Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 06 Februari 2020

Aku Bukan Madumu #4

Cerita bersambung

“Tresno sing dilandasi karo Gusti Alloh mesti dalan ya gampil, Nduk. Ning, nek mboten kalih Gusti Alloh, dalan e angel.” [Cinta yang didasari karena Alloh itu, jalannya mudah Nduk. Tapi, kalo diniatkan karena selain Alloh, jalannya susah.]
***
Terdengar dering ponsel di atas nakas memecah ketegangan di hati karena sebentar lagi Mas Aryan akan datang dan mengajakku pergi seperti katanya. Ya, meski hanya lari pagi. Tapi kenapa aku senang sekali, ya Alloh maafkan aku. Maafkan aku yang belum juga bisa menghilangkan rasa. Pelan langkahku menuju ponsel.

“Assalamualaikum, Dek.”
“Waalaikumsalam, Mas.”
“Gori masih ada?”
“Ada.”
“Siapin ya.”

“Ya.” Aku tutup telepn, apa maunya Mas Aryan menelepon hanya menanyakan Gori. Aneh, apa ia lapar. Bukankah kita berencana pergi untuk lari pagi. Aku beranjak ke dapur, dan tak lama telepon kembali berdering, buru-buru aku kembali ke kamar.

“Dek.”
“Ya.”
“Gorinya taruh di rantang.”
“Kenapa?”
“Udah, ikutin aja ya.”
“Nggih.”

Mas Aryan memang aneh, sejak dulu selalu bisa membuatku tertawa karena sikapnya yang sulit ditebak, sangat sulit hingga tak tahu apa yang ia rasakan untuk Wulan. Aku kembali ke dapur, mencari rantang dan tak lama telepon kembali berdering, aku berlari lagi ke kamar.

“Dek.”
“Apa lagi sih Mas?”
“Selain Gori ada apa?”
“Botok.”
“Yo wis, itu juga masukkin sekalian.”
“Kenapa nggak sekalian aja sih, Mas. Kan Wulan cape mondar-mandir.”
“Yo, kenapa kamu nggak bawa Hpnya aja, Dek.”
“Ish! Lagi diisi batrainya mas!”

Aku tutup kesal seraya mencabut kabel sambungan pengisi batrai. Mas Aryan meledek. Ya hanya meledek, memangnya aku apa? Apa karena usiaku yang terlalu muda, jadi Mas Aryan tak bisa bersikap serius padaku. Aku juga ingin diperlakukan seperti wanita lain, dianggap, dicintai layaknya sepasang kekasih. Ah bodoh, Wulan memang bodoh. Dering ponsel kembali terdengar, ish!

“Opo meneh!”
“Loh kok, marah-marah. Jelek!”
“Biarin.”
“Yo wis.” Kali ini ia yang tutup, sementara aku lanjutkan apa yang ia pinta. Dan tak lama lagi-lagi telepon berdering.
“Dek.”
“Opo meneh toh mas!” terdengar suara geli di ujung telepon, membuatku kesal. Kututup teleponnya, dan tak lama  ia hubungi kembali.

“Kok ditutup?”
“Ya, Mas Aneh. Mau ngomong kok sepotong-potong. Wis sekalian, maunya apa?”
“Ada apa lagi di dapur?”
“Semua udah Wulan masukkin, Sambel kecap, tahu goreng, kerupuk, nasi, apa lagi?”
“Nah gitu donk … kalo Wulan, bisa nggak dimasukkin sekalian ke rantang.”
“Ish!” aku menutup kesal sambungan telepon kemudian menoleh dan mendadak wajahku memerah, dadaku berdegup cepat. Mas Aryan ada di belakangku, bersandar pada pintu dapur, tersenyum lebar membuat hatiku luntur seperti air pengunungan.

“Ayo … kita berangkat!” katanya seraya menggamit jemariku.

Aku diam mengikuti maunya, dan semua mata memandangku malu-malu. Sedang Mas Aslan terdiam menatap kami dengan tatapan yang tak biasa. Pintu mobil terbuka dan aku naik sesuai inginnya. Tak lama, Mas Aryan naik dan tersenyum ke arahku.

“Mas, mau apa sih?”
“Ikut aja!”

Hatiku gundah, sikap Mas Aryan lagi-lagi membuat hatiku berdesir, bertolak belakang dengan permintaannya malam itu. Tapi bagaimana, bukankah memang begini sifat Mas Aryan dari dulu, dan inilah alasan aku menyukainya. Ingin sekali tahu perasaan Mas Aryan. Tapi, untuk apa? Bukan kah sudah jelas, Mas Aryan hanya menyukai satu wanita dan itu Agni. Tapi aku mesti tau, setidaknya agar hatiku nyaman. Lalu bagaimana jika ia bilang tidak mencintaiku karena sudah habis untuk Agni? Atau bagaimana jika ia bilang mencintaiku? Ah sudahlah, anggap saja ini sebuah pertaruhan. Aku berserah, ya sudah berserah.

Mobil melaju cepat menuju arah Tawangmangu, aku melongo ke luar jendela. Kemudian tersenyum lebar, “Mas … mau ajak Wulan, pulang ya?” tanyaku dengan senyum sumringah, rindu Bue dan Pae aku sangat rindu mereka dan sepertinya Mas Aryan tau itu, Mas Aryan hanya diam tak menjawab.

“Mas itu aneh! Kalo ngajak pergi ke rumah Bue, ya bilang to Mas. Kan, Wulan bisa bawakan oleh-oleh.”
“Nanti kita beli di jalan.”
“Memangnya kenapa sih?”
“Nggak apa-apa Lan.”

Kutatap wajah Mas aryan, senyuman juga wajahnya menunjukkan guratan bahagia. Tapi di mana Agni? Bukankah seharusnya Mas Aryan bersamanya. Semenjak menikah dengannya, bukankah Mas Aryan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama Wulan.

“Mas.”
“Hmmp.”
“Mas, nggak ke tempat Mba Agni?” tanyaku dan mendadak senyum itu menjadi datar. Aku tahu sikap yang selama ini Mas Aryan tunjukkan padaku, bukanlah karena cinta melainkan hanya perhatian kakak ke adiknya saja. Ya, sikap-sikapnya yang dulu pun kembali lagi, dan sama sekali tak berubah. Sikap yang suka meledek, menjaili dan memberikan kasih sayang. Aku merasakan itu.

“Perasaan Mba Agni pasti hancur sekali ya Mas, Wulan nggak bisa bayangkan,” lirihku menahan sakit. Aku pun sakit, tapi ada satu hal yang harus kujaga, harga diri. Toh setiap malam aku selalu meminta Alloh kekuatan. Tiada yang tahu sebesar apa Allah nanti akan membalas perjuanganku.

Aryan Estu Ganendra adalah nama lelaki yang kusempilkan di malam-malamku, nama yang selalu kusebut ketika rindu, yang selalu kulafazkan setiap habis salat. Dan aku ikhlas jika Gusti Alloh menghendaki, jodoh ini putus, sudah ikhlas karena Wulan terlahir bukan untuk menyakiti, biar Allah yang memberi jalan memutuskan takdir Wulan dengannya. Mas Aryan diam, cukup lama tak menjawab pertanyaanku. Dan tak sengaja kulihat kaca-kaca di matanya. Aku terluka.

Mobil terus melaju dan karena pertanyaanku semua menjadi hambar. Rasa itu pasti besar sekali untuknya ya Mas, apa rasanya sebesar rasa Wulan ke Mas Aryan? Apa dia mencintai Mas seperti Wulan mencintai Mas? Aku menjadi tak nyaman. Berulang kali, Mas Aryan menatapku melalui cermin kecil, tatapan yang teduh, sangat teduh, tapi aku tak paham maknanya, hingga perlahan aku tak sanggup. Rasa ini terus menerus menggerus, aku nangis lagi. Tak lama Mas Aryan menghentikan mobil. Aku usap wajahku buru-buru sebelum ia menangkap jejak kesedihan di wajah. Menatapku dengan mata yang juga berkaca-kaca, ia usap lembut air mata di wajahku. Sementara dirinya tak sanggup menahan kepedihan yang terpancar di mata.

Mas Aryan aneh, sangat aneh. Jika jahat harusnya tetap jahat, nggak usah pura-pura baik. Kan jadi susah, rasa di hati nggak mau pergi jadinya. Tak lama, mobil melaju kembali. Dan Mas Aryan tak membawaku pulang, laju mobil semakin menanjak naik, dan melewati jalan yang seharusnya arah pulang. Entah ke mana Mas aryan akan membawaku. Aku ikut saja, sementara dirinya, terus menerus tersenyum dan sesekali menatap lewat cermin kecil di atas dashboard.

“Mas kita mau ke mana?”

Mas Aryan diam, dan hanya tersenyum kecil. Mobil melaju ke arah timur Tawangmangu, pepohonan berjejer dan kokohnya gunung lawu kini menghiasi mataku, meneduhkan mata yang sejak tadi basah karena pedih. Angin melipir begitu sejuk hingga memberikan ketenangan di hati, dan semoga abadi seperti ini. Sesekali kutatap Mas Aryan dan berharap waktu berhenti dan terus seperti ini.

[TELAGA SARANGAN]

Tempat wisata yang jaraknya hanya lima kilometer dari rumahku di Tawangmangu. Dulu sempat kami datangi bersama. Saat itu usiaku masih belia 15 tahun dan Mas Aryan 22 tahun. Saat itu adalah hari di mana Pak Ganendra melakukan pesta perpisahan karena Mas Aryan akan pergi melanjutkan pendidikannya di Negeri Kangguru. Aku diam, anganku terbang saat di mana kami berjalan bersama di sepanjang jalan perbukitan ini. Telaga Sarangan kini sudah berubah, lebih terlihat modern dan nyaman. Jalanannya pun sudah rapi beraspal tak seperti dulu yang masih banyak bebatuan. Mas Aryan turun, kemudian menggamit jemariku dan aku tak menolak. Kami seperti sepasang suami istri, tapi memang kami suami istri. Ya, suami istri yang akan segera berpisah.

Memasuki wilayah Telaga, mataku kemudian langsung dimanjakan dengan indahnya telaga di atas pegunungan, begitu indah, ada hutan kecil di tengahnya hingga terlihat menawan. Puluhan perahu berjejer rapi menawarkan pada setiap pengunjung untuk naik ke atasnya, puluhan penjaja alas tikar, juga keindahan Gunung Lawu dan sejuknya udara di tempat ini seperti menjadi petunjuk akan kebesaran Gusti Allah, sejuknya tempat ini tentunya tak sesejuk rasaku pada Mas Aryan yang memanas, panas karena cemburu juga kekecewaan yang teramat dalam.

“Dek … sini,” ajak Mas Aryan. Sebuah tikar nyatanya sudah ia gelar persis berhadapan dengan telaga. Aku diam, berusaha berbahagia sejenak dan menepis kecewa, begitu sulit. Aku harus menjadi Wulan yang tak acuh.

“Mas, kita ngapain di sini?” tanyaku ketus. Berlama-lama bersama Mas Aryan hanya membuat hatiku semakin rapuh.
“Duduk dulu, Lan.”
Aku duduk mengikuti inginnya, dan kemudian kami menatap keindahan telaga bersama.
“Makanannya mana, Dek. Mas laper.”

Aku diam kemudian membuka rantang yang sudah kusiapkan, indah. Dan berharap waktu bisa berhenti, melihat Mas Aryan begitu antusias dengan makanan yang kumasak, juga pemandangan yang indah seperti ini. Aku terhipnotis, toh Mas Aryan sepertinya sudah berusaha agar hubungan kita kembali seperti dulu. Di tempat ini dulu, kami lari bersama dan saling tertawa, mungkin itu yang ingin Mas Aryan sampaikan berusaha mengakrabkan hubunganku dengannya agar aku tak terluka parah. Tapi caranya salah, salah besar.

Memikirkannya, aku kembali tersesak, tapi aku coba tahan. Saat makanan itu habis ia makan, ia bersihkan jemarinya dengan air botol yang juga kubawa. Mas Aryan, Aryan Estu Ganendra lelaki macam apa kamu? Jahat! Bodoh! Bagaimana mungkin hatimu bisa melupakan gadis kampung ini. Jika Mba Agni adalah temannya di Australia, sudah pasti ia adalah wanita modern, wanita pintar dan cerdas, pantas saja Mas Aryan memilihnya.

“Lan … Mboten sah dipaksanipun inkang menawi mboten kiat, toh. Nek ajeng nangis, nangis mawon mboten usah diempet,” [Lan ... kalo nggak kuat jangan dipaksa, kalo mau nangis, nangis aja jangan ditahan] katanya menyentil rasa yang memang benar adanya.

Kemudian aku sesenggukan, pecah. Karena akhirnya mencoba kuat pun tak mampu. Mas Aryan diam, hingga kurasakan perlahan jemarinya menarik lenganku kemudian ku bersandar di pelukannya. Kupukul keras berulang kali dadanya, sangat keras berharap bisa terbayar semua luka pedih di hati. Mas Aryan, jahat! Jahat!

“Maafin Mas Ya Lan, maaf … mas sayang sama Wulan,” lirihnya membuatku semakin menangis. Mas Aryan matanya pun berkaca-kaca. Aku menarik napas panjang, kemudian menoleh. “Nggak!”
“Lan.”
“Wulan, benci sama Mas. Wulan mau pulang, nggak mau di sini kayak suami istri!”
“Kita memang suami istri, Lan.”
“Bukan!”
“Lah kok gimana sih? Wong banyak kok yang liat kita nikah, buku nikahnya juga ada.”
“Mana ada nikah terus pisah!”
“Yo wis, kalo gitu nggak usah pisah! Kan Wulan yang mau pisah,” katanya semakin mengeratkan pelukannya. Aku coba lepas! Jika kembali teringat dengan Agni. Tak adil rasanya.
“Denger ya Mas, Wulan itu udah nggak ada rasa sama Mas! Mas pikirin aja Mba Agni, Wulan bukan madunya mas!”
“Dek Wulan … duduk!” Ia menarik lenganku, dan kini sepasang mata kami saling bertemu. Mas Aryan yang dengan kesempurnaannya kini berhadapan dengan gadis kampung sepertiku. Tapi apakah ini kesempatan yang baik untuk saling bicara? Aku memang sejak lama ingin bertanya banyak hal tentang Agni, tapi apa hatiku kuat, apa hatiku sanggup? Mas Aryan sebenernya dirimu ini siapa? Siapa wanita yang ada di hatimu itu? Wulan atau Agni? Selamanya Wulan takkan mau menjadi madu, meski perih akan Wulan lepas. Mata kami bertemu cukup lama, sangat lamat. Mata itu berkaca-kaca, kelopak matanya pun gelap dan besar, Mas Aryan sepertinya juga sering menangis. Tapi entah apa yang ia tangisi, ia memiliki kebahagiaan bersama Agni.

Kemudian ia genggam erat tanganku, “Maafin Mas, Wulan mau doakan Mas, Kan?” Setiap malam, setiap salat, selalu Wulan doakan. Meminta Allah membuka pintu hati Mas Aryan, menembus pintu langit meminta Mas Aryan menjadi satu-satunya milik Wulan.

“Doa apa?” lirihku.
“Doa apapun, untuk kebaikan Wulan. Kebaikan … kita.”
“Kita?”
“Ya,” jawabnya tenang. Aku tak paham maksudnya, hingga kemudian Mas Aryan menunduk. Erat ia menggenggam kedua sikuku. Kemudian terdengar napas terisak.
“Maafkan Mas ya Dek ….” Ia menarik tubuhku kemudian kami berpelukan, bisa kurasakan bagaimana napasnya tersengal, bagaimana suaranya menjadi parau.
“Wulan denger Mas, apapun yang terjadi nanti, tak sedikitpun keinginan Mas untuk berpisah dengan Wulan. Tapi … jika Wulan tetap bersikeras, dan sudah menemukan lelaki yang lebih baik dari Mas, Mas Ikhlas.”

Ada apa ini? Kenapa Mas Aryan menjadi tersedu dan aku menjadi terluka. Ada apa? Mengapa ucapan Mas Aryan sungguh membuatku menjadi bimbang. Sebenarnya apa yang dia inginkan. Kenapa dia bilang tak ingin berpisah denganku, tapi dia ikhlas menyerahkanku pada lelaki lain. Aneh. Aneh!

“Mas sakit?”

Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian tersenyum ke arahku seraya mengusap ubun-ubunku dengan lembut. Ia usap wajahnya, kemudian mendadak wajahnya kembali seperti semula.

“Mas, boleh tanya nggak?”
“Apa?”
“Cinta pertamanya Wulan siapa?”
“Pae!”
“Pae?”
“Iya.”
“Kalo gitu cinta kedua Wulan.”
“Suami Wulan.”
“Mas Aryan donk.”
“Bukan.”
“Kok bukan?”
“Mas Aryan, bukan suami Wulan. Suami itu abadinya sampai sana mas, nggak cuma di sini! Jadi Wulan hanya mau mencinta dengan lelaki yang bisa bawa Wulan sampai sana! Mas, kan, nggak, setelah ini Wulan akan jadi janda, itu karena Mas. Tapi Alloh kan maha baik … dia pasti kasih yang lebih baik dari Mas, liat aja nanti. Nanti kalo Wulan sudah menikah lagi, Wulan bakal tunjukkin lelaki seperti apa yang pantas Wulan cintai,” ucapku seraya menunjuk ke langit sementara Mas Aryan perlahan menunduk, cukup lama. Aku mengamatinya hingga kepalaku ikut menunduk. Ada perasaan menyesal saat ku mengatakannya, namun begitu puas jika harus mengingat Agni.

“Kita pulang,” balasnya datar. Tak melanjutkan  perbincangan kami, padahal aku ingin bertanya balik. Tapi sepertinya sudah terlambat. Jadi, aku galau lagi.

Keluar dari Telaga Sarangan, mobil menepi sebentar. Mas Aryan membeli beberapa buah tangan untuk dibawa pulang. Dan aku hanya diam saja mengamatinya dari dalam, dan sejurus kemudian getar ponsel begitu terasa dan terdengar nyaring. Aku cari, dan asalnya dari Ponsel Mas Aryan yang ia letakkan di tengah dekat rem tangan.

“Agni!” Aku lemah, tubuhku beringsut. Lagi-lagi cengeng dan tak sanggup menahan air mata. Ingin kuangkat, tapi pasti akan ada salah paham. Tapi aku kan juga istrinya, di luar batas ingin sekali kuangkat dan bertanya banyak hal pada wanita itu atau setidaknya hanya menitipkan lelaki kesayanganku. Mbok dijaga mba, dikasih makan suaminya, dipijat sehabis pulang kerja, jangan dibuat sedih terus mba, Wulan udah ngalah kok. Aku tak tahan, aku menunduk dan menangis lagi. Sampai Mas Aryan datang, mulutku kembali melengkung ke bawah.

“Dek … kenapa?” tanyanya heran.
“Wulan mau pulang! Cepet! Jangan lama-lama!” teriakku seraya menangis tak kuat. Sementara Mas Aryan diam, bibirnya kelu. Ia langsung bergerak tanpa melihat ponselnya. Aku diam bersandar pada pintu mobil, hingga tak lama mobil kami tiba di pesantren Al Fatih.

“Malam ini kita nginap ya dek. Besok pulang.”

Aku mengangguk, kemudian berlari ke dalam. Wajah orang tuaku sumringah, sementara Mas Aryan sibuk menurunkan barang, dan ia tak menghiraukan ponselnya atau hanya sekedar melihat layarnya.

“Assalamualaikum kulo nuwun …,” ucap Mas Aryan seraya mencium punggung tangan Pae dan Bue.
“Saking pundi? Dugi, Kok, mboten sanjang-sanjang?” [Dari mana? kok datang nggak bilang-bilang] tanya Bue, memeluk tubuhku erat. Sementara Mas Aryan terlihat begitu sopan, manut layaknya menantu idaman.

“Saking mlampah-mlampah … terus mampir,” balas Mas Aryan seraya meletakkan beberapa oleh-oleh.
“Yo wis, istirahat dulu.”

Aku ikuti Bue ke dapur. Sementara, kubiarkan Mas Aryan masuk ke dalam kamar. Bue seperti memiliki signal kuat akan kedatangan kami, terlihat pisang kepok dan singkong di atas meja, seperti baru dibelinya. Pisang goreng, kan, kesukaan Mas Aryan. Bubur singkong juga, kok jiwaku mendadak terpanggil untuk membuatnya.

“Bue … ini pisang, Wulan goreng ya.”
“Yo wis, bikin yang enak.”
“Nggih Bue.”

Kulanjutkan membuat gorengan pisang, dari resep Bue, adonan terigu kutambahkan mentega hingga rasanya nanti akan sedikit gurih. Sedikit garam dan air cukup. Minyak panas, cemplung … cemplung. Aku tersenyum lebar, berharap Mas Aryan terhipnotis dengan pisang goreng buatanku. Aku hanya usaha, yang kulakukan cukup menjadi istri yang taat untuknya, sampai Bapak sembuh atau bisa saja, Allah mengubahnya. Gusti Allah, kan, mampu membolak-balikkan hati. Bisa jadi kemarin tidak, sekarang iya, bisa jadi kemarin cintanya dengan mba Agni sekarang dengan Wulan. Pasti bisa, aku jadi teringat dengan wejangan Pae.

“Tresno sing dilandasi karo Gusti Allah mesti dalan ya gampil, Nduk. Ning, nek mboten kalih Gusti Allah, dalan e angel.” [Cinta yang didasari karena Allah itu, jalannya mudah Nduk. Tapi, kalo diniatkan karena selain Allah, jalannya susah.]

=====

Mas Aryan yang budiman, Wulan bukan lagi adikmu. Jangan sebut lagi Wulan dengan sapaan Dek, atau apapun. Sebagai wanita berstatus sah istri di hadapan Allah, Wulan mohon diberikan keridhaannya untuk keluar dari rumah. Izinkan, dan besarkan hati agar malaikat tak mengutuk setiap langkah Wulan.
***

“Nduk … barang-barangmu yang di kolong kasur itu, sayang mau Bue buang.”
“Loh, terus di mana Bue?”
“Yo … masih di kamarmu, toh.”

Mulutku menganga, “titip Bue ….” Aku berlari melesat bagai meteor, berharap Mas Aryan tak membuka kardus yang dimaksud. Kubuka pintu dengan kasar, dan benar saja. Mas Aryan terlihat tertangkap tangan sedang memegang fotonya sendiri di tangan. Aku menarik napas, berjalan pelan kemudian merampas dari tangannya.

“Mau dibawa ke mana, Dek.”
“Mau Wulan buang.”
“Jangan.”
“Ini punya Wulan kok, terserah Wulan mau diapakan.”
“Dari pada dibuang, mending dikembalikan lagi ke orangnya.”
“Nggak!” ucapku seraya memeluk kardus dan berusaha membawanya.
“Jangan …,” balasnya seraya mengambil kembali kardus di pelukanku.
“JANGAN!” teriakku. Karena ada barang-barang pribadi yang cukup memalukan di dalamnya, Mas Aryan pasti sudah sempat lihat-lihat, aku malu jadinya. Ada fotonya, kamus, dan semua pemberiannya dulu.

“Jangan dibuang!”rutuknya, kemudian meletakkan kembali di samping ranjang, “Mau, mas bawa pulang.”
“Ya sudah … Wulan tak buang, Mas tak usah bawa!” kataku seraya mengambil kembali kardusnya kemudian membawanya ke kamar belakang. Aku tak mau semua kenangan tersisa nantinya, jika dibawa Mas Aryan pun aku juga tak mau nanti Mba Agni salah paham. Cinta Wulan memang besar dengan Mas Aryan, tapi insyaAllah sudah siap untuk kemungkinan terburuk. Sudah siap berpisah, siap menjadi janda. Atau sebaliknya … amiin.

Hari ini, hariku penuh dengan Mas Aryan. Sejak pagi kami ke Telaga Sarangan, kemudian kehadirannya di rumah, bercengkrama bersama Pae, sholat berjamaah di Masjid, dan membantu Pae menyusun program pengembangan Pesantren mini yang sudah berdiri tiga puluh tahun lamanya. Sementara aku, hanya diam-diam mengamati. Diam-diam merasakan sesuatu yang beda, sempat berpikir apa hati Mas aryan sudah berbelok? Apa Allah sudah mengabulkan doa-doa ku? Secepat ini kah?

“Mas … sebaiknya kita pulang aja, kamar Wulan sempit. Mas mau bobo di mana?”
“Ya di ranjang lah.”

Ish! Maksudnya apa coba! Dia sejak tadi rebahan di atas ranjang dan tak bergeser sedikit pun. Hanya sibuk melihat ponsel dan tertawa-tertawa sendiri seperti membaca sesuatu.

“Mas! Wulan sudah ngantuk!”
“Oh, ya udah sini dek!”

Ish! Dia lanjut tertawa lagi, aku jadi teringat dengan panggilan mba Agni yang sempat tak ia angkat tadi siang, saat dia membeli oleh-oleh. Apa mungkin Mas Aryan sedang chatting dengannya, tapi jika di lihat dari caranya memegang ponsel, dia tak seperti sedang chatting atau berbicara dengan seseorang, seperti sedang membaca artikel atau apapun itu. Entahlah.

“Mas!”
“Hmmmp!” jawabnya dan terus fokus pada layar ponsel. Aku ambil tikar, kemudian selimut dan bantal lalu menggelarnya di lantai. Setelahnya kurebahkan diri karena enggan menganggunya dengan kesibukannya melihat layar ponsel. Bahagia sekali sampai terkekeh.
***

Udara dingin melipir ke sela-sela kamar yang terbuat dari tembok tua, tembok menjadi basah karena embun semalam. Mataku mengerjap, kemudian mengembang, Aku bangkit kemudian meregangkan otot dan melihat tubuhku kini tak lagi berada di lantai, kami sudah bertukar tempat, aku di ranjang dan Mas Aryan di lantai, seketika wajahku memerah. Tak mungkinkan aku melindur dan naik ke atas ranjang, Mas Aryan pasti membopongku, ih ampun. Wajahku sekarang sudah kayak tomat, bahkan selimut untuk alasnya pun ia gunakan untuk menutupi tubuhku, Mas Aryan terlelap dan hanya beralaskan tikar, aku malu-malu menatapnya ia begitu lelap dan tangannya masih menggenggam ponsel seperti tak ingin lepas.

“Apa isi ponsel itu Mas? Kok aku cemburu melihatnya …,” gumamku menunduk. Hari masih pagi sekali, pukul setengah tiga malam, pisang goreng buatanku kemarin ia habiskan semua. Sepiring, dari sepuluh buah potong pisang kepok yang kubelah dua. Dan kali ini, bubur singkong sepertinya akan kujadikan andalan untuk menyenangkannya. Aku memang tak sepandai Bue, tapi sedikitnya aku tahu cara membuatnya.

Sebelum Bue menyambangi dapur, aku datang lebih dulu. Kurebus singkong yang sudah kukupas semalam dan kurendam, sedikit kuberikan bubuk vanila, daun pandan, garam dan gula. Lalu kutinggal untuk berwudu, setengah jam singkong empuk baru kuberikan santan instant. Cepat, semoga Mas Aryan suka.

“Nduk … harum banget, kamu masak apa toh?”
“Singkong Bue.”
“Oalah, yo wis. Suamimu bangunin, sudah mau pagi nanti keburu habis sepertiga malamnya.”
“Nggih.”

Aku berjalan seraya membawa bubur singkong yang sudah kusiapkan di mangkuk, masuk ke dalam kamar dan melihat Mas Aryan sudah terbangun dan menganggut-anggutkan kepala. Masih ngantuk sepertinya, kuletakkan singkong di atas nakas hingga aromanya menusuk ke indra penciumannya dan matanya terbelalak. Aku tersenyum malu.

“Mas, bangun. Wulan mau sholat,” kataku.
“Kamu masak apa si, Dek. Baunya enak banget,” katanya seraya bangkit dan meregangkan otot.
“Singkong rebus.”
“Eh … udah lama banget Mas, nggak makan singkong. Mau ya dek,” katanya bersemangat dan semakin membuatku tersipu malu. Ia bergegas mengambil mangkuk kemudian melahapnya habis dengan cepat.

“Enak, Dek. Mas mau bawa ke kantor ya,” katanya dan tak lama ia keluar berjalan santai, aku tersipu lagi kemudian menatapnya dan di pundaknya ….
“Mas! Sajadahnya!”
“Mas, bawa dulu. Nanti kamu kayak angkot duluan lagi.”

Aku terkekeh geli, lucu. Mas Aryan lucu. Aku suka, sepertinya cinta ini bertambah, semakin besar untuknya. Rasa pedih, kenangan tentang Agni seketika lenyap untuk hari ini. Aku Wulan yang teduh seperti bulan seperti benar menjadi istrinya. Sungguh-sungguh menjadi miliknya.
***

Setelah subuh kami kembali menuju Kartasura, sesekali Mas Aryan menguap. Mungkin semalaman bergadang melihat layar ponsel. Jalanan Tawangmangu terbilang cukup curam, mendaki, turunan, dan di sisi kanannya adalah jurang yang bisa saja menjadi musibah jika lalai. Tak henti mulutku menerocos agar Mas Aryan tak ngantuk, dan ia menanggapi. Kami bicara mulai dari teman-teman dekatku, dan apa saja yang kulakukan saat kuliah. Ingin kutanyakan masa lalu Mas Aryan, atau di mana Mas Aryan bertemu Mba agni, tapi khawatir suasana menjadi hambar lagi seperti siang tadi. Jadi kubiarkan saja dia terus yang bertanya dan aku menjawab.

"Kamu cinta sama Mas, kan?" Ergh! Kaget aku menelan ludah. Pertanyaan apa ini? Mendadak hadir dan membuat hati terombang-ambing tak karuan.
"Nggak!"
"Iya! Tuh liat pipimu udah kayak tomat."
"Terserah, Mas aneh!" Innalilahi ... diaryku! Mas Aryan tau dari mana kalo pipiku akan merah jika sedang bersamanya. Buru-buru aku buka tas, dan melihat diaryku masih tersimpan rapi di dalam. Seingatku tak pernah keluar dan selalu di kusimpan rapi di dalam. Percakapan kami berhenti, sementara Mas Aryan senyum-senyum kecil tak jelas. Ya Ampun! Semoga ia tak tahu, kalo wajahku memerah hanya bila di dekatnya. Dan kini wajahku semakin merah, merah dan merah kayak tomat.
***

“Alhamdulillah, yang habis jalan-jalan pulang juga. Lari pagi di mana? Hari gini baru pulang,” tanya Ibu membuatku malu. Sedang Mas Aryan, bergegas masuk ke kamar. Bersiap untuk berangkat kerja. Tak ada yang berubah, aku akan kembali ke dapur membantu Ibu, menyiapkan obat untuk Bapak, juga bubur singkong untuk Mas Aryan bawa.

Setelah semua siap, aku kembali ke kamar. Kulihat Mas Aryan tengah sibuk memakai kemeja di depan cermin. Aku linglung, hanya melipat beberapa pakaian kemudian mencari hal lain yang belum beres. Sesekali mata kami bertemu, dan ia tersenyum, aku terheran. Wajahku memerah lagi, dan sepertinya ia suka melihatnya. Hilang akal, aku masuk ke dalam kamar mandi. Menekan rasa di dada juga meredupkan merah di pipi, aku takut Mas Aryan semakin mudah menebak rasa yang kian beraroma.

“Dek,” panggilnya dari luar. Menggetarkan hati.
“Ya, Mas.”
“Perut mas, sakit.”
Aku diam, kemudian panik buru-buru keluar. Apa jangan-jangan karena singkong?
“Mas, mau ke dalam?” tanyaku padanya yang duduk di ranjang seraya mengelus perut, dan ia menggeleng.
“Nyeri, Dek.”
“Bentar!” Aku berlari, mencari minyak kayu putih yang selalu kusimpan di dalam tas, lalu begitu saja membantu Mas Aryan membuka kemejanya kemudian tanpa segan mengusap perutnya. “Karena singkong kali ya Mas, Ya Allah ….” Mas Aryan hanya diam, membiarkanku panik. Hingga kemudian terdengar suaranya terkekeh, memandang wajahku yang penuh dengan keringat.

“Astaghfirullah! Mas boong ya?!” kataku mendengkus seraya memukul dadanya dengan keras. Aku bangkit dan tanganku ditariknya hingga kami duduk bersebelahan. Ia menatap wajahku lamat-lamat, napasku tersengal, mas Aryan terus diam, tak henti menatap, aliran darah seketika melambat, ketika ia semakin mendekatkan wajahnya. Aku melengos. Sementara tangannya masih menggengam erat, dan sangat erat.

“Dengar Dek, apapun yang kamu lakukan pada Mas, hari ini dan kemarin. Mas sangat bersyukur, sangat. Doa mas, semoga ini bisa selamanya. Adek mau juga kan berdoa? Mas Sayang sama Adek ….” Aku diam tak paham, maksudnya belum mengerti dengan sikapnya. Apa ia sedang berusaha memintaku menjadi madunya? Sejak dulu Mas Aryan memang sayang denganku tapi hanya sebagai adik tak lebih, lalu apa yang ia ingin tunjukkan atau ….

“Dan satu lagi … tomat di pipimu itu, jangan kamu berikan untuk lelaki lain.” Aku malu lagi, kemudian menunduk. Mas Aryan bangkit, merapikan kemejanya, “singkong Mas jangan lupa, dek,” katanya lagi seraya keluar kamar.

Bahagia. Itu adalah hari ini, tiada air mata, atau hal apapun yang membuatku sesak. Kuantar suamiku hingga ke garasi mobil, mencium punggung tangannya kemudian ia tersenyum dengan bangga menunjukkan singkong yang kutempatkan di kotak makan. Sempat berpikir apa aku jalani saja hidup bersama Mas Aryan? Apa aku ikhlaskan saja nasibku yang menjadi madunya? Toh tiada larangan, aku pun bahagia, bagaimana aku bisa kehilangan Mas Aryan, jika hari ini saja bisa meningkatkan kadar cintaku. Tapi? Apa mba Agni mau? Apa dia mau berjalan beriringan? Ah Astaghfirullah! Berpikir apa aku, bodoh sekali. Bisa-bisa aku akan dihujat orang banyak karena telah mencuri cinta yang seharusnya milik Mba Agni. Aku tak mampu, bagaimana jika hati Mba Agni sakit dan menyumpah akan hal yang tidak-tidak, bukankah mustajab doa orang yang terzalimi?

“Cu-cu! Cuuuu - cu!” Mataku terbelalak, kata pertama yang keluar dari mulut Bapak. MasyaAllah, Alhamdulillah … aku berteriak girang memanggil Ibu, dan Mas Aslan pun berlari cepat ke arah kami. Bapak Ganendra, aku sampai menangis mendengar ia bisa bicara. Terbata-bata dan tersenyum, bahkan ia sudah bisa menggerakkan kedua tangan, kemudian mengusap kepalaku. Aku menangis bahagia, sangat bahagianya hingga aku lupa bahwa kenyatannya ini adalah tanda perpisahanku dengan Mas Aryan. Aku rapuh, beringsut mundur kemudian perlahan berjalan ke kamar.

“Laaan! Bapak udah kepengen cucu, cepet atuh dibikin,” teriak Ibu seraya memeluk Bapak. Dan mataku berkaca-kaca, aku memelas. Kemudian aku masuk ke dalam kamar, terduduk di ranjang cukup lama, menetes air mataku. Hingga tak lama, ponsel ku bergetar. Aku gemetar.

[Bisa kita ketemu? Agni.]

Seketika tubuhku menjadi dingin, napasku tersengal, dan yang tersisa hanya air mata. Tak tahu harus mulai dari mana, tak tahu harus menjawab apa? Kenapa datangnya bisa bersamaan, kesembuhan Bapak juga sms dari seseorang yang selama ini begitu ingin kukenal, kenapa? Apa memang Alloh sudah memberikan jalannya agar aku segera berpisah dari Mas Aryan? Ya. Aku pun mungkin tak bisa memberikan cucu untuk Bapak, disentuh saja belum. Aku terluka lagi. Jika mengingat, Mas Aryan pun enggan menyentuhku. Mungkin hanya Agni yang bisa memberikan mereka cucu, dan itu bukan aku.
Gemetar jemariku membalas, berulang kali salah kata lalu aku hapus kembali, hingga jemariku kuat karena Alloh. Alloh, yang selalu menguatkanku, ketika ratusan air mata justru menjadi senjataku agar doa-doaku terkabul, ya hanya itu yang kuharapkan.

[InsyaAlloh bisa mba, kapan?]
[Hari ini?]
[Bisa, di mana?]
[Aku jemput, kamu tunggu di jalan depan, jam satu siang]
[Nggih, Mba]
[Terimakasih]

Khayalanku, bahagiaku mendadak berhenti. Bagai masuk ke dalam ruangan sempit dan hampa, tak bisa bernapas dan hancur seketika. Aku tak mungkin mendoakan buruk untuk Bapak, apalagi untuk Mas Aryan. Kucoba bangkit, menatap wajahku di cermin. Mencoba menarik kepercayaan diri yang sempat hancur. “Wulan, apa Mas Aryan sama sekali tak mencintaimu?” Kataku di cermin mencoba menguatkan hati dari Mas Aryan yang belum juga mengucap rasa. Tapi ada satu keyakinan yang membuatku bertahan. Luka, sedih, juga harapanku pasti akan terbayar, perjuanganku pasti akan lunas. Karena Alloh tak ingkar janji, Alloh tak pernah lalai, Alloh tak pernah lelap kepada mereka pejuang sepertiga malam.

Lalu, aku ambil gaun terbaik yang kumiliki, gaun berwarna merah dengan sentuhan hiasan mutiara putih dan kerudung hitam, sepatu putih dan jadilah aku Wulan yang menurutku sudah luar biasa. Sederhana memang gayaku, tak terlalu berlebihan. Aku siap. Menata hati, kemudian berjalan ke depan menunggu Agni menjemputku.

“Mau ke mana Lan?” tanya Mas Aslan yang mendadak hadir dengan sepeda motor besar miliknya.
“Mau berjumpa teman, Mas.”
“Kok gitu mukanya?”
“Kenapa?” Aku melengos, sepertinya kaca di mataku bisa ia lihat.
“Mas antar ya.”
“Nggak usah Mas, mana boleh toh. Wulan naik motor Mas.”
“Nggak apa-apa Lan, kan adik kakak.”
“Nggak boleh Mas, memicu itu namanya. Nanti kalo ada fitnah, siapa yang salah?”
“Ya udah, naik mobil aja. Mas keluarin mobil Bapak.”
“Nggak usah Mas, Wulan mau dijemput kok,” kataku dan membiarkan lelaki yang selalu memerhatikanku diam-diam itu diam di belakang dengan wajah yang dingin dan mematung memandangiku hingga keluar pintu gerbang.

Mobil sedan merah itu akhirnya datang warnanya sama dengan gaun yang kupakai, sedan BMW terbaru dengan kap yang bisa terbuka. Begitu mewah, sangat bagus hingga kumalu-malu naik ke atasnya. Mba agni, dadaku berdegup kencang. Bidadari dari barat, ya cantik sekali. Wajahnya putih, hidungnya mancung, kacamata hitam di wajah sangat cocok ia pakai, tubuhnya harum dan rambutnya tergerai tertiup angin. MasyaAlloh, jika aku menjadi lelaki aku pun pasti jatuh cinta padanya. Ia hanya diam, kemudian membiarkanku duduk di kursi mobil miliknya yang begitu empuk.

“Terima kasih sudah mau datang,” katanya. Dan aku hanya mengangguk seperti seorang tersangka yang akan segera disidang. Ia parkirkan mobilnya di sebuah kafe yang letaknya dekat dengan Alun-Alun,kemudian berdiri dengan angkuh. Gaun putih yang ia kenakan membuat kulitnya semakin bersinar, kakinya begitu jenjang dan tingginya bak model jauh sekali denganku. Kami duduk di sebuah kafe bergaya eropa dengan sentuhan jawa. Kafe mahal, aku tak pernah datang.

“Mau makan apa?” katanya.
“Nyuwun ngapunten Mba, Wulan ndak lapar,” balasku. Ia buka kacamatanya kemudian menatap ke arah luar, mengusap kepalanya kemudian melihat menu. Tidak menatapku karena kebencian, mungkin. Aku merasakan itu.

“Satu capucino, satu teh,” lanjutnya lagi pada waitress dan kemudian ia berani menatapku. Dan aku malu, hanya menunduk.
“Langsung saja, kamu sudah tahu kan alasanku mengundangmu?”
“Nggih Mba.”
“Aku sudah tahu banyak tentangmu dari suamiku, suamiku! Aryan Estu Ganendra!” katanya menekan pada ucapannya, dan hatiku tergores. Mas Aryan juga suamiku mba, aku tak salah karena tak pernah merebutnya darimu. Aku hanya mengangguk dan tak ingin percakapan ini berubah menjadi pertengkaran, mba Agni terlihat berapi-api dan jika aku menjadi gas hanya bisa membuat keadaan semakin keruh, aku cukup menjadi air yang tenang, teduh dan mengalir mendengar amarahnya, menghujat dengan apa yang tak seharusnya kuterima.

“Maaf, Mba. Tapi, Wulan pun tak tahu Mas Aryan sudah menikah. Wulan pun baru tahu setelah malam pertama kami, Mas aryan bercerita pada Wulan.”
“Apa malam itu dia sempat menyentuhmu?”
Aku menggeleng.
“Aku tahu kamu tak salah, aku tahu. Tapi, seharusnya kamu paham. Jika kamu terus menerus ada bersamanya, itu hanya semakin membuat hubungan kami semakin retak. Lalu apa bedanya kamu dengan wanita yang merampas kebahagiaan orang lain!”
Aku menunduk, tuduhan yang sangat sepihak.
“Hubungan kami hanya sebatas perjanjian saja Mba, setidaknya sampai Bapak sembuh.”
“Alasan! Kamu punya harga diri kan?”

Wajahku memerah, kemudian memberanikan diri menatapnya. Kali ini, tak mampu aku menunduk. Tak mampu aku diam, aku harus membuka suara, jika berbicara soal harga diri.

“Justru karena aku memiliki harga diri aku tak mau pergi begitu saja, mba,” balasku dan dia menyeringai.
“Kalo kamu punya harga diri, harusnya kamu sudah meminta pisah!” rutuknya mendesis.
“SUDAH!” balasku merutuk.
“Lalu? Kenapa sampai sekarang kamu belum keluar dari rumahnya?”
“Mba, dalam islam … perpisahan menjadi hak suami. Beribu kali istri mengucap pisah takkan sah, jika suami tak mengucapnya. Aku sudah meminta cerai tapi selama Mas Aryan belum mengucap itu sia-sia.”
“Maksud kamu Aryanku, tak mau pisah denganmu? Dia mencintaimu gitu?”
“Bukan itu maksud Wulan, tapi Islam memang mengatur demikian.”
“Cukup! Orang-orang seperti kalian hanya berani berlindung dari agama. Kamu tau? apa yang kulakukan ini demi kebaikanmu, demi masa depanmu, kamu masih muda Wulan, kamu bisa meraih apa yang ingin kamu dapatkan ke depan. Apa kamu tak sadar? Mas Aryan dan aku hanya menjadikanmu alat? Tak sadarkah kamu? Bahwa semua ini sudah kami rancang sebelum hari pernikahan kalian?”

Tubuhku gemetar, bahuku menurun, air mataku deras. Tega sekali mereka? Apa salahku? Bukankah aku sudah banyak membantu? Ya Allah … sakit sekali ini, turunkan lah jutaan malaikatmu untuk mengubah pintu hati suamiku, runtuhkanlah benteng di hati Mas Aryan jika itu benar, buat ia mengemis-ngemis cinta padaku. Allah jika benar, bagaimana aku mampu memberi maaf untuk Mas Aryan? Aku tak terima. Aku tak kuat, kemudian bangkit tanpa menghiraukan Agni yang masih terduduk diam di kursi.

“Tunggu!” teriaknya menghentikan langkahku, “satu lagi, aku sedang mengandung! Jadi, lebih cepat lebih baik kamu tinggalkan Aryan!” katanya menusuk, dan kemudian berjalan meninggalkanku.

Aku kalah. Mengandung? Benar! Apa yang Bapak katakan hari ini adalah sebuah petunjuk, benar dan itu bukan aku. Aku Wulan Adisa Soenggono terlahir dengan suci, tiada pernah menyentuh hati hingga terluka, selalu berikhtiar menjadi hamba-Nya, berusaha mengikuti Baginda Muhammad, tapi mengapa menjadi seperti ini? Jika ini yang dinamakan luka sebelum menjemput kemenangan, maka kupinta jauhkan hamba dengan dia … jauhkan jika, dia hanya mempermainkan hati, jauhkan jika, dia tak punya hati, jauhkan jika, dia tak punya cinta untuk Wulan. Aku sesenggukan, menangis seperti orang gila hingga beberapa orang menatapku heran. Tak tahan dengan semua hinaan, kemudian menunduk di sudut jalan Alun-alun, hingga Mas Aslan mendadak hadir.

“Lan … kamu kenapa?” tanyanya aku tersedu, air mataku terus deras tak mampu berhenti. Kumerasa menjadi wanita yang bodoh dan menang di sisi Allah. Biar saja Mas Aryan pergi, biar saja ia pergi dengan Agni. Wulan tak peduli. Aku bangkit, kemudian diam tak menghiraukan Aslan lalu menghentikan taksi.

“Lan!” teriak Mas Aslan menghalangi langkahku. Ia mendengkus seperti merasakan apa yang kurasa.
“Pergi Mas … Wulan mau pulang!”
“Mas antar!” teriaknya seraya menarik pergelangan tangan. Aku empaskan, geram.
“Wulan, wanita bersuami mas!” rutukku tanpa mempedulikan rasa di hati Mas Aslan.

Taksi melaju dengan cepat, sebelum seseorang menghalangi langkahku aku harus segera bergerak cepat. Mengepak semua barang-barangku, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Semua sudah siap, dan secarik surat kutinggalkan teruntuk lelaki yang sudah sukses membuatku mencintainya juga sukses membuatku terhina, teruntuk lelaki yang sudah membuat lubang yang cukup dalam dan entah berapa lama akan kembali pulih, aku pergi menyisakan luka, tanpa peduli kesehatan Bapak, atau keluarga yang teramat menyayangiku di rumah ini. Aku pergi meninggalkan semua luka, dan berharap mendapatkan kesembuhan bersama-Nya.

“Lan, kamu mau ke mana?” tanya Mas Aslan panik menghalangi langkahku, rupanya ia mengikutiku sejak tadi. Semua aneh, yang ada di dalam rumah ini begitu banyak kepalsuan, kebencian juga sakit hatiku mendadak menular ke segala arah, aku benci dengan Mas Aryan, benci dengan Bapak dan Ibu Ganendra yang begitu ngotot untuk meminangku, aku sebaiknya pergi cepat sebelum luka ini bertambah parah. Kuhiraukan Aslan kemudian melanjutkan perjalanan dengan taksi yang sudah menunggu di depan.

Mas Aryan yang budiman, Wulan bukan lagi adikmu.
Jangan sebut lagi Wulan dengan sapaan dek, atau apapun. Sebagai wanita berstatus sah istri di hadapan Allah, wulan mohon diberikan keridhaannya untuk keluar dari rumah. Izinkan, dan besarkan hati agar malaikat tak mengutuk setiap langkah Wulan. Wulan, pergi dari rumah. Karena Bapak sudah sehat, dan sesuai perjanjian Wulan kembali.

Mas Aryan yang terhormat! Hari ini, wulan pastikan takkan lagi menganggu hubungan Mas dengan Agni. Karena Wulan bukan madu mas, yang sanggup merampas kebahagiaan orang lain.
Selamat untuk semuanya, untuk Mba Agni juga kandungannya.  Titip maaf untuk keluarga.

Wulan Adisa Soenggono, bukan lagi adikmu atau istrimu.
Dan detik ini, hubungan sudah terputus baik di dunia maupun akhirat. Wassalam.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER