Cerita bersambung
“Mas, cinta itu datangnya dari hati bukan dari mata, yang dari mata itu hanya nafsu sedang yang langsung tembus ke hati itu datangnya dari Allah. Jika saja mas tahu, bahwa cinta ke Wulan adalah cinta yang langsung tembus ke hati. Apa mas mau memilih Wulan, apa mas mau meninggalkan Agni? Ah bodoh! Aku bukan madumu mas, aku juga bukan wanita yang pintar merebut kekasih orang. Mas pergi saja,” gumamku pedih di hati.
“Dek, Wulan …,” panggil Mas Aryan dengan wajah yang begitu datar. Seketika senyumanku memudar dan mas Aslan pun terdiam. Aku bangkit kemudian memenuhi panggilannya. Biar bagaimana pun Mas Aryan adalah suamiku yang harus kuhormati, meski ia tak menganggapku. Aku Berjalan mengekor di belakangnya, hingga aku masuk ke dalam kamar bersamanya. Mas Aryan, kalut. Mondar-mandir tak jelas, membuat hatiku gundah.
“Mas, lapar ya?”
Dia menggeleng.
“Mas … mau kopi?”
Dia menggeleng lagi dan semakin terlihat kalut tanpa membuka suara.
“Mas … mau apa? Kalo tak ada Wulan keluar.”
“Sini!” Dia menarik lenganku dan kemudian kini kami saling berhadapan, kedua siku ia rengkuh. Degup jantungku seperti genderang perang, sorot mata itu begitu tajam menatap.
“Mas … mau apa?” lirihku ketakutan, tapi ini bukan rasa takut. Ini rasa cinta yang lagi-lagi mendesir bagai ombak, rasa cinta yang sebelumnya sudah susah payah kuhapus kini kembali lagi ke permukaan. Rasa cinta yang besarnya sama dengan rasa cinta pada diri sendiri, mata Mas Aryan terus menatapku dan wajahku kini pasti memerah seperti yang sudah-sudah. Hingga kemudian ia menghela napas.
“Mas … mau pergi ke Mba Agni? Pergi saja Mas!” ucapku seraya melengos, dan kemudian ia seperti orang bodoh yang perlahan melepas pegangannya. Mungkin ia lupa siapa istrinya, aku juga istrinya, tapi aku bukan madunya. Sampai kapanpun, aku belum siap untuk menjadi madu. Menjadi luka di hidup orang lain itu sungguh tak mudah. Jika aku yang harus dimadu, aku masih bisa berpikir. Tapi ini … luka mba Agni pasti lebih parah dariku. Atau kita seimbang.
“Wulan … mas tidak suka kamu dekat-dekat dengan Aslan.”
“Kenapa?”
Ya Alloh … cemburukah dia? Apa ada rasa cinta untuk Wulan meski sedikit? Mas Aryan diam, mengusap kepalanya.
“Mas tidak suka! Wulan, mungkin mas setuju untuk tidak menyentuhmu. Tapi kamu harus ingat dan paham. Mas ini tetap suami Wulan, yang harus Wulan taati dan hargai. Wulan bisa tersenyum dengan Mas Aslan kenapa dengan Mas nggak bisa?”
Aku tercengang, “bagaimana senyuman ini bisa mengembang, untuk seseorang yang sudah membuat luka di hati.”
“Mas Aryan minta maaf, Lan … tapi melihat Wulan cemberut terus, Mas tersiksa.”
“Terus! Mas, mau Wulan seperti apa?!”
“Seperti kita dulu … adik dan kakak, tapi kita tak ada batas. Bermain monopoli, belajar, tertawa bersama.”
Hatiku sakit, dia tak paham. Aku mendengkus, betapa egoisnya Mas Aryan, tak tahukah dia aku meringis sakit. Kuhentakkan tangan, kemudian menoleh dan lagi-lagi, tubuhku membeku, terpatri, kupejamkan mata ketika tangan itu melingkar di perutku. Mas Aryan memeluk tubuhku dari belakang, dan aku tak mampu berkutik.
“Mas mohon Lan, apa kata orang kalo istri Mas hanya bisa tersenyum untuk lelaki lain?”
Kupejamkan mata, menangis. Mas aryan jahat! Hanya peduli dengan pikiran orang tanpa peduli apa yang kurasakan. Perlahan kulepaskan tangan yang melingkar di perut. Kemudian pergi meninggalkannya di kamar.
***
Makan siang telah siap, aku pergi ke kamar Bapak, lelaki paruh baya yang kini duduk tak berdaya di kursi roda ini sudah seperti Ayah kandung bagiku. Kudekati, kemudian berbicara beberapa kata dengannya. Ia menderita strok, dan katanya karena Mas Aryan. Begitu ingin ia menjadikanku putrinya hingga sampai seperti ini, “Bapak makan dulu ya.” Ia mengangguk tersenyum. Sejurus kemudian, suara ketukan pintu terdengar dari luar. Mas Aryan, suamiku, bukan ia bukan suamiku, telah berdiri rapi di muka pintu, begitu rapi dengan kemeja juga celana biru gelap yang begitu pas di kakinya.
“Lan …,” sapanya dan aku diam memerhatikan wajahnya yang sempurna di hadapan.
“Mas, mau berangkat kerja dulu ya.”
Kerja? Pasti ingin bertemu Agni. Ya, kerja hanyalah alasan Mas Aryan saja. Aku menunduk, hatiku sakit meski aku sudah setuju berkonspirasi akan kebohongannya, setidaknya hingga Bapak cepat sembuh. Lalu sesudahnya aku akan jadi apa? Aku siapa? Mas Aryan tak memedulikanku. Bahkan mungkin masa depanku pun tak ia pikirkan. Biar bagaimanapun, wanita yang menjadi janda karena sebuah perceraian, akan menyisakan luka dan fitnah yang begitu besar. Tak ia pikirkan itu. Aku diam sesekali menatap Bapak, melihatnya pun, aku tak tega. Kesembuhannya adalah jalan agar aku bisa segera pisah dengan lelaki yang menabur luka di dada.
“Kenapa? Kok kamu sedih?” tanyanya. Aku melengos.
“Mas, bener mau kerja Lan.”
Tak mau menjawab, kugapai tangannya kemudian kucium punggung tangannya lalu berpaling dan kembali ke Bapak. Mas Aryan mematung cukup lama, dan kemudian mendekat.
“Lan … masakanmu enak sekali, kamu jangan lupa makan ya.” Mendengar ucapannya Bapak tersenyum, dan mengacungkan jempol padaku, terbata-bata mengucapkan lafaz Alhamdulillah. Mas Aryan, tak pernahkah kau berpikir? Jika benar bahwa kita adalah suami istri sungguhan, betapa bahagianya aku juga orang tuamu. Tapi tidak, kau punya kebahagiaanmu sendiri. Ya sendiri, dan tak sadar kau telah berlari jauh meninggalkan kami.
***
“Lan … Mas Aryan kok belum pulang jam segini? Kamu nggak nelepon?” tanya Ibu membuat hatiku semakin hancur. Aku harus bilang apa? Dia pasti ke tempat Agni. Ya, wanita yang juga istri sahnya. Wanita yang telah hadir sebelum aku. Tapi tidak, aku yang sudah mengenal Mas Aryan sebelum Mas Aryan pergi sekolah ke luar negeri. Harusnya dulu kunyatakan saja cintaku hingga Mas Aryan setia.
“Lan. Aryan belum pulang?” tanya Mas Aslan yang mendadak hadir kemudian duduk di depanku. Aku menarik napas kemudian teringat dengan lelaki egois yang sudah menjadi suamiku. Apa kata orang jika aku hanya bisa tersenyum di depan Aslan, apa kata orang jika aku selalu menunjukkan wajah yang datar pada suamiku sendiri.
“Udah jam sepuluh loh?!” ucap Aslan kembali.
Lelaki di hadapanku, adalah lelaki yang sempat kuistikhorohkan selain Mas Aryan. Mas Aslan usianya terpaut dua tahun lebih muda dari Mas Aryan, rambutnya gondrong dan wajahnya sedikit gelap dibanding Mas Aryan, hidung dan matanya hampir mirip dengan Mas Aryan. Keduanya sama tampan, tapi ketika dua foto disodorkan padaku, dan kemudian hatiku justru semakin dalam hanya untuk Mas Aryan, karena Mas Aslan saat itu hanya sering menjaili, tak begitu dekat dan jarang datang ke pesantren, ia sibuk dengan band musik juga teman-teman nongkrongnya.
"Pae milih Mas Aslan utowo Mas Aryan?" tanyaku pada Pae dulu.
"Loh kok nanya Pae, nduk."
"Wulan kepingin tau, Pae."
"Yo, Pae milih sing kerep ketemu ono masjid, Nduk,” jawabnya hingga mendadak membuat hatiku berdesir, saat itu apa yang Pae pikirkan sama denganku. Dan Mas Aryan adalah lelaki yang paling sering datang ke masjid dibanding Mas Aslan yang bahkan saat itu tak pernah menginjakkan kakinya di masjid pesantren kami.
“Loh ... loh, napa pipimu jadi merah?" tanya Pae meledek, aku berlari ke kamar. Malam itu kupeluk foto Mas Aryan dan meyakini pilihanku.
Lalu di meja makan ini aku termangu menatap Mas Aslan, yang mungkin saja jika aku memilihnya, cerita ini takkan pernah tertuliskan. Kisah Aryan dan Wulan yang mengharu biru ini takkan pernah ada. Mungkin saja aku akan bahagia, tapi tidak. Bagaimana mungkin aku bisa bahagia dengan lelaki yang tak kucinta.
“Lan ….” MasyaAllah … aku lupa, air mataku menetes di hadapan Mas Aslan. Aku lupa, bahwa seharusnya aku menutupi pedih di hadapan semua orang.
“Mas Aryan, lembur mas,” kataku bangkit dan kemudian buru-buru masuk ke dalam kamar. Kututup pintu rapat-rapat lalu menangis sejadi-jadinya, terisak perih seraya menekan dada dan bertekuk lutut di lantai.
Sangat pedih … begitu sakit, seharusnya aku tak mencintai Mas Aryan. Gontai aku berjalan menuju ranjang, kemudian meringkuk. Sudah jam sepuluh Mas Aryan belum kembali, dan anganku memikirkan dia bersama wanita lain, sedang berbahagia, bercumbu mesra, lalu aku? Hanya dijadikan apa olehnya? Ban serep? Dia memanfaatkan keluguanku. Aku sakit. Mas Aryan, entah Wulan bisa atau tidak memaafkan mas, tapi yang jelas luka ini begitu pedih. Dan semoga luka ini tak Wulan bawa ketika roh pergi meninggalkan jasadnya.
Aku kalut, entah kepada siapa harus merebahkan luka, pada siapa harus bercerita, jika dibiarkan bisa-bisa aku yang akan mati sebelum Bapak.
Alloh … berikan petunjukmu, apa salah Wulan? Sampai harus dicoba seperti ini? Aku cemburu tak karuan membayangkan Mas Aryan berkasih dengan wanita lain. Perlahan kubangkit, kemudian berkeliling di kamar Mas Aryan yang begitu luas, sesekali melihat ke arah jendela tapi tak satupun tanda akan kepulangan Mas Aryan. Duduk lagi, hingga kemudian kuambil ponsel. Membuka akun media sosial milikku yang sudah lama tak kubuka. Ratusan tag, komentar berkumpul di halaman facebook, semua mendoakan, bersuka, beberapa dari mereka meng-upload foto pernikahanku. Hingga kemudian hati semakin teriris ketika kusadari tak sedikitpun senyum di wajah Mas Aryan. Seperti tertusuk sembilu, aku berjalan gontai kembali menuju ranjang, Kurebahkan diri, dan kembali menangis hingga letih menjemput.
Knop pintu perlahan berputar, mataku mengerjap dan melihat jam di atas meja nakas, waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Lelaki yang kucintai kembali, gontai ia berjalan menunduk, dan aku berpura-pura memaksa menutup mata. Mas Aryan duduk jongkok persis di hadapan, pipiku pasti memerah. Ya ampun, semoga ia tak menyadarinya. Perlahan Mas Aryan menatapku, sedikit buram, tak jelas kuperhatikan raut wajahnya yang datar dan begitu sedih, hingga kemudian samar kulihat air matanya terjatuh. Ia bangkit, melepas kemeja dan mengganti dengan kaos lalu merebahkan diri di sofa.
Alloh, Wulan tak tega. Wulan istrinya yang seharusnya bangun dan menyiapkan air hangat untuknya, aku istrinya yang setidaknya menyediakan kopi atau teh. Lalu bagaimana jika Mas Aryan benar-benar bekerja seperti katanya tadi siang? Aku gelisah, hingga akhirnya aku bangkit juga. Tanpa menoleh ke arahnya yang sudah terlelap, aku ke dapur membuatkan teh tubruk hangat untuknya kemudian meletakkan di meja yang berada tak jauh dari sofa tempat ia tidur. Uap panas mengepul, kemudian terbang membawa aroma melati ke indra penciuman. Aku bangkit, dan kemudian tertahan karena tanganku diraihnya.
“Terima kasih, Lan,” ucapnya seraya bangkit. Ia ambil cangkir teh kemudian menyeruputnya.
Kurebahkan tubuhku di atas ranjang dan menutup wajah dengan selimut.
“Lan …,” sapanya dan tak kuhiraukan.
“Mas lapar sekali,” katanya dan kemudian membuat air mataku menetes. Aku memang cengeng, sejak dulu, meski hanya karena masalah sepele. Bagaimana mungkin Mas Aryan kelaparan, padahal ia baru dari tempat Agni. Kuusap wajahku kemudian bangkit kembali dan keluar menuju dapur, menyiapkan makan malam untuk suamiku kemudian kembali lagi ke kamar.
“Temani, Mas. Lan,” pintanya setelah aku letakkan baki berisi makanan di depannya. Aku tak berkata banyak hanya diam kemudian duduk di atas ranjang.
“Wulan masak apa?” tanyanya lagi. Bodoh. Jelas-jelas di hadapannya ada ayam kecap dengan bihun goreng dan sayur.”
“Mas kangen sama Wulan.”
Aku melengos, Mas Aryan jahat. Jahat. Rasanya aku ingin berlari menjauh, sejauh mungkin darinya.
“Enak, Lan. Wulan pinter masak ya, belajar sama siapa?” tanyanya lagi dan untuk kesekian kalinya tak kujawab. Aku bangkit kemudian mengambil guling dan selimut, melangkah ke arahnya.
“Mas, ngobrol sama guling aja ya. Wulan mau bobo,” kataku tak acuh. Mas Aryan terlihat lesu, wajahnya kemudian menunduk, makanan habis dilahapnya menunjukkan ia benar-benar kepalaran. Tak tega aku melihatnya, ia pasti pun lelah memikirkan masalahnya. Masalahku juga Agni dan orang tuanya.
***
Dering ponsel bergetar, kulihat jam di atas nakas, waktu menunjukkan pukul tiga subuh. Tak ada lagi suara gemericik air seperti yang terdengar di rumahku, tiada lagi suara orang berzikir seperti yang biasa dilakukan Pae. Aku sendiri, tapi aku biasa bertahajud. Tak enak rasanya jika kebiasaan itu kulepas. Rumah Mas Aryan, begitu besar. Aku tak perlu repot keluar kamar jika sekedar hanya untuk berwudu. Aku bangkit, dan melihat Mas Aryan terlelap di sofa. Kuhiraukan kemudian menuju kamar mandi.
Tak lama aku keluar, Mas Aryan terduduk di atas sofa, berpangku tangan. Saat aku berjalan, ia bangkit dan tersenyum lalu masuk ke dalam kamar mandi. Entah apa yang ingin ia lakukan, tahajud kah? Atau sekedar membuang air. Sementara dia di dalam, aku sibuk memakai mukena, belum rela rasanya jika harus berjamaah dengannya. Langkahku mesti cepat sebelum dia keluar kamar mandi, dan mendadak mengajak salat. Mukena sudah kukenakan dan sekarang tinggal .…
"Sajadahku!" gerutuku seraya membuka lemari, dan mencari ke seluruh sudut ruang. Sambil mengangkat sarung putih aku berjalan ke sana ke mari, membuka lemari, laci dan berulang-ulang mencoba menerka di mana kuletakkan terakhir.
"Mas! Mas!"
"Kenapa Lan?"
"Sajadah, mas liat tidak?"
"Sebentar Lan, mas masih gosok gigi."
"Mas liat nggak sih?!"
"Nanti mas bantu carikan."
"Nggak usah! Mas liat apa nggak?"
"Yo sabar toh Lan," balasnya seraya membuka pintu kamar mandi. Wajah mas Aryan terlihat lebih segar dari sebelumnya, putih dan bercahaya. Seketika aku menunduk, wajahku memerah lagi setiap ia menatap.
"Ini dia," jawabnya terkekeh, ia ambil sajadah yang sudah ia letakkan di atas lemari yang tingginya hampir dua meter.
"Ngapain mas taruh situ sih? Wulan kan pendek, nggak nyampe! Iseng!"
"Sengaja. Biar kamu nggak kayak angkot, berangkat duluan. Mas kepengen berjamaah Lan. Boleh ya...," jawabnya seraya melapangkan sajadah di hadapan. Sementara senyum dan matanya tak henti-henti menatapku hingga membuat wajahku merona.
“Mas … kan Wulan sudah bilang?!”
“Lan, mau Wulan menolak atau apapun. Mas Aryan ini masih suami Wulan. Ayo,” katanya. Aku diam, menangis, seperti mimpi akhirnya bisa sholat berjamaah dengan lelaki yang selalu kusimpan rapi namanya di hati.
Ada sebuah doa yang ingin kulafazkan, tapi seperti apa cara menyampaikannya. Aku hanya ingin menjadi istri satu-satunya, tapi bagaimana mungkin? Jahat itu namanya. Aku hanya ingin Mas Aryan yang menjadi suamiku, tapi bagaimana mungkin? Aku juga tak mau jadi madunya. Ya Allah, ini doa harus seperti apa? Aku bingung hingga tak sedikitpun doa yang terlafaz dari mulutku, kemudian terucap, “ya Allah … aku pasrah, bagaimana caranya aku bisa menjadi istrinya tanpa menjadi madunya?” Lalu anganku kembali pada kisah-kisah Nabi. Toh di antara istri Baginada Nabi, bukankah Nabi lebih menyayangi Aisyah? Dan bukankah Aisyah dan para istri Nabi lainnya tak malu menyebut diri mereka madu? Ketika melihat Mas Aryan menengadahkan tangan ke atas, aku meringis. Entah ada namaku atau tidak ia sebut. Dan lagi-lagi, aku tersedu, menangis. Rindu Pae dan Bue, aku ingin cerita, harus cerita agar batin ini tak sakit, agar napas ini masih terus berlanjut.
“Wulan, nangis lagi ya?” katanya kemudian berbalik ke arahku.
Jengkel, aku benci melihat wajah Mas Aryan. Sikapnya kenapa tak berubah sejak dulu, selalu seperti ingin melindungi padahal ia menyakiti. Ia mendekat, dan jantungku semakin berdegup.
“Lan … Mas juga sedih melihat Wulan, terus menerus menangis.”
Aku melengos dan diam.
“Wulan, mau apa? Katakan sama Mas,” pintanya seraya berusaha meraih jemariku kemudian kuempaskan.
“Wulan mau, Mas Aryan nggak usah pura-pura baik sama Wulan. Mas Aryan itu udah jahat ya jahat aja. Nggak usah peluk, nggak usah bicara baik!”
Ia menghela napas, kemudian diam.
“Mas nggak bisa Lan, kalo ketemu Wulan, maunya senyum terus.”
“Kenapa?”
“Belakangan Mas jadi ingat sama masa kecil Wulan dulu, mas kangen sama Wulan yang dulu. Wulan yang selalu datang minta bantuan, Wulan yang selalu menghibur Mas, Wulan yang item manis kayak dulu, Mas rindu Lan.”
Hatiku tersayat, dia tak tahu apa? Kalo aku meridukannya selama dia di luar negeri. Bahkan rasa rindu ini pun begitu parah melebihinya. Egois
“Wulan bukan anak kecil lagi! Dan yang perlu Mas Aryan tau, Wulan pengen cepet-cepet menghilang dari Mas Aryan, setelah ini Wulan berjanji nggak akan mau ketemu sama Mas Aryan! Selamanya!”
“Jangan Lan!” serunya seraya menahan lenganku.
Mas Aryan kemudian menunduk, napasnya tersengal. “Maafkan Mas … semua ini di luar dari kemampuan Mas. Jika saja, Agni tak bersikeras masuk Islam. Mas tidak akan menikahinya, karena mas sempat bernazar. Itu kesalahan mas. Anggap itu kesalahan besar Mas. Sakitnya Bapak, itu pun salahnya Mas. Semua salah. Tapi … jika sampai Wulan sampai ingin menghilang dari Mas, Mas pun tak sanggup, mas bisa sakit Lan. Lan … maafkan Mas, yang sudah membawa Wulan ke dalam keadaan ini. Maaf.”
“Mas cinta itu datangnya dari hati bukan dari mata, yang dari mata itu hanya nafsu sedang yang langsung tembus ke hati itu datangnya dari Allah. Jika saja mas tahu, bahwa cinta ke Wulan adalah cinta yang langsung tembus ke hati. Apa Mas mau memilih Wulan, apa mas mau meninggalkan Agni? Ah bodoh! Aku bukan madumu mas, aku juga bukan wanita yang pintar merebut kekasih orang. Mas pergi saja,” gumamku pedih di hati.
Aku diam, mata mas Aryan berkaca-kaca. Dan perlahan air mataku pun ikut menetes. Jika melihat lelaki di hadapanku yang dulunya sering membuatku tersenyum, sering membuatku menjadi wanita yang teramat khusus di hatinya, aku luluh.
“Saat ini, Wulan sudah ikhlas. Jika Mas aryan pergi pun, Wulan sudah ikhlas. Jadi tak ada yang perlu dipinta lagi. Wulan sudah paham tugas Wulan apa, dan … Wulan pun sudah siap, Mas Aryan talak …,” lirihku seraya bangkit menangis kemudian meninggalkannya sendiri di kamar.
Aku beranjak menuju dapur, rumah masih terlihat sepi. Tapi kebiasaan ini kata Bue mesti tetap kupertahankan, meski di rumah orang. Bangun pagi, menyiapkan sarapan harus tetap dilakukan. Menjadi manusia yang bisa berpengaruh itu lebih utama. Tiada sedikitpun cahaya, yang terlihat di sekitar ruang. Mas Aryan kini pun pasti sudah kembali terlelap.
“Lan … kamu kepagian ini, Mas bangunin si Mbok ya.”
“Hah! Astaghfirullah!” kataku, saat melihat Mas Aslan mendadak hadir.
“Mas bantuin ya.”
“Nggak usah, Mas,” jawabku dan aku masih saja memikirkan perkataan terakhirku pada Mas Aryan. Saat ini mungkin Mas aryan terdiam, atau mungkin kembali terlelap, tak peduli dengan apa yang kukatakan.
“Di sini beda Lan sama pesantren.”
“Apa bedanya?”
“Liat deh di ujung sana ….”
Aku diam, seketika mataku terbelalak menatapnya. Tubuhku mendadak dingin dan mematung, dahiku mengernyit dan perlahan Mas Aslan maju mendekat. “Rambutnya lan ….” Kupejamkan mata hingga kemudian terdengar suara geli dan Mas Aslan tertawa lebar.
“Mas Aslan! Keterlaluan!” ucapku seraya melemparkan beberapa sayuran ke arahnya.
Belakangan rinduku seperti pulih, akan kehadiran Mas Aryan dan Mas Aslan. Seperti flashback ke masa sepuluh tahun lalu, ketika kami masih sering bermain bersama.
Sesekali kulihat pintu kamar, dan Mas aryan belum juga keluar. Ya Allah, apa Mas Aryan mendengar gelak tawaku bersama Mas Aslan? Bukankah ia sudah melarangku? Tapi bukankah sakit hatinya Wulan lebih besar? Kenapa melihat Mas Aryan diam seperti tadi, hati Wulan menjadi sakit. Cukup lama aku di dapur, bersama rasa yang bercampur aduk rasanya. Hingga kemudian suara adzan terdengar lembut. Buru-buru aku kembali ke kamar.
“Mas Aryan …,” gumamku melihat Mas Aryan diam dalam posisi bersujud. Aku diam memperhatikan lamat-lamat, Mas Aryan tak bergerak. InsyaAllah sedang shalat tasbih. Pikirku. Buru-buru aku mengambil wudu, cukup lama dan saat kukembali, posisi Mas Aryan masih tetap sama. Tubuhku seketika menjadi dingin, pelan aku melangkah, berpijak pada sajadah yang besarnya cukup menampung kami berdua.
“Mas …,” sapaku seraya bertepuk tangan.
“Mas …,” sapaku kembali hingga perlahan kudekatkan telingaku, tidak ada suara berdehem atau pun bisikkan orang berdoa. Aku dekati kemudian menggoyangkan tubuhnya hingga tubuhnya terjatuh ke samping.
“Mas! Mas Aryan!” Aku berteriak seraya mendekati dan menaikkan kepalanya di pangkuan. “ Ya Alloh mas Aryan … bangun! Bangun!” lirihku menangis terisak.
“Bangun mas … jangan pergi! Wulan belum minta maaf, mas aryan banguun! Bangun Mas! Jangan pergi dulu, bangun Mas!” tangisanku semakin menjadi, Mas Aryan tak kunjung sadar hingga pedih terasa di hati dan perlahan isak tangis berkurang berubah menjadi datar ketika kulihat mulutnya tersenyum dan tak lama tertawa.
“Mas aryan keterlaluan!” Kupukul-pukul tubuhnya, seraya mengusap air mata dan ia memeluk tubuhku erat.
“Alhamdulillah … Wulan, masih belum kepengen pisah, Mas seneng … Mas nggak bakal pergi, Lan.”
“Ada apa?!” Ibu, Mas Aslan mendadak menerobos masuk.
“Mas Aryan! Pura-pura mati!”
“Ya Alloh kalian itu kenapa sih? Romantis sekali!” kata Ibu meledek, sedang Mas Aslan menatap kami dengan tatapan dingin kemudian keluar kamar.
Bahagianya aku di peluknya, bahagianya aku diperhatikannya. Hingga kemudian aku lupa, bahwa ada janji yang harus kulakukan. Berpisah di kala Bapak pulih, hatiku sakit lagi. Kemudian melihat senyuman di wajah Mas Aryan semakin sakit. Tak tahan, aku bangkit dan lagi-lagi mengempaskan tubuhnya menjauh dan kembali mengambil wudu.
=====
Meski pedih masalahku dengan Mas Aryan. Tak sedikitpun aku meminta pada Allah untuk sebuah perpisahan, Wulan masih cinta sama Aryan, biar bodoh juga tak apa.
***
[Pov. ARYAN]
Mendengar perkataan Wulan, ia siap kutalak. Kenapa hatiku hancur, rasanya nyeri hingga tak mampu aku bernapas. Sejak awal aku bertemu dengannya, sampai sekarang pun bukan aku yang menginginkan menjauh. Melainkan Wulan. Rasa ini memang beda. Beda saat ku bersama Agni dan beda ketika bersamanya. Dan yang membuatku merasa takut adalah, karena semua kemudahan bisa kugapai ketika bersama Wulan, kemudahan halal, kemudahan ibadah, dan keceriaannya menambah semangat dalam diri.
Mengapa sulit sekali untuk bersama Agni, dia pun sudah berjuang meski ia tak selembut Wulan. Berulang kali aku mendoakan Agni, mengapa doa itu sepertinya tak tembus ke langit ke tujuh. Agni yang kukenal sangat fanatik rela meninggalkan keluarga juga agamanya hanya demi aku. Lalu aku harus bagaimana? Salahnya aku bernazar, salahnya aku membuka peluang. Dan kini aku gamang, bagaimana mungkin aku memberikan talak pada seorang istri yang rela mengorbankan hati, bahkan Wulan sangat telaten merawat Bapak, ia sangat disayang keluarga apalagi Tuhannya, kebiasaan ia bertahajud, merdu suaranya? Bagaimana mungkin aku melepasnya. Dosa besar, jika aku salah membuat keputusan. Tapi jika itu mau Wulan, aku harus apa? Aku hanya bisa membuatnya bahagia, ah tidak, aku ingin dia juga mencintaiku. Tapi Agni? Ya … aku sudah berjanji padanya, dan pasti akan kutepati.
Semalam, selepas pulang kerja. Aku sempatkan untuk mampir ke Apartment. Belakangan Agni sering sekali membuat emosiku meluap. Sifat posesif dan keraguannya membuatku lelah. Berulang kali aku mengucap setia dan cinta, tetap saja ia tak percaya. Pukul delapan malam aku tiba di Apartment. Perlahan aku masuk ke ruangan apartment berukuran 36 meter, ada sebuah ruang tamu yang menyatu dengan dapur mini hanya di batasi meja lipat sebuah kamar, balkon dan kamar mandi.
“Assalamualaikum!” sapaku seraya melangkah masuk. Tidak ada suara yang menyambut, kubuka setiap pintu ruang, tak kutemukan Agni di dalam. Hatiku gundah, Agni adalah tanggungjawabku, tidak hanya di dunia melainkan juga akhirat-Nya. Kuhubungi berulang kali, handphonenya tak aktif. Aku beranjak ke dapur, membuka kulkas. Kosong, hanya ada makanan sisa yang mungkin sudah basi, tidak ada teh maupun kopi yang bisa kubuat. Aku beralih menuju ruang TV, menyalakan televisi sambil menunggunya datang.
Satu jam aku menunggunya, dan tak lama knop pintu berputar. Agni datang bersama seorang teman wanita yang tak kukenal, seorang wanita mengenakan kemeja juga rok sepan rapi dan bando yang melingkar di kepalanya.
“Mas.” Ia kaget, kubisa lihat itu. Dan mendadak, temannya urung untuk bertamu.
“Oh nggak apa-apa, silahkan masuk.”
“Tidak apa, saya pulang saja. Besok kita bertemu lagi,” ucapnya seraya mengecup kedua pipi istriku kemudian keluar.
“Kamu dari mana?”
Agni diam, dia berjalan kemudian meletakkan barang bawaannya di kamar.
“Kamu dari mana? Aku bertanya Agni!”
“Kerja!”
“kerja?”
“Ya!”
“Tapi kenapa? Setidaknya izin dulu sama aku.”
“Izin! Mas, aku mulai lelah ya dengan semua aturan yang kamu buat! Istri harus taat, istri harus menuruti semua kemauan suaminya. Aku istri bukan budak! Dengar mas, aku lulusan luar negeri, ijazahku sia-sia dan kamu hanya mau aku diam di rumah menangis memikirkanmu dengan wanita lain?!”
Aku diam, dulu sebelum kami memutuskan untuk menikah. Berulang kali Agni datang memohon. Dulu aku sempat menolak, karena perbedaan kami yang luar biasa jauh. Dirinya yang keras dan pandai berdebat juga agamanya menuntutku untuk terus menolaknya. Tak bisa dipungkiri, aku ada rasa. Tapi rasa seperti apa aku tak paham, Agni datang memohon agar kita bisa bersama dan berjanji untuk mengikuti semua mauku, berjanji akan masuk islam dan menjadi istri yang kuhendaki. Lalu? Semua berantakan ketika masalah ini datang. Ini apa? Cobaan untukku atau untuknya? Aku tak tahu. Atau Allah sedang berusaha menunjukkan padaku mana cinta yang benar dan cinta yang salah.
“Duduklah …,” ucapku berusaha untuk sabar.
“Buat apa mas datang? Bukannya, masih bulan madu?!” katanya ketus.
“Cukup Agni, aku sudah bilang. Wulan sudah tau semua, dan dia ikhlas mau membantu.”
“Hebat banget itu anak, hatinya terbuat dari baja emangnya?” jawabnya ketus, dan kemudian membuatku terdiam. Hati Wulan seharusnya lebih lembut dari Agni, karena dia begitu alim dan rapuh. Tapi apa yang membuatnya kuat? Mungkin karena Allah begitu dekat dengannya.
“Sayang, seharusnya kamu fokus saja dengan belajar, mengaji, agar usaha Mas tidak sia-sia.”
“Mengaji? Untuk siapa? Untuk aku atau untuk keluargamu?”
“Untuk dirimu, untuk kita, masa depan semua!”
Hening, Agni tak menjawab. Hingga kemudian aku ragu dengan imannya, ragu dengan keyakinannya. Aku pun lupa seberapa keras manusia berusaha, tetap hidayah hanya milik-Nya. Hanya dia yang bisa menentukan. Kupejamkan mata, kemudian meraih jemari lentiknya.
“Agni … sayang, kamu ingat alasan Mas, menikahimu kan?”
Hening.
“Aku menikahimu karena Islam, jika bukan karena itu aku takkan menikah denganmu. Yang kuinginkan kita sama-sama berjuang, sama-sama menggapai mimpi. Aku mungkin lalai dengan adanya kejadian ini, tapi kamu perlu tahu aku akan terus setia dan hanya akan bersamamu.”
Dia diam, kemudian menatap wajahku lamat-lamat.
“Aku mencintaimu, Mas. Apa tak bisa kau buat ini menjadi cepat? Atau mungkin saja aku tak tahan dengan ini semua. Tak bisakah kau ikut denganku, kita pergi tanpa menghiraukan keluargamu. Kita bekeluarga, membesarkan anak-anak kita bersama, atau kita pindah saja ke luar negeri. Di sana, pasti kita akan bahagia. Mas … aku pergi meninggalkan semua, lalu mana pengorbananmu?”
Aku diam, menatap wajah Agni yang terluka karenaku. Karena aku menikahinya setelah kalimat syahadat terlafaz di mulutnya. Saat itu, ketika kami menikah, kami berikrar untuk menunda memiliki anak, karena pernikahan kami di bawah tangan dan saran itu pun kami dapatkan dari wali yang menikahi kami. Demi menjaga kehormatan Agni, aku pun menghargai untuk tidak menyentuhnya. Ia setuju. Setidaknya sampai restu orang tua ku diterima, sampai Agni kunikahi di KUA, sampai situ. Dan kini, perasaan kami terombang-ambing tak jelas, hidup, jodoh dan kematian adalah sebuah misteri tak mampu aku mengukurnya. Jika saja kutahu orang tuaku sengotot itu untuk menikahiku dengan Wulan, mungkin takkan seperti ini ceritanya. “Aku tak bisa … sayang, keluarga mas segalanya. Mas pernah bilang itu dulu sebelum menikahimu kan, dan kau paham betul itu.”
“Kau jahat mas! Cinta itu seharusnya berkorban!”
“Cinta berkorban tapi tidak menyakiti yang lainnya!”
“Lalu apa yang kaulakukan? Menyakiti aku dan gadis yang tak bersalah itu! Kau bukan malaikat mas! Aku lelah, dengan semua kegoisanmu!
Agni diam, melepas jemarinya. Dan perkataannya benar, aku pun tak tega lama-lama melihat Wulan terus menerus menangis. Tak tega melihat hatinya hancur, mendadak teringat bagaimana perjuangan ia untuk menahan rasa, meski aku tak tahu betapa dalam lukanya. Mendadak aku pun ingin menjadi sandaran di lukanya, menjadi pengobat lukanya, namun harus apa? Aku tak mampu.
Aku lelah, sangat lelah. Kesalahan Agni adalah begitu mencintaiku, dan kesalahanku adalah terjebak di dalamnya. Jika membandingkan perih, seharusnya tak hanya kita berdua. Ada gadis lugu di rumahku yang kini bisa saja berperang menggunakan doa-doanya untuk merampas hatiku. Wulan, tak seharusnya aku menyakitinya dan dengan lugunya ia mau berbesar hati membantuku. Aku pun paham, Wulan pasti tidak begitu besar mencintaiku, cintanya pasti tak sebesar Agni. Rasa sakitnya pun mungkin tak sebesar Agni.
“Satu bulan! Aku akan membawamu, dan mengatakan bahwa kamu sudah menjadi istri sahku!
Kupejamkan mata, menarik napas dan berharap ini adalah sebuah putusan yang terbaik. Terbaik untuku, untuknya dan Wulan.
“Aku setuju! Satu bulan,” katanya seraya masuk ke kamar, meninggalkan perih di hati. Ya perih, entah karena apa, aku tak tahu.
Emosi Agni selalu berapi-api berbeda dengan Wulan yang selalu menunjukkan rasa dingin juga santun, gadis itu bahkan tak pernah berteriak ke arahku meski hatinya terluka, gadis itu bahkan tak pernah menghina atau bahkan memaki seperti yang selalu dilakukan Agni padaku ketika cemburu.
Pertemuanku berakhir semalam, Agni sama sekali tak menyambutku dengan baik. Ia bahkan tak menyediakan minuman ataupun makanan, aku dibiarkan lelah menunggunya sepanjang malam, dan dia terus mengurung diri di dalam kamar. Hingga kuputuskan untuk kembali pulang.
Setibanya di halaman rumah, kugontai turun dari mobil. Kulihat Aslan, adikku tengah asik memainkan gitar tuanya. “Kalo nggak mau, kasih Aslan Mas!” ucapnya ketus tanpa menatap dan jemarinya sibuk mengatur senar gitar.
Aku menghela, kemudian menatapnya dengan sorot mata tajam, “Maksud kamu apa?”
“Wulan!” rutuknya menatap tajam, kemudian ia pergi.
Seketika emosi menguasai hati dan berkobar melihat sikap Aslan. Dan dalam gelapnya malam aku gontai, masuk ke dalam kamar, melihat Wulanku terlelap rapi dengan hijabnya. Aku duduk mataku terhenti pada wajah Wulan yang terlihat teduh.
Ya Wulan … aku salah, sungguh iba aku melihat keluguan Wulan. Gadis ini benar-benar menjaga diri, ia bahkan tak sedikitpun membiarkanku melihat sehelai rambutnya. Gadis alim, yang kini tumbuh menjadi gadis yang rupawan, dua pipinya terlihat sedikit gembil, matanya bulat dan wajahnya yang kekanak-kanakkan, mendadak rindu ini mencuat ketika melihatnya.
Mendadak ada rasa yang tembus ke hati. Rasa yang tak biasa. Dan tak terasa air mataku menetes, entah sejak kapan? Dan air mataku untuknya. Mas janji akan membuat senyumanmu kembali, akan menghidupkan hari-hari Wulan. Maafkan Mas, Lan … melihatnya terlelap seperti ini, rasanya ingin aku merebahkan diri di sampingnya. Membayangkan Wulan mengusap kepalaku yang hampir pecah, kemudian mendengar ucapan Aslan, lagi-lagi air mataku menetes, kenapa begitu berat melihatnya. Dan … seperti tak ingin dipisahkan.
Lagi-lagi aku diam memikirkan rencanaku bulan depan, mengapa aku begitu takut. Bukan khawatir karena terungkapnya sebuah kebenaran, tapi justru takut kehilangan Wulan. Bagaimana jika Agni benar datang, bukankah harusnya aku bahagia? Bukannya aku tak lagi dipusingkan dengan dua dilema. Kucoba diam, kurebahkan diri dan pejamkan mata.
Perlahan mataku mengerjap, aroma melati tercium dari segelas teh tubruk kesukaanku dulu, ia masih ingat. Aroma teh melati, menusuk-nusuk hingga kemudian membangkitkan rasa di dalam. Wulan kembali ke tempat tidurnya, dan saat kubilang aku lapar, gesit ia melangkah keluar dan mengambilkan makanan. Aku terenyuh, ingin menangis rasanya di hadapan ketika kulontarkan puluhan tanya dan dia hanya diam.
“Allah … ada yang salah denganku. Berikan petunjukmu, di belakangku adalah istriku, dan di sana pun istriku. Entah apa yang harus aku lakukan ya Allah, aku hanya ingin Agni berubah menjadi wanita yang mengenal islam dengan baik. Aku ingin ia menjadi hambamu yang taat. Tapi nyatanya aku keliru, bagaimana mungkin kau berikan pembanding seperti Wulan? Gadis saliha, yang begitu ayu kulihat di mata, bagaimana bisa aku melepasnya. Allah, tunjukkan yang benar itu benar, yang halal bagiku itu halal. Jika hidayah-Mu memang telah kau tancapkan pada Agni, jadikan ia muslimah yang taat dan berikan aku kekuatan untuk melepas gadis mungil di belakangku. Dan jika tidak? Aku tak rela jika terus menerus mendzalimi Wulan. Tunjukkan kebesaranmu.” Doaku semalam dan di belakangku Wulan terisak.
“Mas … jangan kayak gitu lagi ya!” teriak Wulan, ketika kuberpura-pura mati. Entah apa yang ingin kulakukan, aku hanya ingin tahu perasaan dia terhadapku. Apa lagi kehadiran Aslan membuatku semakin khawatir akan rasa yang bisa saja terbang. Jika benar bulan depan adalah hari perpisahanku dengannya tentunya ini amatlah berat, bukan untuknya tapi untukku yang mulai merasakan nyaman di hati.
Aku egois, ya mendadak menjadi egois ingin kumiliki Wulan, setidaknya sampai kuyakin benar Agni sungguh-sungguh dengan imannya, dan untuk Wulan perjanjianku dengannya hanya sebatas kesembuhan Bapak, dan entah berapa lama itu, aku tak paham. Ia bahkan pernah mengatakan ia tak ridha akan pernikahan ini. Dan paling lambat bulan depan. Aku harus bagaimana?
“Wulan takut ya?”
Dia diam.
“Takut kehilangan Mas atau apa?”
“Wulan tuh takut megang mayat!”
Uhuk! Aku batuk, wajahnya memerah saat menjawab dan judesnya begitu menjengkelkan, wajahnya yang kekanak-kanakkan membuatku nyaman bersamanya.
Setelahnya kami sholat berjamaah, dan lagi-lagi kurasakan ketenangan di jiwa. Selepas salat, kami bermunajat. Entah, doa apa yang terucap dari bibir mungil Wulan, harapanku hanya satu. Dia memintaku pada Tuhan. Dan aku pun sama, tapi jika tidak, pun tak mengapa aku tak akan egois memiliki dua kekasih sekaligus, bulan depan Agni atau Wulan yang tergaris di agenda takdirku akan kuterima.
Wulan bangkit, ia kembali ke dapur dan aku ikuti gadisku, membantunya di dapur menyiapkan sarapan.
“Masak apa dek?” kadang Dek kadang Wulan, tak jelas aku memang. Ketika kumenyapa namanya, itu berarti ada bayangan Agni yang menganggu hingga tak ingin aku menyebutnya dengan sebutan manja. Dan, Dek, adalah sebutanku khususnya untuknya, bukan untuk siapa-siapa, tapi karena kuingin. Itu saja.
“Masak gori!”
“Mas bantu, ya.”
“Sudah mas, semalam dibantu Mas Aslan,” katanya membuat batinku cemas. Apa yang diinginkan Aslan sebenarnya, jelas-jelas Wulan adalah istriku. Tapi kemudian aku diam, jika bulan depan takdir membawaku pada Agni, bukankah Wulan lebih baik dengan Aslan? Ah tidak, kenapa hatiku sakit sekali. Kenapa begini? Kenapa ada batu besar yang berada di hatiku, membuat perasaan ini tak lega.
***
[Pov. WULAN]
Mas Aryan pergi begitu saja, ketika kubilang Mas Aslan yang membantuku semalam. Hati ini sakit, ada rasa bersalah juga rasa tak nyaman. Melihat Mas aryan buru-buru pergi ada rasa mengganjal. Lelaki itu bahkan tak pamit atau bilang ke mana ia akan pergi. Aku terluka.
“Lan … mas bantu, ya.” Mas Aslan datang dan lagi-lagi menunjukkan sikap acuh padaku, sebenarnya apa yang diinginkan Mas Aslan, kenapa belakangan selalu menunjukkan perhatian. Dan ini tak baik, biar bagaimanapun, sejahat apapun Mas Aryan, aku harus menjaga harga diri, menjaga diri dari fitnah. Mas Aslan duduk di meja makan dapur seraya mengunyah beberapa makanan yang telah tersaji di atasnya. Dua potong tahu goreng ia lahap langsung ke mulutnya. Aku duduk berhadapan, kemudian memberanikan diri membuka suara.
“Mas Aslan.”
“Ya Lan?” Wajah Mas Aslan begitu teduh tapi kenapa tak bisa mendinginkan hati, kenapa tak bisa menyenangkan hati seperi Mas Aryan.
“Mas Aslan sudah punya calon istri belum?”
Dia diam, kemudian menatapku lamat-lamat aku melengos, pura-pura mengaduk sayuran.
“Lagi nunggu.”
“Nunggu apa?”
Dia hanya tersenyum dan melumat kembali tahu ke dalam mulutnya. Perasaan pun mendadak menjadi tak tentram, mengapa tatapan Mas Aslan begitu tajam, seakan tahu akan masalah yang kudera.
“Mas … Wulan, boleh bicara?”
“Bicara aja Lan.”
“Nyuwun ngapunten, maaf seribu maaf. Bukannya Wulan tak mau Mas dekat-dekat, tapi … Wulan khawatir Mas Aryan salah sangka dengan kedekatan Mas sama Wulan.”
“Memangnya kenapa?”
“Ya … nggak enak saja Mas, Wulan kan masih berstatus istri orang. Tak boleh dekat-dekat dengan yang bukan mahrom.”
“Berarti kalo sudah ngga berstatus, boleh donk.”
“Mas kok ngomongnya gitu!” kataku seraya menghentakkan tangan ke atas meja. Aku sedih, perkataannya meski pun benar tapi sangat membuatku terluka. Wajah Mas Aslan pun datar seperti ada yang ingin disampaikan, tapi setidaknya meski ia tahu masalahku. Tak sepantasnya ia berkata seperti itu. Sejak dulu Mas Aslan memang apa adanya, berbeda dengan Mas Aryan yang selalu berusaha menjaga perasaan orang lain. Hubungan kami pun dulu memang sudah jauh dari hubungan kakak adik, keduanya begitu menyayangiku katanya. Tapi, yang perlu dia tahu, meski pedih masalahku dengan Mas Aryan. Tak sedikitpun aku meminta pada Allah untuk sebuah perpisahan, Wulan masih cinta sama Aryan, biar bodoh juga tak apa.
“Maaf Lan, Mas bercanda. Maaf …,” katanya. Aku meringis, mulutku terbalik tak tahan aku menangis di hadapannya. Kulari ke kamar, merasakan sakit lagi-lagi dan kesal karena Mas aryan tak bersamaku.
Wulan ingin mengamuk rasanya ya Allah. Kenapa sulit sekali mencintai, kenapa berat sekali hati ini. Mas Aryan pasti saat ini bersama Agni, ya sepagi ini ia pasti ingin melihat wajah istrinya. Dengan Wulan yang haram disentuh bisa berbuat apa dia, dia pasti haus belaian, haus kasih sayang. Lalu Wulan? Aku tarik napas dalam-dalam, mencoba membenahi rasa dan terus berdoa di kala kesepian melanda.
“Lan … sarapan, Nak.” Suara Ibu terdengar dari luar. Buru-buru aku usap air mata, kemudian keluar. Mas Aslan, ternyata sudah berdiri di hadapan, wajahnya teduh, ada rasa bersalah, Wulan tahu ada emosi di dadanya tapi entah karena apa, Mas Aslan terlihat lebih cuek dari cara berpakaian, ia hanya sering mengenakan kaos dan kemeja motif kotak juga celana jeans, sesekali kudengar ia bermain gitar di depan, menciptakan lagu juga pandai melukis. Berbeda dengan Mas Aryan, yang selalu ingin terlihat bersih dan rapi, dan setingkat lebih alim dibandingnya. Mas Aslan merokok, dan Wulan tak suka, Mas Aslan sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya dibanding mengikuti kajian.
“Maaf ya Lan … mas hanya bercanda, Wulan kan tau. Dari dulu mas kalo bercanda kayak apa?”
Aku mengangguk, lagian semestinya aku pun tahu itu hanya candaan. Mas Aslan memang sering menjaili juga sering bercanda.
“Nggak apa-apa Mas.”
“Air mata Wulan … sayang kalo jatuh lagi. Maaf ya.”
Aku mengangguk, air mataku jatuh sebenarnya bukan karena ucapanmu Mas, tapi karena ketidakhadiran Mas Aryan. Hatiku terluka karena itu.
Selepas sarapan, aku termangu bersama Bapak di pekarangan rumah. Sakitnya Bapak sepertinya tak separah sakitnya Wulan. Aku tersenyum memandangi Pak Ganendra, Bapak asuhku yang membiayai sekolah juga kuliahku.
“Bapak … Bapak cepat sembuh ya … Wulan tak tahan Pak, Kalo Wulan pergi dari rumah ini, tak apa ya Pak,” gumamku menatapnya. Ia hanya tersenyum, kemudian kuberikan lagi suapan makanan dari jemariku.
Angin sepoi, terasa teduh menerpa wajah juga air mata. Kupupuk sabar dan berharap bisa beriringan bersama Allah. Karena Allah beserta orang-orang yang sabar dan doaku jelas, aku hanya ingin Mas Aryan mencintai Wulan atau hilangkan rasa di hati untuknya. Itu saja.
"Lan lari pagi Yuk!" ajak Mas Aslan, membuatku merasa tak nyaman akan permintaanya.
"Hehe ... nggak mas, Wulan di rumah aja."
"Pergi saja Nduk. Lagian kok yo Aryan, hari libur kerja," kata Ibu membuat hatiku semakin sesak. Aku pun tahu Mas Aryan kini sedang bersama Agni. Pasti.
"Ayo Lan ... kita ke Alun-Alun."
"Nggak bisa Mas, nanti ada fitnah."
"Ya, masa sama adik sendiri fitnah Lan."
"Hmmp Ya, dosa kalo Mas Aryan nggak tahu."
"Yo wis, telepon sana," desak Ibu. "Nyoh!" lanjutnya memberikan ponsel yang sudah tersambung dengan ponsel Mas Aryan.
"Hhhm ...."
"Telepon Lan. Sama suami kok ragu-ragu."
"Nggih Bu."
"Assalamualaikum Bu." Suara Mas Aryan terdengar di ujung telepon, napasku mendadak sesak memikirkan yang tidak-tidak. Ingin berteriak, memaki, darahku seketika memanas. Aku menarik napas panjang, mencoba menahan suaraku yang bergetar.
"Mas."
"Wulan, kenapa dek?"
"Mas, Mas Aslan ngajak aku lari pagi ...."
"Nggak boleh!"
"Tapi ...."
"Nggak boleh, Mas pulang. Lari pagi sama Mas aja. Tunggu sejam lagi." Wajahku memerah, ada rasa nano-nano yang tak bisa kuucapkan. Malu - malu kemudian mengembalikan ponsel Ibu.
"Gimana Lan?"
"Nggak boleh Mas, sama Mas Aryan aja katanya." Ya Allah, gimana aku bisa hilangin rasa jika Mas Aryan selalu seperti ini. Dasar Egois!! Aku bangkit, dan bodohnya senyumku mengembang. Aku berlari ke kamar, menyiapkan diri untuk bisa lari pagi. Ah tidak, Wulan harus terlihat cuek, tak ingin Mas Aryan justru mengira aku mencintainya. Jadi lebih baik biasa saja.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel