Dek … hubungan kita ini ibarat tali terbentang, mas pegang satu, adek pegang satu. Jika salah satu dari kita lengah, maka berakhirlah hubungan ini.
Menatap matanya juga wajahnya hatiku pilu. Tiada lagi pipi yang kemerahan seperti yang sudah-sudah, semua sirna. Apa yang kulakukan telah merenggut cinta di hatinya. Tiada lagi senyuman, suara manja, senyum yang bisa membuat jiwaku terbang. Semua hanya kehampaan yang membuat batinku terluka dan tersakiti. Rasanya ingin terbang kembali menuju puluhan tahun yang lalu, kemudian mengikatnya sebelum aku mengenal Agni. Lalu, aku kini terluka dan menyesal ketika Wulan mengempaskan tanganku kemudian pergi keluar tanpa ada harap yang kutatap di wajahnya.
Semalaman aku menangis, memohon agar Alloh mau mengetuk pintu hatinya agar mau memaafkanku, membuka hati agar mau kembali dan menjalin jalan menuju Surganya. Aku terdiam cukup lama sampai akhirnya aku terima ia melepaskan tanganku di pundaknya.
Riuh suara kendaraan terparkir di depan terdengar. Aku tersadar, mobil Bapak baru saja tiba, Aslan dan Ibu kemudian turun dan perlahan masuk ke dalam. Sementara tubuhku mematung.
“Assalamualaikum …,” sapa mereka. Aslan, lagi-lagi menatapku sinis dan apa yang dilakukan Ibu juga Aslan sungguh membuat hatiku ragu. Semua berhamburan, Pae juga Bue menyambut kedatangan keluargaku dan semua karenaku, pertemuan ini pasti akan berubah menjadi pertemuan yang mengharubiru, aku yakin Ibuku akan memohon maaf pada keluarga Wulan atas perbuatanku. Aslan berdiri tegak, menatapku angkuh hingga tak lama istriku, Wulan datang membawakan beberapa cangkir teh untuk disajikan. Buru-buru Ibuku menyambut Wulan, mendudukkan menantunya di sofa kemudian menangis memohon maaf. Aku malu.
“Laan … maafkan Ibu, maafkan Bapak ya Lan, Ibu minta maaf ya Nduk …,” ucapnya tersedu semakin menghancurkan hatiku. Wulan beringsut turun, dia merengkuh kedua kaki Ibuku kemudian tersedu.
“Wulan yang minta maaf Bu, lagi-lagi tak sopan. Pergi tanpa pamit.”
“Lan, maafkan kami. Ibu paham perasaanmu Nduk, Ibu mohon maafkan Aryan.”
Aku diam, hening melihat istriku yang tak memberikan jawaban, keputusannya untuk berpisah sepertinya sudah bulat. Ya. Jika memang Wulan kekeh akan berpisah ini seperti sebuah hukuman yang pantas untukku, tapi tidak aku harus berjuang, aku tahu bagaimana dia, tau semua kebiasannya melalui diary tentangnya yang kusimpan rapih. Aku punya semua dan aku harus menumbuhkan cinta itu lagi di hatinya.
“Laan, jika Wulan tak bia memaafkan Aryan, setidaknya jangan hukum Bapak, Lan … setiap hari Bapak menanyakan Wulan, dan setiap hari juga Ibu harus berdusta ….”
Aku melengos, memejamkan mata. Tak seharusnya Wulan merawat Ayahku karena sebuah keterpaksaan, aku memang jahat. Apa yang kulakukan selama ini adalah menganiaya dirinya. Hanya menjadikannya pengobat luka Bapak, tanpa memikirkan hatinya yang bisa saja terluka. Dan jika dia kembali, aku berjanji bukan karena Bapak, melainkan karenaku, rasa juga rinduku padanya.
“Ibu mohon Lan, kembali pulang ya. Tidak usah maafkan Aryan, tak apa … Ibu juga benci dengannya. Lan, tapi Ibu mohon … beri kesempatan sekali lagi,” jawab Ibu dan sekarang semuanya demi Bapak. Ini sungguh tega, terdengar begitu egois karena yang penting Bapak sembuh. Tapi bagaimana? Karena Wulan sudah seperti anak kesayangannya, bahkan kami yang anak kandungnya jarang ditanyakan. Selalu dia, istriku. Hingga perlahan hati tak yakin Wulan mau kembali, dan kemudian ia mengangguk lembut seraya meneteskan air mata. Hatiku tersenyum lebar, mataku berkaca-kaca. Apa ini Alloh? Apa hatinya sudah mulai terbuka untukku atau apa? Ya Alloh ….
“InsyaAllah Wulan akan kembali Bu … tapi ….”
“Tapi apa Nduk?”
“Wulan minta satu syarat.”
“Katakan saja, Nduk … insyaAlloh Bue terima.”
“Wulan meminta kamar yang berbeda dengan Mas Aryan ….”
Aku terperangah, bagaimana bisa? Kami suami istri tapi harus terpisah. Aku lemas, tapi ini lebih baik dari pada tidak sama sekali.
“Boleh Nduk … akan Ibu siapkan kamar tamu, Wulan di sana saja.”
“Biar Aryan saja Bu, Wulan tetap di kamarnya ….,” sahutku memberikan solusi terbaik, karena kutahu kamar tamu tak seluas kamarku, kamar mandinya juga kecil. Kamarku lebih nyaman, semua untuknya yang terbaik.
“Wulan di kamar tamu saja Bu,” balasnya ketus menghiraukan usulku.
“Ada lagi …,” lanjutnya.
“Katakan Nduk.”
“Selama Wulan di sana, kehadiran Wulan hanya untuk meringankan penyakit Bapak, Wulan akan membantu. Maafkan Wulan Bu … Wulan tak mampu menjadi menantu Ibu yang baik …,” katanya semakin membuat batinku tersiksa. Darahku begitu panas, naik turun hingga tak mampu harus seperti apa meyakinkannya.
“Wulan menantu Ibu yang terbaik, anak Ibu saja yang keterlaluan. Maafkan Ibu ya Nak, Ibu tak mau kehilangan Wulan … Wulan pikirkan baik-baik ya, Ibu mohon buka pintu hati Wulan untuk Aryan. Maafkan dia ….”
Wulan pejamkan mata, kemudian aku ikut bersimpuh di samping Ibu. Dan kami duduk di bawah bertiga saling menatap.
“Mas mohon, Dek,” lirihku hingga kemudian kurasakan tangan Ibu merangkul pundakku. Kemudian matanya, menatap mataku lamat-lamat. Ia menarik napas panjang.
“Wulan akan ikut, tapi mohon tulung Mas Aryan jangan terlalu dekat, dan bicara dengan Wulan. Biar waktu yang memberikan proses untuk membimbing hati Wulan.”
“Oooh tentu boleh, Ibu akan marahi dia. Jika dia bicara sama kamu. Sekarang Wulan pulang ya,” kata Ibu dan hati kini sedikit lega, karena akhirnya Wulanku mau kembali pulang. Meski dengan persyaratan yang cukup berat, tapi akan kuterima.
Ia mengangguk dan semua lafaz berucap syukur, begitupun aku yang tersenyum bahagia. Wulan masuk ke dalam kamar, menyiapkan semua bawaannya kemudian keluar. Dua mobil terparkir, ada Aslan dan aku, aku diam menunggu cemas khawatir Wulan akan memilih Aslan. Wulan istriku keluar dan Aslan terlihat sangat antusias mendekatinya.
“Ayo Lan …,” kata Aslan seraya menarik koper kemudian membawanya.
“Mas Aslan … maaf, Wulan dengan Mas Aryan. Ibu bareng Wulan ya …,” ucapnya lembut dan aku tersenyum kecil. Aku tahu, gadisku ini adalah gadis mulia yang selalu menjaga izzahnya, ini yang membuatku bisa mencintainya sedalam ini. Aku masuk ke mobil membukakan pintu depan untuknya tapi ia justru membuka pintu tengah. Tak mengapa, yang penting kami satu mobil. Wulan dan Ibuku duduk di belakang sementara aku menyetir. Aku bahagia.
Dalam perjalanan sesekali kulihat istriku yang termangu diam memandang ke arah luar jalan. Aku larut dalam keindahan di mata, merasa bangga akan keindahan yang tercipta, keindahan yang kumiliki, Wajah manis yang tak pernah membosankan itu adalah milikku, wajah yang selalu mengingatkanku pada keluguan gadis cilik yang selalu menanam cintanya padaku. Cinta yang sudah ia pupuk cukup lama.
CIIT! “Astaghfirullah!”
Aku panik menginjak rem mendadak hingga semua tubuh tersentak ke depan.
“ARYAN!” teriak Ibu memarahiku, dan mendadak peluh membanjiri wajahku, kemudian ku menatap Wulan, ia seperti panik dengan keadaanku, dan aku tersenyum kecil. Kulanjutkan lagi perjalanan kami, dan lagi-lagi larut menatapnya. Tak rela rasanya harus kehilangan tomat di pipinya.
“Mas jangan natap Wulan terus! Nanti kayak tadi lagi!” katanya ketus.
“Mas cuma ….”
“Cukup Yan, kamu mesti puasa bicara sama Wulan!”
“Hmmm …. mmmmm … mmmm …,” jawabku seraya menunjuk-nunjuk pada parka jalan, dan Ibu tertawa sementara Wulan diam, tapi kutahu batinnya tersenyum.
***
[Pov. WULAN]
Apa kalian tahu rasanya menjadi yang kedua? Ketika aku membayangkan kekasihku terampas, ragaku seperti tak bernyawa. Aku mungkin bisa saja berlari bersama Mas Aryan, kemudian meninggalkan semua orang yang menangis atau bahkan tak merestui hubungan kami. Tapi apa ini baik? Apa ini bisa membuka pintu surga, jika ada seseorang yang tak ridha dengan hubungan ini? Nasibku adalah madunya, bukan yang pertama. Mba Agni? Entah bagaimana perpisahan mereka? Tetap seperti ada yang mengganjal di hati, sebelum aku yakin Mas Aryan dan Mba Agni sudah berpisah aku mungkin tak bisa melanjutkan hubungan ini. Mas, maafkan Wulan … Wulan butuh waktu, sesungguhnya rasa ini takkan ke mana. Selalu di sini, melihat Mas Aryan, mendengar suara Mas Aryan, hati Wulan selalu bergetar. Wulan takut Mas … takut suatu saat hati ini tumbang lagi, takut suatu saat Mas Aryan tak menjadi milik Wulan. Maaf.
Akhirnya untuk kesekian waktu aku kembali. Rumah yang kini masih menjadi rumah suami juga mertuaku, namun sampai kapan? Entah aku tak tahu. Mas Aryan turun dari mobil, memaksa membawa semua barang-barangku, dan kemudian masuk ke dalam. Buru-buru ia masuk ke dalam kemudian meletakkan tasku di dalam kamarnya. Aku ambil lagi tasku tanpa bicara banyak dengannya, kemudian keluar.
“Mas yang keluar Dek, Adek di sini aja.” Tak kuhiraukan.
“Dek!” Langkahku terhenti, tangan itu kembali menarik lenganku. Aku diam kemudian memberanikan diri menatapnya.
“Maafkan Wulan Mas. Apa Mas bisa bersikap biasa saja dengan Wulan, tak perlu perhatian, tak perlu melakukan apapun. Sebelum Wulan tahu bahwa Mba Agni dalam keadaan baik-baik saja, tidak menyimpan luka dan sakit hati, Wulan belum bisa menerima. Mas … tak tahu bagaimana hati ini sakit, dan mungkin Mba Agni sama sakitnya dengan Wulan. Bagaimana hidup bisa bahagia jika ada doa orang yang tersakiti? Tolong jangan paksa Wulan dulu Mas … Wulan masih butuh waktu.”
Kataku dan Mas Aryan terdiam. Ia menunduk dan aku rasa apa yang kukatakan sangat menyentuh relung hatinya. Meski cinta harusnya berjuang. Meski cinta semestinya menghiraukan segala yang menghalangi. Tapi aku madunya, bahkan keadaan Mba Agni, benar tidaknya dia hamil aku tak tahu. Begitu sulit memulihkan rasa yakin terhadap lelaki di hadapan. Mas Aryan terdiam, perlahan beringsut dan melepaskan genggaman tangannya.
Aku tahu, banyak yang salah. Ini salah, dan aku tahu aku telah melukainya, tapi aku tahu Mas Aryan menyimpan sebuah rahasia besar. Rahasia yang bisa saja merenggut rasaku kembali. Aku menarik napas panjang, masuk ke dalam kamar tamu kemudian berbalik melihat Mas Aryan mematung memandangiku lalu menunduk. Bukannya aku tak mau menggunakan kamarnya. Barang-barang miliknya lebih banyak dibanding barang milikku, ia pasti akan kesulitan jika pindah kamar. Jadi aku saja yang berada di kamar tamu, toh kamar tamu ini dua kali lebih besar dari kamarku di rumah, kasurnya lebih empuk, juga ada pendingin ruangan dan televisi dan kamar mandi di dalam. Kududuk di atas ranjang kemudian merebahkan tubuh dan terlelap.
***
Mataku mengerjap, menatap ke arah langit-langit dan jam yang terpasang di dinding. Pukul dua siang. “MasyaAlloh!” teriakku, aku kesiangan dan belum salat dzuhur juga menyiapkan makan siang. Buru-buru aku bergegas mengerjakan salat kemudian keluar kamar, dan seperti alarm yang tertempel di raga, Mas Aryan pun keluar dari kamarnya. Dadaku berdegup kencang, melihatnya yang juga seperti selesai bangun tidur, ia mengusap matanya dengan kasar kemudian tersenyum, kaos putih dengan celana coklat selutut tetap saja membuatnya terlihat rupawan. Tapi … bukankah dia harusnya bekerja? Mungkin saja lelah, karena tak tidur sepanjang malam. Aku hiraukan dia dan melangkah ke arah dapur. Makanan sudah terhidang rapi, senyum Ibu mengembang menyambutku.
“Maaf Bu … Wulan kesiangan.”
“Ndak apa-apa Nduk, semua sudah disiapkan kok. Kamu makan ya?”
“Nanti saja Bu, oh ya Bapak sudah makan, Bu?”
“Sudah, Bapak nanyain kamu terus. Kamu sama Aryan temui Bapak ya,” kata Ibu membuat hatiku merasa terbebani. Kutarik napas panjang, menghela lagi, apa harus bersamanya, bukankah kami sedang tak saling bicara, jika terus menerus bersamanya bagaimana bisa aku menghentikan rasa yang sebentar lagi akan terpecah.
“Maaf ya Nduk … kemarin, Ibu pake alasan bulan madu. Karena khawatir Bapak semakin parah sakitnya.”
“Harusnya Ibu jujur saja sama Bapak, kasihan Bapak juga dibohongin. Kenapa pembohong jadi dibela!” Suara Mas Aslan mendadak hadir dan membuat luka baru di hati, suasana semakin menegang, wajah Ibu seketika memerah, dan aku tak bisa melihat keributan di rumah ini.
“Aslan!”
“Nggih Bu … Wulan akan bersama Mas Aryan ketemu Bapak.”
“Terima kasih ya Lan, maaf ya Lan … kamu memang mantu Ibu yang paling baik. Aryan mana?” tanyanya.
“Ndak tau bu ….”
“Biar Ibu panggilkan, Yuk ….” Ajaknya menggamit jemariku hingga kami tiba di kamar Mas Aryan, sedang mandi rupanya. Aku keluar lagi sebelum terjadi hal yang tak kuinginkan, hingga tak lama Mas Aryan keluar, ia kenakan kaos hitam celana army selutut membuat wajahnya semakin bersinar, aroma sabun yang melipir ke indra penciuman semakin menguatkan hasratku untuk memeluknya, masyaAlloh aku lupa, aku harus meredam, kesempurnaan Mas Aryan bukanlah milikku.
“Ada apa Dek?” tanyanya dan aku diam tak berani menatap matanya.
“Aryan, ke Bapak sana. Bawa Wulan, bilang kalian dari bulan madu … oh ya, jangan kecewakan Ibu ya Yan.” Mas Aryan menatap mataku, berkaca-kaca. Aku tahu, aku hanya boneka di sini. Boneka yang sengaja dipasang oleh mereka demi menyelamatkan satu nyawa, demi membahagiakan satu raga, tapi aku siapa? Aku pun putri mereka yang mereka berikan dana hingga aku bisa kuliah dan sekolah. Ya, ini ku anggap sebagai balas budi.
Mas Aryan berjalan di depanku, dan aku mengekor di belakangnya. Kulihat Bapak sedang duduk di pekarangan, memandang ke arah taman. Pelan kami melangkah kemudian duduk bersimpuh di hadapannya. Dia tersenyum gemilang, mengusap ubun-ubunku dan aku menangis sementara Aryan memandangiku tanpa henti. Seandainya ini adalah nyata ini sangat indah, tapi tahukah kamu rasanya dikhianati, dianggap boneka dan hanya dijadikan sandaran? Sakit.
Jika mengingat alasan Mas Aryan menikahiku dan juga persekongkolannya dengan Agni siapapun akan merasakan luka yang sama. Kemudian aku teringat dengan pesan Pae, bahwa aku harus ikhlas mengerjakan pekerjaanku sebagai seorang istri dan semua yang kulakukan mesti karena Alloh, kutarik napas dalam-dalam, dan mencium punggung Pak Ganendra dengan penuh takdzim sebagai seorang menantu juga anak.
“Cu-cu … Cuuuu-cu,” katanya terbata-bata, membuat mata kami berdua terbelalak.
“Bapak, doakan ya Pak. Semoga Wulan cepat mengandung,” jawab Mas Aryan membuat perasaanku tak karuan. Jika mengingat Agni rasanya hatiku masih sakit, dan belum percaya jika wanita itu berdusta. Aku bangkit, sedikit geram dengan jawaban Mas Aryan lalu pergi meninggalkannya, hingga kemudian langkahku terhenti karena tanganku diraihnya. Aku diam, kemudian ia merangkul pundakku dan memaksaku tersenyum di depan Bapak. Aku tersenyum.
“Lepas Mas!” bisikku seraya melepaskan genggemannya dan dia mengekor tubuhku.
“Tunggu Lan!” rutuknya menghentikan langkahku, ia tarik pergelangan tanganku hingga lagi-lagi kami berhadapan.
“Tolong jangan siksa mas, kayak gini Lan. Mas sudah jelaskan semua, mas mohon! Tolong jangan diam!”
“Mas bisa jelaskan, Wulan ini jelek, hitam, pendek, bodoh ndak seperti Mba Agni yang cantik, tinggi, putih, pintar terus Mas suruh Wulan percaya kalo Mas nggak pernah melakukan apapun? Mas, jika memang sudah katakan saja sudah tidak perlu mengada-ngada!” kataku ketus menoleh hingga kemudian tubuhku tertarik ke belakang. Mas Aryan memelukku erat.
“Nakal! Jangan dilepas, kalo ndak mas marah. Arsy Alloh bisa terguncang. Lihat Bapak, dia sedang senyum … jadi jangan lepas!” bisiknya di telingaku, napasnya berembus di telinga, dadaku berdegup lagi, jantungku semakin tak karuan.
“Mas, butuh Wulan cuma karena Bapak, kan?”
“Ndak.”
“Tapi awalnya seperti itu, tolong jangan bicara dulu sama Wulan, Mas!” kataku beringsut, memaksa keluar dari dekapannya.
Aku pergi ke dapur, kemudian melihat pakaian Mas Aryan menumpuk di tempat pakaian kotor miliknya. Sudah berapa lama tak tersentuh? Bukankah ada si Simbok yang bisa melakukannya.
“Maafkan Mbok ya Non, Den Aryan minta, semua pakaian, makanan Non yang urus. Mbok nggak boleh megang.”
“Pakaian dan makanan?”
“Nggih Non, Den Aryan nggak mau makan kalo bukan masakan Non, katanya.”
Berlebihan! Mas Aryan keterlaluan kenapa perlakuannya selalu seperti ini? Selalu membuat hati ini bergetar tak karuan. Aku bersihkan pakaiannya seraya menyiapkan masakan untuknya di dapur. Ada beberapa sayuran dan masakan yang sudah disajikan Mbok, jika Mas Aryan tak mau makan buatannya berarti aku harus masak lagi untuknya. Aku ambil telur, kemudian membuat beberapa telor ceplok dan kutumis kecap.
Harum bumbu menyeruak dan tak lama suara Mas Aslan terdengar, ia bernyanyi kemudian duduk di meja makan. Dapur ini terasa nyaman, dapur yang terletak di teras belakang, ada kolam ikan di tengah-tengah halaman belakang, dan dapur yang tak berpintu dengan meja makan segi empat. Sangat cocok untuk termangu diam memikirkan nasibku dengan Mas Aryan.
“Dek … bisa minta tolong buatkan kopi hitam?” pinta Mas Aslan seraya tersenyum ke arahku. Aku diam, jika ingat beberapa waktu lalu Mas Aryan pernah marah karena kuturuti permintaan Mas Aslan rasanya tak enak. Amarah ini benar-benar membuatku harus keluar dari kebiasaan. Aku turuti permintaan Mas Aslan, toh hanya kopi hitam. Kuletakkan di hadapannya.
Setelah mengantar kopi hitam untuk Mas Aslan, Mas Aryan begitu saja duduk di hadapannya. Bimbang sudah, rasanya ingin hilang seperti jin daripada harus melihat kakak beradik saling diam dan memandang sinis.
"Ini Mas," ucapku seraya meletakkan teh tubruk kesukaan Mas Aryan di hadapan.
Dia menggeleng dan matanya naik turun seperti memberi kode.
"Mas mau kopi?"
Dia menggeleng lagi dan kali ini tak hanya matanya seluruh indra di wajahnya bergerak seperti memberi kode.
"Air putih?"
Menggeleng lagi.
"Mas, Wulan izinkan bicara satu kata! Hanya satu kata!"
"Mau apa? Mau minum?" tanyaku ketus.
"Enggak."
"Mau makan?"
"Enggak," jawabnya semakin membuat emosiku naik turun dan Mas Aslan diam memandangnya dengan sinis.
"Terus mau apa?"
"Kamu!"
Ish! Aku letakkan lap dapur, kemudian pergi. Mas Aryan berdiri mengikutiku.
Sejak dulu, Mas Aryan memang paling pintar mengambil hatiku. Caranya, rayuannya dan kupercaya lelaki seperti dia tak hanya memberikan gombalannya saja padaku. Berbeda dengan Mas Aslan yang terkenal dingin dan hanya beberapa orang saja yang dekat dengannya. Perlahan aku masuk ke kamar, Mas Aryan mengikutiku. Dadaku berdegup, hingga kemudian langkahnya terhenti ponselnya terdengar berdering dan tak lama entah, cukup lama Mas Aryan tak mengangkatnya kemudian meninggalkanku. Ya Allah, jika suatu saat Mas Aryan pergi … bisa-bisa aku yang mati. Aku menunduk di balik pintu, menangis dan sangat yakin, barusan adalah telepon dari Agni. Baru saja hati ini berbunga dan kini melayu lagi, selalu seperti ini. Aku diam hingga tak lama ponselku bergetar.
“Dek, sayang … jangan ngambek terus. Mas mau kerja, kemejanya mana?” tanyanya, aku menghela napas kemudian keluar.
Astaghfirullah … apa memang aku yang terlalu berpikiran buruk? Bukankah wajar jika aku tak mudah memaafkannya? Ya Alloh, perasaan ini datang lagi. Pipiku terasa hangat, dan pasti kini berubah memerah.
Aku melangkah menuju kamar, kemudian kuketuk pintu kamarnya. Dan perlahan ia buka, senyumannya lebar. Aku menoleh dan bergegas mencari kemeja di lemari.
Ish! Kemeja sebanyak ini apa tak bisa ia ambil sendiri! Aku ambil kemeja hitam, dan celana hitam, juga semua kebutuhannya kemudian meninggalkannya dan Mas Aryan menghalangi langkahku. Aku menoleh dan dirinya terus mengikuti arah mataku.
“Mas sungguh-sungguh mau ke kantor Dek, ada rapat penting. Mas tau, mas paham … mas memang salah dan mas tau itu. Biarkan Mas perbaiki semua, adek diam saja. Tetap jadi Wulan yang dulu, mas akan buktikkan, mas akan rebut lagi … hati Adek.”
Napasku tersengal, ingin tersenyum tapi malu. Pipiku mulai hangat lagi. Tak harus ia rebut, hatiku memang masih untuknya. Ia tersenyum, kemudian membiarkanku pergi. Kutarik napas dalam-dalam, kemudian mengulum bibirku ke dalam dan tersenyum malu. Hingga perlahan mata lelaki paruh baya yang kini duduk di pekarangan menatapku, di sepasang matanya terpancar kebahagiaan. Aku melangkah ke arahnya, mengambil madu di atas meja makan kemudian mendekat. Dan tak jauh dari tempat Bapak duduk, ada Mas Aslan yang sedang merebahkan diri di atas bale. Mas Aslan memang tak banyak kegiatan, sesekali ia hanya pentas dan itu pun saat malam tiba. Seharian ia bisa menghabiskan waktunya di rumah, mencipta lagu atau puisi.
“Bapak, minum madu ya,” kataku Bapak mengangguk dan Mas Aslan bangkit dari tempatnya.
“Lan … terima kasih ya.”
“Untuk apa Mas?”
“Kamu udah mau merawat Bapak.”
“Sudah tugas Wulan, kok Mas.”
“Oh ya? Tugasmu bukannya melayani Mas Aryan?”
Deg! Tubuhku rapuh, sakit lagi, senyum hangat yang tadi hadir mendadak hilang. Kemudian membayangkan bahwa Mas Aryan mempertahankan pernikahan ini hanya karena Bapak. Aku diam menunduk, mencoba tak menyaring ucapan Mas Aslan. Mencoba kuat.
“Mas Aslan, ndak main gitar?” tanyaku mengalihkan pertanyaannya. Sementara pikiranku masih terbang, terbang ke mana Mas Aryan akan pergi nanti, telepon siapa yang ia terima barusan. Semua berkumpul jadi satu di kepala dan menciptakan hawa panas juga rasa sakit dari hati yang pernah rapuh.
“Kamu mau, biar Mas ….”
"Dek, baju mas, kayaknya bau deh." Mas Aryan datang begitu saja memotong pembicaraanku dengan Mas Aslan. Lelaki satu ini memang tidak kehabisan akal, bagaimana mungkin bajunya bau. Saat mencuci aku pakai pewangi dan menggosok juga pakai pewangi.
"Bau? Wulan cium dari jauh wangi kok."
"Bau, Dek. Aneh baunya, kayaknya bau kecoa gitu," katanya mendengus-dengus ke pakaiannya. Ya Alloh, kecoa? Habis semua donk pakaian Mas Aryan.
"Mana sini!" kataku panik.
"Ini loh cium!" katanya seraya membenturkan kepalaku ke dadanya, refleks aku menghindar dan memukul dadanya dan dia menyeringai kemudian memelukku. Di depan Bapak juga Mas Aslan aku tak mampu berbuat apa-apa.
"Begitu donk, kalo suami mau berangkat kerja, dipeluk dan cium," lanjutnya tersenyum dan pipiku terasa hangat, juga air di mata yang sepertinya perlahan menggenang. Mas Aryan menatapku, kemudian menghela napas. Sementara Mas Aslan, pergi meninggalkan kami.
“Denger nggak?”
“Apa?”
“Masa kamu nggak denger. Udah bunyi berapa kali itu, Dek.” Aku beringsut, mencoba melepas tapi tangan Mas Aryan begitu kuat, sangat kuat tak mampu aku bergerak.
“Denger apa sih Mas! Mas kenapa sih nggak bisa bersikap biasa aja. Apa mas selalu kayak gini sama semua perempuan, tukang gombal, perayu!” desisku, tak ingin hati ini layu lagi kemudian sakit lagi.
“Mas memang gombal, perayu tapi cuma sama kamu. Wulan Adisa Soenggono, tuh bunyi lagi ….”
“Mas lapar?”
Dia mengangguk, dan aku geli, mencoba menahan aroma bunga yang bertebaran di hati. Lelaki itu terus menggamit jemariku hingga kami tiba di meja makan. Dia duduk, kemudian aku ambilkan makan. Saat kupergi, ia tarik lenganku dan menarik kursi di sampingnya, dan aku didudukkan.
“Mas tahu, kamu juga belum makan. Aa …,” katanya mencoba memberiku sesuap nasi dengan potongan telur kecap di atasnya.
“Wulan bisa sendiri Mas.”
“Aa …,” desaknya lagi dan aku luluh, aku ikuti hati yang kian berbunga.
“Di kantor sedang ada masalah Dek, ada investor yang berencana menarik sahamnya di perusahaan. Dan, jika sampai ini terjadi perusahaan bisa bangkrut, akan banyak karyawan yang tidak bekerja, akan banyak petani kopi yang kehilangan pekerjaan. Mas, mungkin akan pulang malam, tapi untuk bekerja …,” katanya menjelaskan dan tangan satunya masih menggamit jemariku dan tangan yang lain terus sibuk memasukkan makanan ke mulut. Aku diam, merasa bersalah. Karena telah berpikiran yang tidak-tidak. Mas Aryan, beban di pundaknya pasti sangat banyak dan dirinya pasti sangat kelelahan. Aku menyesal, seharusnya aku mendampinginya, madu atau bukan aku tetap istrinya.
“Maafkan Mas … maaf, maaf dan maaf. Sampai kapanpun, berapa lamapun, Mas akan terus menunggu sampai hati Wulan percaya lagi sama Mas. Mas akan berusaha, Dek … hubungan kita ini ibarat tali terbentang, mas pegang satu, adek pegang satu. Jika salah satu dari kita lengah, maka berakhirlah hubungan ini. Mas akan terus memegang tali itu erat, dan semoga Adek juga bisa … percaya lagi dengan Mas, menjalani hubungan lagi dengan Mas. Mas akan berusaha … adek mau kan?”
“Mau apa?”
“Menjaga tali itu tetap utuh, tidak peduli dengan ucapan siapapun, tetap menatap Mas dan kuat memegang talinya?”
Aku diam, mata kami saling menatap. Hingga perlahan kurasakan pipiku terasa hangat dan sepertinya wajahku memerah dan dia tersenyum lebar, seperti tahu pipi ini memerah karena cinta padanya.
*** END ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel