Cerita bersambung
Dan ternyata kepergiannya membuatku rapuh, dan cinta baru bisa kaurasakan ketika rasa hilang itu ada.
Jadi ketika aku sudah rapuh, Wulan justru pergi meninggalkanku. Padahal ada banyak hal yang ingin kusampaikan padanya, banyak kata yang ingin kuukir dan kubisikkan di telinganya. Penyesalan, kata maaf hingga ungkapan cinta yang teramat dalam. Dan ternyata kepergiannya membuatku rapuh, dan cinta baru bisa kaurasakan ketika rasa hilang itu ada. Dan ini terjadi padaku, tak pernah aku merasakan kehilangan yang sebesar ini. Malam itu, saat Aslan menghujani pukulan aku berlari ke dalam mencarinya dan Wulan tak ada, kosong. Batinku sakit lebih sakit dari perpisahan yang kurasakan bersama Agni. Ini lebih parah, hingga aku tak sanggup bernapas. Langkahku Gontai kemudian berlari keluar di tengah malam, sangat malam. Meski pandanganku kabur, darah mengalir di mulut maupun pelipis aku tak peduli. Aku hanya ingin melihatnya, itu saja.
Jalan menuju arah Tawangmangu sangat terjal, rasa lelah menjadi hilang dan hanya sebuah harapan. Darahku sepertinya tak kunjung berhenti, aku usap perlahan. Mencoba menghubungi ponsel istriku, dan tak aktif. Jalanan menanjak terjal, sebelah kanan adalah hutan liar yang bisa saja membawaku terjatuh ke jurang jika lalai. Aku pacu. Napasku tersengal, mataku berkaca-kaca berharap tak terjadi sesuatu pada adikku, kekasih yang sudah lama menungguku. Tiba di pesantren Al-Fatih, aku berlari kemudian melihat suasana yang tenang. Perlahan kuketuk pintu rumah yang begitu sederhana, rumah yang terbuat dari dinding tua, dua pilar dan lantai keramik putih yang sudah berwarna kecoklatan. Kuucapkan salam berulang-ulang hingga Kiai Hadi keluar menyambutku, karena saat itu sudah menunjukkan pukul tiga malam, dan sepertinya ia hendak menjalankan salat malam.
“Nak Aryan? … kenapa?!” ucapnya tercengang mungkin melihat keadaanku, yang berdarah-darah.
“Masuk!” lanjutnya lagi.
“Buee!” teriaknya memanggil istrinya, sementara aku terbaring di sofa kayu tempat kami biasa bercengkrama.
“Innalilahi! Nak Aryan! Kenapa toh? Malam sekali? Wulan kemana?” Bue menanyakanku banyak hal dan pertanyaan terakhir membuatku memelas. Wulan tak ada di rumah. Lalu ke mana dia?”
Bue berlari lagi ke dalam, mengambilkan air hangat dan kompres sementara aku merasa malu dengan keduanya. Aku tersungkur di lantai, meraih punggung tangan Kiai Hadi, dan menciumnya lalu menangis.
“Maafkan Aryan Pae …,” lirihku dan keduanya terdiam bingung, raut wajah mereka panik. Bue tak lama duduk di samping Pae dan aku semakin tenggelam dalam keadaan, air mataku tumpah. Merasa malu karena telah menyakiti putri mereka, merasa hina karena tak pantas disebut mereka lelaki baik. Aku terisak, hingga perlahan kurasakan tangan yang sudah berkeriput itu mengusap kepalaku.
“Bangun, Nak … ada apa?”
“Apa … Wulan tak pulang?” tanyaku membuat mereka saling menatap dan bertanya. Kemudian menggeleng.
“Kalian bertengkar?” tanya Bue cemas.
Aku diam, entah apa ini. Sebuah pertengkaran kah? Wulan tak pernah bertengkar denganku, ia juga tak pernah mencaci atau bahkan berteriak di depanku. Ini bukan pertengkaran. Ini pengkhianatan.
“Innalilahi … Wulan, kenapa bertengkar kok yo langsung keluar rumah,” kata Bue panik kemudian bangkit.
“Ini salah Aryan Bue …,” balasku membuat langkahnya terhenti.
Sesenggukan aku berusaha kuat bercerita, entah sakit atau tidak hati mereka. Aku akan mencoba tegar. Kurengkuh tangan Kiai Hadi, kemudian perlahan bercerita. Dan ketika kukatakan aku sudah menikah sebelum menikahi Wulan, Kiai Hadi menarik lengannya. Mereka terdiam, menangis. Dan aku semakin rapuh.
“Lalu di mana Wulan sekarang?” tanyanya datar, raut wajah Kiai Hadi seketika berubah dan yang kurasakan ia sangat kecewa. Aku tahu, dia diam tapi tak berkata, ia marah tapi tak ia luapkan. Begitulah orang-orang yang terbiasa mendekatkan diri pada Alloh. Lelaki itu bangkit sementara Bue, menatapku dengan nanar, kekecewaan teramat nyata.
“Istirahatlah … besok kita cari Wulan, Wulan tak ke sini.”
“Apa mungkin di rumah Ramlah ya Pak?” saut Ibu panik. Aku berdiri,”di mana rumahnya Bu, biar Aryan yang cari.” Bue diam, mengambil jaket kemudian keluar rumah. Sangat panik, anak satu-satu mereka telah terluka dan itu karena aku.
“Bue … biar Aryan antar,” kataku dan dia tak jawab. Aku menunduk mengikuti, hingga kemudian beberapa anak pondok masuk ke dalam mobilku dan Bue masuk juga. Kami menyusuri satu per satu rumah sahabat-sahabat istriku, aku tahu. Dia memiliki sahabat bernama Ramlah juga Atikah, dan Kani semua tersusun jelas rapi di Diarynya. Dari setiap pintu rumah yang kami ketuk tak ada satupun tanda-tanda keberadaan istriku. Lalu ketika kami kembali ke pesantren dan salat subuh telah diadakan aku ikut salat. Setelahnya melihat wajah Kiai Hadi aku merasa malu. Perlahan melangkah ke tengah lapangan, kurentangkan kedua tangan ketika guntur menyambar gelapnya langit. Aku berdiri seperti yang pernah Kiai lakukan padaku, menangis dan membiarkan alam menghukumku, menghukum atas segala kekeliruan, menghukum atas semua kesalahan. Kiai Hadi diam, ia tak menarik tubuhku dan sepertinya ia merestui apa yang kulakukan.
Hingga terik mentari menyinari tubuhku, aku gontai. Kunang-kunang mulai hadir di mata, dan tak satupun yang datang hingga kemudian bayangan Wulan hadir, gadis mungil berusia tiga belas tahun itu datang membawakan ku minuman, aku tersedu.
***
Mataku mengerjap, aroma jahe dan melipir di indra penciuman. Dan kurasakan hangat di dahi. Sebuah kompres begitu hangat kurasakan. Kubuka mata noda jamur di sudut langit-langit seperti mengingatkanku pada sebuah tempat. Kamar Wulan, ya kamar kami. Aku mencoba bangkit, tapi tubuhku terasa berat, kepalaku terasa sakit, tenggorokan kering dan sepertinya tak sanggup untuk bangkit. Kurebahkan kembali tubuhku, kemudian teringat apa yang terjadi padaku. Kemarin setelah Bue tahu di mana keberadaan istriku, aku bersama Bue menemui Wulan. Dia berada di kediaman Bulek dan Paleknya di Gondangrejo, hatiku tenang dan lega.
Setiba di sana, rindu yang ingin kutumpahkan nyatanya meski kutahan, Wulan menolak menemuiku. Saat itu, kulihat ia pun kacau. Kelopak matanya membesar, air matanya deras. Sepertinya ia sangat sakit, tumpah sudah luka yang selama ini kuberikan padanya. Aku hanya diam mematung, mengharap iba padanya. Namun, ia bergeming. Dek, Mas kangen … maafin Mas Dek, Adek kenapa?” ingin kutanyakan tapi Wulan buru-buru masuk ke kamar. Dan setelahnya aku diminta ia untuk pulang.
Entah apa yang membuat Wulan menjadi murka, aku tak paham. Setelah mengantar Bue aku kembali ke Gedongrejo, menunggu kekasihku di dalam mobil. Melihatnya dari kejauhan, seraya menahan sakit yang begitu berat. Hingga tak lama kulihat Aslan, adikku. Hatiku bergema, air mataku menetes. Aslan datang membawakan bunga untuknya. Apa yang ia lakukan? Bukankah Wulan masih istriku? Ia datang bersimpuh di hadapan Wulan, dan aku menahan nyeri yang teramat dalam. Sangat sakit hingga sejurus kemudian sebuah pesan masuk ke ponselku.
[Aku pergi Mas, selamanya. Terima kasih atas kenangan indah juga pahit yang kautorehkan, aku pergi selamanya. Meninggalkanmu juga napas terakhirku. Agni]
Aku panik, Agni terlalu besar mencintaiku hingga apapun ia lakukan untuk mendapatkanku. Kupacu kendaraan meninggalkan Gondangrejo, berulang kali aku menghubungi Agni. Tapi tak ia angkat, aku panik. Bukan karena cinta ini. karena keresahan, tak ingin aku melihatnya pergi, mengakhiri hidup yang tak seharusnya ia lakukan.
“Agni! Apa yang kamu lakukan?” tanyaku di telepon, dan hanya desahan napas yang kurasakan.
“Mas … aku tahu kamu mengkhawatirkanku, kan? Aku tahu kamu masih mencintaiku kan?”
“Agni … aku mohon, jangan lakukan apapun yang bisa mengancam jiwamu.”
“Aku mau pergi Mas, selamanya.”
“Mas mohon, hentikan!” kataku seraya menginjak rem mendadak, sebuah motor melintas di hadapan, pandanganku gelap dan perlahan suara Agni senyap menghilang.
Dan di sinilah aku. Di kamar istri tercintaku, merasa lemah kemudian menarik napas panjang. Merasakan aroma jahe dan juga kompres hangat di dahi. Berharap juga membayangkan istriku bersamaku, di sini mendampingi. Sinar mentari menerobos masuk ke sela-sela jendela, dan senyap-senyap kudengar suara yang persis istriku.
Ya, Wulan Adisa Soenggono, cinta dalam hidupku, dan kekasihku di Surga. Aku mencintainya dan selamanya seperti itu. Hingga tak lama pintu terbuka, aku menerka, mencoba membuka mata yang terasa berat, seorang wanita masuk ke dalam kamar. Ia membawa teh hangat juga semangkuk makanan di atas baki. Aromanya, gerak tubuhnya sangat kukenali. Dia, istriku Wulan. Hatiku berdesir bagai ombak, ia letakkan baki di atas nakas tua disampingku, kemudian pergi dan langkahnya terhenti setelahku meraih lengannya.
Ia diam, dan aku mencoba membuka semua pandangan hingga jelas terasa. Wulan, dia benar Wulan. Ya Allah, aku rindu denganya, rindu sekali. Ingin sekali memeluknya. Dia diam, dan tak menoleh. Hingga perlahan jemarinya melepaskan genggaman tanganku.
“Dek …,” lirihku. Dia bergeming.
“Kalo Mas sudah sehat, Mas bisa pulang. Lagian di sini nggak ada dokter. Mas sebaiknya pulang aja,” katanya ketus seraya berjalan meninggalkanku. Pedih, sangat pedih. Aku menarik napas, mencoba menahan perih. Rapuh lagi, hingga kemudian ia masuk lagi terpaksa. Sepertinya ia habis ditegur, aku tahu. Karena wajahnya terbalik. Ia duduk di sampingku, kemudian mengaduk bubur yang ia bawa tadi mengaduknya dan berusaha menyuapiku.
“Mas nggak mau makan, Dek.”
“Kenapa? Mas mau mati?” tanyanya kesal.
“Adek mau, Mas Mati?” tanyaku, dia diam dan melengos kulihat genangan di matanya tapi wajahnya tak lagi merona. Aku kehilangan, cintanya. Cinta yang selama ini ia pupuk. Cinta yang terlihat ketika pipinya merona saat di dekatku.
“Mas … makan, Wulan sudah lelah. Setelah itu mas, bisa menceraikan Wulan,” kutarik lengannya dan meletakkannya di dadaku. Menatap matanya yang bergenang, dan ia menoleh.
“Mas, tidak mau bercerai dek. Tidak mau,” kataku dan tak sadar air mataku menetes.
“Mas sudah sehat sepertinya, makan setelah itu Mas kembali pulang. Kasihan Mba Agni sejak tadi nelepon!” katanya ketus, ia letakkan mangkuk di atas nakas kemudian keluar tanpa mendengar penjelasan dariku.
Anganku kemudian kembali ke Agni? Bukankah sebelumnya ia katakan ingin mengakhiri hidupnya, kenapa saat ini ia berulang kali menghubungiku. Apa ia hanya mengancam? Entah. Buru-buru aku ambil ponsel yang Wulan letakkan di atas nakas, ku lihat panggilan tak terjawab puluhan kali masuk dan terakhir satu jam yang lalu. Wulan pasti resah, ia pasti mengira aku masih memiliki hubungan dengan Agni. Bagaimana aku menyampaikannya jika ia tak mau bertemu denganku. Apa yang harus kulakukan jika Wulan bersikuku meminta pisah, aku tak ingin berpisah dengannya. Sampai kapanpun lafaz pisah takkan terucap.
Nyeri di tubuhku masih terasa kepalaku masih terasa berat. Berjam-jam aku menunggu kekasih, dia tak kunjung datang. Hingga tak lama dia datang lagi, terburu-buru tak menatap, dan hanya meletakkan makanan. Kemudian terdiam, sangat lama melihat meja nakas. Ia mendesis kemudian duduk di sampingku.
“Mas tuh mau apa sih? Kenapa sampai sekarang belum makan juga?” tanyanya ketus. Aku hanya diam, bagaimana mungkin aku makan Dek, tanganku saja masih lemas. Hanya tanganmu yang mampu membantu, tapi bukankah ini takdir Allah? Bukankah ia sengaja membuatku menjadi lemah seperti ini agar kau datang menemuiku dan merawatku? Aku diam menatap wajahnya, wajah yang datar dan tiada senyuman sama sekali. Seperti ini rasanya jika Wulan marah, dunia seakan runtuh.
“Mas ndak bisa bangun Dek,” jawabku lemas. Perlahan ia bantu mengangkat tubuhku, dua tumpuk bantal ia letakkan di bahu. Kemudian mengambil piring yang berisi nasi dan sayuran juga tahu goreng di atasnya. Wajahnya masih datar dan seperti enggan menyuapi.
“Dek ….”
“Nyuwun ngapunten Mas, Nyuwun tulung ndak usah bicara. Wulan akan pergi jika Mas, bicara.”
Aku diam, lebih baik tak bicara daripada harus kacau lagi merindunya. Saat ia menyuapi aku gamit jemarinya kemudian membuka mulut dan dia diam saja, tiada senyuman, biasa saja.
Setelahnya, ia tak datang lagi. Wulan Adisa Soenggono, ke mana tomat di pipimu? Kenapa tak pernah muncul lagi saat bersama Mas? Apa sudah hilang rasa itu di hatimu Dek? Bukankah seharusnya kamu pertahankan seperti katamu di diary?
“Jika aku menikah dengan Mas Aryan, insyaAllah aku akan terus mencintainya sampai ajal memisahkan.” Itu katamu di diary yang mas baca, apakah sudah hilang Dek?
Malam itu, Wulan tak lagi datang ke kamar. Ia menghindar sepertinya, hingga kemudian Kiai Hadi datang memintaku, memohon untuk kembali dan membiarkan Wulan sendiri. Ia butuh waktu katanya. Aku paham, aku memang sudah merusak hatinya. Aku bangkit keluar dari kamar, kuedarkan ke sekeliling ruangan tak ada Wulan di sana. Hanya ada Bue dan Pae yang senantiasa memaksa sabar dari apa yang sudah kulakukan. Aku pulang, tapi aku janji akan kembali menjemputnya.
***
[Pov. AGNI]
Aku dan Islam. Tiada keraguan sejujurnya. Ketika bertemu lelaki yang begitu menghormatiku, menjaga marwahku aku terpukau. Semudah itu aku mencintai Islam, semudah aku jatuh hati pada suamiku Aryan. Tapi, ketika Aryan memutuskan untuk menikah lagi, hatiku sakit. Bagaimana mungkin ia menggunakan cara itu untuk menyenangkan orang tuanya sementara aku disakiti. Tak berpikirkah dia, jika aku membutuhkannya, tak tahukah dia jika ini berat bagiku? Aku tahu? Dia memiliki seseorang di sana. Aku tahu wanita yang akan dia nikahi adalah wanita yang sudah lama ia kenal. Orang tua adalah alasannya, seperti mereka yang menggunakan agama sebagai alasan untuk mendua. Poligami atau entahlah apa itu, tak mampu masuk ke tatanan anganku, semua menghancurkan harap juga impian. Seketika pandanganku tentang islam roboh, hancur aku bersedu. Malam itu ketika Salima datang ke apartment aku tak sanggup berkata apa-apa. Yang kubutuhkan hanya Aryan, hanya suamiku tapi dia justru mendatangkan orang lain untuk menenangkan istrinya.
“Mba Agni yang sabar … mungkin ini ujian Allah, agar kadar iman mba Agni bertambah. Seseorang yang menjemput hidayah kadang cobaannya macam-macam, ada yang rezekinya berkurang ada yang dijauhkan dan banyak hal, ingat Mba, hidayah Mba yang utama,” katanya dan aku ragu. Bagaimana mungkin aku menganggap hidayah yang utama jika Aryan kulepaskan. Bukankah Aryan adalah alasan utamaku menikahinya.
“Apa Allah akan mempersatukan saya dengan Aryan Mba?”
“Bukankah sudah bersatu Mba?”
“Saat ini kami belum menyatu, Aryan menikahiku tapi tidak menyentuhku. Apa itu namanya?”
“Mba … khusnudzon saja, mungkin Mas Aryan tak ingin terjadi sesuatu dengan mba. Karena kebanyakan wanita yang dirugikan dalam pernikahan siri. Yang Mba lakukan sekarang hanya taat, ikuti maunya Mas Aryan.”
Taat? Ikuti maunya? Aku seperti robot menjadi bodoh. Cukup lama aku hidup dalam kebebasan, dan kini menjadi terikat dan tak bisa bergerak. Baru saja aku mencintai cara Aryan memperlakukan wanita, dengan tidak menyentuhnya, dengan menghormatinya seketika tumbang dengan ketidaksepahamanku akan pengertian taat dan poligami. Aku benci itu semua. Wanita dijajah dalam Islam mereka tak bisa bebas, tiada kesetaraan gender dalam Islam. Dan semua itu membuatku tak nyaman. Lalu bagaimana jika aku ingin bekerja? Aku ingin ini dan itu dan semua itu haruskan mengikuti maunya suami? Lalu bagaimana dengan wanita yang memiliki suami tak sebaik Aryan, suami yang senang melakukan KDRT dan bersifat permisif pada keluarganya. Apakah istri harus taat juga? Aku tak sepaham. Aku membenci ini semua. Lalu aku menangis lagi, seperti menyesali agama yang kupeluk sekarang, tapi bagaimana Aryan?
Malam itu, aku menunggunya hingga larut dan Aryan tak kembali. Sendiri di dalam Apartment dan di kota orang, membuatku tertekan. Aku ingin membuang semua rasa ini, rindu ini begitu menyiksa, dan anganku membayangkan lelakiku bersama wanita itu bahagia bersama. Karena mereka memiliki kesamaan ideologi, restu orang tua. Sementara aku? Tersisih. Aku diam, hingga kemudian teringat dengan gereja Saint Maria yang kukunjungi kemarin, aku gundah. Aku keluar dan kembali lagi ke sana.
Dinginnya malam membuatku semakin yakin akan sebuah keputusan, bahwa bisa saja aku terburu-buru dalam menyikapi masalah. Cahaya yang Aryan katakan padaku tidak benar-benar menyinariku, lalu aku harus apa? Puluhan tahun aku percaya pada Dia yang kini di hadapan, Dia yang jelas bentuk dan wujudnya dan kini dipaksa harus mencintai Dia yang lain yang tiada wujud dan bentuknya, bahkan aku tak mampu membayangkannya. Aku diam, hingga kemudian aku kembali.
Pagi itu aku coba kembali mengikuti peribadatan, aku ingin tahu apakah hatiku benar-benar tertambat pada keyakinanku saat ini. Bukankah tak salah mencoba demi memantabkan keyakinan? Aryan tak tahu, dan aku tahu ini salah. Biarlah ia sibuk dengan dirinya juga kehidupannya, sementara aku akan sibuk dengan memantabkan keyakinanku pada Tuhan. Cukup lama aku mengikuti peribadatan, dan rasa rindu pun memang kurasakan tapi seperti ada yang mengganjal, rasa bersalah, rasa malu karena aku harus berdusta pada Aryan. Seseorang yang sudah membawaku pada keyakinannya. Haruskah aku jujur dan membiarkannya pergi? Atau aku bertahan saja dengan kebisuan ini, berpura-pura agar ia tak menceraikanku, karena nyatanya aku sulit menimbang cintaku dan cinta pada keyakinanku. Aku menangis, tertawa, bersama kerabat baruku. Tapi ada yang mengganjal. Aku nyaman dengan islamku, tapi ada yang tak benar di hatiku. Aryan tak mampu menjawab atau bahkan mebimbingku.
Aku kembali, di perjalanan. Rindu mengusik, ini adalah hari minggu dan seharusnya Aryan bisa menyempatkan untuk datang menemuiku tapi tak ia lakukan. Pagi itu, aku ke rumahnya dan tak sengaja berpapasan dengan mobilnya yang berangkat keluar. Aku ikuti, dan terus melihatnya dari kejauhan. Hingga kemudian aku terdiam, tersadar saat melihat Aryan, suamiku mengusap pipi wanita di sampingnya dan kutahu itu Wulan, istrinya. Aku melihatnya jelas saat mobilnya menepi, dan aku menangis. Hatiku sakit, napasku sesak. Kutarik napas dalam-dalam, dan kucoba menghubunginya, ia tak angkat.
Semalaman aku menangis dan Aryan jelas-jelas menghindar, atau karena wanita itu yang kini sudah mulai berarti baginya. Oh Tuhan, kenapa aku harus berjumpa dengan Aryan jika jalannya sesakit ini? Tak sanggup, aku kirim pesan pada Wulan kemudian menemuinya.
Siang itu, Wulan terlihat lugu dan begitu polos. Tak tega sejujurnya, jika benar apa yang dikatakan Aryan bahwa ia sungguh-sungguh membantu kami, itu bisa kubuktikan lewat tatapan matanya. Tapi, saat anganku terbang melihat kejadian kemarin, hatiku terluka. Entah ada hasrat kewanitaanku yang ingin menumbangkannya. Wulan tersedu di hadapan, tiada perlawanan, tiada cacian, ia menerima apapun yang kukatakan. Jahat memang, tapi akan lebih jahat lagi jika ia terus menerus bertahan dan menyakitiku. Salah seorang harus ada yang dikorbankan, dan itu bukan aku. Dia.
Kebahagiaan memang harus dikejar, aku puas dengan apa yang kulakukan meski malu dengan apa yang baru saja terjadi. Malamnya aku kembali, kusiapkan sebuah pesta kecil untuk menyambut kepergiannya. Tapi nyatanya, malam itu menjadi malam terakhirku bersama Aryan. Aku terluka, aku mencintainya tapi ia tak memahami, ketika harus dihadapkan mana yang akan kupilih, Dia yang telah memberikanku napas atau dia yang datang menumbuhkan cinta? Aku tak mampu menjawab. Di mataku Aryan pergi, meninggalkanku.
Rasa itu hilang, terbang, aku mematung sendiri di keheningan malam dan cahaya Tuhan tak mampu menghangatkan hati. Aku dalam kebimbangan, berlari ke arahnya dan meninggalkan semua yakinku atau menetap dan kembali merasakan hangatnya cahaya. Tapi, ada keraguan di hati terdalam. Keraguan yang teramat besar akan semua hal yang pernah Aryan ajarkan, dibalik ketegasan Islam dalam memperlakukan wanita, di dalamnya ada juga keindahan yang bisa melindungi wanita dari kekejaman dunia, dan semua itu pernah Aryan tunjukkan. Aku diam dan tersudut, Aryan sudah menceraikanku, entah apa mungkin aku bisa mendapatkannya kembali? Atau aku kembali pulang saja? Meninggalkan semua yang sejujurnya aku pun ragu. Islam atau Aryan yang sebenarnya berat di hatiku? Aku menangis, dalam hening mencoba menerobos cahaya yang perlahan mulai tertutup.
=====
DUSTA
Dusta seperti yang pernah ia lakukan dulu kepadaku ketika menikahiku, dusta saat ia mengatakan sakit perut dan ternyata tidak, semua hanya dusta dan aku tahu ini tak benar. Karena kutahu banyak wanita yang menderita karena keegoisan lelaki.
***
Masalah ini benar-benar menguras emosi juga tenagaku, ada keresahan di hati akan Agni juga rasa resah memikirkan Wulan yang semakin ingin berpisah denganku. Hening, bibirku tak henti-henti melafazkan dzikir, masalah ini begitu rumit seperti puzzle yang kehilangan salah satu kepingannya, jadi belum selesai. Kukendarai mobilku dengan hati-hati dan sejurus kemudian, ponselku berdering.
“Agni!” Buru-buru aku angkat karena terakhir aku tahu ia berusaha ingin mengakhiri hidup.
“Aryan!” Suaranya terdengar panik, desahan napas, isak tangisnya terdengar jelas. Hingga perlahan ku baru menyadari bahwa rasa ini sesungguhnya masih tersisa untuknya tapi tak lebih dari sekedar sahabat tak lebih dari itu, rasa ini berbeda ketika ku mendengar desahan napas Wulan dan isak tangisnya.
“Aryan, kamu tak apa-apa?” tanyanya panik. Kemudian kuteringat, aku mengalami kecelakaan ketika sedang meneleponnya, mungkin ia mengira aku celaka.
“Agni, aku mohon. Berhentilah berusaha mengakhiri hidupmu, Agni hidupmu lebih berharga dari aku. Aku mohon.”
“Kamu tidak resah saat aku mengatakan itu?”
“Sumpah, aku resah. Aku mohon tolong jangan lakukan lagi.”
“Aryan aku merindukanmu.”
Aku diam, rasa di hatinya memang tak mungkin bisa lepas begitu saja.
“Aryan, aku mohon kembalilah … kita bicarakan kembali masalah kita,” pintanya dan aku hiraukan.
“Maaf Agni … aku tak bisa,” kataku hingga keheningan yang kurasakan. Agni menutup sambungan telepon, dan aku sedikit merasa bersalah. Tapi, aku harus tegas dan membuat keputusan aku sudah berjanji takkan membuat Wulan kecewa lagi, takkan membuatnya nangis lagi. Karena kusadar bahwa aku mencintainya, aku sadar telah menyia-nyiakannya. Wulan cintanya bertahan cukup lama dan ketika disakiti ia masih mencintaiku.
Aku tiba di pekarangan rumah, kemudian melihat Aslan yang sibuk dengan gitar tuanya di depan. Anganku terbang ketika ia datang dan berusaha mendekati Wulan, ada amarah besar di dalam, aliran darahku panas, seketika emosi memuncak. Aku turun dari mobil melihatnya dengan nanar dan dia diam, menghiraukan seraya memainkan beberapa nada di gitarnya.
“Saya ingin bicara,” kataku ketus dan dia menoleh, kemudian bangkit.
“Dengar! Wulan masih istriku, jangan ganggu dia apalagi terus menerus mendekatinya!” rutukku, dan dia justru mendongakkan kepalanya.
“Selama senyuman itu belum kembali di wajahnya! Aku akan terus mengejarnya! Aku tak peduli!”
“Sadar kamu Aslan! Dia istriku! Dan yang kaulakukan itu salah!”
“Jadi yang kaulakukan terhadapnya itu benar? Membohonginya? Benar? Kenapa kau tak kembali saja pada Agni dan berikan Wulan padaku!”
“Kurang ajar! Haaah!” Aku tarik kerah pakaiannya dan mencoba memukulnya, napasku tersengal, kemudian kupejamkan mata. Ia lepaskan perlahan jemariku yang mengeras di kerah bajunya.
“Harusnya kamu malu mas, malu! Cuih!” lanjutnya meninggalkanku dengan segala rasa bersalahku. Wajahku memerah, emosi seketika memuncak hingga kemudian padam saat melihat Ibu keluar dari kamarnya.
“Aryan kamu kembali? Mana Wulan?” tanyanya mengecilkan rasa di hati. Bagaimana aku mengatakan padanya jika Wulan enggan kembali bersamaku.
“Kamu itu benar-benar keterlaluan! Ibu kecewa! Kurang apa Wulan Aryan? Dia wanita yang baik, siang malam ia menjaga Ibu dan Bapakmu! Apa yang kaulakukan benar-benar membuat ibu kecewa!” rutuknya dan aku menyesal. Aku tahu dan kini merasa bersalah, kupejamkan mata mencoba menahan air mata.
“Dengarkan dulu penjelasan Aryan Bu.”
“Nggak ada! Ibu kecewa! Dengar, kamu tidak boleh sampai terlihat Bapak, Ibu terpaksa berdusta bilang ke Bapak kalian sedang bulan madu. Dengar Aryan, jika kamu tidak bisa membawa Wulan kembali, Ibu tidak ridha menjadi Ibumu!” katanya pergi meninggalkanku.
Aku hancur, hancur dan ini semua karena ketidaktegasanku. Ya. Bodoh, seharusnya dulu aku tak terpengaruh akan besarnya cinta Agni, harusnya aku tinggalkan dia dan tak memilih untuk menikahinya. Aku salah, aku yang bersalah. Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, aroma istriku menempel di bantal yang ia kenakan. MasyaAllah begitu harum, aku rindu. Wulan … Masmu rindu, pulanglah. Kupeluki dan kuciumi bantal dan selimut yang biasa ia pakai, hingga kusadar ada sebuah surat dan di atasnya cincin pernikahan yang sempat kusematkan di jemarinya. Aku bangkit dan buru-buru membacanya.
Mas Aryan yang budiman, Wulan bukan lagi adikmu.
Jangan sebut lagi Wulan dengan sapaan dek, atau apapun.
Sebagai wanita berstatus sah istri di hadapan Allah, wulan mohon diberikan keridhaannya untuk keluar dari rumah. Izinkan, dan besarkan hati agar malaikat tak mengutuk setiap langkah Wulan.
Wulan, pergi dari rumah. Karena Bapak sudah sehat, dan sesuai perjanjian Wulan kembali.
Mas Aryan yang terhormat! Hari ini, wulan pastikan takkan lagi menganggu hubungan Mas dengan Agni. Karena Wulan bukan madu mas, yang sanggup merampas kebahagiaan orang lain.
Selamat untuk semuanya, untuk Mba Agni juga kandungannya.
Titip maaf untuk keluarga.
Wulan Adisa Soenggono, bukan lagi adikmu atau istrimu.
Dan detik ini, hubungan sudah terputus baik di dunia maupun akhirat. Wassalam.
Nggak! Nggak! Aku sesenggukan menangis! Bagaimana Wulan bisa mengatakan hal seburuk itu? Apa ini? Dia sudah mengembalikan mas kawinnya? Tidak! Aku tak bisa diam! Bagaimana mungkin ia mengatakan bahwa hubungan kita sudah terputus baik di dunia maupun akhirat! Tidak, baru saja aku membangun mimpi bersamanya berjalan di Surga, bagaimana mungkin ia lepaskan begitu saja? Aku menangis, merengkuh isi surat hingga kemudian kubaca kembali, Mba agni dan kandungannya?
“Bohong!” Aku bangkit, dan baru menyadari mungkin saja Agni datang menemuinya dan melukai perasaannya. Kenapa aku bodoh tak menyadarinya. Aku bergegas, berlari keluar meski letih kurasa, rinduku takkan pernah sembuh sebelum berjumpa dengan istriku. Mengatakan hal yang sesungguhnya. Malam itu, sangat malam aku kembali ke pesantren Al Fatih.
***
[Pov. WULAN]
Aku bersujud cukup lama, sesenggukan memohon harap agar Alloh mencabut rasa di jiwa akan Mas Aryan. Karena sungguh hatiku sesak jika memikirkannya. Melihat kondisinya pagi ini hatiku terluka, Mas Aryan wajahnya lebam, tubuhnya demam dan kondisinya kepayahan. Aku iba. Ketika kukembali bersama Palek, dan menemuinya sudah terbaring lemah di kamar. Hasrat cintaku kembali, aku ingin memeluknya kemudian memohon ampun atas sikapku.
Tak butuh waktu lama untuk membuatku luluh, kubuatkan bubur untuknya, jahe hangat dan semua yang bisa kuberikan untuknya. Kukompres dahinya dengan handuk yang telah kurendam di air hangat, memegang jemarinya. Dan menangis di hadapan, kelopak matanya membesar, dan badannya sangat panas.
“Nduk … Aryan sepertinya sungguh-sungguh ingin memohon maaf,” kata Bue dan membuat hatiku terenyuh. Aku tarik napas, kuganti kemejanya, dengan kemeja yang baru. Kubasuh luka di wajahnya hingga kemudian hatiku lega. Mas Aryan tampak kelelahan, apapun yang kulakukan tak membangunkannya. Aku tersedu, apa yang harus kulakukan? Cintaku terasa nyata untuknya, tapi aku tak mungkin menjadi benalu untuknya dan Mba Agni. Mba Agni lebih pantas, ia cantik, pintar dan satu lagi ia sedang mengandung anak Mas Aryan. Aku apa? Hanya wanita bodoh yang sering disapanya hitam! Wanita bodoh yang mencintainya cukup lama dan akhirnya harus merasakan sakit seperti hari ini. Aku bodoh! Sangat bodoh!
Saat hatiku kian luluh melihat keadaannya, sejurus kemudian getar ponsel milik Mas Aryan terlihat di atas nakas. Agni! Ya itu nama yang muncul di layar ponsel dan sudah puluhan panggilan tak terjawab. Hatiku mundur lagi. “Maaf mas, Wulan sudah memutuskan, untuk pisah. Maaf,” kataku seraya keluar kamar hingga kemudian kulihat Pae mengamatiku, sorot matanya tajam menatapku. Aku berkaca-kaca, tak sanggup dan mungkin lelaki paruh baya itu bisa memahaminya. Ia mendekat kemudian memelukku. Dan aku sesenggukan di pelukannya.
“Innallaha maa shobirin, Alloh beserta orang-orang yang sabar Nduk. Itu berarti jarak Alloh dengan orang yang sabar itu sangat dekat, lebih dekat dari apapun karena Allah selalu bersamanya. Nduk … sebesar apapun kekesalanmu pada suamimu, tugasmu tetaplah menjaganya. Lakukan semua karena Alloh, demi Dia. Jika benci terhadap suamimu, ingat lagi Alloh … Pae paham perasaanmu Nduk, rasa sakit itu wajar, tapi … jika sampai kau melalaikan tugasmu kau akan berhadapan dengan Alloh, bukan lagi dengan kebencian. Apa yang kaurasakan hari ini akan mendapat gantinya kelak.” Ucapan Pae seperti hujan di musim kemarau begitu teduh hingga memadamkan api yang panas di hati, mendengar nasihatnya aku selalu luluh dan tak mampu menolak. Beliau adalah Ayah sekaligus guru bagiku. Aku manut mengangguk, tapi semua itu kukerjakan demi Alloh.
“Wulan, ndak sanggup untuk bersama lagi Pae … Wulan ndak bisa, karena pernikahan ini dilandasi kebohongan. Selama ini Wulan sudah menanggung sabar, sabar. Disaat Wulan sudah merasa Mas Aryan telah berubah dan takkan lagi menyakiti hati ini. Wulan baru tersadar bahwa itu hanya sandiwara.”
“Apa kamu sudah pastikan bahwa itu hanya sandiwara?”
“Nggih Pae, sudah. Mas Aryan tak sungguh-sungguh menikahi Wulan. Pae, Wulan pun tak sanggup jika harus menjadi bayang-bayang hubungan orang lain. Wulan ikhlas, meski berat. Pae, berikan keridhaan Pae, biar Mas Aryan melepas haknya dari Wulan …,” lirihku kemudian Bue berlari memelukku.
“Sing sabar Nduk … sabar, jangan gegabah.”
Aku kalut, air mataku tak lagi dapat terbendung. Apa yang Mas Aryan lakukan sudah di luar batas. Kesengajaannya menikahiku dan rencananya bersama Agni teramat menyakitkan. Aku kembali ke kamar Sri. Letaknya di kamar belakang, duduk bersandar di balik dinding yang membatasi antaraku dengan lelaki yang selama ini singgah di rasa. Harapanku pun terbang jauh, sangat jauh. Hingga ku tersadar, suamiku mencoba untuk bangkit. Ia keluar dari kamar, melihat kesetiap sudut ruangan. Mencariku, aku tahu. Aku diam, sesenggukan ingin berlari jika melihat keadaannya. Tapi aku bisa apa? Sakit hati ini juga Agni lebih membutuhkannya. Tak lama kulihat ia menuju ruang depan, aku keluar mengintip dari ruangan belakang. Pae memberikannya nasehat, melihat wajah Pae yang begitu tenang membuat hatiku teduh. Pae bisa saja memakinya atau menghinanya, tapi tak ia lakukan. Lelaki paruh baya itu justru menasihatinya dengan bijak, memintanya untuk pulang hingga aku bisa berpikir tenang. Aku mungkin belum tenang, dan benar aku butuh waktu.
***
Malam ini sepertinya aku bebas menekan rasa. Aku sudah berada di rumah orangtuaku meski ini memalukan, segelintir kudengar dari warga desa juga anak-anak pondok bahwa aku, putri dari Kiai Hadi telah menikah dengan lelaki yang sudah bersuami, belum tersentuh dan banyak lagi kata mereka. Entah dari mana datangnya informasi ini, tapi nyatanya sudah tersebar. Hingga aku mencoba tegar, kembali meniti hari menjadi Wulan yang dulu.
Seperti sebelum kumenikah. Mencoba kembali mengikuti kajian hingga aku malu sendiri, dan Pae juga Bue hanya bisa menahan sedih. Suatu hari aku tahu, Allah akan memberikan pengampunan atas segala kesabaran yang selama ini kupupuk atau mungkin menggantinya dengan lebih baik.
“Nduk … kamu di rumah saja ya,” kata Bue memohon. Aku tahu ini memalukan, kurengkuh pundaknya memohon maaf dan mencoba merasakan menjadi dirinya.
“Bue malu ya?” tanyaku lirih.
“Ndak Nduk, Bue hanya khawatir kamu yang akan sedih.”
“Ndak Bue … insyaAllah Wulan kuat. Bue percaya kan?” ucapku dan kami pun saling menguatkan. Aku tahu, hatinya pasti sama sakitnya denganku. Lalu aku mencoba tegar, tak menangis lagi. Menarik senyum dan tertawa bersamanya.
Malam ini kajian seperti biasa dilakukan di masjid pondok. Saat aku duduk di antara para santri wanita, mereka memandangku dengan sorot mata curiga, penuh tanya dan aku biasa saja. Aku terus melihat Pae yang memberikan ceramah dan kajian tentang Jannah Wannar. Dalam hadist dijelaskan bahwa nanti kelak di surga, setiap istri akan menjadi ratu bagi mereka para suami. Ratu yang paling dicinta dan disayangi. Aku diam, menunduk bahwa semua angan itu hampir saja punah.
“Pak Kiai, Nyuwun ngapunten saestu … bagaimana jika suaminya tak baik, dan istri di dunia hanya mengharapkan restu dari Gusti Alloh. Apa kelak akan dipertemukan di Surga?” tanya seorang wanita paruh baya, warga desa yang entah berasal dari mana. Untuk mengikuti kajian kadang banyak warga desa lain yang menyempatkan hadir. Dan aku, merasa pertanyaan sungguh menyinggung apa yang sedang kualami, seketika tubuhku terangkat dan ingin tahu apa yang akan dijawab Pae, karena aku pun butuh tahu, bagaimana jika aku bertahan dengan Mas Aryan sedang ia sama sekali tak mencinta juga telah mendzalimi seperti yang ia lakukan sekarang.
“Subhnallah … pertanyaannya, bagus sekali Nyai. Saya jelaskan nggih, bahwa ada pahala jihad yang bisa para wanita dapatkan, pahala yang besarnya sama dengan orang yang menjalankan jihad di medan perang. Yaitu pahalanya seorang wanita yang mengerjakan hal-hal di bawah ini dan jika dikerjakan maka derajatnya sama dengan orang yang mati syahid, mau dilanjut mboten?”
“Nggih …”
“Catet nggih ….”
“Pertama, Toat, kedua mendatangkan hak suami. Apa itu? Tak perlu menunggu suami meminta haknya tapi istri datang dulu menawarkan. Paham nggih ….”
Aku menangis lagi, menahan isak agar tak terdengar peserta kajian lainnya.
“Ketiga, menceritakan kebaikan suami …. Jadi kalo lagi kesel, jangan bentar-bentar curhat terus menceritakan kejelekan suami, dosa itu. Gemarlah bercerita kebaikan suami. Yang keempat, tidak mengkhianati pada dirinya. Tidak berkhianat ya Bu …. paham nggih.”
Air mataku menetes. Kuusap kasar sebelum yang lain melihat. Perlahan desiran rindu mendadak hadir, rindu di atas luka. Aku tak rindu Mas Aryan, tapi aku rindu menjadi istri yang dirindukan Surga. Ingin menjadi istri yang saliha dan selalu bisa membanggakan suami. Tapi bukan Mas Aryan.
“Yang kelima tidak mengkhianati harta suami. Nah jika itu dikerjakan pahalanya sama dengan orang yang mati syahid. Lalu pertanyaanya, apa jika kita melakukan itu tapi suami kita tetap maksiat, tetap tak baik, maka jangan khawatir Bu. Nanti di Surga, istrinya akan dinikahkan dengan orang yang mati syahid.
Aku sesenggukan. Tak kuat kemudian berlari pulang. Terdiam di kamar, merindu pada sesuatu yang semestinya tak kurindu. Aku menikah satu bulan yang lalu berharap bisa menjadi saliha, berharap bisa membangun sakinah dan menghadirkan mawaddah tapi aku tak mendapatkan kesempatan itu. Aku tarik napas dalam-dalam, kurebahkan diri di atas ranjang kemudian mencoba melepas letih yang sempat menghujam batin.
“Nduk … bangun.” Mataku mengerjap, kemudian bangkit melihat Bue sudah ada di hadapan, kuusap mataku kasar kemudian melihat jam di atas nakas sudah pukul dua malam. Kenapa awal sekali Bue membangunkanku?
“Nduk … Aryan di luar. Bue suruh masuk ya.”
“Buat apa dia ke sini Bue, ini sudah malam. Suruh kembali saja.”
“Dia sudah sejam menunggu di luar ternyata, kasihan Nduk. Suruh tidur di dalam saja.”
Aku menarik napas apa, yang diinginkan Mas Aryan sebenarnya.
“Buee … Wulan belum siap bertemu Mas Aryan, suruh pulang saja.”
“Maafkan dia Nduk. Kasihan suamimu di luar.”
“Bue … jika Mas Aryan mau meminta maaf Wulan, bilang saja sudah Wulan maafkan. Wulan belum siap Bue. Maaf ….”
Aku rebahkan diri kembali, kemudian membelakangi Bue. Wanita paruh baya di belakangku bangkit, dan entah apa yang akan dilakukannya pada Aryan aku tak peduli karena hati belum ikhlas. Dan aku terjaga, hatiku tak tenang. Bukankah sudah kubilang jika aku tak ingin bertemu, kenapa Mas Aryan begitu keras kepala. Aku beranjak, mengintip dari sela-sela jendela melihat lelaki itu terdiam di dalam mobil, kedinginan sesekali mengusap-usap punggung lengannya. Resah aku keluar kamar dan melihat Pae tengah berdzikir.
“Duduk sini Nduk,” pintanya aku datang kemudian duduk di sampingnya.
“Nduk … ada yang ingin Pae sampaikan. Bukankah Aryan adalah lelaki yang setiap malam kamu doakan? Bukankah Aryan lelaki yang selama ini kamu pinta sama Gusti Alloh? Apapun keadaannya, Alloh sebenarnya telah mengabulkan doa-doamu Nduk. Meski belum semua, tapi setidaknya Aryan kini telah menjadi suamimu yang sah di mata Alloh ….” Pae menarik napas.
“Pae hanya berpesan, jika kamu memang diqadarkan untuk menjadi madunya, maka ikhlaslah Nduk. Tapi, jika kamu pun tak sanggup. Pae tak akan menghalangi keputusanmu, karena kamu sudah dewasa. Tau mana yang terbaik dan tidak. Tapi satu pesan Pae, jika suatu saat kamu sungguh kembali menjadi istrinya Aryan. Tetaplah taat seperti yang kau dengar pada kajian semalam, dan jangan sekali-kali kamu meminta Aryan untuk menceraikan istrinya yang lain. Kerjakan semua karena Allah Nduk ….”
Kupejamkan mata, menarik napas.
“Dah … sana, suruh suamimu masuk.”
Aku diam, kemudian bangkit. Perlahan melangkah keluar kemudian membuka pintu perlahan, hingga suamiku mendadak menoleh ke arahku. Mata kami beradu, sama merahnya, gelap, dan kelelahan. Aku tahu Mas Aryan pasti tak bisa tidur karena masalah ini. Kutarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir sejenak dan memintanya masuk. Ia masuk kemudian merengkuh punggung tangan Pae dan mengikutiku dari belakang.
“Istirahat Mas … Wulan ada di kamar belakang,” kataku seraya membukakan pintu kamar untuknya.
“Dek,” ucapnya menghentikan langkahku. Aku tetap diam, aku mungkin bisa menerimanya tapi untuk berhadapan langsung juga berbicara dengannya aku belum siap.
“Nggih Mas,” jawabku tenang. Pae mengangguk ke arahku seperti melarang akan tindakan yang baru saja kulakukan, kemudian meninggalkan kami.
“Ada yang Mas ingin bicarakan.”
“Maaf Mas, maaf … Wulan lelah,” balasku seraya meninggalkannya.
Aku tahu ini salah, aku tahu ini tak sesuai dengan kajian yang Pae berikan semalam tapi hatiku sudah terejam oleh sikap Mas Aryan, dan aku rasa ini wajar. Gontai lelaki bertubuh jangkung itu masuk ke kamarku dan aku di kamar belakang. Aku pergi ke dapur dan berpas-pasan lagi dengannya ketika hendak mengambil wudu, dia masih diam, meski wajahnya begitu layu dan pucat. Ya Alloh Mas, mengapa sulit sekali menjadi dirimu, lepaskan saja aku.
Sakit hati ini paling hanya akan bertahan beberapa lama setelahnya perlahan aku akan melupakanmu. Begitu saja, apa itu sulit bagimu? Bahagialah dengan Agni, Ibu dari anakmu, aku diam melewatinya ketika ia terus menatapku. Tak ada lagi sajada yang ia simpan, atau ia bawa kemana-mana ketika tahajud. Kali ini kami bertahajud terpisah.
“Allahuakbar!” suaranya terdengar nyaring di kamar Sri, karena kamar kami memang hanya tersekat dengan papan kayu. Akan terdengar dan terasa dekat. Kupejamkan mata, deras air mata mengalir memohon petunjuk akan kehendak Alloh atas kejadian ini. Rasa di matanya pun bisa kurasakan, tapi apa yang ia lakukan itu salah. Agni? Aku tak menyalahkannya, Mas Aryan yang salah dan meninggalkanku adalah jalan terbaik.
“Ya Alloh … bukankah di setiap cobaan ada hikmah yang bisa kudapatkan? Tapi mengapa sulit sekali mencerna hikmah di balik ujian ini? Kasih Mas Aryan, juga kebaikannya teramat nyata dan jelas, tapi aku tak mampu menerima keadaannya. Bagaimana bisa aku hidup di atas luka yang telah terbangun? Mudahkanlah semua ya Alloh, aku pasrah, jika jodohku masih bersamanya satukanlah kami dengan cara baik jika tidak pisahkan kami dengan caramu … tanpa mengguncangkan arsy-Mu ….”
Aku menangis lagi.
Setelahnya aku menarik napas, kemudian menuju dapur. Melihat Bue yang tengah sibuk menyiangi sayuran dan matanya berkaca-kaca, hingga air mata terjun ke bawah.
“Bue … Wulan bantu.”
“Nduk, kamu sudah lebih baik?”
“InsyaAlloh Bue.”
“Nduk, kembalilah sama suamimu pagi ini. Kasihan suamimu Nduk.”
“Wulan sudah putuskan Bue … Wulan mau pisah, ini sudah keputusan akhir.”
Bue menarik napas, kemudian menyeka air matanya. Keputusanku sepertinya membuatnya terpukul. Kulihat pundaknya naik turun, kemudian napasnya tersengal.
“Menjadi janda itu berat Nak, Bue ndak tega. Apa kata orang-orang nanti?” Air mata Bue pecah, dan aku diam. Mencoba untuk kuat, kemudian menyeka air mata yang nyatanya turun juga hingga tak sadar ku lihat Mas aryan berdiri mematung di pintu menatapku, menangis.
Kutarik napas dalam-dalam. Kemudian menghiraukannya lagi, hingga subuh dan matahari terbit kami masih saling diam. Tak saling bicara, hanya tatapan Mas Aryan yang kadang membuatku rapuh. Matanya terus mengikuti kemanapun langkah membawa tubuhku. Aku tahu ia lelah, kutahu ini juga berat untuknya. Hubungan kami terjalin cukup baik selama puluhan tahun, dan harus berbekas patah karena masalah ini. Tak enak memang, tapi ini jalan yang harus kupilih.
Kusibukkan diri di pondok membantu pembukuan administrasi dan banyak hal. Sementara Mas Aryan kutinggalkan di rumah. Hingga tak lama, Pae kembali memanggilku. Dan aku datang ke ruangannya di pondok.
“Berapa lama kamu mau mendiami suamimu?” tanya Pae datar.
“Nduk, berdosa jika kamu terus menerus seperti ini, setidaknya dengarkan penjelasannya dulu. Setelah itu, kamu mau marah. boleh.”
“Apa Pae akan melarang Wulan untuk menuntut cerai?”
Pae menarik napas, diam cukup lama. “Lakukan apa yang menurutmu terbaik, tapi ingat … semua mesti atas dasar karena Alloh, bukan karena emosi atau ego. Ingat Nduk, emosi, keegoisan hanya bumbu bumbu setan, bukan datang dari Alloh.”
Kutenangkan pikiran, berusaha menerima saran Pae tapi aku lemah. Aku tahu ketika mendengar penjelasan Mas Aryan, pasti aku akan luluh lagi, aku akan menjadi orang bodoh lagi, karena cinta yang sejujurnya belum habis dan selalu terukur namanya.
Aku tak mampu berhadapan dengan Mas Aryan, menatap matanya saja aku tak sanggup, apalagi harus bicara. Kucoba tenang, kemudian mengingat kembali air mata Bue yang melipir di pipinya semalam, membuatku terluka.
Aku kembali ke rumah. Rumahku yang sederhana, berjalan menuju ruang tamu, ruang tengah dan sisi kanannya adalah kamarku. Sepatu Mas Aryan dan mobilnya masih di luar, dan kurasakan ia masih di dalam. Aku ke belakang membuatkan teh tubruk kesukaannya kemudian pelan mengetuk pintu yang biasanya tak perlu kuketuk. Mas Aryan membuka, dengan wajah yang sayu, kelopak matanya membesar dan matanya bekaca-kaca.
“Dek …,” lirihnya.
“Duduk Mas,” jawabku tenang. Meski sebenarnya hati seperti deburan ombak yang kini arahnya sudah tak jelas lagi, karena sudah bercampur dengan panasnya darah emosi. Tiada lagi rasa hangat di pipi, dan aku tahu semua itu sudah berkurang. Mas Aryan duduk, dan aku duduk di sampingnya. Kami saling diam, ia terus menatap wajahku, aku tarik napas dalam-dalam. Ini adalah pembelajaran bagiku untuk menjadi dewasa, aku harus bicara dengan bijak di atas luka yang kurasa.
“Mas … Wulan sudah putuskan ….”
Hening, kutarik napas dalam-dalam dan mencoba berbicara kembali. Berat aku menelan saliva yang sudah bergerumul hingga menghasilkan suara dan terdengar ke telinga.
“Kita kembali saja ke rencana awal, Wulan sudah ikhlas dengan semua. Wulan maafkan Mas Aryan dan Mba Agni, jadi biarkan Wulan bebas kini Mas. Toh Bapak sudah sembuh, tak baik jika lama-lama.”
Tanganku digamitnya kemudian ia letakkan di dada.
“Lihat Mas, Dek.”
Aku hiraukan dan menoleh ke arah berlawanan.
“Amas sholih Dek, lihat Mas,” katanya membuatku memejamkan mata hingga kemudian mengalir air mataku dan memberanikan diri menatap matanya.
“Mas … ndak mau pisah, kesepakatan itu toh bukan Mas yang minta. Tapi Adek sendiri kan? Mas nggak mau pisah Dek,” pintanya memohon. Tanganku digenggamnya cukup erat.
“Mas nggak boleh egois, kasihan Mba Agni,” jawabku seraya menarik tanganku. Ia turun bersimpuh di lantai dan dua tangan menghadang tubuhku, hal yang sama ketika ia lakukan dulu saat ia mengatakan bahwa dirinya sudah menikah.
“Mas … sudah menceraikan Agni De, mas baru sadar kalo mas ….”
Plak! Astaghfirullah! Apa yang kulakukan, tangan ini baru saja menyakiti pipi suamiku. Aku menggamparnya dengan sangat keras, lelaki yang selama ini kuhormati kini menjadi terlihat bodoh. Dia diam, menahan perih di pipi. Dan aku empaskan kedua tangannya kemudian berdiri, napasku tersengal mendengar ucapannya.
“Bagaimana bisa Mas menceraikan Mba Agni? Bagaimana bisa Mas setega itu? Mas! Mba Agni sedang mengandung anak Mas! Apa yang Mas lakukan ini jahat! Sangat jahat!” kataku kemudian memaksa keluar, sementara ia menghadang tubuhku, “dengarkan Mas dulu!” rutuknya, dan aku tak peduli. Semua lelaki sama, tak ada bedanya. Jika bicara soal poligami, mereka akan menutupi kekurangannya dan bertahan demi keegoisan semata.
“DENGAR!” teriaknya dan tubuhku terpatri, kedua tangannya erat memegang kedua bahuku, napasku tersengal, Mas Aryan berteriak untuk pertama kalinya, membuat jantungku berdegup kencang dan ketakutan.
“Mas … belum pernah melakukan hubungan suami istri dengannya,” katanya membuat mataku terbelalak, dan lagi-lagi hanya sebuah dusta yang tergambar jelas di matanya. Dusta yang seperti yang pernah ia lakukan dulu kepadaku ketika menikahiku, dusta saat ia mengatakan sakit perut dan ternyata tidak, semua hanya dusta dan aku tahu ini tak benar. Karena kutahu banyak wanita yang menderita karena keegoisan lelaki. Dan Mas Aryanku, dirinya tak seperti dulu, sudah berubah dan sulit ditebak. Kulepaskan pegangan tangannya, lalu menatapnya. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah menikah dan tinggal bersama, tidak melakukan hubungan apapun, Agni begitu cantik, bak bidadari, wanita itu kemarin dengan angkuhnya mengatakan dirinya sudah mengandung, lalu siapa yang harus kupercaya?
“Maaf Mas, Wulan tidak percaya,” jawabku datar kemudian meninggalkannya.
Bersambung #8
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel