Cerita bersambung
[Pov. ASLAN]
Wulan, tetaplah gadis terhormat yang pernah kukenal. Bahkan untuk berbicara denganku saja dia enggan. Meski luka telah ia terima, jiwa dan raganya mungkin hanya bisa terbuka untuk suaminya. Aryan.
***
[Nak, pulang. Mas mu, minggu depan nikah] Pesan dari Ibu kuterima, dan aku pun cemas memikirkannya. Cemas memikirkan Wulan. Adikku yang juga tak bertemuku cukup lama, lima tahun kami berpisah, dan bagaimana kabarnya, sudah seperti apa dia, aku tak tahu. Tapi yang jelas, aku cemas. Berharap Aryan bisa membahagiakannya seperti dulu saat ia menganggapnya adik.
Setelah berpikir panjang akhirnya aku kembali. Gelar BBA pun sudah kuraih meski tak tahu akan kugunakan atau tidak.
Pagi itu, tiada Wulan maupun Aryan. Mereka pergi entah ke mana. Bapak dan Ibu menyambutku biasa saja, tak seperti menyambut Aryan atau Ardi. Karena aku tahu, aku satu-satunya anak yang tak bisa membuat mereka bangga. Bagaimana tidak, pengamen diminta buat jadi pembisnis, aku tak bekerja, aku sibuk mencipta karya dan lagu. Pagi itu, terdengar suara Wulan dari luar, dan begitu saja hatiku mengembang senang. Senyum di wajahku terangkat, buru-buru aku ke depan, kemudian melihat Wulanku. Ya Tuhan, dia yang hitam kini putih dan cantik, matanya bulat, pipinya gembil dan satu lagi wajahnya tak berubah masih sama seperti dulu kekanak-kanakkan.
“Surprise!” teriakku mengejutkannya. Dan wajahnya begitu senang melihatku, raut rindu tergambar jelas di matanya yang bekaca-kaca. Tapi, ada yang aneh. Ia tak berani menatap suaminya sendiri, atau bahkan mendekati.
“Kak Aslan!”
“Maaf ya, aku nggak dateng ke nikahan kalian. Selamat ya Lan. Wulan udah besar sekarang ya, udah nggak bisa kakak godain donk,” kataku meledek, dan dia tersenyum lebar ke arahku.
“Ia kak. Nggak apa-apa,” balasnya seraya berjalan menuju dapur dan aku mengekor di belakangnya. Wulan masih seperti dulu, tak berubah. Urusan dapur menjadi hobinya dan cerita lucuku menjadi hal yang paling ia rindukan katanya. Cukup lama kami berbincang-bincang dan tertawa di dapur, rinduku terbayar sudah, aku merindukannya sangat. Jika ia bukan Wulan, aku mungkin sudah memeluknya seperti teman wanitaku yang lain. Tapi ini Wulan, gadis cilik yang sejak dulu sudah sok tua seperti ustadzah, gemar menasihati dan bahkan menunjukkan sikap terhormatnya tanpa suka menyentuh atau bahkan menolak ajakanku naik motor bersama.
“Dek, Lan.” Aryan datang memanggilnya, aku diam dan Wulan wajahnya datar. Tak seperti yang pernah ia katakan dulu padaku, “Nanti kalo Wulan menikah, Wulan akan terus tersenyum di hadapan suami, biar makin sayang dia,” katanya dulu saat kami berbincang-bincang soal pasangan dan hari itu aku terkejut.
Dia Wulan Ayudisa Soenggono, adik perempuan yang selalu menjadi bintang di rumah. Menjadi kebanggan meski bukan berasal dari keluarga kami. Wulan, atau Adis panggilan yang biasa kugunakan dulu untuknya. Gadis lincah dan penuh semangat, memiliki kepribadian alim juga faqih kata orang tuanya. Ya, itulah Wulan. Gadis yang selalu memberikanku wejangan, memberi semangat ketika dulu sebelum menikah.
“Mas, mbok yo berhenti merokok, nanti jodohnya susah loh! Badannya Mas kan nanti bau, gigi mas kuning, ih … siapa yang mau coba?” tanyanya dulu lucu ketika ia masih sekolah tingkat akhir.
“Kan ada Wulan,” kataku menjawab datar. Dan dia, hanya manyun meledek. Padahal aku serius. Ya, aku sangat serius. Siapapun pasti bermimpi memilikinya. Sifat menyenangkan, juga manutnya membuat Wulan menjadi menggemaskan di antara puluhan wanita yang saat itu mendekat. Pacarku banyak, Wulan tau itu. Tapi calon istriku, hanya dia. Inginku.
“Mas, ojo pacaran terus toh Mas. Dosa!” katanya dan ketika kujawab, “ya, udah … nikah langsung aja gimana Dek?”
“Sama sopo?”
“Ya sama Wulan lah …,” jawabku menyeringai. Dan dia menekuk mulutnya hingga kemudian ku tertawa lebar.
Aku rindu, rindu ketika gadis itu tersenyum, menyeringai bahkan tertawa lebar. Dan kini, semua pupus. Di mataku Wulan tak lebih dari seorang gadis yang tak berdaya, hanya raga yang tak memiliki ruh, nestapa. Sesekali kulihat air matanya mengucur saat ia masak, meramut Bapak dan kapanpun. Pekarangan rumah menjadi tempat favoritenya untuk termangu. Dan yang dilakukannya, untuk menutupi kesedihan hanya terus membaca mushaf. Aku tak mampu masuk ke dalamnya.
“Lan … berenti napa, ndaras Qurannya.”
“Memangnya kenapa Mas?”
“Main kalambor Yuk, Lan,” ajakku.
“Moh! Nanti dilihat Mas Aryan … nggak boleh.”
“Loh, Mas Aryan kerja. Lagian Mas kan adik iparmu Lan.”
“Adik Ipar tapi wujud dewasa, Mas Aryan nggak suka nanti,” katanya tersenyum tapi matanya kosong berkaca-kaca seperti hendak mengatakan sesuatu, seperti ingin berteriak. Lalu aku diam, ingin sekali mendekat dan merasakan apa yang ia rasa, ingin sekali memeluk tapi dia haram untukku. Lalu bagaimana? Wulan, mawar di hatiku kini perlahan layu, satu persatu kelopaknya terjatuh dan duri di tubuhnya seperti melukai tubuhnya sendiri.
Kesedihan di wajah Wulan membawa pada ingatan lima tahun lalu, ketika orang tuaku mengatakan bahwa Wulan lebih memilih Aryan. Ya, aku tahu itu sejak lama dan sudah pasti gadis mungil itu memilihnya. Rasa Wulan pada Aryan sudah kutahu sejak lama, surat cinta, dan senyum di wajahnya hanya untuk Aryan. Wulan bahkan tak malu dulu menanyakan Aryan padaku, sering bercerita dan bahkan membandingkanku dengannya.
“Wulan tuh item, pantesnya sama yang item!” kataku dan dia menjulurkan lidah. Beribu kali aku meyakinkannya, tetap saja tak mampu melunturkan cinta di hati. Hati Wulan tetap untuk Aryan. Hingga aku lepas semua anganku padanya dan melanjutkan lagi kisahku dengan wanita-wanita yang justru bangga memilikiku sebagai kekasih. Apa bagusnya Aryan? Dia hanya rajin ke pesantren, sembahyang di masjid, ikut organisasi, musyawarah, membosankan. Tipe Wulan yang lelaki seperti itu, lelaki yang katanya dekat dengan Tuhan. Tak sepertiku yang selalu sibuk dengan hoby, main musik, merokok, melukis dan banyak lagi. Wulan, lama-lama sifatnya hampir sama dengan orang tuaku yang selalu dan sering memuji-muji Aryan, dan namaku menjadi tenggelam.
Aku diam, kemudian mundur. Sejak kedatanganku beberapa hari lalu, Wulan perlahan menarik diri, tak lagi bercengkrama, tak lagi terlihat senyumannya, dan pasti semua itu karena Aryan. Dan dia memang suaminya, berhak atasnya, apapun yang dia katakan toh Wulan patuhi dengan sempurna. Wulan paripurna, bahkan sejengkal langkah kakinya dari luar rumah selalu ia kabari ke suaminya.
“Mas … tadi Wulan ke pasar sama Bue, maaf nggak sempat izin,” katanya kudengar saat Aryan baru kembali dari aktivitasnya dan itu semua membuatku cemburu. Sangat cemburu, hingga perlahan ada rasa sesal di dalam diri. Mengapa aku dulu tak sungguh-sungguh seperti Aryan. Jelas-jelas orang tuaku menempatkan kami di Pesantren, dan hanya aku yang sering kabur, hanya aku yang tak pernah ikut ke pengajian. Kini, aku iri.
Diam-diam kuperhatikan, ia ke dapur membuatkan teh tubruk kesukaan Aryan. Namun, wajahnya datar, sorot matanya kosong dan perlahan bulir bening itu terjatuh.
“Lan …” buru-buru ia usap wajahnya dengan kasar.
“Nggih Mas, Mas mau teh tubruk?”
“Nggak lan, aku nggak suka.”
“Yo wis, Wulan masuk dulu ….” Ia pergi dengan luka, aku bisa rasakan itu. Sangat nyata, karena tak seharusnya pengantin baru menunjukkan raut wajah datar, tak seharusnya kesedihan nampak di wajahnya. Hingga kemudian perlahan tanganku terkepal, napasku mendengkus, lalu teringat akan kejadian beberapa bulan lalu sebelum pernikahan Aryan dan Wulan.
Setahun yang lalu. Saat kukembali ke Jakarta, tak sengaja di hari yang sama aku melihat Aryan membawa seorang wanita blesteran cantik ke rumah. Wanita cantik, tinggi tubuhnya kulitnya putih bersinar, rambutnya panjang tergerai mengenakan gaun batik khas pekalongan. Mereka duduk di kursi depan, dan aku sengaja menguping di balik dinding. Penasaran. Karena kutahu, Bapak sudah melamar Wulan untuknya, lalu kenapa ia datang dengan wanita lain?
“Ini Agni, Pak, Bu. InsyaAllah jika Bapak dan Ibu menyetujui … Aryan berniat mau menikah dengan Agni,” katanya membuatku terluka. Dan nyatanya tak hanya aku, Ibu yang geram melihatnya bangkit kemudian masuk ke dalam dan menangis. Hanya Bapak yang melihatnya dengan napas tersengal, wajah teduh.
“Kamu, Muslim?” tanya Bapak.
“Saya … akan masuk Islam Pak,” jawab wanita yang belakangan kukenal bernama Agni.
“Kamu pulang dulu ya, masalah ini akan kami rundingkan terlebih dulu.”
Malam itu. Agni pulang tanpa membawa jawaban apapun. Sementara Aryan diam menerima amarah Bapak juga Ibu, lelaki itu tertunduk dan tak mampu membentak kedua orang tuanya. Tapi aku tahu, Aryan adalah harapan mereka, lelaki yang takkan mengecewakan mereka. Malam itu, Aryan putuskan untuk manut, dan kemudian tak lama ia menghilang. Dan anganku terbang pada Wulan. Bukankah Wulan juga adik kesayangannya, bukankah Wulan lebih baik dari Agni? Mengapa Aryan begitu yakin membawa wanita lain ke rumah, cinta memang tak mampu memilih. Kapanpun di manapun bisa berubah seperti mata angin. Kulihat Aryan termangu dan menuruti permintaan Bapak, hatiku lega dan tak lama aku kembali ke Kanada.
Dan benar, kini. Sepanjang hari setelah Aryan berangkat bekerja yang kulihat di wajah adikku hanya kesedihan. Wulan bahkan menolak untuk dekat denganku, tiada lagi senyuman di wajahnya. Ketika ia merawat Bapak, ada genangan di matanya. Ada apa dengan Wulanku? Kenapa dia menjadi pemurung, ia kerjakan semua pekerjaan rumah dengan tangannya meski ada asistant rumah tangga, Wulan seperti sedang berusaha menepis sedih dengan hal apapun. Ia rapuh dan aku tahu, tiga lelaki yang paling mengenalnya, Ayahnya, aku dan Aryan. Jadi aku tahu benar, apa yang sedang menganggu hatinya. Siang itu, aku pergi menyelidiki Aryan. Geram rasanya melihat ia menyakiti Wulan. Di kantor yang juga perusahaan milik keluarga kami, aku menunggunya di lobby. Pukul enam sore Aryan keluar dari kantor menuju pulang, ia tak tahu aku mengikutinya dari belakang. Dan mobilnya mengarah ke arah kota, hingga kupastikan kecurigaanku benar, Aryan pulang ke apartementnya dan tak lama kutahu ia tinggal bersama di dalam dengan wanita bernama Agni. Tak sadar tanganku terkepal, ingin kuhabisi wajahnya, tapi dia kakakku. Aku menarik napas dalam-dalam, dan kembali pulang. Ingin sekali berteriak memberitahu orang tuaku tentang kelakukannya. Tapi aku bisa apa? Bapak sedang sakit parah, Wulan juga pasti akan semakin terguncang.
“Aryan, Mana Lan? Udah jam sepuluh loh,” tanyaku memasang wajah datar pura-pura tak tahu. Wulan termangu, hingga perlahan bulir bening mengalir di wajahnya. Aku sakit, ingin rasanya kuempaskan pukulan dan emosiku meledak di hadapannya. Bodoh! Kenapa kamu begitu ngotot menikah dengan Aryan! Lihat aku Wulan, nyatanya aku lebih baik dari dia.
Wulan Adisa, tetaplah wulan yang dulu kukenal, ribuan luka kau dera tapi tetap senyum kauberi. Hidupmu memang hanya untuk Allah, hingga caci, luka kau jadikan santapan lezat sebagai bekal ke Surga. Dirimu begitu mencintai Baginda Muhammad, hingga kutahu sikapmu kurang lebih mengikutinya. Tersenyum ketika terluka. Aku tahu benar bagaimana Aryan melukaimu, tapi di hari-harimu tak sedikitpun kau mencacinya atau bahkan membentaknya. Dia Aryan yang sudah mengkhianatimu dan kau diam saja.
Dan siang ini, ketika Wulan hendak keluar rumah. Aku, cemas. Gaun merah yang ia kenakan sama dengan warna matanya yang sepertinya baru saja menangis. Ia pergi dan diam-diam aku mengikutinya, hingga tak lama napasku tersengal Agni datang dengan segala kemewahannya, menunjukkan padanya siapa dirinya. Dan aku hanya diam, tak mampu membela adikku, tak mampu menariknya ke pelukanku. Dia menangis aku pun ingin menangis. Wulan terluka.
Adikku berjalan gontai dari kafe, menunduk dan meneteskan air mata, hingga tak lama tak mampu ia berjalan. Kemudian terduduk lemah di tepian jalan.
“Lan … kamu kenapa?” tanyaku dan ia diam. Hanya tersedu, sorot matanya kosong dan terdengar suara sesenggukan. Aku tahu ini perih Lan, cukup hentikan air matamu. Dia bangkit kemudian pergi menjauh.
“Lan!”
“Pergi Mas … Wulan mau pulang!” rutuknya. Dalam keadaan seperti ini pun, masih saja kau menghormati Aryan, bahkan pertolonganku pun kau tolak. Hatiku sakit.
“Mas antar!”
“Wulan, wanita bersuami mas!” teriaknya menatap penuh nanar seraya mengempaskan tanganku menjauh.
Hinga kemudian di depan mataku, ia pergi menjauh. Kuikuti sampai rumah, ia kepak semua barang-barangnya kemudian pergi kembali dengan taksi yang sama. Aku diam, dan tak sengaja untuk pertama kali dalam hidupku aku meneteskan air mata. Aku tahu tak baik jika aku harus masuk ke dalam kondisi Wulan yang sedang tak menentu. Aku memaksa. Kuambil motorku, lantas mengikuti taksi yang hendak membawanya pergi.
Taksi menyusuri ke arah timur, kemudian berhenti di perbatasan jalan yang memisahkan karanganyar ke arah kota Solo. Aku tahu gadis itu pasti bimbang, hatinya begitu lembut hingga ia pasti enggan pulang dan mengecewakan orang tuanya. Aku menunggu cukup lama dan benar Wulan berbalik ke arah yang berlawanan. Entah ke mana ia pergi, batinku seperti merestui ia pergi meninggalkan Aryan. Aku bersyukur ia menjauh setidaknya lukanya tak menjadi semakin perih.
Wulan tiba di Rejosari Gondangrejo, di sebuah rumah yang tak pernah kutahu. Rumah yang terbuat dari kayu dan berhadapan persis dengan pematang sawah. Aku melihat dari jauh, dua orang paruh baya kemudian keluar menyambutnya. Usianya belum terlalu tua, dan tak lama mereka mengizinkannya masuk. Hatiku lega, setidaknya aku tahu di mana adikku berada, aku kembali. Cukup malam, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam dan Aryan belum kembali.
“Slan!” sapa ibu cemas aku terdiam lemas. Harusnya bukan aku yang merasa sakit, harusnya Aryan yang lebih pedih. Tapi kenapa napasku menjadi sesak melihat luka di wajah juga hidup Wulan, Wulan pergi entah ke mana dengan siapa aku tak tahu. Jika Wulan tahu keberadaanku pasti ia akan mencari tempat yang baru. Jadi aku memilih diam. Kemudian aku kembali menatap wajah ibuku, penuh nanar, menjadi benci.
“Kamu kenapa?” tanya Ibu gugup.
“Kenapa Ibu menikahkan Wulan dengan Aryan! Kenapa?!” rutukku berlinang.
“Istighfar kamu! Dia iparmu!”
Aku pergi, enggan berbicara banyak dengannya, khawatir bisa membuatku menjadi rendah karena telah emosi pada orang tua. Sementara Ibu berulang kali menanyakan keberadaan Wulan dan aku hanya diam.
“Aryan memang suka gitu, kalo ajak Wulan suka dadakan. Nggak pake pamit,” lanjutnya dan aku tetap diam.
Tak mampu aku meluapkan emosi karena bisa-bisa penyakit Bapak semakin parah. Aku tunggu kehadiran Aryan di pekarangan, pukul 10 malam ia belum datang semakin sakit dan geram semakin kutahu seperti apa kecemasan Wulan ketika menunggunya, 11 malam belum juga ada kabar, hingga kemudian mobil jeep rovernya terlihat pukul satu malam. Aku mendengkus, telah kusiapkan segala kekuatan untuk menghabisinya.
“Assalamualaikum …,” ucapnya lemah berjalan gontai dan menunduk. Aku melangkah berlari kearahnya seraya melayangkan pukulan keras ke wajahnya yang sayu. Aryan terkapar.
“Kenapa kamu?!” rutuknya.
“Kenapa? Kenapa!” teriakku hingga memecah keheningan.
“Kenapa harus Wulan yang kau sakiti? Dia adikmu? Kenapa?!” lanjutku mendesis seraya kembali meninju wajahnya. Aryan diam, tak melawan.
“Apa maksudmu?” ucapnya seraya menangkap tinjuanku, sorot matanya tajam memerah dan berlinang air mata.
“Jangan pura-pura bodoh!”
“ASLAN!” Ibu berlari menghadang pukulanku. Kemudian aku mendengkus, tak sanggup lagi menahan emosi.
“Ini semua salah Ibu, yang terlalu membanggakannya! Seharusnya Ibu menikahkan Wulan denganku bukan dengan si brengsek ini!” kataku kembali meninju wajahnya.
“CUKUP ASLAN!” Ibu menarik pundakku kemudian menampar wajahku dengan keras.
“Wulan di mana Aryan?!”
“Wulan pergi! Karena dia! Anak ibu yang sudah menikahi wanita lain!” Aku berteriak, Ibu diam matanya terbelalak menatapku, sementara Aryan bangkit masuk ke dalam. Berteriak, terdengar berulang kali ia memanggil “Dek Wulan!” nyatanya tidak ada.
“Di mana Wulan?” tanyanya gugup matanya berlinang begitupula dengan darah segar yang mengucur dari pelipis dan mulutnya
“Aryan apa benar yang dikatakan Aslan?” tanya Ibu mendekati wajahnya. Aryan diam mendekatiku. Menarik kerah kemejaku, “ DI MANA ISTRIKU!” teriaknya hingga keluar semua energinya, aku diam. Ia kacau kemudian masuk kembali ke dalam mobil dan keluar, sementara Ibu terduduk lemah di dalam. Menangis sesak .
Di mataku kulihat cinta di mata Aryan begitu besar, entah kenapa aku tak mampu menjawab pertanyaannya. Aryan pergi dan kutahu ia pasti ke rumah Wulan di Tawangmangu. Lalu aku harus apa? Seketika egoku memuncak, dan berharao Aryan pisah dengan Wulan. Jangan harap ia menyentuh lagi adikku, jangan harap ia kembali dengan Wulan. Aku mendengkus, kemudian diam.
Ibu sesenggukan, “katakan itu bohong, Nak. Aryan tak mungkin melakukan itu, dia anak baik,” ucapnya, menangis sementara Bapak mungkin tak tahu apa yang terjadi dengan kami. Kuusap wajahku, niat dan benciku takkan memudar. Melihat kejadian Wulan pagi ini, hingga ia pergi membuat luka juga di dada. Rasanya sesak memikirkannya.
“Urus perceraian Wulan dengan Aryan bu. Izinkan Aslan yang menikahi Wulan,” kataku menunduk menggenggam erat kedua tangan yang kini rapuh.
“Kamu bicara apa? Kenapa sejak dulu kamu tak pernah berubah? Wulan istri kakakmu dan selamanya seperti itu!”
“Aryan menipu Bu! Sebelum menikahi Wulan dia sudah menikah dengan Agni!” Runtuh lagi air matanya, bahunya mengendur hingga tangisannya pecah.
“Bohong! Itu bohong ….”
“Wulan hanya diperalat mereka! Aryan dan Agni, hanya mempermainkan Wulan. Anak yang selalu Ibu banggakan telah membuat hati Wulan patah, dan dia pergi sekarang ….”
Air mata Ibu semakin pecah, tak mampu berkata hingga perlahan terbata-bata ia bicara. “Jangan beritahu Bapak …,” lanjutnya seraya mengambil ponsel yang ia letakkan di lemari. “Jangan pulang tanpa Wulan!” desis Ibu di telepon, dan kutahu ia bicara dengan Aryan.
***
Aku pergi pagi-pagi sekali menuju Gondangrejo, menjemput rasa dan mencoba menanam harap pada sosok Wulan yang selama ini kutahu tak pernah menanam cinta untukku. Hamparan sawah terbentang luas, bau tanah basah menyengat ke indra penciuman. Di sepanjang mata Gunung Lawu terlihat kokoh di pandangan. Aryan tak pulang semalam, entah ke mana lelaki itu aku tak peduli. Meski ada rasa cemas di dada, karena melihat dirinya yang gontai dengan keadaan wajah yang tak karuan bekas pukulan. Mungkin saja ia bermalam di Tawangmangu atau kembali ke Agni. Entahlah. Yang jelas, takkan kubiarkan dia mengambil lagi Wulan dariku.
Sinar mentari menyinari rumah yang terbuat dari kayu jati,terlihat begitu mungil dan sederhana. Rupanya itu adalah kediaman Ngadiman Soenggono, adik dari Kiai Hadi Soenggono. Aku baru tahu itu, karena selama aku mengenal Wulan, tak banyak yang kutahu tentangnya. Pintu rumah sudah terbuka lebar, dan sayup-saup terdengar cuitan burung, aku menatap ke atas. Puluhan burung gereja berterbangan dan menyembul dari dahan pohon yang melindungi rumah dari sinar mentari.
“Assalamualaikum …,” sapaku menyapa lelaki paruh baya yang sepertinya baru saja kembali dari surau.
“Waalaikumsalam … Nak Aryan ya?” katanya dan aku terheran, buru-buru ia masuk ke dalam memanggil Wulan. “ Lan … suamimu datang Nduk.” Ingin berteriak bukan tapi langkahnya sudah semakin jauh, Aku tunggu saja gadisku hingga keluar.
“Nyuwun ngapunten Nak, sepertinya Wulan belum ingin bertemu,” katanya lagi setelah kembali dari dalam.
“Saya bukan Aryan Pak. Saya Aslan.”
“Ooo … siapanya Wulan toh?”
“Saya adik iparnya.”
“Sebentar.” Ia masuk kembali ke dalam. Dan tak lama kembali lagi.
“Maaf Mas Aslan, Wulan … belum ingin ketemu dengan siapapun. Saya, tak tahu apa masalah Wulan. Tapi sepertinya ini sangat besar sekali hingga Wulan enggan keluar dari kamar. Sejak semalam, saya coba masuk ke kemarnya tapi ia enggan bicara. Saya terus perhatikan ia terus menerus menangis. Bahkan tak bisa tidur, setiap saya tanya ia tak mau menjelaskan. Hanya minta tolong untuk tidak berita tahu Pae dan Bue-nya. Ada apa toh mas sebenarnya?”
Aku diam. Segitu sakitnya kah berpisah dengan Aryan, hingga ia tak mau membuka diri pada siapapun.
“Saya pun cemas, khawatir Wulan sakit … semalaman sampai sekarang, Wulan tak mau makan.”
Aku sakit lagi, ya Alloh.
“Sebenarnya ada apa?” tanyanya lagi. Aku pun tak tahu harus menjelaskan dari mana. Tapi aku berharap setidaknya aku bisa menyembuhkan lukanya, tapi nyatanya aku pun enggan ditemuinya.
“Wulan … sepertinya mau berpisah dengan suaminya, Pakle.”
“Innalilahi … bukankah baru kemarin menikah? Kenapa toh le? Yo wis, kalo begitu Wulan di sini saja dulu. Sampai Wulan pulih kembali.”
Aku tetap tak diizinkan masuk, sepertinya Wulan benar-benar ingin menutup diri dari keluarga kami. Dan itu karena Aryan.
“Saya besok datang lagi Pakle,” kataku seraya mencium punggung tangannya.
Wulan, tetaplah gadis terhormat yang pernah kukenal. Bahkan untuk berbicara denganku saja dia enggan. Meski luka telah ia terima, jiwa dan raganya mungkin hanya bisa terbuka untuk suaminya. Aryan. Aku tinggalkan Gendongrejo kemudian kembali pulang, dan kini rumah terasa hampa tanpa kehadiran Wulan. Tiada wewangian masakan atau suara rebusan air dari arah dapur. Tiada juga suara-suara alunan bacaan Mushaf dari arah pekarangan. Ibu, yang sejak tadi menjaga Bapak tampak kewalahan dan menahan duka. Dan aku diam, bimbang.
“Slan ...” sapa Ibu, aku duduk di kursi meja makan dapur dan merasakan kehilangan yang teramat besar akan Wulan.
“Aslan!” ucapnya lagi.
Aku menghela kemudian bangkit tak menghiraukannya.
“Slan! Jemput kakakmu Nak, ia ada di Tawangmangu, Kiai Hadi bilang kakakmu nolak istirahat, dari semalam berdiri di luar, menolak makan, Ibu khawatir kakakmu sakit, Slan …”” Aku menghela, dan kemudian mengingat kembali berulang kali aku meninjunya dengan keras di wajah juga kepala, juga keadaannya yang mungkin lemah dan tak lelap semalaman. Oh Tuhan, aku harus apa? Kenapa cinta Aryan menjadi rumit seperti ini? Bukankah sebaiknya dia lupakan saja Wulan dan kembali ke Agni? Kenapa ia harus menyusahkan seperti ini dan menuju Tawangmangu?
“Aslan!” Aku diam mencoba tak peduli dan masuk ke kamar. Tetap berjuang untuk hati atau kembali mengalah. Entah.
=====
[Pov. AGNI]
Aku mencintainya, menembus persimpangan yang teramat sulit bagiku. Berharap bersama berjuang mengarungi badai, tapi nyatanya aku berjuang sendiri.
***
Kotak susu itu tergeletak rapi beserta sebuah pesan memo di atasnya. Aryan. Aku tahu dia yang meletakkannya. Lelaki yang diam-diam peduli, mengamati dan memerhatikanku. Lelaki asal jawa yang dipanggil teman-temannya dengan sapaan Mas, dan aku pun mengikutinya. Dia juga yang sering membangunkanku di setiap pagi dan memberikan semangat di kala susah. Aryan Estu Ganendra itu namanya. Lelaki yang bahkan tak pernah menyatakan cinta apalagi mendekat, lelaki yang selalu menjaga diri dan kokoh dengan agamanya. Dirinya yang mencintai Tuhannya melebihi apapun. Dan dia yang diam-diam telah mencuri hatiku.
Aryan, tak pernah menyatakan bahwa dirinya cinta padaku. Dia bahkan tak pernah menyentuh sehelai rambutku. Dua tangan akan ia satukan saat kuingin berjabat tangan atau sekedar akrab dengan merangkulnya. Ia selalu menolak, meski dari sepasang netranya aku tahu ada hasrat untukku. Saat di kampus aku aktif dalam organisasi perlindungan manusia, khususnya perlindungan wanita. Mendengar beragam kisah dari mulai human traficking kemudian pencabulan dan banyak kisah lagi. Hingga membuatku tumbuh menjadi pribadi yang memiliki jiwa sosial dan ini yang membuatku akhirnya memiliki kedekatan dengannya, kami memiliki satu visi, membantu tanpa mengurangi.
Aku suka Aryan, lelaki beragama Islam yang selalu menyempatkan waktunya membagikan susu kepada setiap mahasiwa asal Indonesia di tempat kami yang tadinya kupikir hanya untukku. Bahkan kata temanku, pesan sms setiap pagi untuk membangunkanku juga tak hanya dikirim untukku saja, tapi dia broadcast ke seluruh mahasiswa. Aku menyeringai, mungkin aku saja yang terlalu geer akan sikapnya. Tapi, caranya menatapku juga berbicara denganku. Aku yakin, dia menyukaiku.
Pagi itu, ku melihatnya duduk di kursi taman seraya membaca kitab Alquran, perlahan tanpa sepengetahuannya aku duduk di sampingnya. Kemudian ia selesaikan membaca dan berdoa lalu mengusap wajahnya. Aku kagum.
“Apa orang seperti kalian tak pernah lelah?” tanyaku.
“Lelah untuk apa?”
“Beribadah.”
“Hidup di dunia untuk beribadah, jika lelah kita bisa ketinggalan jauh. Karena waktu terus berjalan, waktu terus berputar, sedetik saja terlewat untuk hal yang tak penting, manusia akan merugi.”
“Wow!” Ia tersenyum, manis. Aryan tak pernah berani menatap mataku, padahal aku terus mencoba menatapnya. Dari kesekian banyak lelaki yang datang padaku hanya dia yang benar-benar sopan dan menjaga kewibawaanku sebagai seorang perempuan. Meski kadang aku yang mulai pun, ia tetap menolak atau menghindar.
“Apa kamu tak sibuk mencari pacar?” tanyaku memberanikan diri.
“Pacar?” jawabnya menyeringai. Senyum di wajahnya mendadak membuatku tersipu malu.
“Ya … pacar, bukankah itu hal yang paling menyenangkan di sini. Karena kita jauh dari keluarga, jauh dari manapun. Jadi pasti pasti kehadiran pacar sangat membantu,” ujarku dan dia justru tersenyum, semakin mengembang tapi terus menatap ke depan. Ia padangi langit kemudian diam sejenak.
“Ada seseorang yang jauh di sana. Yang selalu berdoa meminta hati ini. Aku tahu itu, suatu saat aku pasti berjumpa dengannya. Seseorang yang ketika ku berdoa ia ikut berdoa, ketika ku salat dia salat, hingga mejadi sebuah ritme yang indah dan suatu saat pasti aku dipertemukan dengannya.”
Aku diam, dan perlahan ada yang menusuk. Kenapa mendengar jawabannya aku menjadi cemburu seakan ia sudah memiliki kekasih.
“Maksudmu … kamu sudah punya kekasih?” tanyaku berharap tidak.
“Tidak, aku tak punya. Kekasih itu hanya ada ketika kita sudah menikah, dan sebelum itu aku bebas,” ucapnya dan kali ini dia berani menatapku. Tak lama kami berjalan bersama, kembali ke arah pulang. Aku sudah mengenalnya cukup lama, dan baru kali ini aku merasakan deru yang hebat di hati. Sangat hebat dan tak pernah kurasakan sebelumnya. Diam-diam aku mencintainya, tapi entah dirinya. Aryan tak kunjung menyatakan perasaannya padaku. Hingga suatu hari, aku memberanikan diri. Pertama dalam hidupku, meminta cinta dari lelaki. Dan itu untuknya. Pertama menumbangkan pohon besar di jiwa, sebuah harga diri yang bisa saja kandas dan sulit dibangkitkan.
“Mas Aryan … tak bosankah, kamu bersahabat denganku? Sementara aku tahu, dirimu selalu memerhatikanku dari jauh, kutahu juga dirimulah yang selalu menulis pesan di loker kerjaku, dirimu jugalah yang selalu membuat mataku terbuka di pagi hari dengan serentetan pesan yang kaukirimkan di ponsel, juga susu segar yang selalu kauletakkan di depan pintu, dengan pesan tertempel di pintu, bertuliskan jangan terlambat. Tak tahukah, apa yang kaulakukan itu membuatku bertanya? Apa yang sedang kaulakukan? Kenapa kau begitu peduli pada wanita yang selama ini hanya menganggapmu sahabat? Atau aku hanya dianggapmu adik? Hingga kemudian aku memutuskan untuk lebih dulu bicara, lebih dulu membuka rasa, karena nyatanya apa yang kaulakukan telah membuat hatiku terbang seperti bunga dandelion yang kini bertebaran seperti serangga. Rasa ini mulai memaksaku untuk bertanya? Apa yang kaurasa terhadapku? Apa mungkin kita bisa bersama? Apa kita hanya terus saling bercerita tanpa mengungkap rasa? Atau kita akan menjadi sebuah kisah di jurnal Tuhan?” kataku dengan genangan yang menumpuk di mata. Aku tahu ini gila, tak mungkin. Aryan adalah muslim yang taat begitupun aku yang mencintai agamaku. Tapi aku bisa apa, rasa ini mengangguku siang malam, tak pernah dalam hidup aku ditolak dan berharap hari ini aku diterimanya.
Mas Aryan diam, dan kutahu ini tak mungkin. Tapi kami memiliki banyak sahabat yang akhirnya menikah meski berbeda, mereka bisa hidup bahkan memiliki keturunan. Sebelum aku menyatakan rasa semua sudah kutanyakan ke mereka. Dan mereka bilang mereka bahagia. Anak-anak mereka pun diberikan kebebasan untuk memeluk keyakinan manapun. Dan aku anggap itu sah-sah saja.
“Agni … apa yang kamu inginkan?”tanyanya membuat batinku cemas.
“Aku ingin kita bersama, selamanya,” balasku yakin karena aku adalah Agni Anastasia wanita yang sering didekati lelaki dan dibanggakan oleh mereka. Naif rasanya, jika Aryan tak menyimpan rasa apa lagi kedekatan kami yang terbilang sangat akrab empat tahun ini.
“Agni kita berbeda,” katanya dan aku menarik napas. Aku tahu ini jawabannya, tapi mengapa aku masih ingin mencoba. Apa rasaku sebesar ini untuknya? Ya Tuhan, baru kusadari bahwa Aryan adalah cinta pertamaku, meski bukan lelaki pertama yang singgah di hidupku.
“Bukankah Islam itu agama yang damai, mengapa justru perbedaan menjadi masalah?”
“Agni … kita tak mungkin bersama, jika kita tidak di dalam satu kendaraan. Jika kau ingin bersamaku, setidaknya kau harus masuk ke dalam kendaraanku.”
“Apa mas mencintaiku?” tanyaku membuat matanya terbelalak, ia melengos tak berani menatap mataku.
“Agni ….”
“Mas jawab saja, dari kesekian perhatian mas pada Agni, apa sama sekali mas tidak menyukai Agni? Lalu atas niat apa mas melakukan itu semua?” kataku. Ya … karena ku memang benar-benar kagum akannya, meski kutahu ia melakukan itu ke semua temannya, dan hanya aku saja yang terperangkap akan perhatiannya.
“Mas … suka, juga kagum. Tapi anggaplah rasa ini tak pernah ada, atau anggap saja mas ini hanya buku agenda yang senantiasa mengingatkan kamu di saat kamu lupa, jam weker di saat kamu kesiangan, dan sarapan pertama di saat kamu membuka mata,” balasnya. Aku tersenyum. Ada harapan untukku. Mas Aryan menyukaiku tapi kalimat terakhir sungguh mengguncang jiwaku. Bagaimana bisa ia katakan cinta tapi tak bisa bersama, ia katakan sayang tapi tak bisa memiliki.
“Mas! PENGECUT!” kataku kemudian berlalu setelah percakapan kami berakhir pada kata tidak bisa bersama. Ia berusaha menahan dan menjelaskan secara gamblang apa arti perbedaan kami, namun tetap saja, dia menolakku secara halus. Kami memiliki banyak sahabat dan dia tau betul itu, mereka berbeda keyakinan tapi bisa saling beriringan, kenapa dengan dia? Dia berbeda atau dia memang tak inginku. Aku pergi meninggalkannya, mencoba mengubur rasa dalam-dalam tapi nyatanya aku roboh. Karena Aryan adalah lelaki pertama yang menerobos masuk ke sukma, menjadikan ragaku seakan robot yang senantiasa mengikuti ke manapun langkahnya. Dan kini, semua pupus. Aryan pun menjauh dariku.
Tiada lagi, kotak susu di depan kamarku atau bahkan sebuah pesan singkat di pagi hari. Senyum di wajahnya pun memudar, berulang kali kami berpapasan kami menghindar. Aku sakit, semakin terpuruk, dia telah meletakkan benih cinta setelah tumbuh ia tinggalkan, apa namanya jika bukan sadis. Entah. Aku Agni Anastasia, saat itu berubah menjadi diirku yang liar, karenanya. Menerima tawaran lelaki manapun untuk makan malam, ke club semalaman, mabuk dan entahlah, susah payah aku berusaha tapi nyatanya Aryan berbeda.
Hingga malam itu, aku mematung dan memerhatikan sinar lampu dari arah apartmentnya di lantai tiga, aku tahu itu kamarnya. Masih menyala dan sungguh dini untuk meredup. Seorang lelaki yang dulu pernah terobsesi padaku, bernama Steven. Dia mengajakku, dulu sekali Aryan pernah membantuku terhindar darinya ketika ia berusaha melecehkanku. Dan malam ini, aku ingin ia sekali lagi, datang menolongku. Kutatap kamarnya dari lantai bawah lamat-lamat, berharap ia menyambut tatapanku. Gaun malam hitam selutut dengan lengan terbuka menjadi pilihanku, aku berdiri cukup lama sebelum akhirnya Steven datang dengan mobilnya menjemputku.
Kami berpesta, tapi aku diam. Hatiku masih sakit, Aryan sama sekali tak peduli bahkan mencoba memberikan signal rasa. Dia keji, lelaki itu jahat. Apa aku sama sekali tak ada di hatinya, hingga kemudian ku tersadar bahwa aku sudah berada terlalu jauh. Lampu disko berwarna-warni menyilaukan pandangan, pandanganku kabur dan merasa menjadi bodoh sendiri. Aku teringat dengan perkataan Aryan ketika kami di taman.
“Ada seseorang yang jauh di sana. Yang selalu berdoa meminta hati ini. Aku tahu itu, suatu saat aku pasti berjumpa dengannya. Seseorang yang ketika ku berdoa ia ikut berdoa, ketika ku salat dia salat, hingga mejadi sebuah ritme yang indah dan suatu saat pasti aku dipertemukan dengannya.”
Lagi-lagi aku cemburu, kenapa seseorang di perkataannya terasa nyata bagiku meski ia berkata tak punya kekasih. Aku malu, seharusnya aku bisa lebih baik lagi hingga ia mau melirikku. Tapi ini aku, Agni Anastasia tak pernah ditolak dan selalu menjadi yang pertama hingga tak sadar aku memiliki obsesi berlebihan padanya, ambisiku mengalahkan segalanya aku posesif akannya.
“Agnii ….” sapa Steven disampingku, ia belai wajahku kemudian menarik wajahku untuk ia cium. Aku empaskan tubuhnya. Bodoh! Aku ingin menarik perhatian Aryan tapi justru salah dalam mengambil keputusan. Malam itu kuputuskan pergi, dan sebelum aku melangkah keluar tangan Steven menarik tubuhku, membawa ke sudut ruang. Hancur. Malam ini akan menjadi kelam, dan Aryan akan semakin menjauh. Steven memaksa, dia genggam erat kedua tangan, aku meronta dan pejamkan mata.
“Fool!” Mataku terbelalak, aku terbebas, dua tangan Steven terlepas. Mataku mengerjap, dan kemudian tersenyum juga menangis. Aryan, lelaki itu datang menolongku. Refleks aku berlari memeluknya, hingga ia terdiam, air mataku mengalir.Perlahan ia lepaskan pelukanku, aku tau tak satupun wanita yang berani menyentuhnya. Ia pakaikan jaket di tubuhku, kemudian menarik tanganku keluar club.
Dalam perjalanan, Aryan hanya diam. Di dalam taksi aku terus mengamati wajahnya kamat-lamat, eye liner ku mencair membuat wajahku separuh menjadi gelap, basah dan tak karuan, rambutku berantakan dan Aryan duduk di sampingku seakan menjadi pelindungku. Malam itu, ketika ia mengantarku sampai pintu rumah tempatku tinggal, kuyakinkan dan kupastikan akan selalu bersamanya, tak ingin aku kehilangannya. Aku menangis ketika ia pergi dan hanya meninggalkan jejak punggung di ingatan. Tak ingin sesal, aku berlari mengejarnya kuempaskan tubuhku di punggungnya.
“Aku mohon, menikahlah denganku Aryan. Aku akan masuk agamamu, akan kupenuhi semua inginmu.” Dia diam, kurasakan ada napas yang tersengal lewat punggungnya. Kemudian perlahan ia lepaskan tubuhku dan menatap wajahku lamat-lamat.
“Agni, Islam begitu indah, lebih indah dari aku. Aku tak bisa kau jadikan alasan untukmu agar bisa menikah. Apa kau yakin dengan semua ucapanmu?” tanyanya, dan entahlah tiada keyakinan di sorot matanya.
“Aku yakin, apapun itu, aku bersedia.”
Aku berbunga. Karena malam itu, ia mengangguk menerima permintaanku. Entah, kepalaku hanya diisi bayangan tentangnya. Hingga suatu hari ia mengajakku pergi pulang ke Indonesia. Dan aku setuju. Katanya dia akan menikahiku jika restu kedua orang tuanya ia dapatkan, ia juga akan menikahiku setelah aku resmi masuk Islam. Aku tak tahu banyak soal Islam. Yang kutahu orang Islam sembahyang, berhijab itu saja. Tapi banyak pula orang Islam yang tak berhijab, jadi kupikir aku bisa menjalaninya, asal bersamanya itu sudah cukup.
***
“Maafkan aku Agni, aku tak bisa menikahimu. Orang tuaku tak memberi restu, tapi sungguh aku akan membantumu belajar Islam lebih jauh,” katanya membuat batinku terluka, sangat luka dan perih. Sejak dia memutuskan membawaku ke Surakarta, kami seperti tak memiliki hubungan ikatan apapun. Ya, bahkan ia menyentuhku saja tak pernah. Mataku berkaca, bagaimana mungkin aku masuk Islam sedang dia tak kudapatkan.
“Kalau begitu pergilah! Aku tak butuh kamu! Aku akan mencari orang lain yang bisa membawaku pada Islam!” kataku ketus dan dia terdiam, sama perihnya mungkin denganku.
“Besok di Masjid Al-Agni, jika kau datang mengucapkan kalimat syahadat dan sungguh-sungguh akan belajar Islam. Aku akan menikahimu,” katanya membuat tubuhku lemas, aku tersenyum, Aryan menepati janjinya.
Kami akan menikah! Aku senang, bahagia. Aryan akan menikahiku tepat setelah aku melafazkan kalimat Syahadat. Air mataku berlinang, kemudian kembali terluka ketika selembar surat ia sodorkan. Sebuah surat yang sejujurnya tak lebih untuk melindungiku, hanya itu tapi anganku terlalu jauh memikirkan yang tidak-tidak, kenapa aku begitu takut untuk kehilangannya dan ada keegoisan di dalamnya. Perjanjian pra nikah, ia tidak akan melakukan hubungan suami istri sebelum status kami si sahkan negara juga orang tua kami dan jika memang terjadi hubungan suami istri dan aku mengandung, maka anak dijaninku tak ada keraguan sedikitpun adalah berkeyakinan Islam.
“Aryan? Apa ini tak terlalu berlebihan?” tanyaku.
“Aku tak ingin kamu terluka … jika kamu mengandung, dan semua belum tercatat, ini akan menjadi
pukulan bagi dirimu juga keluargaku. Anak kita akan dianggap haram bagi mereka yang tak paham. Aku tak mau itu, karena pernikahan, kita tidak tercatat, dan Agni jikapun kita tak sengaja melakukan hubungan itu dan kamu mengandung, anakku memiliki darah Islam seperti Bapaknya. Maafkan aku, tapi aku hanya tak ingin seperti sahabat kita yang memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk menentukan keyakinannya,” katanya. Dan aku setuju meski kutahu ia ragu padaku.Tapi, aku tahu Aryan, semua yang ia lakukan adalah demi kebaikan orang lain, ia selalu melindungiku aku tahu itu.
Hingga akhirnya kami resmi menikah, aku menangis ketika ia mengecup ubun-ubunku dan kami saling bergenggaman tangan erat. Hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya, aku bisa merangkulnya dan bersandar cukup lama di pundaknya. Aryan, kebahagiaanku. Dirimu yang begitu kokoh untuk tidak menodaiku seujung kukupun justru yang membuatku mencintaimu. Dan kini, kau milikku.
Selama itu Aryan terus berusaha mendekati orang tuanya, dan setelahnya ia terus membimbingku akan Islam. Mengajariku banyak hal, bagaimana cara salat yang benar, membaca Quran dan banyak hal. Hidup kami bahagia. Islam mengajarkanku arti kesopanan juga perlindungan dan semua itu kubisa lihat dari dirinya. Dia begitu melindungiku hingga apapun ia lakukan untukku. Setiap makan siang ia ke tempat orang tuanya, meyakini dengan keberadaanku dan setelahnya ia kembali membimbingku. Aku pun geram, mengapa Aryan tak membawaku saja langsung ke orang tuanya. Tapi Ia, dengan hati yang dingin memberikan ku kesejukkan dengan perkataannya.
Hari itu kami bertengkar. Dua minggu sejak kami menikah, namun orang tuanya tetap keras kepala tak memberikan kami restu. Aryan terduduk diam di sofa,menunduk dan memandang ke bawah, matanya berkaca-kaca, takut akan penyakit jantung Ayahnya. Itu alasannya.
“Lalu apa kamu tak memikirkan nasibku Mas?” tanyaku geram. Wajahku memerah, ia menatapku seperti ingin melepasku. Berulang kali ia menyampaikan hormat dan rasa sayangnya pada orang tua melebihi cintanya padaku. Aku terluka. Dia diam tak memberikan jawaban apapun.
“Mas!”
“Agni, dua tahun lalu Bapak sempat meregang nyawa karena jantungnya. Aku mohon! Setidaknya beri aku waktu, beri aku waktu untuk bisa menunjukkan bahwa kamu adalah gadis baik, yang bisa menjadi menantunya.”
“Lalu apa yang kamu lakukan? Terus hubungan ini kau biarkan menggantung? Begitu?!” tanyaku keras, ia tetap diam. Kemudian bangkit, dan merengkuh tanganku.
“Apa kau pernah berdoa? Meminta hubungan kita tetap terjaga?” tanyanya dengan sorot mata yang tajam. “Katakan?” Aku diam. Belakangan aku pun lelah dengan peribadatan yang terlalu menumpuk. Aryan tak hanya mengajakku salat lima waktu seperti kebiasaan muslim lain, ia membangunkanku di sepertiga malam, kemudian menjelang siang sebelum matahari terbit ia mengajarkanku salat lagi. Tujuh kali setidaknya ia melaksanakan salat, belum lagi hafalan dan banyak hal yang membuat batinnku lelah. Berulang kali ia mengajarkan esensi Islam dan aku terenyuh, tapi aku tak bisa dipaksakan. Ia memaksa agar aku bisa terlihat sempurna di hadapan orang tuanya. Lalu aku harus apa? Bukankah semua itu membutuhkan proses?
“Aku berdoa … selalu,” jawabku lemah.
“Agni, kamu tahu … bahwa jodoh, kematian ada di tangan-Nya?” tanyanya seraya menatapku, aku berlinang.
“Sejauh apapun kita berusaha, tanpa Dia kita akan kalah. Teruslah mendekat pada-Nya. Dan doaku saja takkan cukup untuk membawa kita,” katanya ragu padaku. Aku diam.
“Maksudmu, aku tak pernah berdoa?” kataku bergetar.
“Aku tak berkata seperti itu, sayang mengertilah.”
Aryan memang selalu meragukanku, di matanya aku masih belum mencintai Islam. Dan kebenarannya pun memang kurasakan. Setiap kupejamkan mata, selalu terbayang cahaya Tuhan yang selama ini mengarahkanku hingga tumbuh besar, ketika ku melangkah selalu Dia, Roh kudus yang selalu kuingat. Lalu bagaimana? Aku pun menjadi gamang. Karena cinta aku melepas yang jelas-jelas sudah menjadi imanku. Aku pun berdoa, tapi masih menggunakan keyakinanku. Dia tak tahu, tapi aku berdoa. Aneh memang, setelah salat aku berdoa sesuai ajaranku dulu, tapi itu hal yang wajar bukan? Karena aku pun masuk Islam karenanya, dan seharusnya dia lebih berusaha lagi untuk mengajarkanku.
“Aku berdoa … setiap malam aku mendoakan kita! Tapi jika kamu tak usaha lebih keras, untuk apa?”
Dia diam tak menjawab pertanyaanku, kemudian keluar dan kembali pulang. Aku tahu dia pasti akan berusaha, hingga tak lama kudengar Ayahnya masuk UGD dan aku merasa bersalah. Aryan semakin menjauh dariku, semakin menyesali perbuatannya. Sepertinya ia berusaha mengenalkanku dan benar katanya, Ayahnya terlalu rapuh. Hingga kemudian hariku menjadi sepi, menjadi semakin sunyi, Aryan sibuk dengan Ayahnya di rumah sakit. Hingga tak lama ia datang, dan membawa kabar yang teramat menyakitkan. Sebuah kabar yang menghujam seluruh raga dan jiwa. Kami bertengkar lagi.
“Menikah lagi?!” tanyaku geram akan segala keraguan di matanya. Ia ingin menikah lagi? Lalu apakah dengan seseorang yang pernah ia ceritakan dulu? Apa dengan dia yang katanya ketika dia salat gadis itu akan salat, hingga kemudian doa mereka menyatu membentuk sebuah ritme? Mengapa perlahan aku semakin menjauh darinya, aku menjadi hampa dan meskipun Aryan bertukuk lutut dan mengatakan ini hanyalah sementara, kenapa hatiku tak yakin?
“Dengarkan aku dulu ….”
“Nggak mas … nggak, inilah alasan aku ragu dengan kalian!”
“Apa maksudmu?!”
“Yaaa … kalian! Hanya kalian kan yang bisa memiliki wanita lebih dari satu?!” Mendadak begitu saja terucap, hingga keraguanku pun semakin bertambah. Tuhan aku mencintainya, lelaki di hadapanku, mengapa begitu sulit untuk memilikinya?
“Cukup Agni, kamu jangan bawa-bawa agama!”
“Mas … aku ini istrimu, aku yang harusnya kamu kenalkan dan kamu bawa ke orang tuamu! Aku rela masuk Islam demi kamu, ini balasan kamu?!”
“Agni mengertilah, mendengar namamu saja Bapak jatuh pingsan, jantungnya tak kuat. Sayang, aku tahu ini berat, tapi percayalah … aku berjanji aku hanya sekedar menuruti keinginannya.”
“Nggak!” kataku seraya membanting pintu kamar.
Aryan pergi, meninggalkanku. Hingga kemudian ia datang lagi di malam pernikahannya, meyakinkanku, membuat hatiku luluh, kami menangis bersama, dia berjanji ini hanya sementara. Namun, hatiku takut.
Dan hari itu, aku seperti orang yang putus asa, tiada cahaya di dalamnya. Ingin rasanya berlari menjemput kekasih dan berteriak dia adalah milikku. Dan Aryan tetap menikahinya. Pisau di genggaman sudah siap menyayat nadiku, air mataku basah, napasku tersengal, tak sanggup mendengar kabar pernikahannya. Kutarik napas dalam-dalam kemudian keluar rumah, mencari ketenangan dan nyatanya hatiku tak mampu tenang. Hingga gereja di sudut tugu Kartasura menjadi pusat perhatianku. Aku diam cukup lama di dalam mobil, menngamati hingga akhrinya aku melangkah masuk ke dalam. Sebuah tempat yang kupilih menenangkan diri. Sebuah gereja dengan bangunan yang kokoh, dengan lantai yang terbuat kayu, kursi jati berjejer di dua sisinya, dan di hadapanku adalah sesuatu yang bisa membuat batinku tenang dan damai.
Aku terdiam cukup lama, menangis, hingga kemudian aku rapuh lagi dan kembali pulang, niatku pun surut untuk mengakhiri hidup, tapi kemudian muncul lagi saat puluhan foto terpajang di media sosial, foto pernikahan mereka dan para sahabat sementara aku terbuang. Aku menangis lagi, hingga malam itu kukirim pesan padanya dan ia tak menjawab, lalu aku putuskan lagi untuk pergi saja dari hidup Aryan, selamanya. Di sudut balkon kamar kami, aku ingin melompat dan mengakhiri hidup yang tiada harapan. Hanya bisa menjadi sebuah memory yang menyakitkan.
Sakit hati ini, dia tinggalkan aku. Cintaku padanya begitu besar, namun ia tak bisa merasakan. Aku benci orang tuanya, aku benci semuanya, aku mendendam pada semua yang menghalangi kami. Aryan menghubungiku, menenangkan juga hingga kami bersama terisak. Tapi tetap saja kekecewaanku sangat besar, tak berarah. Aku hanya tak ingin kehilangan dirinya, dan dia berjanji akan terus bersamaku. Hingga tak lama seorang wanita bernama Salima datang, memaksa untuk masuk. Dia wanita yang dibayar Aryan, untuk menenangkanku. Aku kecewa. Aku mencintainya, menembus persimpangan yang teramat sulit bagiku. Berharap bersama berjuang mengarungi badai, tapi nyatanya aku berjuang sendiri.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel