Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 13 Februari 2020

Gendis Ayu #3

Cerita bersambung


Panji segera menyadari perubahan mimik Gendhis begitu dilihatnya muka Nawang menegang di pinggir pendopo.
"Waah.... Nawang sudah pulang ya" kata Panji mencoba bersikap biasa.

Disikutnya Bagas dan Galih yang saat itu juga bareng dengan mereka. Berdua langsung paham kode Panji.
"Loh kayaknya sebentar ke kota kok makin cantik ya Nawang ini" puji Galih.
"Waah bener banget Lih, lebih kelihatan fresh gitu... dan ini aduuh giwangnya baru kayaknya ya Nawang" Bagas melancarkan pujiannya.

Muka Nawang yang semula nyaris meledak berlahan melunak, sudut bibirnya tertarik tipis.

Mendadak lupa akan amarahnya dia segera membalikkan badan lalu berlahan jalan masuk ke pendopo, senyum tipis tersungging dibibirnya.
Bagas dan Galih yang berjalan di belakangnya masih tetap melancarkan segala ilmu kegombalan mereka ke Nawang.

Sedikit lega Gendhis menarik nafas panjang lalu beranjak masuk rumah. Tiba-tiba Panji menarik lembut tangan Gendhis. Menggenggam erat jemarinya dan kemudian tersenyum penuh arti.
Hati Gendhis meleleh diperlakukan demikian, sendinya mendadak lemas dan wajahnya bersemu merah.
Gendhis segera melepaskan tangannya namun Panji menggodanya dengan semakin mempererat gengamannya membuat Gendhis semakin salah tingkah.

Akhirnya dia berhasil masuk rumah, buru-buru menuju kamarnya lalu mendekap erat dadanya. Seolah khawatir hatinya akan meloncat keluar jika tak didekapnya.
Perasaannya hangat, genggaman tangan Panji masih terasa di jemarinya dan senyum manis itu... aah sungguh memabukkan, Gendhis tersenyum.
Gendhis tak sadar mata Nawang sedang memperhatikan tingkahnya. Bongkahan kebencian itu kian membatu di hati Nawang.
***

"Mas Panji mau kemana to?"
Ajeng bertanya keheranan melihat Panji bersiap hendak naik motor Pak Lurah.

Berhenti sejenak Panji menoleh lalu tersenyum.
"Ke kota Jeng, mau ikut? Ayo mbonceng?" kata Panji menggoda gadis pemalu itu.
"Ahh.. Ndak mas" jawab Ajeng tersipu seraya beranjak pergi.
" Jeng... Jeng sini dulu to, aku mau tanya sini"? kata Panji menahan Ajeng
" Nopo mas?"
"Besok kamu sama Gendhis jadi panitia di balai desa to?"
"Aduh mas, ndak tau Ajeng"
"Kok ndak tahu, kemarin semangat katanya mau"
"Iya tapi kalo Gendhis ndak ikut Ajeng malu"
"Kan kalian berdua ikut, sama Nawang sama Lastri juga kan?"
"Gendhis ndak mas Panji"
"Loh, kenapa Gendhis ndak ikut?"
"Gendhis bingung katanya ndak ada baju yang bagus, mau pinjam punya ku kedodoran semua" jelas Ajeng.
"Bajunya abis dibuang mbak Nawang" gumam Ajeng polos.
Merasa keceplosan dia segera menutup mulutnya. Berharap Panji tidak menyimak kata terakhirnya.

Belum sempat Panji menanyakan lebih lanjut, gadis bertubuh subur itu sudah melesat ke arah pendopo.
Dalam hati Panji pun menyadari sesuatu. Awal mula dirinya datang ke desa ini penampilan Gendhis benar- benar memukau.
Baju dan jariknya selalu maching. Walaupun wajahnya nyaris tanpa polesan namun justru itu membuat kecantikannya sangat alami.

Tapi akhir-akhir ini dia lebih sering memakai baju yang lusuh. Jarik juga seadanya. Walaupun itu tak mengurangi pesonanya namun Panji sadar dengan perubahannya.
Bahkan waktu habis mandi di sungai, Panji sampai meminjamkan jaket miliknya karena baju Gendhis sobek kainnya telah rapuh.

Berbagai macam hal berkecamuk di kepala Panji kala motor membawanya jauh meninggalkan desa.
***

"Wang.... Cah Ayu" bu Harjo memanggil Putri sulungnya.
"Nggih bune, " jawab Nawang dari dalam kamar.
"Tulung nduk panggil Bapakmu di balai desa sudah mau mahrib lo"
"Hiii... Ndak mau lah bune Nawang takut" Nawang bergidik.
Teringat kembali hal memalukan yang terjadi tempo hari saat disuruh memanggil bapaknya.
"La kenapa to, takut opo?"
"Kae lo Gendhis sama Ajeng, biar mereka aja yang panggil" tunjuk Nawang ke jalan.

Terlihat Gendhis sedang mengelus-elus kucing sambil bercanda dengan ajeng di pinggir pendopo.
Bu Harjo menghampiri mereka. Tak berapa lama Gendhis dan Ajeng berjalan ke arah balai desa.
Gendhis tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Cara jalan Ajeng terlihat berbeda, lebih hati-hati.

Beberapa kali Ajeng terlihat melirik kakinya sendiri. Rupanya dia memakai selop baru dari Nawang.
"Apik yo Jeng" goda Gendhis kala melihat Ajeng sedang tersenyum melihat kakinya.
"Iyo..eh... opo Ndis" kata Ajeng gelagapan tidak menyangka kelakuannya terlihat oleh Gendhis.

Gendhis tergelak melihat tingkah Ajeng.
"Sendalku apik yo ndis, dikasih sama mbak Nawang lo".
"Seumur umur baru kali ini aku pakai selop baru, ndak papa agak kekecilan" katanya riang.

Tak jemu matanya memandang selop itu. Memang baru kali ini juga Gendhis melihat kaki Ajeng berbalut selop yang warna dan bentuknya masih mulus.
"Biasanya aku cuma pakai lungsuran mbak Arum, kalo ndak ya dibeliin mamak di kota tapi ndak baru gini Ndis, jiaaan apik yo selopku"

Gendhis hanya tersenyum melihat sahabatnya. Nawang bahkan tidak pernah membawakan buah tangan untuknya saat ke kota.
***

Selop warna merah bata itu sebenarnya juga permintaan Gendhis kepada Bapaknya kala mau ke kota kemarin.
Entah bagaimana ceritanya justru Ajeng yang sekarang memakainya.
Gendhis tak berniat menanyakan itu kepada Nawang karena dari pulang sampai sekarang Nawang bahkan tak pernah menegurnya.
Gendhis melirik selopnya yang sudah mulai lusuh nyaris putus. Tapi melihat begitu riangnya Ajeng bisa memakai selop itu membuatnya ikut senang.

Sesampainya di balai desa suasana masih ramai. Besok mau ada pementasan wayang kulit. Pertunjukan serupa memang biasanya dilakukan di desa saat usai musim panen.

Seperti sukuran dan perayaan musim panen bagi warga desa. Acara seperti ini sangat dinanti- nanti karena biasanya akan sangat ramai.
Bukan hanya warga desa setempat namun warga desa lain juga berdatangan untuk meramaikan.
Ini adalah satu- satunya hiburan di desa nan asri dan jauh dari hiruk pikuknya kota itu.

Panji sumringah melihat kehadiran Gendhis, lalu buru- buru ke belakang mengambil sesuatu saat melihat Gendhis hendak pulang setelah menemui pak Lurah.
"Ndis.. diterima yah" kata Panji sambil tersenyum manis.
"Opo iki mas?"
"Sudah diterima saja, nanti dibuka dirumah" kata Panji seraya masuk kembali ke balai desa.
"Opo ya ndis" kata Ajeng saat arah jalan pulang.
"Ndak tau, ntar aja dirumah kita buka" kata Gendhis sambil memeluk bungkusan plastik warna biru itu.

Sesampainya dirumah Nawang heran melihat Gendhis membawa bungkusan biru. Dia penasaran namun enggan bertanya karena masih ngambek sama adiknya.
Bungkusan itu di simpan Gendhis di kamarnya, lalu dia ke dapur membantu ibunya memasak.

Agak tergesa Nawang menuju rumah Ajeng yang letaknya tak seberapa jauh dari rumahnya itu.
Terlihat Ajeng sedang mengangkat jemuran agak heran melihat Nawang tergesa gesa ke arahnya.
"Duuh jangan- jangan mbak Nawang mau ambil selopku lagi" keluhnya risau.
"Jeng sini kamu"
"O.... opo mbak Nawang?"
"Sini to, cepet "

Ajeng melepas selop barunya lalu berlari keluar pagar menemui Nawang.
"Tadi ke balai desa ketemu siapa aja Jeng" kata Nawang mengintrogasi.
" Orang banyak no mbak Nawang wong balai desa rame banget tadi" kata Ajeng polos.
"Maksudku yang ngobrol sama kamu siapa aja"
"Ndak ada, aku diem aja og"
"Haduh gusti... Ngomong sama kamu itu kok emosi loh hawane" kata Nawang gemas.
"Lo... Tenan mbak Nawang, aku cuma nganter Gendhis yang ngomong ya Gendhis aku ndak"
"Ya ampun Ajeng pengen tak untal tenan" Nawang mulai gregetan menghadapi teman adiknya yang gempal ini.
"Yo wes, iku plastik biru yang dibawa Gendhis opo dan dari siapa?
" Ya jelas dari mas Panji" jawab Ajeng seraya tersenyum.

Jawaban Ajeng membuat Nawang kesal terlebih Ajeng ngomongnya sambil tersenyum seakan meledek Nawang.
"Opo isine Jeng?" tanya Nawang kesal.
"Ndak tau mbak, ndak di buka neng Gendhis".
"Yo wes, awas ya kamu kalo ngeselin aku lagi tak minta lagi selopmu" ancam Nawang sambil berlalu.
"Woooh ojo no mbak Nawang" muka Ajeng berubah jadi takut.

Sesampainya di rumah,Nawang melihat Gendhis masih sibuk di dapur bersama ibunya.
Diam-diam dia menyelinap ke kamar Gendhis, mencari bungkusan yang tadi dibawa Gendhis. Mengambilnya dan menyimpan dikamarnya sendiri.

"Kamu ndak siap-siap cah ayu" Bu Harjo heran melihat Gendhis masih belum rapi.
"Boleh ndak bune kalo Ndis ndak usah ikut ke balai desa?"
"La piye, kamu sakit nduk?"
"Iya bune" jawab Gendhis terpaksa berbohong.
Namun bu Harjo tidak serta merta percaya dengan putrinya itu.
"Oh iyo nduk, coba ke kamar bune, ambilin itu jaket bapak dilemari ya cah ayu" kata bu Harjo
Ketika Gendhis keluar dari kamarnya, bu Harjo dengan gesit memeriksa lemari baju Gendhis.

Dugaannya benar, Gendhis tidak mau ikut bukan karna sakit tapi di lemarinya tak ada satu pun baju yang "layak" untuk dipakai di acara malam ini.
Dadanya sesak mengetahui hal ini. Nalurinya benar.
Segera di tutupnya lemari baju putrinya itu dan mencoba mengontrol hatinya agar terlihat biasa di depan Gendhis.

Di susulnya Gendhis di kamar depan, dia yakin gadis itu tak mungkin menemukan jaket bapaknya.
Bu harjo cuma mencari alasan, dia tahu pasti jaket itu sudah dipakai suaminya saat berangkat tadi.
Saat keluar dari kamarnya pas sekali Ajeng datang. Gadis bertubuh subur itu tampak cantik dengan kebaya berwarna coklat.
"Waah.... Pangling aku Jeng, eeeh bukan Ajeng koyone iki ayu banget" goda Bu Harjo yang berhasil membuat Ajeng tersipu malu.
"Bu Lurah.. Jangan gitu lah, Ajeng isin hihihihi"

Melihat penampilan Ajeng membuat bu Harjo teringat sesuatu. Segera dia menyuruh Ajeng ke dapur mengambil air jahe anget lalu dibawa masuk ke kamarnya.

Didapatinya Gendhis tengah bingung mencari cari jaket bapaknya. Seluruh kamar di jelajahi tetap tak Ada.
"Bune, jaket bapak ndak ada"
"Wes rapopo, sekarang kamu sini bune dandani"
"Gendhis ndak ikut bune, Gendhis.."
"Wes to, kamu minum ini trus kita siap- siap ya" bu Harjo memotong kata- kata Gendhis seraya memberikan jahe anget dari Ajeng.

Dengan bingung Gendhis menuruti keinginan ibunya. Lalu dengan pasrah membiarkan rambut panjangnya digelung.
Pipinya dipoles bedak dan di sapunya bibir Gendhis dengan gincu.

Tak lama bu Harjo mengeluarkan sebuah kebaya berwarna merah jambu yang sangat cantik dan terlihat klasik.
"Ini,, dulu baju dikasih mbah putri, bune pakai ini saat acara wayangan gini nduk, dan bapakmu wus... wus.. langsung nglamar bune" mata bu harjo berbinar.

Ajeng dan Gendhis takjub dengan keindahan kebaya dan cerita tentang kebaya tersebut.
"Ndak papa to bune kalo Ndis yang pakai ini" tanya Gendhis ragu.
"Ndak lah nduk, malah bune berdoa, semoga kebaya ini bisa membuat kamu ketemu jodohmu cah ayu"

Dipakainya kebaya itu, pas sekali dengan postur tubuh Gendhis, mungkin saat Bu Harjo muda dulu badannya juga sekecil Gendhis.

Saat berbalik badan, Bu Harjo dan Ajeng melongo melihat Gendhis.
"Tadi dirumah aku ngerasa cantik banget lo Ndis".
"Nyampe sini juga masih merasa cantik pas Bu Lurah muji aku".
"Halah...... Saiki liat kamu og...rasanya jadi dayang kamu aja gak pantes lo".ujar Ajeng memuji setengah meratapi nasibnya.
"Huss.... Ndak boleh gitu to Jeng" kata Gendhis.
"Tapi tenan lo cah ayu, kamu itu cantik biaaaaaanget lo, kalo bune jadi pria, malam ini juga tak lamar kamu" puji Bu harjo.
Gendhis semakin tersipu.
***

Acara sudah dimulai namun mata Panji masih mencari sosok pemilik hatinya. Dari jauh dilihatnya tiga orang gadis berjalan beriringan.
Salah satu gadis memakai kebaya berwarna maroon yang sangat cantik. Panji tersenyum menyambutnya.
Namun senyumnya seketika hilang berganti bingung saat tahu itu Nawang.
Malam itu Nawang datang bersama Lastri dan Arum kakak Ajeng.

Nawang tampak malu- malu melihat Panji. Dia sangat yakin panji terpesona dengan penampilannya malam itu.
Apalagi hampir semua mata para pemuda desa melirik kepadanya. Semakin yakin dia bahwa Panji akan sangat mengagumi penampilannya.
"Nawang, wah cantik banget kamu" kata Panji basa- basi.
"Masa mas panji nembe sadar aku cantik sih" goda Nawang genit.
"Engga laah,, dari pertama kali lihat juga udah tahu kamu cantik Wang"

Aduuuuh di puji begitu membuat Nawang seneng gak ketulungan.
"Ngomong-ngomong ndak bareng Gendhis nih" tanya Panji kemudian yang sukses membuat Nawang yang masih melambung terbanting seketika.
"Ndis bareng bune sama Ajeng mas" kata Nawang sewot seraya ngeloyor begitu saja dari hadapan Panji.

Panji menunggu beberapa saat, namun Gendhis tak juga terlihat. Akhirnya dia bergabung dengan teman- temannya di belakang panggung.
Saat dia kembali ke kursi pengunjung Panji tertegun dengan sosok yang duduk didepan samping bu Lurah.
Kalau saja yang duduk di sampingnya bukan bu Lurah dan Ajeng pasti dia tidak akan mengira itu Gendhis.
Sempurna. Hanya itu yang bisa menggambarkan sosok Gendhis malam itu.
Walaupun ada sedikit kecewa di hatinya namun Panji tidak bisa memungkiri penampilan Gendhis malam itu begitu jawa dan klasik.
Hatinya berdegup tak beraturan hanya dengan memandang wajah manisnya. Malam itu Nawang boleh mencuri perhatian semua pria namun pesona Gendhis tak ada duanya bagi Panji.

Gendhis yang melihat Panji begitu lekat menatapnya menjadi salah tingkah. Duduknya tidak tenang tak berani menatap balik mata teduh itu.
Panji terlihat berbincang serius dengan Pak Harjo. Mimik mukanya terlihat pakem dan sesekali beliau terlihat manggut manggut.

Tak lama Panji mengambil tempat duduk di belakang Gendhis. Melihatnya lebih dekat membuat Panji kian terlena oleh kecantikan gadis manis itu.
Nawang yang berada di tempat yang sama melihat pemandangan itu dengan hati bergemuruh.

Selama apapun dia berdandan dan seindah apapun yang dipakainya akan tetap tak terlihat saat ada Gendhis disana.
"Maaf Ndis.. Waktumu sudah habis" bisik hati Nawang dingin.

----------

Pertunjukan wayang kulit makin malam semakin ramai. Namun itu tak membuat hati Nawang terhibur sedikitpun. Hatinya semakin dingin bahkan mulai membeku saat melihat adiknya.

Entah setan apa yang merasuki sukma Nawang, saudara yang bahkan mengalirkan darah yang sama ditubuhnya itu menjadi manusia yang paling dibencinya.

Sedari Gendhis lahir, Nawang sudah langsung membencinya. Dia selalu merasa Gendhis merebut segala kebahagian yang Nawang punya.
Apalagi setelah tumbuh dewasa, Gendhis mempunyai paras rupawan dan hati yang lembut.Semakin mengakar kebencian tak beralasan itu.

Padahal Nawang juga mempunyai wajah yang cantik. Nawang dan Gendhis mempunyai pesona kecantikan yang berbeda.
Namun aura dari hatinya yang selalu memancarkan kebencian membuat kecantikan fisiknya tak terlihat.

Penyakit hatinya telah mengakar dan bercokok begitu kuat di dadanya. Hingga apapun yang Gendhis punya serasa wajib dimilikinya, dirampas sekalipun dia tidak peduli.
Melihat Gendhis bahagia sangat menyakitkan bagi Nawang.

Nawang selalu merasa Gendhis ingin mengunggulinya dalam segala hal tanpa dia sadari dirinyalah yang selalu ingin mengalahkan Gendhis bagaimanapun caranya.

"Mau ke sungai Wang?"
Nawang yang bersiap ke sungai menoleh kaget melihat Panji memanggilnya.
"Ke sungai kan, yuk bareng aku juga mau mandi, Bagas sama Danu udah duluan soalnya" kata Panji seraya berjalan disamping Nawang.

Bukan main senangnya Nawang mendengar ajakan Panji. Sampai menjawab pun tak mampu.
"Oh iya Wang, kamu suka warna maroon ya?" tanya Panji hati-hati.
Saat itu matanya tak sengaja menangkap ada kebaya warna maroon di keranjang baju Nawang.
"Oh iya suka banget mas Panji" kata Nawang agak sedikit kaget.
"Matur nuwun loh mas, sudah beliin Nawang baju, Nawang suka" kata Nawang segera.

Mengetahui arah pembicaraan akan kemana Nawang tampak cekatan menata alur pembicaraan agar tak menimbulkan kecurigaan.
"Oh iya sama-sama Wang hehehe" Panji menjawab sambil garuk- garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Harusnya langsung dikasih ke Nawang saja mas, ndak usah lewat Gendhis"
"Hehehe iya" Panji makin bingung.

Sejak kapan dia memberikan kebaya maroon itu untuk Nawang. Tak ada sepatah katapun yang menyebut nama Nawang saat memberikan bungkusan itu.
Apa jangan-jangan Gendhis ndak suka trus dikasih ke Nawang? pikir  Panji bingung.
Aaah masa Gendhis gitu sih ndak mungkin, batin Panji berdebat sendiri.

Melihat Panji seolah bingung Nawang segera mencari topik pembicaraan lain.
"Eh... Mas Panji itu asalnya darimana to?" tanya Nawang manja.
"Dari Semarang Wang, sudah pernah ke Semarang belum kamu?"
"Belum mas, mbok nanti kalo mas Panji pulang Nawang diajak" kata Nawang lenjeh.
"Boleh Wang ayok" kata Panji. Nanti ya pas nganterin Gendhis boyongan ke rumah aku, lanjut Panji dalam hati.

Mendapat respon hangat dari Panji membuat Nawang melayang. Dia sangat yakin Panji menyukainya.
Dia semakin yakin karna ternyata dugaannya benar kebaya itu untuknya.
Ndak sia-sia kan aku ambil dari kamar Gendhis, toh Gendhise juga diam aja ndak nyariin, batin Nawang merasa benar.

Sesampainya di sungai Panji tidak langsung bergabung dengan teman-temannya namun menyusuri pinggir sungai agak jauh dari tempat orang2 mandi.
Membuka sebuah bungkusan terpal lusuh. Dilihatnya beberapa kebaya basah yang berhasil dia ambil saat kebaya itu hanyut di dekat tempat dia mandi.

Awalnya dia pikir baju itu tak sengaja hanyut, namun waktu mau mengembalikan ke hulu tempat orang-orang biasanya mencuci dia melihat ada lagi baju hanyut.
Sampai ada 6 baju yang dia temukan, penasaran dia mencari tahu ke hulu siapakah yang kehilangan baju sebanyak itu?

Panji kaget kala melihat Nawang dengan sengaja membuat baju itu hanyut. Namun saat itu dia masih berpikir mungkin itu bajunya yang sudah rusak.
Dia urungkan niatnya mengembalikan baju basah itu namun dia simpan di bawah terpal di pinggir sungai. Agar tidak menjadi sampah di sungai.
Namun perkataaan Ajeng kala itu soal baju Gendhis dan penampilan Gendhis belakangan ini tergambar lagi.

Sekarang Panji baru sadar jika baju yang selama ini ditemukan hanyut itu baju Gendhis. Dan sengaja dihanyutkan oleh Nawang!!
Jika diperhatikan dengan seksama itu memang baju yang sering dikenakan oleh Gendhis.

Perasaan iba langsung menyergap dada Panji. Bagaimana mungkin Gendhis bisa diam saja diperlakukan seperti itu oleh kakak kandungnya sendiri.
Setega itu Nawang. Dia melakukan hal licik dan kotor itu untuk menarik perhatiannya?
Bukankah dia sudah punya pacar?
Dia pikir dengan membuang baju Gendhis akan membuat penampilan Gendhis buruk dan merubah perasaannya?

Cintanya tidak serendah itu, ada hal yang Panji temukan dalam diri Gendhis yang tak bisa dilihat dari pandangan mata. Itu luput dari perhatian Nawang.
"Bungkusan dari mas Panji hilang, kemarin Ajeng bantuin Gendhis nyariin ndak ada"
"Gendhis nangis" lanjut Ajeng.

Jawaban Ajeng sebenarnya sudah diprediksi Panji dari awal tapi dia hanya berusaha meyakinkan. Makanya sengaja sore itu dia menemui Ajeng.
Semakin bulat tekadnya untuk membawa pergi Gendhis dari cengkraman Nawang.

Di kejauhan terlihat sosok Gendhis sedang menampi beras. Rambutnya digelung asal sehingga banyak rambut yang lepas dan tergerai.
Kali ini Panji susah payah mengendalikan rasa dihatinya. Gadis manis berhati mulia itu harus menjadi istrinya.
***

Siang ini Panji dan Bagas berangkat ke kota. Mereka harus menyerahkan beberapa laporan ke universitas tempat mereka menimba ilmu.
Pada masa itu, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bersekolah. Selain biaya yang cenderung besar sebagian besar masyarakat belum paham betul arti pendidikan.

Seperti di desa tempat Panji KKN, satu-satunya orang yang bersekolah hingga tingkat SMA hanya Abimana.
Anak- anak lain bahkan banyak yang tidak mengenyam pendidikan dasar. Hanya beberapa anak termasuk anak pak lurah saja yang bersekolah, itupun hanya sampai lulus SD.

Pada masa itu anak perempuan belum lepas dari diskriminasi budaya dimana urusan wanita hanya dapur sumur dan kasur.
Jika ada yang bersekolah sampai tingkat SMA atau bahkan lebih pasti itu laki-laki. Itupun dapat dipastikan adalah anak seorang priyayi atau minimal anak orang yang sangat kaya.

Selesai keperluan mereka di kota, Panji dan Bagas segera kembali ke desa. Jika mereka belum sampai desa lewat waktu mahrib bisa dipastikan mereka tidak ada berani ke desa.
Selain medannya yang cukup sulit, desa yang ada juga saling berjauhan. Kiri kanan jalan hanya hutan dan kebun-kebun kayu yang rimbun.
Memang tidak ada perampok atau semacamnya karena suasana desa memang sangat ayem tentram, namun daerah situ terkenal dengan aroma mistik dan gaib.
Itu makanya ketika warga bepergian ke luar desa dan pulang terlalu sore, mereka lebih memilih menginap di kecamatan daripada harus melanjutkan pulang ke desa.

Sesampainya di desa, Panji turun di depan rumah Ajeng sedangkan Bagas langsung menuju rumah pak lurah.
Ajeng yang sedang menyapu halaman berhenti, tersenyum melihat Panji datang.
Panji memberi kode agar Ajeng mendekat kepadanya dengan ragu-ragu Ajeng mendekat lalu Panji berbicara pelan.
"Jeng... Panji minta bantuanmu ya" bisiknya lirih.
"Nggeh mas, nopo mas Panji?" balasnya berbisik pula
"Ini bungkusan tolong kamu taruh di kamar Gendhis, tapi narohnya jangan di tempat yang mudah dilihat biar Gendhis ndak tahu" jelas Panji panjang lebar.

Ajeng bukanya mendengarkan instruksi Panji malah asik memandangi wajah Panji yang begitu dekat dengannya saat berbisik tersebut.
Jika Ajeng menoleh sedikit saja pasti bibirnya akan otomatis mencium pipi Panji yang mulus dengan sedikit bulu jambang itu.
Membayangkan itu membuat bulu kuduk Ajeng meremang dan mata Ajeng terpejam menikmati hayalannya.

Merasa pertanyaannya tidak direspon Panji mengangkat kepalanya yang semula menunduk mendekati telinga Ajeng.
Terlihat Ajeng sedang senyum tipis malu -malu seraya merem-merem gak jelas. Dia tidak sadar Panji sedang memandangi kelakuan ajaibnya itu.
"Ehem.... " Panji berdehem menghentikan kekonyolan Ajeng.

Kaget  dan malu membuat muka Ajeng merah padam. Reflek dia hendak berlari ke rumahnya karena saking malunya.
Dengan sigap Panji menarik tangannya, namun karena tubuh Ajeng agak gempal maka keseimbangannya kurang lalu oleng.
Bruuuk!!!!!

Tubuh Ajeng terguling ke samping. Lengkap sudah penderitaan Ajeng, tertangkap basah berkelakuan aneh dan sekarang jatuh terguling di hadapan mahasiswa terganteng.
"Aduh.... Mamak" pekiknya

Panji yang kaget segera membantu Ajeng berdiri walaupun dia juga sedang menahan tawa melihat ulah gadis itu.
"Ada yang sakit, kesleo atau apa ndak Jeng?"

Ajeng hanya meringis, sepertinya sakitnya tidak seberapa dibandingkan dengan malu yang sedang dirasa.
"Gini Jeng, ini plastik kamu taruh di kamar Gendhis yah, lemparkan saja ke kolong tempat tidur nya dan jangan sampai Gendhis lihat, mudeng ndak?"
Ajeng mengangguk tanda mengerti. Diterimanya bungkusan berwarna biru persis dengan bungkusan kala itu namun agak lebih besar.
"Dan ini, buat Ajeng yang cantik dan baik" kata Panji sambil menyerahkan sebuah bungkusan kecil kemudian berlalu ke arah rumah Gendhis.
Dipuji cantik membuat Ajeng melongo beberapa saat dan mendadak sangat ingin ke kamarnya melihat pantulan wajahnya dicermin kecil bekas tempat bedak merk fanbo milik Nawang.
***

Senja mulai memamerkan kemolekannya sore itu. Sosok Abimana yang tampan dan mapan terlihat memasuki halaman pendopo.
Pemuda berusia 23 tahun tersebut terlihat luwes menyapa para pemuda KKN. Pembawannya yang ramah membuat Abimana mudah disukai.

Dari balik jendela Nawang memandangi Abimana. Pemuda yang posisinya mulai tersingkir di sukmanya.
Nawang mencoba meraba lagi perasaan itu, benarkah dia sudah melupakan Abimana?
Nawang menghela nafas panjang, seakan ada beban yang menunggangi hatinya. Hatinya melunak melihat senyum Abimana.
Tiba-tiba Panji memasuki pendopo. Tersenyum manis dan menyalami Abimana. Hati Nawang yang semula melunak seketika membatu kembali.
"Biar bagaimanapun Panji harus menjadi milikku" gumamnya lirih seraya meninggalkan kamar itu.
***

"Cah Ayu, ki lo Bima pamitan" Pak Harjo memanggil Nawang di kamarnya.

Abimana baru 2 hari di desa namun sore ini sudah mau bertolak ke kota lagi.
"Nggeh pak" Sahut Nawang tak bersemangat.

Semenjak ada pemuda KKN  sikap  Nawang seperti acuh tak acuh kepada Abimana.
Dia bahkan tidak merengek agar Abimana lebih lama lagi di desa seperti biasanya.
Dipandanginya punggung bidang pemuda tampan itu hingga hilang dari pandangan matanya.
Tidak ada kepedihan dimatanya.

Seuntai senyum tanpa makna tertangkap mata Gendhis. Kenapa justru dia yang merasa sakit.
"Jeng sini" bisik Gendhis seraya memberi kode untuk masuk ke kamarnya.
"Bungkusan dari mas Panji ketemu di kolong dipan" bisik Gendhis dengan mata berbinar.

Ajeng jejingkrakan mendengarnya, dalam hatinya bangga bukan main hasil kerjanya berhasil.
"Ya ampun Ajeng, ini bagus banget" pekik Gendhis tertahan.
Di tatapnya sebuah kebaya lengkap dengan jarik dan tusuk konde bermata intan.
Ajeng ikut melongo melihatnya, baru kali ini dia melihat perhiasan intan dari jarak dekat.
"Walah Ndis, kalo aku rabi sok bakalan dikasih yang bagus begini ndak ya? Iki apik banget"
Gendhis tak menjawab, dia masih tidak percaya Panji memberikan benda sebagus ini kepadanya.

Sepanjang malam didekapnya pemberian Panji erat-erat. Seakan takut jika itu tidak nyata dan jika tidak dipegang erat nanti akan menghilang.
Pikirannya melayang saat makan malam tadi, dirinya nyaris tak bisa menelan makanan karena Panji terus saja memandangnya.
Pandangan teduh yang sarat akan kasih sayang, padangan yang selalu sukses membuat tubuhnya lunglai serasa tak bersendi.
Dan senyum itu, senyum termanis yang pernah dilihatnya..senyum yang sanggup meluluh lantakkan hatinya.

Ketukan lembut jendela kamar membuat Gendhis terjaga dari dunia hayalnya.
Pelan pelan jendela dibuka dan segera sosok pemilik hatinya tersenyum manis.
Baru membayangkan saja sudah membuatku lemas sekarang dia ada didepanku, bisik hati Gendhis syahdu.

Panji menyandarkan punggungnya yang bidang ke dinding kamar Gendhis lalu mendudukan diri ke lantai.
Gendhis melakukan hal yang sama di dalam kamar. Celah kecil di dinding kayu itu cukup membuatnya mendengar nafas panji.
Bahkan bunyi nafasnya pun mampu membuat jantung Gendhis berdetak tak beraturan.
Segera dia mendekap kuat dadanya kawatir keheningan malam membuat Panji mendengar degupnya yang tak menentu itu.
"Aku ndak bisa tidur Ndis, ndak papa kan aku duduk disini"
"Ndak papa mas Panji, Gendhis juga belum ngantuk".
"Kepalaku penuh sama wajah dan senyum kamu Ndis makanya aku kesini" bisik Panji lirih.
Jawaban Panji membuat Gendhis tercekat.

Suatu kali pernah didengarnya suatu ungkapan "jika kita merindukan seseorang begitu kuat, sesungguhnya orang tersebut juga sedang mengingat kita".
Kini Gendhis percaya ungkapan itu benar. Dirinya pun tak bisa memejamkan mata sedari tadi di hantui wajah dan senyum Panji.
"Kamu mau ndak nemenin aku ngobrol gini tiap hari sampai aku tua?"
"Pertama kali melihatmu, aku tahu kamu akan menjadi bagian dari jiwaku, dan perasaanku tak pernah salah, aku jatuh cinta kepadamu sejak pertama melihat senyummu"
"Aku pengen selalu melihat senyum manis itu, menjaganya agar selalu ada, tak akan kubiarkan siapapun menghentikan senyum itu, siapapun Ndis"
"Aku janji saat lulus nanti akan langsung bekerja dan menikahimu, membawa kamu jauh dari orang-orang yang menyakitimu, aku janji Ndis"

Gendhis tak kuasa menjawab. Mereka sama- sama terdiam di keheningan malam. Salah satu malam terindah yang pernah Gendhis lalui.

Berharap semesta menyatukan hati dan rasa yang mulai mengakar ini.
***

Pagi ini mahasiswa KKN sangat sibuk. Masa KKN mereka di desa ini sebentar lagi usai.
Beberapa program mereka sudah terasa dan mulai bisa dinikmati hasilnya oleh warga desa.
Program terakhir yang akan digarap mereka adalah mempercantik balai desa.
Mereka mulai mengecat seluruh penjuru balai desa dari pagi sampai menjelang magrib.
Warga silih berganti mengantar makanan dan camilan untuk pemuda yang sedang bekerja bakti tersebut.

Setelah selesai sholat magrib tiba-tiba Panji mendadak demam. Badannya sangat panas dan mulai meracau tidak jelas.
Teman-temannya dan warga yang melihat sangat kaget karena tadinya Panji tampak baik-baik saja.

Salah seorang warga mencoba mencari pertolongan ke desa. Pak Lurah segera mengutus beberapa warga menjemput pak mantri di desa tetangga sementara Panji ditandu ke rumah pak lurah.
Semua tampak panik karena Panji mulai tak sadarkan diri. Gendhis sangat kawatir dan rasa takut mulai menjalari hatinya.
Khawatir akan kesehatan dan keselamatan Panji serta ketakutan akan hal yang dulu pernah terjadi padanya terulang lagi.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER