Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 12 Februari 2020

Gendis Ayu #2

Cerita bersambung


Hujan deras pagi itu membuat mahasiswa KKN memberikan penyuluhan soal irigasi di pendopo rumah Pak Lurah.

Target mereka KKN di desa ini adalah membuat bendungan agar pengairan di desa cukup saat menghadapi musim kemarau yang akan datang.

Hampir semua warga antusias mengikuti penyuluhan itu. Para gadis malah terlihat kompak tak berkedip saat tiba waktunya Panji yang memberi materi.
Sikap para mahasiswa yang senang membantu warga membuat penduduk desa berebut mengundang mereka untuk sekedar singgah ke rumah mereka saat waktu makan tiba.

Bahkan ada yang terang-terangan menjodohkan anak mereka dengan mahasiswa- mahasiswa tersebut.

Semenjak ditolong Panji, Gendhis menjadi sedikit memperhatikan pemuda itu. Pemuda yang kerap kali ketahuan mencuri pandang ke arahnya.
Pemuda yang entah dari kapan masuk menjadi salah satu nama yang diucapkan Nawang saat berdoa.
Gendhis tengah asik melihat cerahnya sore dari balik jendela kamarnya. Semenjak jatuh,Gendhis memang tidak boleh keluar rumah dulu.
Dari jauh dilihatnya Panji sedang berjalan sendirian menyusuri jalan setapak.
Melihat Gendhis ada disamping jendela, Panji melempar senyum kepadanya. Namun cepat-cepat Gendhis menjauhi jendela. Hanya ekor matanya yang masih mengintip keluar.
Ingin rasanya Panji mengajak dara manis ini ngobrol.Tapi entah mengapa gadis itu selalu berusaha menghindarinya.
Dirinya sudah sering mengobrol dengan Nawang namun gaya Nawang yang lebih sering membanggakan dirinya membuat Panji malas jika Nawang mengajaknya ngobrol.
" Liat apa to Ndis... " celetuk Nawang mengagetkan.

Tahu - tahu gadis itu sudah berdiri dibelakang Gendhis, membuatnya kaget sekaligus salah tingkah.
" Eh anu mbak, itu" jawab Gendhis tergagap.
Nawang mencondongkan tubuhnya melihat keluar jendela. Di kejauhan matanya menangkap tubuh Panji dari belakang.
" Oh... Jadi sekarang kerjaanmu ki ngintip Panji Ndis?" tanya Nawang sinis.
"Mentang- mentang lagi sakit, ndak nyuci ndak nyapu ndak bantú bune trus dadi leluasa ngono ngintip Panji" kata Nawang sok tahu.
" Ndak ko mbak, tadi memang Ndis lagi ngeliat keluar jendela, pas banget mas Panji lewat" terang Gendhis.
" Alesanmu iku loo... Jujur wae to, nek koe ki naksir Panji kan?" lagi- lagi Nawang membuat Gendhis serba salah.
"Sak karepmu mbak Nawang" kata Gendhis lesu.
Nawang hanya melirik Gendhis sekilas lalu keluar.
***

"Ini masakan Nawang mas-mas sekalian, monggo-monggo dinikmati" kata Pak Harjo membuka acara makan malam di pendopo.
Wajah Nawang memerah, dadanya kembang kempis melihat para pemuda memuji masakannya enak.
Bagas salah satu pemuda KKN bahkan menyebutnya calon istri idaman dan diiyakan oleh teman-temannya.
Membuat Nawang semakin terbang ke angkasa.
Sambil tersenyum, Nawang  mencuri pandang ke arah Panji. Ingin melihat bagaimana reaksinya mendengar pujian bertubi-tubi kepadanya itu.
Namun Panji terlihat sedang memandang tajam ke arah Gendhis. Nawang rela melakukan apapun demi mendapatkan pandangan penuh makna itu.

Senyum dibibirnya lenyap seketika.
"Yang dipuji kan aku kok yang diliatin Gendhis to?" sungut Nawang dalam hati.

Gendhis yang menyadari perubahan muka Nawang mengikuti arah pandangannya.
Agak kaget dia saat matanya bertemu dengan sorot tajam namun teduh dari Panji.
Darahnya terkesiap diikuti degup jantungnya yang mendadak tak beraturan. Ada perasaan hangat yang menjalari tubuhnya.
Tak mampu berlama-lama Gendhis pun menunduk. Makannya menjadi tak tenang, namun diam-diam perasaan bahagia menyelip dihatinya.

Selesai acara makan ternyata pemuda KKN ingin mencoba memainkan seperangkat gamelan yang memang berada di pojok pendopo.
Pak Harjo dengan senang hati menyambut keinginan mereka. Beliau dan beberapa perangkat desa dengan terampil mulai memainkan salah satu lagu karawitan Jawa.
Alunan gamelan yang syahdu ditengah desa nan asri membuai siapapun yang mendengarnya.

Satu persatu warga yang mendengar alunan gamelan di pendopo berdatangan untuk menikmati alunannya lebih dekat.
Ajeng dan Lastri bahkan ikut nyinden. Suara mereka yang lembut kian membuat sempurna suasana.
Gendhis dan Nawang yang baru selesai membantu ibunya beberes pun ikut duduk menikmati alunan syahdu itu.

Tibalah saatnya Gendhis nembang, sebuah lagu karawitan jawa kuno berpadu alunan gamelan antik membuat suara beningnya terasa mengandung sihir.
Waktu bagai terhenti mendengar harmoni itu. Pantulan lampu petromak yang tidak terlalu terang menyorot wajah ayu yang sedang nembang.
Kecantikannya benar- benar paripurna bagai dewi kayangan bukan lagi putri kepala desa.
Sungguh pesona Jawa yang sempurna. Semua hadirin terutama para pemuda KKN terpana melihat Gendhis.

Suara beningnya menetramkan jiwa. Parasnya malam itu sungguh membuat siapa saja terkesima.
Rasanya tak ada yang rela berkedip apalagi beranjak saat Gendhis sedang nembang.
Apalagi sepasang mata teduh pemuda tampan yang hatinya begitu berdesir sedari tadi. Bernafas pun rasanya enggan kala matanya terpaut begitu dalam dengan sosok Gendhis.
 
Semua terpana dan terkesima?
Oh tentu tidak, ada sepasang mata yang berapi - api menyimpan amarah. Pemilik kalbu yang bahkan tak terusik oleh merdunya suara Gendhis.
Sanubarinya berontak melihat semua sosok tertuju pada adik satu-satunya itu. Perlahan dia mundur dan berlalu menuju rumah utama.
***

Embun masih menyelimuti kelopak bunga yang dipegang Gendhis. Artinya bunga itu baru saja dipetik seseorang untuknya.

Mata Gendhis terpejam, menghirup dalam- dalam wanginya mawar putih itu. Bukan pertama kali ada setangkai mawar terselip di ujung jendelanya.
Hampir setiap pagi semenjak ada pemuda KKN setangkai mawar pasti selalu ditemuinya.
Gendhis bukan tidak tahu siapa orang yang sengaja meletakkan bunga tersebut untuknya. Namun dia terlalu takut jika perasaannya benar.

Akhir- akhir ini perasaannya kembali hangat, kembali berbunga. Perasaan yang bahkan hampir dia lupakan.
Perasaan yang dulu sempat merajai hatinya namun terpaksa dia matikan. Kini tumbuh kembali perasaan yang sama namun sekuat tenaga diabaikannya.
Dia terlalu takut jika benar dan terlalu takut jika Nawang mengetahuinya.
"Biarlah...." bisiknya lemah.
"Walah Ajeng alon-alon to, kaget aku" kata Nawang sewot saat Ajeng hampir saja menabraknya.
"Aduh mbak Nawang ngapunten, ndak sengaja"kata Ajeng  meringis.
"Ada apa to, kamu buru-buru banget?" selidik Nawang.
"Itu Mbak Nawang, mas Abimana pulang" katanya riang.
"Naik motor baru apik tenan bunyinya juga ndak berisik" tambahnya.

Diluar terdengar riuh sorak sorai beberapa anak kecil setengah telanjang yang berjalan ke arah pendopo.
Mereka seperti mengarak seorang pemuda yang naik sepeda motor.
Kendaraan bermotor memang menjadi pemandangan langka di desa.
Makanya ketika ada yang masuk kampung dapat dipastikan akan menjadi tontonan dan akan diarak anak kecil.

Seorang pemuda tertawa sambil mengendarai motornya pelan- pelan. Satu tangannya dipegang oleh seorang bocah gundul penuh lumpur kering yang berjalan disampingnya.
Sementara teman-teman kecil lainnya bersorak di belakang mereka.
Sontak saja pemandangan langka tersebut menyita perhatian pemuda KKN yang kala itu sedang duduk leyeh-leyeh di pendopo.
Mereka ikut tertawa melihat pemandangan lugu anak pedesaan yang belum tersentuh kemajuan tersebut.

Tak lama pengendara motor turun, bercanda sekilas dengan anak-anak pengarak tadi lalu memasuki pendopo rumah Pak Lurah.
Dia adalah Abimana, pacar Nawang anak pemilik perkebunan kelapa di desa setempat.
Abimana menyapa ramah para mahasiswa yang sedang bersantai di pendopo. Tak berapa lama mereka sudah terlihat akrab.

Abimana memang pemuda yang ramah dan pandai bergaul. Walaupun anak orang berada Abimana sama sekali tidak sombong.
"Nak Bima!" seru Pak Harjo senang.
"Kapan datang dari kota nak? " lanjutnya sambil menjabat tangan Abimana.
" Kemarin Pak de." jawab Abimana sambil mencium punggung tangan pak Lurah.

Mereka berbincang sejenak. Tak lama Abimana meminta izin Pak Lurah untuk mengajak Nawang jalan- jalan.
"Kok tumben sih, kamu diem aja aku pulang dek?" tanya Abimana ketika mereka sedang jalan menyusuri desa.
"Ndak papa kok mas," jawab Nawang sekenanya. Biasanya memang Nawang akan sangat senang ketika Abimana datang.

Namun sore itu didominasi oleh sikap diam Nawang. Bahkan biasanya Abimana seperti tidak punya kesempatan ngomong kalau mereka bertemu.
Walaupun rumah Abimana tak jauh dari desa Nawang, namun mereka jarang bertemu.

Abimana bekerja di kota. Pulang juga tidak tentu sebulan sekali.
"Itu di rumahmu banyak mahasiswa ganteng, ndak ada yang kamu taksir kan dek?" tanya  Abimana mencoba membuka topik pembicaraan setelah hening beberapa saat.
"Ndak lah, biasa wae" jawab Nawang.
Padahal pikirannya sedang mikirin Panji si ketua KKN.
"Itu tadi ada yang ganteng banget, pinter lagi, jodohin aja sama Gendhis dek?" kata Abimana.
"Yang namanya Panji dek" tambahnya.
"Enak aja mas Panji itu punyaku mas" Nawang keceplosan.
Mukanya memucat menyadari ucapannya.

Abimana yang awalnya niat bercanda terdiam mendengar jawaban Nawang.
Suasana menjadi kaku diantara mereka. Biasanya saat bertemu, tingkah mereka akan membuat siapapun yang melihat tersenyum.

Namun pasangan yang biasanya manja dimabuk asmara ini mendadak kikuk.
"Emang ganteng dan pinter ya keliatannya Panji itu dek" gumam Abimana.
Membuat Nawang semakin tidak nyaman dan merasa bersalah.

Malam itu Nawang menjadi pendiam. Dia bahkan tidak bereaksi saat melihat Panji mengajak Gendhis ngobrol ketika makan malam di pendopo.
Hatinya galau mau milih Abimana apa Panji. Abimana yang tampan idaman semua gadis didesanya berhasil dia taklukan.

Pandangan iri teman-teman gadisnya saat mereka tengah jalan berdua membuatnya bangga bukan kepalang.
Para pemuda yang berusaha mendekatinya pun segan setelah tahu Nawang dekat dengan anak juragan kelapa.
Namun pesona Panji sungguh melelehkah hatinya.

-----

"Eeeh.... Itu itu mbak Nawang. "
Ajeng jejeritan dari seberang sungai. Dia melihat sebuah baju hanyut.
"Yah... Piye iku" seru Nawang panik. Sambil tangannya berusaha meraih namun sudah tak terjangkau lagi.

Ajeng blingsatan lari di pinggir sungai mengejarnya. Sayang arus sungai lebih gesit membawa kebaya bermotif bunga itu ketengah lalu membawanya lebih jauh lagi.
Muka Ajeng terlihat menyesal dan lesu tak dapat meraih baju itu. Masih di tatapnya laju arus yang mengajak serta kain berwarna ungu tersebut.
Menghela nafas panjang dan sekali lagi memandang lesu baju kebaya favorit sahabatnya digerus arus sungai.
Sebuah senyum kecil luput dari pandangan Ajeng.

Pagi ini Pak Harjo dan Nawang akan pergi ke kota. Ada sodara di kota sana yang hajat.
Niatnya mereka akan berada di kota selama 4 hari. Bu Harjo tidak ikut karena tidak ada yang mengatur makanan pemuda KKN.
Makanya Nawang yang menemani Pak Harjo ke kota. Sebenarnya dia agak keberatan menemani bapaknya kali ini tapi dia tidak punya pilihan lain.

Gendhis masih belum pulih benar kakinya.Tidak mungkin pula membiarkan bapaknya pergi sendiri ke kota.

Sepanjang perjalanan pikiran Nawang gelisah. Pergi begitu lama meninggalkan desa, bagaimana kalo nanti Panji dan Gendhis semakin dekat.
"Aduh judeg aku kalo gini" keluh Nawang lirih.
Pak Harjo yang mendengar gumam Nawang melirik sekilas ke arahnya lalu kembali menyetir mobil tuanya.

Pak Harjo sedikit heran dengan sikap Nawang akhir- akhir ini. Dimulai dengan sikap acuh tak acuhnya ketika ada Abimana sampai reaksinya pagi ini saat tahu akan diajak ke kota.
Biasanya Nawang bahkan selalu merengek ingin ikut saat dirinya maupun istrinya ke kota.
Nawang akan membeli segala sesuatu yang menarik dan cantik untuk dirinya.
Namun kali ini bahkan ada keengganan yang menggelayuti matanya saat mobil  mulai berjalan menjauhi desa.

Terdengar beberapa kali dia mengeluh dan tampak mencemaskan sesuatu.
" Ada apa to cah Ayu?"
"Hah... nopo pak" jawab Nawang kaget.
"Tak sawang- sawang kok raimu ora legowo nderek bapak nyang kota cah ayu?"
" Mboten og pak, Nawang mung... " Nawang terhenti.
" Mung opo cah Ayu? " tanya pak Harjo lembut.
" Mboten nopo- nopo pak hehehehe" Nawang mencoba mengalihkan.
"Oh iyo, kemarin nak Bima tanya sama bapak, boleh ndak kalau keluarga nak Bima sowan kerumah" tutur pak Harjo lembut.
"Ngerti kan maksud Bapak"
"Enggih pak" jawab Nawang lirih.
"Kok ngono sih cah Ayu, seneng po piye ki artinya?" tanya pak Harjo lagi
"Pripun bapak mawon, Nawang manut" jawab Nawang lesu.

Pak Harjo bingung dengan reaksi putrinya. Tiga bulan yang lalu Nawang setengah merengek meminta bapaknya bertanya keseriusan Abimana dengan dirinya.
Pak Harjo yang mengetahui hubungan mereka baru berjalan beberapa lama meminta Nawang untuk bersabar dahulu.
Namun sikap Nawang yang keras kepala tak mau berkompromi. Dia seperti ketakutan akan kehilangan Abimana.

Abimana yang baru merintis usahanya meminta waktu membicarakannya dahulu dengan keluarganya.
Dia pun cukup kaget dengan pertanyaan Pak Harjo yang menurutnya sangat buru-buru. Namun karena dirinya pun suka dengan Nawang dia berusaha mengerti dan menuruti.
Namun sekarang Nawang seperti tidak peduli lagi dengan Abimana.
Abimana juga sempat menceritakan sikap Nawang kepada pak Harjo waktu jalan sore tempo hari.
Tak banyak yang tahu jika kepulangannya kali ini sebenarnya ingin melamar Nawang.
Ingin segera meminangnya, membawa Nawang ke kota dan memulai kehidupan disana.
Sebuah cincin emas bahkan telah jauh hari di persiapkannya. Terukir nama Nawang disana.
Tapi apadaya ternyata Abimana harus menelan kecewa. Hati yang begitu dipujanya seperti air diatas daun talas.

"Jangan dianggap serius sikap Nawang cah bagus."
"Baginya para pemuda KKN itu cuma selingan saja."
Begitu pesan yang disampaikan Pak Lurah saat Abimana berpamitan.
Abimana hanya bisa tersenyum Getir.

Selama Nawang di kota, pak lurah meminta Ajeng dan Lastri menginap dirumahnya.
"Buat nemenin Gendhis dan bantuin ibu masak" kata beliau.
Tentu saja Ajeng dan Lastri begitu bungah mendengarnya. Seharian bisa melihat pemuda KKN yang diidolakannya itu.
Apalagi hampir setiap hari turun hujan membuat kegiatan pemuda KKN kebanyakan dilakukan di pendopo rumah pak Lurah.
Hampir semua kegiatan menyertakan Gendhis, Ajeng dan Lastri. Membuat mereka kian akrab dengan pemuda KKN.
Beberapa malah ikut membantu turun ke dapur saat memasak. Sepanjang hari pendopo dan rumah pak lurah di penuhi canda tawa.
Kekakuan Gendhis dan Panji juga mulai mencair. Mereka bisa tertawa lepas bersama, bercanda sambil memasak bahkan  mencuci piring bersama.
Mereka tampak akrab dan serasi. Melihat mereka begitu dekat membuat teman-teman sejawatnya  mulai menjodoh jodohnya mereka berdua.
Gendhis hanya bisa tersipu mendengarnya, sejenak dia melupakan rasa takutnya kepada Nawang.
Tak ada sorot mata curiga yang mengintai, tak ada nada sinis yang mengintrogasi dan tak ada rasa bersalah yang mendera.
Hidupnya terasa lebih ringan tanpa Nawang.

Gendhis sama seperti bayangan Panji, pribadi yang ceria dan cerdas serta sangat manis tentunya.
Perasaan yang timbul saat pertama kali melihat Gendhis seperti berkembang pesat memenuhi dadanya.
Perasaan Gendhis tak jauh berbeda dengan Panji, jiwanya seperti hidup kembali. Semua tampak indah dan berwarna sekarang.

Pagi menjadi saat yang paling dinanti bagi keduanya.
Karena Panji akan menunggunya di samping jendela kamar. Memberikan seuntai bunga dan saling mengucapkan selamat pagi saat Gendhis membuka jendela.
Sederhana namun sangat dalam dirasa.
***

Bu Harjo memandang lekat-lekat wajah putrinya yang tengah asik menyiangi sayuran.
Wajahnya yang manis tetap mempesona dilihat. Anak rambut yang memenuhi pinggir keningnya membuat wajahnya tampak Ayu dan teduh.
Yang agak janggal diperhatikannya akhir - akhir ini  dia selalu memakai pakaian lama yang mulai lusuh dan pudar warnanya.
Memang itu tidak mempengaruhi pesonanya, jika diperhatikan kecantikannya malah semakin terlihat klasik.
Namun rasanya tidak pantas saja Putri kepala desa penampilannya terlalu seadanya begitu. Apalagi sekarang mereka kan sedang ada tamu Pemuda KKN.

"Bune ndak inget kamu punya baju itu cah Ayu?"
Gendhis memandangi baju yang memang sudah mulai pudar warnanya itu.
"Baju lama bune, walaupun warnanya agak pudar tapi nyaman dipakai" jawab Gendhis sambil tersenyum.
Dalam hatinya sebenarnya bingung, tiba-tiba isi lemarinya cuma tersisa beberapa baju lamanya saja.
Pernah sekali Ajeng cerita katanya waktu sedang mencuci baju di sungai bersama Nawang, salah satu baju Gendhis hanyut.

Hilang satu tapi kok lemari bajunya kosong sekarang. Lebih anehnya lagi yang hilang hampir semua baju - baju Gendhis yang masih baru.
"Ndak Bagus ya bune" tanya Gendhis kala melihat ketidakpuasan di mata ibunya.
"Ndak.. ndak.. tetap Ayu kamu nduk, cuma alangkah lebih baik kalo sekarang ini pakai baju yang agak apik cah Ayu".
"Sekarang ini kan kita sedang kedatangan tamu, menjamu tamu ya kalau bisa penampilan kita juga yang bagus cah ayu" jelas bu Harjo.
"Nggeh bune" jawab Gendhis sambil tersenyum.
***

Sore itu mendung, sepertinya hujan besar tengah bersiap mengguyur semesta.
Mobil tua pak Lurah pelan-pelan memasuki halaman luas berpendopo itu.
Tampak beberapa mahasiswa KKN menyongsong kedatangan Pak lurah. Membantu membawa barang bawaan dari kota yang lumayan banyak.
"Wah pak lurah malam ini kita makan besar ya" goda Danu salah satu mahasiswa kepada pak Harjo.
Pak lurah terkekeh mendengar Danu berkata demikian. Apalagi Danu tampak sempoyongan membawa salah satu karung bawaannya.
"Boleh nak Danu, bapak memang sengaja beli ini semua buat kalian" kata pak lurah sambil tersenyum.

Begitu sampai rumah, mata Nawang langsung mencari Gendhis, di kamar, di dapur sampai ke gudang belakang.
Bu Harjo keheranan melihat tingkah putri sulungnya itu.
"Cari apa to cah Ayu, belum salim sama bune udah sibuk aja".
"Gendhis mana bune, Nawang mau ngasih oleh-oleh" katanya sambil memperlihatkan selop baru.

Tumben ini anak inget adiknya, batin Bu harjo lirih.
"Tadi pamitan mau mandi di sungai sama Ajeng" kata bu Harjo.

Baru saja Nawang hendak melangkah keluar menyusul Gendhis ke sungai, hujan turun dengan derasnya.
"Aduh kok hujan to" keluh Nawang lesu.

Nawang bukan rindu dengan Gendhis sampai mau menyusulnya ke sungai.
Bukan juga ingin buru-buru menyerahkan selop warna merah bata ditangannya.
Namun sosok Panji yang tak juga ditemuinya dirumah membuat pikirannya mengarah kalau Gendhis pasti sedang bersama panji.

Dari kejauhan terlihat Ajeng berlari menghindari hujan. Sendirian.
"Jeng... Ajeng sini" teriaknya mencoba mengalahkan bunyi hujan.

Dengan tergopoh Ajeng menghampiri Nawang.
"Opo mbak Nawang" kata Ajeng dengan nafas tersengal.
"Kok sendiri, Gendhis mana"
"Gendhis dibelakang sama mas Panji mbak"

Srrr.... Darah Nawang langsung naik le ubun-ubun.
"Berdua doank apa ada yang lain?" tanya Nawang cemas.
"Hmmmmm sopo ae yo" Ajeng mencoba mengingat.
"Sopo wae to" desak Nawang tak sabar.
"Banyakan og mbak..tadi rame"
"Yo wes... ini buat kamu" kata Nawang sambil menyerahkan selop ditangannya.

Ajeng kegirangan menerima hadiah dari Nawang, dia langsung berlari  ke arah rumahnya lupa kalau hujan.

Di kejauhan terlihat rombongan sedang berlari ke arah pendopo. Terlihat Gendhis dan Panji paling belakang.
Mereka kehujanan, basah namun sedang tertawa bahagia. Gendhis bahkan terlihat memakai jaket yang sama dengan para mahasiswa.
Melihat pemandangan tersebut membuat dada Nawang bergemuruh menahan amarah.
Apalagi saat Nawang tahu jaket yang dipakai Gendhis mempunyai bordir bertuliskan Panji Bramantyo.
Dada Gendhis juga berdesir kaget melihat Nawang sedang berdiri di pinggir pendopo.
Nawang seperti sengaja menunggu kedatangannya. Menunggu dengan muka tak bersahabat.
Mata Nawang bahkan ber api - api dan dadanya mulai tersengal menahan amarah. Sungguh mengerikan.

Bersambung#3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER