Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 08 Februari 2020

Aku Bukan Madumu #6

Cerita bersambung

[Pov ARYAN]

Agni, cintanya turun dari mata kemudian menuju hati.Sedang, Wulan, cintanya turun dari langit dan langsung menembus hati.

Kupejamkan mata, merasakan bagaimana deburan uji yang kini masuk ke dalam setiap hidupku. Aliran hidupku yang berliku membuatku semakin tak mengerti akan apa yang terjadi dalam hidup. Rasa yang tumbuh akan Agni begitu natural, namun seperti ada ratusan peluru dari langit yang menghalangi kami untuk bersama. Ratusan peluru yang ditembuskan melalui alunan doa yang begitu merdu dari mulut mungilnya Wulan.

Hingga kemudian jalan bersamanya menjadi mudah, jalan hatiku pun semakin mengalir dan hanya untuknya. Doa seperti apa yang kau hajatkan, keinginan apa yang kaupinta pada Alloh. Mengapa kini ku bertekuk lutut hanya padamu, adikku yang tak pernah ada di hati, dan kini semua memenuhi ruang hati. Agni, cintanya turun dari mata kemudian menuju hati.Sedang, Wulan, cintanya turun dari langit dan langsung menembus hati.
***

[Mas Aryan ada yang ingin saya bicarakan] Pesan Salima masuk ketika aku sedang bercengkrama bersama Wulan di dapur.

“Mas Aslan yang bantuin aku semalaman Mas,” kata Wulan seraya mengambilkan sarapan. Aku cemburu. Hingga tak lama Aslan datang kemudian perlahan duduk di hadapan. Aku pun tahu adik lelakiku menyimpan rasa pada istriku. Tapi bagaimana? Aku tetap tak bisa mengingkari janjiku pada Agni, meski hatiku kini terbang ke arahnya. Wulan masih ketus aku tau, dan ku pun berusaha menjaga jarak darinya, walau aku seperti orang bodoh yang menyia-nyiakan cintanya.

Wulanku, begitu sabar, ucapan dan wajahnya selalu memberikan keteduhan. Cukup membuat hati dan batinkku tenang. Tapi aku bisa apa? Aku akan dicap apa jika harus meninggalkan Agni, aku harus pilih salah satu di antara mereka. Wulan, memiliki Aslan yang mencintainya, memiliki orang tuaku, juga keluarga yang selalu memberikan nilai-nilai positif padanya. Tapi Agni? Dia milik siapa? Selain aku? Lalu aku pun meringis ketika Wulan melayaniku dengan segelas teh tubruk hangat yang ia letakkan di atas meja. Senyum manis Wulan, perlahan membawa rasa menjadi terombang-ambing. Jutaan malaikat kini seperti mengamini doanya, hatiku benar telah berpindah. Untuknya. Lalu siapa yang akan berdiri bersamaku? Disaat aku harus mengorbankan rasa demi janji yang kubuat bersama Agni.

“Lan, Mas juga mau donk diambilkan sarapan,” kata Aslan tidak sopan. Ada aku tapi dia menyuruh istriku.
“Ndak usah Dek,” jawabku ketus. Kemudian Wulan linglung dengan langkahnya, piring berisikan makanan di tangan tapi matanya menatap takut padaku.
“Kamu sudah besar, kan, ambil sendiri,” lanjutku ketus pada Aslan yang menatapku dingin. Entah apa yang membuat Aslan terlihat terobsesi sekali pada Wulan, apa ia sedang mengujiku atau ia tahu masalahku? Aku masih suaminya dan seharusnya dia menghormatiku.

“Biasa saja, Mas. Ini hanya makanan,” jawabnya menyeringai ia bangkit mendekati wajahku kemudian berbisik, “tapi suatu saat … bukan makanannya, tapi ….”
“Kurang ajar kamu!”
“Mas!” teriak Wulan seraya menarik tubuhku yang hendak melayangkan pukulan ke wajahnya. Wulan memeluk tubuhku, refleks mengusap dadaku yang kembang kempis karena emosi,
“maafkan Wulan Mas, maaf … harusnya Wulan bertanya, maaf,” katanya berkaca-kaca. Kemudian aku melihatnya, aku pun sebentar lagi bukan suaminya.
Mataku berkaca-kaca, napasku tersengal, aku usap wajahnya dengan lembut kemudian pergi meninggalkan mereka. Aku bisa apa? Melihat sikap Aslan hatiku sakit, anak itu sejak dulu tak pernah berubah selalu bersikap tak sopan dan jauh dari nilai agama. Ia seharusnya paham bahwa Wulan istriku, dan dia seharusnya tau bagaimana memuliakannya.

Aku tinggalkan rumah menuju kediaman Salima. Seorang mubalighot yang kuberikan ukhro untuk mengajarkan Agni selama aku tak berada di sisinya. Kuempaskan beban Aslan sejenak mencoba melupakannya dan membiarkan kembali beban Agni menyambangi pikiranku. Anganku terbang pada kesantunan Wulan juga kesalihannya, gadis itu dengan baik mengerjakan semua tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Mulai dari pekerjaan rumah sampai pakaianku ia semua yang memegang. Sesekali kulihat ia keletihan dan memintanya untuk berhenti, ia justru menjawab dengan polos,

“Wulan kerjakan ini karena Gusti Alloh kok, bukan karena Mas. Kalo mas nggak mau jadi suami Wulan. Nggak usah halangi pahala Wulan,” katanya ketus. Aku tersudut. Dan semakin benar merasa bersalah karena harus berpisah darinya.

Wulan, hatimu itu terbuat dari apa? Sepanjang perjalanan hanya ada Wulan dan Wulan di benakku dan nama Agni seketika tenggelam. Nama Agni ada, tetap ada dan aku akan memenuhi janjiku padanya. Jalan begitu sepi, menuju rumah Salima yang jaraknya tak jauh dari Apartament kami. Mobil melaju cepat, kubuka sedikit kaca jendela mobil membiarkan angin menerbangkan rambut yang semakin panjang karena tak terurus, berharap masalahku pun terbawa karenanya.

“Allahumma alhimni rusydi wa idni min syarri nafsi …,” doaku berulang-ulang memohon ilham yang benar. Ilham yang datangnya dari Alloh bukan dariku yang bisa saja salah. Ilham yang lebih pasti bukan dariku yang bisa saja lalai. Aku lalai, karena kulupa beristikharah ketika meminang Agni, aku haus dengan semangatnya untuk Islam, aku pikir menunaikan kewajiban seorang muslim untuk mengenalkan Islam lebih tepat, karena Agni akan masuk islam jika aku menikahinya. Aku haus akan pahala yang teramat besar jumlahnya hingga lupa bahwa hidayah hanya milik-Nya.

“Mas Aryan, Nyuwun ngapunten Mas. Ada hal yang mesti saya bicarakan. Sudah lama sebenarnya,” ucap Salima setibaku di rumahnya yang begitu sederhana.
“Ada apa Mba?”
“Mas … Maaf, saya tak bermaksud memberikan kabar tak baik. Tapi selama Mba Agni menimba ilmu, ia tak pernah nyaman. Sering mengajak berdebat, dan keliru memaknai. Saya berulang kali menjelaskan tapi sepertinya ada hal yang membuatnya tak yakin.”
“Dia masih baru mba, wajar jika dia seperti itu.”
“Mas …. sudah satu bulan ini, Mba Agni tak datang mengaji. Bahkan saya tak diminta datang kerumahnya …,” jelasnya.
“Apa? Tapi dia selalu bilang pada saya, dia mengaji dengan Mba Salima. Setiap hari minggu katanya.”
Salima diam, menarik napas.
“Mas Aryan, sekarang hari minggu, saya sarankan untuk datang ke Tugu Kartasura.”
“Kenapa ya mba?”
“Begini Mas Aryan, saya mau memberitahu tapi baiknya sebelum mas yakin dengan ucapan saya, mas lihat dulu ke sana. Ada Mba Agni di sana Mas, saya hanya takut salah menyampaikan informasi. Takut menjadi fitnah.”
“Tugu Kartasura ada apa Mba?”
“Maaf Mas, kebetulan kajian Mas Alif ada di masjid yang letaknya dekat dengan gereja Saint Mariam. Mas Aryan, suami saya diqadar Alloh melihat Mba Agni dua kali di sana, nanti saya akan bicara lebih banyak lagi.” Tubuhku bergetar, air mataku menetes, seharusnya aku tahu jika Agni tak pernah sungguh-sungguh.

Buru-buru aku bangkit dan pergi menuju tempat yang Mba Salima informasikan. Mobilku melaju cepat menuju tempat yang dikatakan, kemudian tiba persis di depan gereja ketika peribadatan sedang berlangsung, napasku tersengal di dalam mobil mengamati ke dalam, tak henti-henti mulutku berlafaz doa. Aku lemah, dan gagal. Hingga ketika istriku terlihat dari kejauhan kemudian masuk ke dalam gereja, aku sesenggukan … Agni! Ia tersenyum riang bercengkrama dengan teman-temannya sementara ketika bersamaku jiwanya terkungkung. Aku harus apa? Kutarik napas panjang.

“Ya Alloh … kau tunjukkan aku yang benar itu benar,  maafkan hambamu yang lalai,” seketika kurasakan doa-doa Wulan yang menyelamatkanku. Aku tak mampu berpikir jernih, bagaimana jika aku memiliki keturunan bersamanya, akan ke mana anakku? Di mana pertanggungjawabanku sementara aku sudah luluh akan pesona Agni. Agni tak salah, tapi aku yang salah beribu kali aku memaksakan hati dan iman di hatinya tetap Alloh yang berkuasa. Kuusap wajahku, kemudian bersyukur. Berulang kali berdizikir dan memohon pengampunan.

Aku menghela napas dan yakin akan pilihanku, kemudian tersenyum membayangkan istriku di rumah. Wulan, dia istriku yang sah di dunia maupun di akhirat, dialah istriku yang akan memberikanku anak-anak yang alim, faqih juga berakhlaqul karimah, dia lah wulan. Tapi aku harus menemui Agni, segera. Aku harus memutuskan apa yang sudah menjadi keputusanku, aku takkan lagi membuat pilihan antara aku atau agamanya, aku akan membiarkannya bebas hingga kita bisa bernapas lega bersama. Aku berharap Agni paham, dan bahagia itu pun akan ia raih. Mobilku melaju menuju Apartement. Memilih menunggu Agni di sana, setelahnya akan kubicarakan baik-baik.

Sepanjang perjalanan berulang kali aku mengingat Wulan, juga  mengucap syukur padanya. Ingin segera memperbaiki hubungan kami yang retak dan sejurus kemudian hati kami seperti menyatu, ponselku berdering dan nomor Ibu yang menghubungiku, tapi bukan Ibu yang bicara. Wulanku.

"Assalamualaikum Bu,” kataku, tak ada suara yang terdengar hanya desahan napas dan kutahu itu milik istriku. Wajahku memerah, aku tersenyum kemudian hilang semua bebanku. Ya Alloh, kau masih menyayangiku, Alhamdulillah, mataku berkaca-kaca dan begitu saja meneteskan air mata. Aku tak lagi memikirkan Agni, tak lagi akan memaksa keyakinannya, toh senyuman Agni dan keceriaannya begitu terpancar bersama keyakinannya dulu.

"Mas,” ucapnya membuat dadaku bergetar.
"Wulan, kenapa dek?"
"Mas, Mas Aslan ngajak aku lari pagi ...."
"Nggak boleh!" kataku ketus, kali ini aku berubah pikiran. Aku takkan memberikan Wulan untuk siapapun termasuk untuk Aslan, aku berjanji akan menjaganya, menyembuhkan lukanya, aku berjanji akan bertekuk lutut memohon ampun padanya, membiarkan jemari lentiknya menjewer telingaku hingga telinga ini berdarah.

"Tapi ...."
"Nggak boleh, Mas pulang. Lari pagi sama Mas aja. Tunggu sejam lagi." Wajahku memerah, kemudian tersenyum lebar. Aku tunda rencanaku bertemu Agni kemudian kupacu kembali mobilku menuju pulang dan bergegas menemui istriku. Istri yang senantiasa taat dan menjaga dirinya selama ini, juga istri yang menyerangku dengan doa-doa, dan aku tahu itu.

Hingga kemudian rencana matang tersusun rapi di kepalaku, semangatku kembali pulih. Aryan akan kembali. Aku rindu suara Wulan, rindu segala-galanya. Mendengar suaranya di telepon barusan rasanya belum cukup. Aku ingin lagi dan lagi, ini melebihi morfin, Wulan … kenapa baru kusadari, adikku yang dulu hitam manis kini berubah menjadi gadis yang menarik. Ah, aku pun tak sabar melahap habis semua makanan yang ia buat dengan tangannya, aku tak sabar memeluknya, tak sabar melakukan hal apapun bersamanya. Buru-buru aku kembali ke rumah, berharap gadisku sedang menyiapkan bekal yang kupinta, berulang kali aku menghubunginya. Dan mendengar suara Wulan aku bahagia. Sangat. Ini lebih bahagia dari rasa cinta yang pernah kurasakan sebelumnya.

“Ayo, kita berangkat!” kataku seraya menggamit jemari istriku. Wulan diam, dan tangan satunya membawa bekal yang sudah ia siapkan. Raut di wajahnya masih datar, kutahu ia masih terluka. Tapi aku sudah yakin dengan pilihanku, karena ketika kita bermunajat, Alloh akan memudahkan jalan kita. Sepanjang perjalanan menuju Telaga Sarangan Wulan hanya terdiam dan tak berani menatapku. Sulit untukku berusaha menjadikan hubungan ini cair, tapi aku akan berusaha.

“Mas, nggak ke tempat Mba Agni?” tanyanya dan cukup membuatku diam. Ya aku pun tak bisa begitu saja melepas Agni, tapi ia perlu tahu bahwa sebuah keputusan harus aku buat. Jika dia tak mampu menjadi seorang muslimah aku harus apa? Jika dia hanya mencintai agamaku karena aku, untuk apa? Aku diam, dan meringis karena tak mampu menularkan semangat imanku padanya. Tapi setidaknya aku berusaha, sudah sangat keras.

“Perasaan Mba Agni pasti hancur sekali ya Mas, Wulan nggak bisa bayangkan,” lirihnya ia melengos, entah terbuat apa hati Wulan. Mengapa ia begitu kuat bertanya sementara ia lemah. Atau memang Wulan tak mencintaiku, atau jangan-jangan ia sudah menyiapkan lelaki penggantiku. Ah entahlah.

Tak lama ia diam, ia kembali menengok ke arah luar, dan tak sengaja kulihat genangan di matanya. Aku terluka. Kuhentikan mobil, kemudian mengusap bulir bening yang perlahan menetes di wajahnya. Ia menatapku lamat-lamat, aku pun sama. Oh Alloh, kenapa begitu rumit caramu mempertemukanku dengan Wulan, kenapa? Apa yang membuat kisah kita menjadi seperti ini? Dia diam kemudian tersenyum, wajahnya merona sangat merah.

Perjalanan kami lanjutkan menuju telaga sarangan dan sengaja aku mengajaknya ke sana. Aku ingin kita berdua saja, memadu kasih sambil menyampaikan rasa isi hati. Ingin kuungkapkan segala rasa di hati, tapi aku enggan menunggu waktu terbaik, karena saat ini Agni masih sah menjadi istriku, meski itu berat. Aku tahu, tapi aku takkan pernah mampu merubah keyakinan Agni. Agni adalah Agni, sosok religius yang begitu mencintai Tuhannya sama sepertiku, kita tak bisa menyatu.

Aku nikmati memandangi wajah Wulan dan dia linglung malu-malu. Wulan, adikku yang dulu begitu peduli denganku, gadis yang tau semua akan diriku kini sudah tambah dewasa dan entah kenapa, aku merasa dia begitu menyayangiku.

“Denger ya Mas, Wulan itu udah nggak ada rasa sama Mas! Mas pikirin aja Mba Agni, Wulan bukan madunya mas!” Aku terhenyak, ada rasa perih ketika ia mengatakan itu. Aku tahu Wulan begitu tulus membantu kami, aku tahu itu. Tapi sejujurnya aku pun tak pernah berniat menyakitinya, takdir yang membawa keadaan menjadi rumit seperti ini.

Sekembali dari Telaga Sarangan kuputuskan untuk menginap di Tawangmangu, hari ini adalah hari untuknya. Apapun akan kulakukan untuk membuat Wulanku bahagia. Aku senang melihat senyumnya mengembang, aku bahagia ketika melihat pipinya merona. Setibanya kami, Wulan buru-buru keluar dan memeluk Bue, kutahu rasa rindu itu pasti begitu besar. Sementara aku masuk ke dalam kamarnya, membawa tas yang ditinggalkan Wulan di mobil.

Tiba di kamar kemudian kurebahkan diri di atas ranjang yang sudah tua. Bunyinya pun terdengar nyaring, kawatnya mungkin sudah tak baik lagi untuk kesehatan. Semua harus diganti, aku bayangkan juga untuk memperbaiki rumah mertuaku ini. Aku senang, entah kenapa aku ingin segera menjadi suami sesungguhnya. Ingin menjadi Ayah dari anak-anaknya. Rasanya tak sabar.

Sejenak aku bangkit, kuregangkan otot kemudian kusadar bahwa tas istriku baru saja tercecer. Ia lupa meresleting saat di mobil, aku tak tahu. Aku pungut satu persatu isi di dalam tasnya, mushaf bersampul biru tosca dengan sentuhan bunga diujungnya, dompet koin berwarna sama, dan buku … ada fotoku ditempel di bagian depan. Aku terenyuh. Tak sabar, kubuka dan kulihat setiap lembaran yang terisi penuh dan semuanya hanya tentangku, aku menangis. Napasku tersengal, Wulan begitu mencintaiku dan selama ini menahan perih karena ulahku.

Ya Alloh, dosa apa yang kubuat. Apa? Doa-doanya lah yang menyadarkanku, doanyalah yang menyelamatkanku. Perlahan kubuka cepat, buku diary yang cukup lama ia miliki sejak lama  dan lama sekali, penasaran aku buka lembaran terakhir.

[My Diary] [Partner Surgaku]

[MasyaAlloh hari ini adalah hari pernikahanku dengan Mas Aryan, aku bahagia ya Alloh. Pipiku pasti merona, dia tak tahu itu. Lima tahun aku menunggunya dan kini aku bisa bersamanya. Alhamdulillah ya Alloh, sujud syukur padamu. Semoga tak mengurangi semangat tahajudku]

[Mas Aryan, ternyata tak seperti dulu. Ia tak tersenyum di hari pernikahan kami, aku terluka dan mencoba tersenyum kepada puluhan tamu yang hadir. Berat]

Air mataku menetes lagi. Maafkan Mas … dek, mas janji akan terus tersenyum. Janji. Aku sesak, tak sanggup menahan tangis. Buru-buru aku foto setiap lembaran di dalamnya. Aku ingin tahu isi hatinya, ingin tahu banyak tentang gadisku yang selalu mendoakanku. Kurapikan kembali isi tasnya, kemudian melihat kerdus yang dulu pernah kutemui. Hingga kemudian ia datang mendobrak pintu, dan benar saja. Wulan menolak aku mengetahui semua barang-barang miliknya. Butuh waktu agar semua keadaan ini pulih kembali, dan aku akan berusaha secepatnya.

Kunikmati hari bersama pendamping surgaku, makan dari hasil buatannya, membaca diarynya yang berisi tulisan tentangku di ponsel, aku bahagia. Pisang goreng dan Singkong rebus yang begitu kusuka dan sengaja ia buatkan untukku, aku harus berani mengungkap rasa. Dan memberikan sinyal padanya bahwa aku akan bersamanya, di sampingnya dan takkan meninggalkannya. Semua akan selesai jika masalahku dengan Agni selesai.

Wulan, maafkan mas yang lalai. Maafkan Mas yang tak pintar menyimpan rasa. Bagaimana kau simpan rasa itu cukup lama dan hanya untuk Mas. Kini namamu sudah tembus ke hati Mas Dek, sudah merusak tatanan di dalamnya. Bukan lagi singgah, tapi melukai hingga tak mungkin mas melupakanmu. Atau barang kali cinta mas padamu, kini lebih besar dari cintamu pada Mas.
***

Malam ini sudah kuputuskan. Aku akan mengakhiri hubunganku dengan Agni, aku harus kuat. Kuhubungi Mas Alif juga beberapa orang lainnya yang sempat menjadi saksi pernikahan kami untuk kembali datang menyaksikan ucapan talakku pada Agni. Aku tiba di Apartment, dan apa yang kutemukan. Agni terlihat anggun dengan gaun merah, gaun yang biasa ia kenakan, tanpa lengan hingga menunjukkan kemolekkan tubuhnya, rambutnya ia gerai ke samping dan bibirnya merona kemerahan.

“Mas,” katanya menyambutku. Senyumnya merekah, aku cukup heran. Mungkin ia ingin menutupi sesuatu dariku. Sebuah meja kini telah terisi dua piring steak beserta dua minuman dingin, sebuah lilin di atasnya.

“Sudah lama kita tidak makan malam,” katanya seraya menggamit jemariku dan aku masih diam. Karena ada hal penting yang ingin kubicarakan dengannya. Hal yang sangat fundamental dan tak bisa lagi untuk aku tolerir. Agni terus tersenyum, tak biasanya. Seperti ada kebahagiaan yang begitu besar dan aku tak tahu apa.

“kamu kenapa?” tanyaku heran.
“Aku senang sekali malam ini … senang!” ucapnya seraya menuangkan minuman dingin ke gelasku.
“Senang?” tanyaku dan kemudian mengingat kembali aktivitas ibadahnya kemarin di gereja.
Dan dia berbohong, menutupi semua kepalsuan padaku. Akan jadi apa hubungan ini, aku marah, kesal, karena nyatanya bukan aku yang harus meninggalkannya tapi dia sendiri. Tapi itu haknya, aku tak pernah memaksanya. Jika ini berat kenapa harus dipaksakan.

“Kamu sudah salat?” tanyaku. Ia tersedak kemudian buru-buru menegak minuman. Ekspresi ini, ekspresi yang sama ketika berulang kali aku menanyakan hal yang sama padanya.

“Sudah,” jawabnya tenang.
“Maghrib?”
“He’eh.”
“Isya?”
“Sudah mas!” jawabnya menekan.
“Isya berapa rakaat?”
“Cukup Mas!” ia membanting sendok, kemudian menatap nanar ke arahku. “ Apa kau tak bosan terus menerus memaksaku? Aku akan belajar dan tak perlu kau paksa!”
“Aku tak pernah memaksamu, bukankah dirimu sendiri yang dulu bersedia mengikuti ajaranku?”
“Aku berusaha! Berusaha mas! Tapi aku bukan tipe yang bisa dipaksa!” jawabnya lagi.
“Lalu?”
“Beri aku waktu ….”
“Dan apa yang kamu lakukan kemarin di gereja?”

Dia diam, matanya terbelalak, gugup, jemarinya gemetar hingga kemudian lemah dan garpu di tangannya terjatuh.

“A-apa?”
“Apa yang kamu lakukan di gereja Agni?” tanyaku tenang dan mencoba dingin tak sepertinya yang sejak tadi berapi-api.
“Aku … aku, hanya rindu.”
“Rindu? Agni … kamu masih kenal dengan Pak Alif? Saksi pernikahan kita? Dia bilang sudah melihatmu dua kali di sana, jawab Agni,”  tanyaku lagi dan dia semakin tak karuan, matanya berkaca-kaca kemudian jemarinya menggeragap jemariku yang kuletakkan di atas meja.

“Ar-aryan, aku ….”
“Agni, tahukah kamu? Alasanku tak bisa menikahimu saat itu?” Dia menangis.
“Karena aku lebih mencintai Tuhanku, Dia,” lanjutku seraya menunjukkan jemari ku ke atas.

Dia menunduk dan napasnya mulai tersengal, aku bangkit kemudian duduk di bawahnya, menggenggam erat jemarinya menatap matanya.

“Agni, kau tetap lah seseorang yang kusayang, tapi sayangku padamu tak sebesar sayangku pada Tuhan, aku bisa mengorbankanmu tapi tidak Tuhanku.”
“Aryan … dengarkan aku, dengarkan aku. Aku mencintaimu,  aku tahu. Aku hanya belum terbiasa … suatu saat aku pasti bisa.”
“Kau tahu, kemarin aku melihat senyummu merekah, tertawa bahagia bersama rekan-rekanmu. Aku bahagia, karena dirimu telah menemukan kenyamanan di sana. Aku tak mampu memaksa jika tak ada bahagia itu bersamaku. Agni, pernah kukatakan islam itu indah bukan? Indah bagi mereka yang telah nyaman di dalamnya.”

Aku bangkit, ia tersedu kemudian memelukku erat. Mengapa Tuhan pertemukan kita yang tak mungkin menyatu? Aku yang telah terikat janji pada Tuhanku, dan engkau pun sama. Aku coba, membuatnya tegar ketika ia sesenggukan di pundakku.

“Lihat aku … siapa yang lebih kaucintai? Aku atau Tuhanmu?” tanyaku lembut dan ia menggeleng. Menangis sangat dalam, sama perihnya denganku. Aku tak mampu bicara banyak, Agni semakin menangis.

“Aku mohon Aryan … aku mohon! Kita masih bisa bersama, kamu ingat Robby dan Maylina? Mereka berbeda tapi mereka bahagia, bahkan mereka punya anak-anak yang lucu ….” Aku diam, mengamatinya berbicara, menceritakan hubungan yang memiliki dua keyakinan berbeda. Dan terus diam hingga ia lelah.

“Aku bukan mereka Agni, sudah kukatakan aku tak mampu menduakan Tuhanku.” Ia sesenggukan.
“Enggak, kamu pasti sedang marah padaku kan? Aryan …,” lanjutnya.

Aku bangkit berjalan dan masuk ke dalam kamar, mengambil mushaf yang sengaja kubelikan untuknya. Kemudian mengambil tasnya dan kulihat alkitab di dalamnya.

“Agni …,” sapaku seraya meletakkan dua buah kitab di hadapan. Dia menangis, semakin menjadi.
“Ketahuilah, bahwa kita diciptakan tidak untuk menyatu. Aku telah terikat dengan Tuhanku, engkaupun sama.”
Dia tersungkur … “Tidak Aryan! Aku mohon! Aku mohon! Kita bisa menikah seperti Roby!”
“Aku bukan Roby!”
“Agni, sekali lagi aku bertanya padamu? Apakah ada Islam di hatimu?” Dia memejamkan mata, menarik napas panjang. “Aku tak ingin berpisah darimu,” lanjutnya.
“Aku sudah katakan kita tak bisa menjalani dua kendaraan sekaligus.”
“Aryan … agamaku pun sama indahnya dengan Islam. Tiada menduakan seperti dalam Islam. Aryan tahukah kamu, cinta dalam agama kami begitu suci. Hingga pernikahan begitu sakral dan tak terpisahkan. Aryan, kamu mencintaiku kan. Kenapa kau tak coba kendaraanku. Aku mohooon …,” Ia sesenggukan aku menarik napas kemudian berderai air mata.
“Bismillah …,” kataku seraya memejamkan mata.
“Agni Anastasia … kutalak dirimu karena sebuah perbedaan.” Aku bangkit, dan ia menarik jemariku.
“Apa maksudmu? Aryan! Kamu tak boleh melakukan itu! Aryan!” Aku pergi meninggalkannya, ia berteriak memanggil namaku, aku tak hiraukan. Hingga aku pun tak tahan dan menangis. Aku buka pintu dan keluar, kemudian bersandar di balik pintu menyelorot, menangis mendengar rintihannya. Napasku pun pedih mendengar ia meraung-raung dan kemudian rasa sakit, cemas kembali hadir kemudian kutepis. Kami menangis bersama, menahan cinta yang tak mungkin menyatu, untuk apa? Aku duduk di luar terjaga hingga tangisannya terdengar terhenti. Kemudian kembali pulang.

Sepanjang jalan aku terisak, menghubungi orang-orang yang menjadi saksi juga wali dan mengatakan bahwa aku sudah memberikan talak pada istriku Agni. Begitu pedih, cemas, dan kalut pikiranku. Dan setibanya di rumah, aku justru dikagetkan dengan Aslan yang menhujaniku dengan pukulan keras. Setelahnya ku tersadar bawah Wulan istriku, telah pergi meninggalkanku. Aku rapuh, layu, tak sanggup bernapas karena perlahan semua pergi meninggalkanku.

Aku pergi menuju Tawangmangu. Dan nyatanya Wulan tak ada di sana. Hatiku sakit, semakin sakit. Aku berusaha menjelaskan kesalahanku kepada Kiai Hadi, dan lelaki tua itu tampak tegar menyikapi masalah kami. Wulan tak kembali pulang, dan semalaman aku mencarinya, ponselnya tak aktif, Pae dan Bue cemas begitupun puluhan anak santri yang diminta untuk mencarinya. Dan hingga menjelang fajar istriku Wulan belum juga ada kabar, gontai aku kembali ke Tawangmangu, melihat wajah Bue dan Pae datar, menahan sabar juga kecemasan di dada. Ini semua salahku, karenaku, Wulan pergi, hingga ketika mereka memintaku untuk masuk dan beristirahat aku menolak.

Aku malu pada Kiai Hadi yang juga guruku tak seharusnya aku mengecewakannya. Anganku terbang ketika ku menjadi muridnya di pesantren, dan ketika aku melakukan kesalahan Kiai Hadi akan menghukumku berdiri di tengah lapangan, hingga mentari terbit dan saat itu Wulan kecilku akan datang diam-diam membawakan minuman, senyumnya, perhatiannya, kekal hingga kini dan aku sudah melepaskannya. Aku berjalan gontai berdiri di tengah lapang, hingga perlahan kurasakan hujan mengguyur tubuhku, dingin, kurasakan, mereka datang aku menolak masuk sebelum Wulan memaafkanku. Aku ingin istriku datang membawakanku minuman seperti yang pernah ia lakukan dulu.

Langit berubah gelap ketika harapan kuberikan luka, hingga seketika berubah menjadi kepahitan dalam hidupku. Nyatanya aku telah melukai dua wanita karena keegoisan dan kealpaan, aku yang dulu merasa benar karena agamaku, kini rapuh karena hukuman dari-Nya. Aku layu ketika semua cinta terbang pergi meninggalkanku. Dan inilah aku, Aryan Estu Ganendra lelaki yang selalu bermimpi indah bersama kekasih hati di Surga, nyatanya tak mampu mempertahankan.

=====

Rasa ini terbang seperti pucuk dandelion yang terbawa angin dan takkan mungkin kembali disatukan. Perlahan cintaku memudar, terampas secara paksa oleh cara mereka yang keji. Tak sadarkah mereka bahwa aku terluka?Aku tersakiti? Tak taukah mereka jika doaku bisa menjadi kutukan untuk mereka.

Aku terdiam meneteskan air mata, semilir angin menerbangkan hijab juga air mataku yang sejak tadi tak henti. Ku tarik napas panjang, kemudian kembali teringat dengan persekongkolan Agni dan Mas Aryan yang sengaja menempatkanku di posisi sulit ini. Aku ikhlas membantunya, aku senang membantunya tapi ini sakit sekali. Aku terkhianati, begitu sakit karena yang melakukan adalah orang yang mengaku paling mengenalku, begitu perih karena ini Mas Aryan lelaki yang begitu kucinta dan nyatanya hanya memanfaatkanku. Sakit. Pedih hingga tercipta lubang yang begitu dalam, sangat dalam di sukma. Rasa ini terbang seperti pucuk dandelion yang terbawa angin dan takkan mungkin kembali disatukan. Perlahan cintaku memudar, terampas secara paksa oleh cara mereka yang keji. Tak sadarkah mereka bahwa aku terluka?Aku tersakiti? Tak taukah mereka jika doaku bisa menjadi kutukan untuk mereka.

Bibirku basah, terus menerus menekan sabar dengan dzikir meski tak sejalan dengan rutukkan hati yang ingin mengucap sumpah untuk mereka. Tapi, anganku tak sanggup, tak sampai sana karena aku tak sekeji mereka. Jadi biar, cukup kulepas rasa ini saja dan esok aku bisa tersenyum cerah. Tiada lagi Aryan atau Agni yang memberikan luka.

“Nduk, Mas Aslan datang lagi.” Suara Bulek, menghancurkan hening dalam sekejap. Aku menghela, Mas Aslan, lelaki itu sepertinya takkan pernah menyerah. Ini adalah ketiga kalinya ia datang sejak tiga hari aku di tempat Bulek, dan tak satupun ada yang mengetahui keberadaanku kecuali dia. Lelaki berkulit sawo matang dengan rambut yang begitu panjang. Dia. Yang katanya mencintaiku tak seperti kakaknya, dia yang selalu mencoba membuatku tersenyum. Aku tak pernah berharap dengannya, dan sekarang pun sama. Aku ingin pergi meninggalkan mereka, membuang jauh bayangan Mas Aryan dan semua tentangnya.

“Temuin dulu, Nduk. Kasihan ….” Aku mengangguk, kemudian keluar melihat punggung lelaki yang dulu begitu dekat denganku, tapi aku. Tak punya rasa untuknya. Sebuah gitar di sampingnya, ia bersandar di pilar rumah seraya memandang hamparan rerumputan. Rambutnya tak beraturan terbang tertiup angin.

“Mas Aslan, ada perlu apa dengan Wulan?” tanyaku membuatnya berbalik dan begitu saja kulihat senyumnya merekah.
“Lan …,” ucapnya bangkit.
“Mas, datang mau menghibur Wulan.”
“Wulan tak ingin diganggu mas.”
“Lan, Mas sudah tau semua, semua yang dilakukan Aryan sama kamu.”
Aku menoleh, tak ingin rasanya membicarakan Mas Aryan.
“Mas … maaf, Wulan sedang ingin sendiri.”
“Lan, Mas mohon. Kamu marah dengan Aryan apa harus juga marah dengan Mas? Lan jika Mas tahu semua kelakuan Aryan, Mas sudah lama memberinya pelajaran.”
“Maksud Mas Aslan apa?”
“Aryan pantas mendapatkan pelajaran Lan, dia pantas menerima hukuman.”
“Sesakit apapun Wulan, wulan tak pernah berdoa hal buruk untuknya. Allah maha tau, biar Allah yang memutuskan. Mas Aslan, Wulan mohon, pulang lah,” kataku seraya berbalik.
“Besok Mas akan datang lagi Lan, terus dan seterusnya. Wulan, seharusnya kamu menikah dengan Mas. Bukan Aryan! Aryan tak pernah peduli denganmu Lan!” katanya ketus, dan hatiku datar tak ada getaran. Aku menunduk, membayangkan jika, jika dan jika. Tapi tetap tiada ritme yang bermain di anganku saat membayangkan Mas Aslan. Jiwa dan hatiku dulu telah terpatri dengan Mas Aryan dan luka yang mendalam pun kini juga dibuat olehnya. Lalu sejenak aku berpikir, bahwa rasa cinta itu tak indah, menyakitkan dan pedih. Jadi biarkan selamanya hati ini kosong. Tak menghiraukannya aku masuk ke dalam. Air mataku sudah kering, aku butuh ketenangan. Sedang Mas Aslan, kutahu hatimu terluka, tapi apa dirimu pantas menabur benih di hati yang sedang terluka?

“Lan!” teriaknya, kemudian aku biarkan. Hingga tak lama ia memainkan gitarnya di luar dan aku dengar. Alunan musik yang begitu indah dan syahdu. Tak pernah kudengar sebelumnya, tapi begitu indah dan membuat air mataku mengalir. Lagu yang indah, berbahasa inggris hingga kemudian lagi-lagi anganku terbang membayangkan masa-masa ketikaku belajar bahasa inggris bersama Mas Aryan.

Lady, I'm your knight in shining armor and I love you
Nona, aku adalah ksatria mu dalam baju besi yang bersinar dan aku mencintaimu
You have made me what I am and I am yours
Kau lah yang menjadikan aku seperti sekarang ini dan aku adalah milik mu
My love, there's so many ways I want to say "I love you"
Cinta ku, sangat banyak cara untuk aku mengatakan "Aku cinta padamu"
Let me hold you in my arms forever more
Biarkan aku peluk dirimu dalam peluk ku untuk selamanya

You have gone and made me such a fool
Kau pergi dan membuatku seperti orang bodoh
I'm so lost in your love
Aku hilang dalam cintamu
And oh, we belong together
Dan oh, kita bersatu
Won't you believe in my song?
Tidak kah kau percaya dengan nyanyian ku?

Lady, for so many years I thought I'd never find you
Nona, tahun demi tahun kusangka aku tidak akan menemukan dirimu
You have come into my life and made me whole
Kau datang kedalam hidupku dan membuatku utuh
Forever, let me wake to see you each and every morning
Selamanya, biarkan aku terbangun dan melihatmu disetiap pagi
Let me hear you whisper softly in my ear
Biarkan aku mendengarmu berbisik lembut di telingaku

In my eyes, I see no one else but you
Di dalam mata ku, tidak kulihat siapa pun kecuali dirimu
There's no other love like our love
Tidak ada cinta lain seperti cinta kita
And yes, oh yes, I'll always want you near me
Dan ya, oh ya, Aku selalu ingin di dekatmu
I've waited for you for so long
Aku sudah sangat lama menunggu

Lady, your love's the only love I need
Nona, hanya cintamu cinta yang aku butuhkan
And beside me is where I want you to be
Dan ku ingin kau berada di sampingku

'Cause, my love, there's somethin' I want you to know
Karena, cintaku, ada sesuatu yang ku ingin kau tahu
You're the love of my life, you're my lady
Kau adalah cinta dalam hidupku, kau adalah nonaku

Aku sesenggukan, suara dan alunan yang ia bawakan begitu menyentuh hati dan dalam. Dan sedikitnya aku tahu maknanya. Apa yang Mas Aslan inginkan? Bagaimana aku bisa bersamanya sedang aku sudah menjadi milik kakakknya. Tak tahukah dia bahwa yang ia lakukan adalah hal kemustahilan. Aku keluar kemudian membuka pintu. Ia menoleh kembali ke arahku. Kami saling menjaga jarak, dan dia menatapku penuh harap.

“Mas Aslan, teruslah menjadi kakak Wulan, tapi jangan sekali pun berharap dengan Wulan. Meski Wulan harus berpisah dengan Mas Aryan, tetap Mas Aslan tak bisa menggantikannya. Wulan mohon, jangan siksa hati Mas Aslan. Karena semakin dalam rasa Mas untuk Wulan, akan semakin sakit. Wulan mohon pergilah,” kataku menangis, kemudian masuk ke dalam. Mas Aslan mematung, kulihat di sela-sela jendela akhirnya ia menyerah dan kembali. Entah ia akan kembali besok atau tidak, yang jelas rasa hormat dan sayang Wulan takkan lebih dari sebatas kakak. Itu saja.

Aku kembali ke kamar, sebelum akhirnya Pakle memanggilku. Aku datang dan melihat Pakle dan Bukle ku tengah duduk di ruang tengah.

“Nduk, sebenarnya apa yang terjadi? Orang tuamu pasti cemas.” Aku diam dan menunduk, jika mereka tahu aku pergi dari rumah mertuaku sudah pasti mereka cemas. Jika Mas Aslan saja sudah menemukanku di sini, lalu ke mana Mas Aryan? Apa dia sudah tak peduli padaku? Atau memang dia benar-benar ingin melihatku menghilang? Aku menangis lagi.

“Nduk, masalah rumah tangga sebaiknya dibicarakan baik-baik. Tak baik pergi dari suami. Hukumnya dosa, Nduk,” kata Pakle benar. Aku diam. Tapi hatiku sangat sakit, hingga lupa apa itu dosa, asal tak bertemu dengannya aku sudah cukup. Sejurus kemudian telepon berdering. Pakle angkat dan benar saja telepon dari Pesantren. Aku menyesal, karena sampai saat ini lelaki yang kuharapkan kehadirannya justru tak datang mencariku, dan tak mencoba mencari tahu di mana keberadaanku. Ah sudahlah, toh Mas Aryan tak pernah mencintaiku, untuk apa aku bersamanya.

“Lan … Bue.” Aku diam, semua orang pasti sudah tahu berita kepergiaanku. Pelan, kuangkat. Suara Bue terisak di ujung telepon.
[Nduk ….]
[Bue ….] Aku tak sanggup menahan air mata, mendengar suara Bue aku payah, dan menangis lagi. Rasanya ingin bersandar di pelukan, ingin berkeluh kesah. Aku sakit Bue, putri kesayangan Bue telah disakiti oleh lelaki yang telah diberikan kepercayaan oleh Pae.
[Pulang ya Nduk.]

Aku sesenggukan, menangis seraya menahan dadaku. Bulek berdiri, ia usap pundakku hingga sedikitnya membuatku sedikit lega.
[Bue sudah tahu semua masalahmu, sekarang kamu pulang ya Nduk, kita bicarakan semuanya di rumah. Suamimu sejak kemarin malam di sini Nduk, dia mencarimu ke mana-mana, tak ketemu juga. Dia berdiri di tengah lapangan, menghukum dirinya sendiri. Pulang ya Nduk.]

Aku diam, Mas Aryan? Berdiri di tengah lapangan? Anganku terbang saat Mas Aryan masih menjadi murid Pae, ketika ia membolos atau melakukan kesalahan, dia akan dihukum berdiri di tengah lapangan.

[Bue … Wulan, tak mau lagi bertemu Mas Aryan ….]
[Nggih, Bue paham nak. Tapi Masmu, sudah mengakui kesalahannya. Dan sekarang ia mau bertemu denganmu Nduk. Dia mau memohon maaf, katanya.]
[Katakan saja Bue, jika hanya maaf yang ia inginkan.Sudah Wulan berikan, Wulan tunggu gugatan cerai dari Mas Aryan.]
[Istighfar kamu Nduk, Aryan tak mau berpisah denganmu Nduk. Wulan … jangan kaukerasi hatimu Nak.]

Aku diam, dan tak adil rasanya jika aku memberikan maaf semudah itu. Perlahan aku tutup teleponnya, dan memberikannya pada Pakle. Aku kembali ke kamar. Menyelorot di balik dinding dan menangis lagi. Hingga kemudian, kuperhatikan tasku ada diary di dalamnya. Diary yang selama ini kutuliskan seluruh isi hatiku, berharap suatu hari aku bisa memberikannya. Tapi semua itu pupus. Aku menangis lagi, aku berlari mengambil diary yang selama ini menjadi kekasih terdekat. Kemudian kuhancurkan, kurobek dan menangis lagi.

“Nduk … sabar Nduk, Wulan boleh selamanya di rumah Bulek,” kata Bulek yang mendadak hadir kemudian memelukku. Aku butuh waktu, dan apalagi jika harus bertemu mas Aryan, berat rasanya. Tak sanggup. Kemudian pandangan menjadi gelap, tubuhku tumbang juga.
***

Mataku mengerjap saat aroma jahe hangat tercium. Perlahan kubuka mata, berharap semua yang kulihat adalah Surga dan keindahan tapi, nyatanya masih sama. Aku harus bangkit, bukankah dunia ini tercipta dari keras dan lembutnya kehidupan. Lalu aku harus apa jika Allah sengaja memberikanku cobaan berat seperti ini. Kadang ku berpikir salah apa aku di masa lalu, hingga membuatku menjadi letih seperti ini. Kakiku berpijak, mencoba merasakan dinginnya lantai dari udara malam Gedongrejo kemudian keluar kamar, dan melihat Bue juga Pae telah berbicara bersama Bulek. Ragaku seketika rapuh lagi, aku berlari ke arah Bue menangis lebih keras. Aku memang cengeng, sejak dulu selalu menangis. Entah berapa banyak isi air mata di tubuhku, sepertinya tak kunjung habis.

“Nduk,” kata Bue matanya melirik ke belakang tubuhku. Aku menoleh.
“Dek ….” sapa seseorang yang begitu akrab suaranya di telinga. Mas Aryan! Matanya sendu, wajahnya memar kebiruan di mulut juga pelipis dan mata, air mata mengalir dan pakaiannya belum ia ganti sejak terakhir aku berjumpa dengannya. Aku usap wajahku, tak mau aku menangis di hadapannya. Berjalan dengan tegar, kemudian masuk ke dalam kamar.

“Wulan!” teriak Bue. Aku tak peduli, hati ini sakit sekali. Dari pada aku menyumpah yang tidak-tidak lebih baik aku di sini. Menunggu hingga hati ini sembuh, meski akupun kacau melihat keadaan Mas Aryan. Tapi dia harus tahu, bahwa luka yang ia tanamkan begitu besar.

Aku duduk di atas ranjang, menatap ke arah jendela. Hingga tak lama Bue masuk ke kamarku menggunakan kunci serep mungkin. Ia duduk lagi di sampingku.

“Aryanmu, berdiri dari subuh sampai matahari terbit, Nduk di lapangan. Menunggu Wulan katanya.”
Aku diam.
“Saat datang, wajahnya berdarah, Bue mau obatin ndak mau katanya. Sampe kering sendiri. Mau Wulan aja katanya yang obati.”
Aku menoleh, tak peduli.
“Lan, Aryan mu belum makan sejak kemarin. Kamu ndak cemas?”

Sama denganku yang tak mampu makan dan minum karena luka yang ditorehkannya. Sesak. Apa yang diinginkan Mas Aryan sebenarnya? Apa dia bermaksud menjadikan aku madunya? Sampai kapanpun aku tak mau! Mba Agni jelas sudah datang, meminta aku untuk melepasnya. Apa Mas Aryan tak punya hati? Ke mana hatinya? Bukankah ia harusnya merawat Mba Agni yang bisa saja sama payahnya dengan aku? Hati ini sudah rapuh, kuncup dandelion jika sudah terbang mana mungkin bisa disatukan lagi.

“Bue … Mas Aryan, punya istri. Suruh dia yang merawatnya.”
“Nak, tapi ….”
“Bue, Wulan letih. Wulan pun sama tak makan tak minum karena luka yang Mas Aryan berikan. Bue, Wulan anak Bue bukan? Keputusan Wulan sudah final Bue, Wulan ndak mau berjumpa Mas Aryan. Selamanya.”
“Istighfar Nak.”
“Bue … izinkan Wulan di sini. Wulan mohon Bue, bawa Mas Aryan pergi. Wulan ndak mau, ketemu. Bue pulang saja.”

Maaf Bue, Wulan sungguh butuh waktu. Butuh waktu untuk membiasakan hati ini, mengosongkan hati dari bayang-bayang Aryan. Bue keluar, mengecup ubun-ubunku kemudian keluar kamar. Hingga tak lama aku dengan suara mobil Mas Aryan meninggalkan pekarangan.
***

Langit terlihat kebiruan, dan semilir angin menerbangkan sebagian hijab juga gaunku. Kurengkuh tubuhku dari dinginnya malam. Mencoba menata hati. Hingga tak lama dari kejauhan lelaki berambut panjang dengan motor besarnya datang lagi. Mas Aslan, kali ini membawa bingkisan di tangan dan bunga. Sejujurnya bukan aku tak menyukai Mas Aslan. Tapi, jujur Mas Aslan harusnya paham aku ini haram untuknya, dan yang ia lakukan ini berdosa. Karena aku belum resmi berpisah dari Aryan. Ia turun dari motor, mengusap rambutnya kemudian tersenyum seraya berjalan. Aku datar, tak membalas senyumannya.

“Assalamualaikum Lan,” katanya tersenyum kemudian duduk di sampingku. Aku menarik napas, mencoba menghargai usahanya tanpa mengurangi izzahku. Ia berikan bunga juga bingkisan coklat di dalamnya.

“Coklat bisa ngurangi kesedihan Lan,” katanya lagi. Aku tersenyum sedikit.
“Lan, Mas ingin bicara boleh?” Aku diam tak menatap juga menjawab pertanyaannya.  Mas Aslan, lelaki ini pun dulu pernah mengisi hari-hariku. Dia selalu menyanyikan lagu di pesantren dan ketika Pae mengatakan padanya bahwa musik bisa mematikan hati, lebih baik mendengar ayat-ayat Quran. Hatinya tergores, sejak itu ia tak pernah datang lagi ke pesantren. Ruangnya dibatasi dan Mas Aslan tak suka. Lelaki yang pernah terpegok denganku merokok di belakang gedung pesantren. Lelaki yang juga pendiam dan sedikit memilki teman. Dia Aslan, tapi kadang dia suka menghiburku. Dengan semua lagu-lagunya yang indah, puisi yang kadang ia berikan, hingga aku sungguh-sungguh menganggapnya kakak. Tak lebih.

“Wulan masih ingat nggak? Waktu Mas Aslan, diam-diam keluar dari kelas dan bersembunyi di toilet perempuan. Waktu itu, Mas Aslan nunggu sampe sore dan baru keluar setelah Wulan masuk dan membantu Mas Aslan,” senyumku mengembang. Aku ingat. Ya. Saat itu, lelaki di sampingku ini diomeli guru hingga berkejar-kejaran entah apa masalahnya, dan akhirnya ia bersembunyi di toilet. Saat aku masuk, senyap ia berbisik, “Lan … mas cape nih, Uztad Mail udah pulang belom?”

AKu tertawa, lucu. Hingga kemudian Mas Aslan tersenyum merasa berhasil telah membuatku tertawa. Ia mendekat, kemudian duduk bersimpuh di bawah, memberikan bunga dan menatap mataku lamat-lamat.

“Lan … Mas, pun sudah lama menyukai Wulan. Mas mungkin pacarnya banyak, tapi Mas pernah bermimpi suatu saat menjadikan Wulan istri Mas. Wulan mau ya?” Aku diam. Menarik napas, Mas Aslan terlalu berani melompat pada sebuah benteng yang semestinya tak ia lalui. Aku ini adiknya dulu tapi sekarang adalah kakak iparnya, dan ia lakukan ini tak semestinya. Luka ini masih basah, dan yang ia lakukan adalah dosa besar. Mengungkapkan rasa pada seorang wanita yang masih sah milik orang lain, apalagi iparnya. Di mana rasa dia untuk Aryan, apa dia tak memikirkan perasaan kakaknya, meski aku tahu Aryan mungkin tak peduli, tapi melihat sorot mata Mas Aryan tadi siang, lebam di wajahnya, juga tubuhnya yang layu. Aku iba, ternyata kuncup dandelion meski sudah terbang tapi jatuhnya tak jauh dari kuncupnya.

“Mas … berapa kali, Wulan katakan. Bahwa apa yang Mas Aslan lakukan ini salah. Pulanglah Mas, Wulan doakan Mas Aslan mendapat ganti yang lebih baik. Wulan terima coklatnya sebagai pemberikan kakak pada adiknya, tapi Wulan menolak bunganya sebagai bentu rasa Mas Aslan pada Wulan. Maaf Mas Aslan. Maaf.”

Aku masuk dan lagi-lagi membiarkan Mas Aslan mematung menatap punggungku. Kemudian masuk ke dalam kamar. Diam. Anganku kembali teringat pada masa dulu di mana Mas Aryan selalu menghiburku saat menangis. Saat itu ketika aku menangis ketika Mas Aryan pamit untuk melanjutkan studinya aku berlari bersembunyi di salah satu kelas di pesantren.

"Dek kamu kenapa?" tanya Mas Aryan yang baru saja menemukan tempat persembunyianku. Ia duduk mendekat, terus menyeringai. Saat itu aku duduk di sekolah tingkat akhir.  Ada rasa cemas juga sedih saat itu, galau karena khawatir rindu membebani.

"Nggak apa-apa," jawabku seraya mengusap wajah dengan kasar dan membalikkan badan. Malu jika dilihatnya, wajahku pasti akan menjadi jelek seperti katanya yang sudah - sudah.

"Kok nangis? Nanti jadi jelek loh."
"Biarin!"
"Ya udah nangis yang banyak, Mas tungguin."
"Mas, kan, mau pergi!"
"Ya, kan, besok. Dek Wulan nangis aja yang lama, biar mas tungguin sampe besok."
"Kenapa?"
"Biar Mas, nggak lupa wajah jelek Wulan kalo nangis."
"Ish!" keterlaluan!
"Nih!" lanjutnya menyeringai seraya memberikan tisue.

Saat itu aku malu, Mas Aryan tak kunjung paham juga jika aku menyimpan rasa padanya. Tapi malam itu Mas Aryan menepati janjinya, ia tak pulang hingga esok tiba. Kami bermain bersama, tertawa bersama hingga kering air mataku dan setelahnya pukul sebelas malam, berat hati ia katakan, "Dek, Mas pamit Yo. Pesawatnya besok berangkat jam 7 pagi. Wulan ndak usah ikut, nanti nangis lagi." Wajahku memerah lagi, malu seperti tomat. Dan dalam hati berjanji takkan menangis hingga ia kembali.

Pelan aku melangkah ke ranjang terlelap. Hingga kemudian lagi-lagi suara Paklek terdengar dari luar, memanggil-manggil namaku. Aku membukanya. Ia serahkan ponsel padaku, penting katanya.

“Nduk … Mas Aryanmu, sakit Nak. Mobilnya tabrakan katanya di jalan, anak-anak pondok lagi jemput ke sana.” Resah, hatiku berdegup cemas. Ada apa dengan Mas Aryan, mengapa terdengar tak karuan. Mba Agni? Kemana dia? Bukankah dia yang memintaku untuk meninggalkannya? Tapi kenapa menjadi seperti ini? Aku lemah dan tak karuan lagi. Kututup lagi telepon Bue, kemudian mencoba menepis rasa khawatir. Aku harus belajar tega, menjadi baik itu menyakitkan meski indah di hadapan Allah. Tapi manusia tak selamanya diberi indah, semakin baik nyatanya tak bisa mengubah seseorang. Jadi, aku biarkan saja apa yang terjadi dengan Mas Aryan. Dan kembali menata hati juga hari agar kedepan aku bisa lebih kuat. Tak lama telepon itu kembali berdering.

"Nduk suamimu sakit, nggak ada yang rumat. Kasihan Nduk, mukanya lebam, badannya demam, panasnya tinggi sekali, pulang Nduk ...." Aku kalut, cemas, kemudian menangis lagi. Meski sakit hati ini tetap saja tak tega mendengar kondisinya.
"Mas Aryan kan uangnya kathah, Bue, suruh saja ke dokter. Kenapa mesti ke Pesantren? Wulan ndak mau ketemu Mas Aryan, Bue ...."
"Masmu nolak Nduk, maunya diobati sama kamu."

Hening, perlahan napasku tersengal. Hatiku semakin perih mendengarnya. Aku istrinya. Ya, meski hati sudah memutuskan hubungan padanya tapi tetap saja terikat jika Mas Aryan tak memutuskan. Mas Aryan egois!

"Nduk! PULANG!" teriak Pae di ujung telepon semakin membuat batinku cemas. Separah itu kah sakitnya? Atau jangan-jangan dia hanya berpura-pura seperti sakit perut kemarin. Aku beringsut menutup telepon, kamudian bersandar di balik dinding menangis lagi.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER