seperti apa Wulan nanti, rasaku pasti akan tetap sama. Aku justru membayangkan, Agni datang dengan balutan kebaya jawa dan dengan hijab yang dihias dengan kembang melati, aku menyeringai hingga kemudian tak terasa air mata menetes.

“Saya terima nikah dan kawinnya Wulan Ayudisa Soenggono binti Hadi Soenggono dengan mas kawinnya tersebut. Tunai!”
“Sah!”
“Barakallah!”

Aku mengembuskan napas, kemudian melihat semua mata berkaca-kaca terlebih orang tuaku. Melihat kebahagiaan mereka, membuatku terharu. Hingga kemudian, perlahan gadis yang telah resmi menjadi istriku turun, gaun kebaya putih dengan hiasan melati di atas kepala, juga hijab yang menutupi dada terlihat anggun Wulan pakai, wajahnya semakin cantik dengan riasan yang tak terlalu mencolok.

Wulan sempurna, tapi bukan untukku.

Kemudian ia duduk di sampingku, mengecup penggung tanganku lalu aku mengecup ubun-ubunnya. Usailah sudah mimpi kedua orang tuaku, dan di dalam aku merana, khawatir karena sejak tadi ponsel di saku kemeja beskap yang kupakai tak berdering, berharap Agni dalam kondisi baik, berharap ia tak nekat melakukan sesuatu. Aku diam lalu menangis, dan ketika Wulan menatap ia mungkin berpikir bahwa ini adalah air mata kebahagiaan, sama dengan air mata yang mengalir di pipinya. Acara sungkeman, pesta pernikahan selama lima jam akhirnya terlewati.

Rumah kami cukup besar, acara pesta sengaja diselenggarakan di pelataran rumah, hingga rumah bagian dalam masih begitu bersih dan rapi. Perlahan aku masuk menggandeng jemari lentik Wulan kemudian masuk ke dalam kamar. Tiada ketegangan yang berarti layaknya penganten baru, semua biasa saja. Justru saat ini, rasa ini sangat tegang memikirkan bagaimana cara menyampaikan perjanjianku pada Wulan. Gadis itu duduk, malu-malu di atas ranjang, sementara aku sibuk melepaskan beskap di depan cermin. Kami diam, jika Wulan gugup karena ini adalah malam pertamanya, aku justru gugup mempersiapkan hati untuk berbicara dengannya.

Aku jahat. Ya, aku tahu ini tak adil untuk Wulan, entah berapa lama aku harus bersimpuh menunduk memohon maaf padanya. Anganku kemudian terbawa pada saat dia masih duduk di bangku SMA, gadis itu begitu alim juga sedikit manja. Celotehannya pun sempat kurindukan ketika ku di luar negeri. Tapi Wulan, aku kenal dia. Dia gadis yang berhati lembut.

“Mas.” Lamunanku terbang, akhirnya Wulan memberanikan diri menyapaku.
“Eh … mas, mandi dulu ya dek.”

Kemudian di belakangnya, buru-buru aku simpan ponsel yang telah sengaja kuredamkan suaranya. Lalu masuk ke kamar mandi. Berpikir mencari cara, agar tiada yang salah, cukup lama aku di dalam. Hingga kemudian aku keluar kamar, dan raut wajah Wulan sudah berubah. Ada kesedihan di matanya, apa yang sedang ia pikirkan pun masih belum dapat kutebak. Hingga kemudian terdengar isak tangis, dan ketika ia mengempaskan tubuhku ke ranjang, akhirnya kupaham bahwa ia dengan sengaja membaca pesan di ponselku.

“MAS PULANG! AKU AKAN MATI!” isi pesan Agni yang jujur membuatku ketakutan setengah mati, tanpa memikirkan perasaan Wulan aku pergi meninggalkannya. Kutaiki mobil jeep yang sudah terparkir di luar gerbang, karena tenda dan peralatan pernikahan belum selesai dirapikan. Kuhubungi berulang-ulang nomor Agni hingga kemudian aku menghentikan laju mobil saat ia menjawab panggilan.

“Sayang kamu mau apa?!” tanyaku.
“Aku sedih mas, hari ini hari pernikahanmu!”
“Aku tahu … maaf, tapi ini sudah kita bahas bukan? Agni, Mas mohon tolong jangan berbuat nekat. Mas hanya mencintaimu, sungguh!”
“Aku tak bisa mas, melihat foto-foto pernikahan di wall teman-temanmu, membuatku terluka.”
“Cukup Agni, buang saja HP itu, percaya dengan Mas. Mas mohon, baru saja mas akan mengutarakan perjanjian dengan Wulan. Mas mohon ….”
“Apa gadis itu akan menerima?”
“Mas yakin.”
“Bagaimana jika ia menolak?”
“Tak akan.”
“Kenapa?”
“Dia sudah seperti adik buat Mas, Mas mengenalnya sudah lama, dia orang baik.”
“Baik … sekarang kau memujinya esok cintamu akan berpindah.”
“Cukup! Agni kau hanya takut dengan hal yang ada di dalam pikiranmu!”
“Aku ingin mati saja ….”
“Allahuakbar, tolong jangan seperti ini sayang. Mas mohon ….”

Sejurus kemudian, kulihat Wulan keluar dari rumah membawa koper dan memanggil taksi, dan tak sadar air mataku menetes melihatnya. Aku gundah, entah apa yang kulakukan pada gadis yang tak pernah sedikitpun menorehkan luka. Sambil berbicara dengan Agni, kuikuti taksi yang membawa Wulan. Kutahu, ia pasti kembali ke rumahnya. Ia pasti sedang menangis, ya Tuhan. Gadis itu terlalu lugu untuk kusakiti. Maaf … maafkan aku.

“Mas!”
“Ya.”
“Kamu bisa datang malam ini kan?” tanya Agni diujung telepon.
“Sayang … besok ya, malam ini mas tidak bisa. Apa kata Bapak dan Ibu jika mas meninggalkan Wulan. Dan lagian, Mas harus menyampaikan rencana kita padanya. Beri Mas waktu.”
“Oke!” jawabnya datar seraya menutup telepon dengan kasar.

Kemudian buru-buru aku menelepon Salima, guru ngaji yang sengaja kuberikan ukhro untuk membimbingnya, rumahnya tak jauh dari apartement kami. Dan Alhamdulillah wanita itu mau membantu menenangkan Agni. Sementara pandanganku terus tertuju pada taksi yang membawa adikku yang terluka. Aku jahat, aku memang jahat. Jika membayangkan dulu, aku adalah orang yang selalu ada di saat ia sedih, ada saat ia membutuhkan pertolongan dan selalu datang untuk menjaganya. Kini aku adalah penoreh luka di hatinya.
Mobil berhenti persis di depan pesantren Al Fatih. Sebelum masalah menjadi tambah rumit, buru-buru aku turun dari mobil kemudian mengejarnya ketika langkahnya sudah masuk ke dalam rumah. Dan Nyaris, hampir saja perasaanku mengatakan Wulan akan bercerita. Aku datang sebelum semua terbongkar. Datang di saat yang tepat ketika Bue menanyakan alasan ia menangis dan datang di tengah malam.

Aku menghela, dan tanpa malu. Berpura-pura memperhatikannya seakan ada rasa yang tertinggal. Nyatanya aku hanya ingin Wulan membantuku, tidak lebih. Entah apa yang membuatku mendadak menjadi lelaki jahat seperti ini. Dulu, aku tak seperti ini. Dulu aku menyayanginya sebagai adik, sempat juga berikrar pada Ayahnya akan terus melindungi. Tapi … aku menyesal. Malam itu ketika kulihat genangan air di matanya, aku memberanikan diri untuk memeluknya dari belakang. Tubuh mungil itu tak berkutik, ia diam dan hanya terasa desahan isak tangis yang teramat dalam. Dan ketika ia menutup pintu, kuedarkan pandangan pada setiap sudut kamar Wulan, di atas meja nakas di sudut tembok sebelah kanan terpajang fotoku, aku menunduk.

Wulan sepertinya sungguh-sungguh menjaga janjinya, perlahan ia gontai kemudian duduk di atas ranjang, semua rahasia sudah terbongkar dan sebaiknya pun aku memberi tahu dia. Akan sebuah kebenaran yang pastinya akan menyiksa batin juga raganya. Wulan tersedu menangis dan aku bersimpuh memohon maaf.

Air matanya, isak tangisnya, ya Allah. Ingin kurengkuh dia, mengusap air matanya tapi berulang kali ia tepis. Aku pun tak sanggup. Meski cinta bukan untuknya tapi rasa sayang itu besar. Aku diam, tak mampu berkata apapun. Terdiam hingga kemudian ia memintaku keluar.
***

Air jahe hangat begitu menenangkan batin juga ragaku. Setelahnya kulihat Wulan kemudian kembali masuk ke dalam kamar. Dan karena tak enak dengan Bue juga Pae aku turut masuk. Wulan tanpa bicara ia lapangkan sajadah kemudian membelakangiku, bersiap untuk tahajud.

“Tunggu, Lan.”
Ia diam, menghentikan gerakan takbirnya.
“Kita jamaah?”
“Tidak perlu mas, wulan pernah berikrar hanya ingin tahajud berjamaah dengan suami Wulan.”
Hatiku perih, kenapa? Aku juga suaminya.
“Lan, mas kan suami Wulan.”
“Seorang lelaki dikatakan suami, jika ia menjalani kewajibannya sebagai seorang suami, jika ia memiliki visi untuk menjadikan keluarga yang sakinah, tapi Wulan bukan istri Mas, semenjak Mas merencanakan akan berpisah dengan Wulan. Sejak itu bagi Wulan, Mas bukan siapa-siapa. KIta hanya sandiwara bukan? Jadi ketika di depan orang, Wulan akan menjadi istri Mas, dan di kamar kita orang asing, keburu pagi mas. Wulan salat dulu.”

Kupejamkan mata, ada sesak yang tak bisa kugambarkan. Ucapannya begitu pahit kuterima, di hadapanku, Wulan terlihat khusyuk dalam salatnya, sementara aku justru merasa jauh dari Tuhan. Ibadahku, cintaku, semua menjadi salah. Kemudian kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar, fotoku sudah tak terpajang lagi di sudut kamar, dan di bawah  ranjang terlihat kardus besar seperti sampah yang hendak dibuang. Perlahan aku mendekat, melihat beberapa barang yang sepertinya sengaja gadis itu buang. Ada fotoku di sana, ada juga beberapa pemberianku waktu dulu, semua masih ia simpan, kamus bahasa inggris, penggaris milikku, topi, dan banyak lagi. Kupejamkan mata kemudian tak terasa air mataku menetes.

“Mas kalo mau salat-salat saja, masih jam setengah empat.”
Aku mengangguk, ia lipat perlengkapan salatnya kemudian beranjak keluar.
“Lan!”
Ia berhenti melangkah. Sementara aku bangkit kemudian menarik lengannya.
“Lan … mas mohon, apa Wulan begitu membenci mas sekarang?”
“Membenci? Jika itu pun benar, Wulan rasa itu layak. Wulan hanya adik kan? Wulan akan bantu Mas Aryan, tenang saja.”

Ia melengos kemudian keluar kamar.
***

Pagi itu, kami kembali ke rumahku. Dan sepanjang perjalanan, Wulan hanya terdiam memandang luar seraya berpangku tangan. Kami seperti es batu yang belum mencair.

“Wulan masih ingat nggak, waktu kita main ke Alun-alun?” tanyaku berusaha mencairkan suasana.
Hening. Ia tak merespon.
“Lan ….”

Hening. Wajahnya memerah, dan tiada senyum di wajahnya. Padahal senyuman itu yang sempat kurindukan. Ya Allah, Wulan. Maafkan Mas, seharusnya Mas bisa menjadi cahaya di kegelapan, seharusnya Mas bisa menghentikan air matamu, seharusnya keadaan Mas sudah cukup membuatmu bahagia, bisa melindungimu, maafkan Mas Wulan.

Aku menghela napas, ketika wanita itu mematung diam menahan isak tangis. Yang kulakukan jahat. Sangat jahat. Dan tiba di pekarangan rumah, buru-buru ia turun tanpa menoleh ke arahku.

“Assalamualaikum,” sapanya lembut yang kemudian disambut kencang oleh teriakan Ibu.
“Kalian dari mana saja? Kok nggak pamit sama Ibu, Lan?”
“Itu … semalam.”
“Semalam aku ajak Wulan jalan-jalan Bu, setelah itu menginap di rumah Wulan.”
“Oalah, ya sudah masuk Ibu sudah buatkan sarapan.”
“Maafkan Wulan ya bu, Ibu jadi repot.”
“Nggak apa-apa, ayo … semuanya sudah kumpul di meja makan.”
“Aku berjalan di balik tubuh Wulan yang mungil.” Hingga kemudian langkahku terhenti.
“Surprise!”
Aslan. Adik lelakiku baru kembali dari Kanada.
“Kak Aslan!” Wajah Wulan Sumringah, begitupun Aslan yang langsung berlari ke arahku kemudian memeluk.

“Maaf ya, aku nggak dateng ke nikahan kalian. Selamat ya Lan. Wulan udah besar sekarang ya, udah nggak bisa kakak godain donk,” katanya meledek. Dan akhirnya meski melalui Aslan, aku bisa melihat senyum itu merekah di wajahnya.
“Ia kak. Nggak apa-apa,” kata Wulan seraya berjalan menuju dapur dan Aslan juga aku mengekor di belakangnya. Wanita itu tanpa disuruh, langsung menuju ke arah dapur. Ia singsingkan lengan pakaiannya kemudian mengambil posisi ulekan sambal yang sudah tersedia rebusan cabai dan bawang di atasnya. Sementara Aslan tak henti-henti mengajaknya berbicara, mengenang masa kecil bersamanya, hingga senyum itu lagi-lagi terukir di wajahnya.

Aku beringsut mundur, memelas, karena bukan aku yang membuat dirinya tersenyum. Kemudian aku masuk ke dalam kamar. Duduk di atas ranjang, dan teringat kembali dengan obrolanku dengan Kiai Hadi semalam ketika Wulan memintaku untuk keluar kamar.

“Wulan itu … sudah lama menunggu Nak Aryan,” kata Pae semalam yang membuat batinku teriris.
“Kok bisa, Pae.”
“Yo iso, ketika dia memutuskan untuk menerima lamaran dari keluarga kalian, Wulan memutuskan untuk menjaga diri. Menjaga izzah, berulang kali lelaki datang untuk meminangnya, sebelum Pae tolak ia duluan yang menolak. Begitu semangat, berapi-api besar cintanya.”

Aku diam, dan dadaku mulai sesak.
“Cinta atau karena tanggungjawab, Pae?”
“Ya tanggungjawab, ya bisa juga cinta.”
“Tapi … bagaimana bisa Wulan cinta, padahal kan sudah cukup lama tak berjumpa.”
“Amargo katresnan sing tuwuh Soko netro kui samar, Mas. Ora jelas asale Soko ngendi,iso Soko Gusti Allah iso ugi mergo nafsu. [Karena cinta yang turun dari mata itu samar, Mas. Tidak jelas asalnya dari mana, bisa dari Allah bisa juga karena nafsu.]

Aku diam, berat menelan saliva. Ada benarnya apa yang dikatakan Kiai Hadi, yang Wulan rasakan adalah cinta yang datang murni karena Allah. Cinta yang dilandasi akan sebuah ikrar, dan dia menjaganya, bukan cinta yang berasal dari pandangan, dari keinginan, seperti cintaku pada Agni. Perlahan aku menyesal, mungkin Wulan bukan untukku. Ya dia terlalu baik, sangat baik malah.

“Katresnan engkang saking Gusti Allah meniko engkang kados pundi, Pae?” [Cinta dari Allah seperti apa, Pae?” tanyaku seraya memijat kakinya yang ia rebahkan di sofa.
“Yo katresnan sing malah gawe awake dewe luwih cetak marang Gusti Allah. Sing nggawe awake dewe soyo adoh kui Yo mung katresnan semu, samar, luwih apik Ojo di glape.” [Ya cinta yang justru semakin membuat kita lebih deket sama Gusti Allah. Yang membuat kita semakin jauh itu hanya cinta semu, samar, sebaiknya dihindari.]

Dan kini, cinta seperti apa yang kujalani bersama Agni, cinta yang datang dari Allah atau cinta yang datang dari nafsu? Nyatanya demakin dekat dengan Wulan aku justru merasa lebih dekat dengan Gusti Allah, melihat gadis itu semalam bermunajat ada rasa nyaman di hati, dan ketika ia menolak untuk kuimami, aku meronta. Merasa rugi, merasa culas, surga di hadapan seperti kubuang sia-sia.

Kemudian aku mulai membandingkan dengan kehidupanku bersama Agni yang sepertinya jauh dari kata nyaman, kami hidup tanpa restu, juga hidup tanpa ketaatan kami dalam beribadah. Agni, salatnya pun masih menghapal, bacaan quran pun terbata-bata, memakai hijab pun masih enggan, dan banyak lagi yang kemudian kusandingkan dengan Wulan. Kutarik napas perlahan, mencoba berilham baik, berharap suatu saat Agni akan bisa berubah, mungkin tidak sebaik Wulan. Tapi setidaknya cukup. Aku sudah berjanji dengannya, dan saat ini ku pun rindu dengan Agni. Aku cinta, entah itu datang dari Allah atau tidak yang jelas rasa ini cukup membuatku menjadi lelah. Hingga kemudian terdengar gelak tawa Aslan dan Wulan dari luar, hatiku kembali sesak.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER