Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 15 Februari 2020

Gendis Ayu #5

Cerita bersambung


Dari jauh terlihat seorang wanita tua tengah duduk dikursi rotan yang telah menghitam di teras sebuah rumah kecil, gubug lebih tepatnya.
Bibirnya mengepulkan asap, sebuah rokok lintingan klaras (kulit jagung) terselip di jari keriputnya.

Sesungguhnya usia mbah Gayem sudah mencapai 113 tahun. Sebuah usia uzur yang jarang ditemukan adanya di masa sekarang.
Namun pembawaannya yang ayem dan hidup apa adanya membuat tampilan fisik mbah Gayem tak terlihat sesepuh umurnya.

Ajeng segera menyalami mbah Gayem, diikuti Galih dibelakangnya. Ketela rebus yang dibawakan mamaknya segera di letakkan di dingklik tua samping mbah Gayem duduk.

Mbah Gayem terkekeh melihat ketela rebus itu, lalu mata sipitnya yang cekung termakan usia memandangi Galih dan Ajeng bergantian.
"Iki sek jenenge Panji to Jeng (ini yang namanya Panji ya Jeng)?" tanya mbah Gayem.
"Gagah" katanya kemudian sambil matanya menerawang.
Ajeng dan Galih saling berpandangan, darimana pula nenek renta ini tahu akan Panji?
Setenar itukah pesona Panji sampai penghuni pinggir hutan macem mbah Gayem saja tahu?
"Panji sinten mbah (Panji siapa mbah)?" tanya Ajeng.

Mbah Gayem berhenti mengisap rokok lintingannya. Terdiam beberapa saat lalu memandang Ajeng lekat-lekat.
"Sakjane jodo ki wes ono sek ngatur, campur tangan manungso mung nggawe ngawur (sebenarnya jodoh itu udah Ada yang ngatur, campur tangan manusia cuma bikin kacau)" gumam mbah Gayem kepada Ajeng.
"Dadi manungso ojo ketungkul karo kadonyan opo maning nganti nyilakani dulur nduk, ora ilok". (jadi manusia jangan terobsesi dengan duniawi apa lagi sampai mencelakai sodara, tidak baik) katanya sambil terkekeh.

Mbah Gayem memang terkenal agak aneh namun bagi yang paham, selalu ada maksud dibalik celotehannya sayangnya orang lebih sering  mengabaikan. Malah menganggapnya tidak waras.
Dipandanginya Galih, "Ngundhuh wohing pakarthi (setiap orang akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya)".

Ajeng dan Galih hanya bisa terdiam dan tercekat dengan kata- kata manusia yang keberadaannya telah lebih dari seabad itu didunia.
"Ciduk banyu tuk sigaru mbi bathok, usapke rikma mbakyune, matur nuwun telone (ambil air di mata air sigaru pakai bathok kelapa lalu usapkan ke rambut kakaknya, terima kasih singkongnya) nduk" katanya sambil tertatih masuk ke dalam gubugnya.

Ajeng tertegun beberapa saat namun karena dia sudah sering berjumpa dan ngobrol dengan mbah Gayem sebelumnya tak membuatnya terlampau heran dengan kelakuan nenek renta itu.
Sebaliknya, Galih pemuda kota yang baru bertemu nenek Gayem tersebut bergidik ngeri.
Mungkin aura mbah Gayem terlalu misterius baginya. Aroma tubuhnya pekat dengan bau kemenyan bakar yang berasal dari rokok lintingnya.
Rambut putihnya digelung khas wanita jawa, terselip bunga melati yang telah mengering diantara rambutnya.
Bibirnya menghitam pertanda dia perokok berat dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kebanyakan kiasan jawi kuno yang membingungkan siapa saja yang mendengar menambah wingit penampilannya.
"Gimana Jeng, mau langsung pulang opo piye?"
"Pulang aja yuk mas Galih udah sore gini, kalo sampai sandingkolo disini bisa-bisa kita diangkat anak sama wewe gombel hiii"
"Aduh Jeng ojo nakut nakutin to" terlihat wajah Galih sedikit memucat.
"Serius ini,, makanya ayo kita buruan" kata Ajeng tak kalah takut.
Mereka berjalan dengan sangat terburu-buru karena hari memang mulai meremang senja.
***

"Ha.. Ha... Ha.... Ha" terdengar Nawang tertawa terbahak- bahak. Dia berdiri ditengah ranjang, rambutnya tampak kusut tak bertemu sisir entah sudah berapa hari.

Pandangan matanya kosong namun tangannya mengepal, terlihat sangat menakutkan. Hilang sudah wajah ayu nan mempesona itu.
Seluruh penguni rumah tak ada satupun yang berani mendekati Nawang. Bu Harjo menangis sesenggukan memeluk Gendhis yang sama bingungnya.

Bau segala macam sesajen yang sengaja diletakkan di kamar Nawang semakin membuat aura mistis kian terasa.
Pak Wongso dan Mbah Jiwo yang dianggap "orang Pinter" juga ciut nyalinya melihat kelakuan Nawang.
Mereka berada di rumah pak Lurah sejak Nawang dikabarkan kesambet.
Gadis ayu itu seperti kerasukan, sebentar tampak tertawa terbahak bahak tak lama kemudian menangis tersedu sedu begitu terus sepanjang hari.
Warga tak banyak yang bisa membantu, bahkan mbah Wongso yang sudah terkenal kesaktiannya pun angkat tangan melihat kondisi Nawang.

Galih dan Ajeng yang baru datang ke desa merasa heran dengan keadaan pendopo yang makin ramai.
Segera mereka menyeruak masuk melihat keadaan Nawang. Ajeng yang tidak menyukai Nawang tetap saja sedih melihat gadis cantik itu seperti orang tidak waras.

Walaupun Nawang menyebalkan rasanya dia lebih baik melihat Nawang yang biasanya daripada keadaan Nawang yang seperti ini.
Rambutnya acak acakan, tubuhnya tampak kurus, tatapan matanya kosong dan bibir mungilnya tampak selalu bergumam.

Keheningan desa Somawangi seolah sirna oleh jeritan memilukan Nawang dan tangisan sedihnya.
Banyak warga yang menginap di pendopo, mereka mencoba memberi kekuatan batin kepada keluarga Pak lurah yang sedang tertimpa musibah itu.
***

Pagi ini pak Lurah menyuruh Panji dan Gendhis pergi ke kota. Mereka akan menjemput adik Bu Lurah di kota sana yang berprofesi sebagai dokter untuk membantu kesembuhan Nawang.
Mengapa Panji dan Gendhis yang pergi?
Diantara pemuda KKN hanya Panji yang mahir mengendarai motor tua pak Lurah di medan desa yang terhitung sangat terjal itu. Makanya pilihan jatuh kepada Panji.
Dan Gendhis adalah satu-satunya orang yang tahu rumah pak liknya selain pak Lurah, Bu Lurah dan Nawang.

Pak lurah tak mungkin meninggalkan desa dengan kondisi Nawang yang demikian.
Bu lurah yang tak bisa berhenti menangis lebih tidak mungkin lagi untuk pergi menjemput adiknya.
Jadilah Gendhis yang awalnya keberatan tak bisa lagi menolak perintah bapaknya.
Dia berbesar hati, dikesampingkan perasan hatinya demi kesembuhan Nawang.
Berdua mereka berboncengan motor tua pak Lurah menuju kota.

Dengan medan terjal nan berliku itu tidak mungkin rasanya untuk Gendhis tidak cekelan (baca: memeluk pinggang) Panji.
Karena selain laju motor akan mudah oleng Gendhis juga pasti sangat tidak nyaman.
Namun alih- alih cekelan Gendhis yang kikuk malah berpegangan di besi belakang jok.

Melihat ketidak nyaman itu membuat Panji memelankan laju motornya.
"Ndak papa kamu cekelan aku Ndis, daripada kamu jatuh"
"Ndak kok mas Panji, bisa kok"
"Bisa, tapi motornya juga agak ndak seimbang Ndis"

Gendhis terdiam sesaat, perasaannya bimbang. Dipegangnya ujung jaket Panji.
Namun saat ada tikungan yang agak tajam tubuh Panji seperti oleng karena tertarik tangan Gendhis di ujung jaketnya sementara tangannya mencoba menyeimbangkan motor.
Akhirnya Panji menghentikan motornya dipinggir jalan.
"Kamu lebih milih cekelan aku apa kita jatuh Ndis"
"A.. Aku isin mas" jawab Gendhis tertunduk.
"Ndak usah malu, anggap aja aku bapakmu ya, jadi kamu bisa nyaman cekelan sama aku, jangan ada pikiran macem-macem, ben selamet" kata Panji menenangkan.
"Nggeh mas"

Panji menghidupkan motornya lagi, Gendhis segera naik, tangannya masih memegang ujung jaket panji, dengan gemas Panji menarik tangan Gendhis memeluk pinggangnya.
"Inget, anggap aja aku pak lurah" katanya.

Bagaimna mungkin bisa aku anggap kau bapakku sedang beberapa malam yang lalu bahkan kau menawarkan cinta dan mimpi yang begitu melenakan, batin Gendhis syahdu.

Memeluk dan bersandar pada punggung bidang itu membuat perasan Gendhis berkecamuk.
Setengah hatinya begitu nyaman bisa bersandar di punggung pemilik segenap hatinya itu. Rasanya ingin membenamkan wajahnya dalam- dalam menikmati hangatnya punggung itu.

Samar tercium harum khas tubuh lelaki membuat darahnya berdesir entah apa artinya. Yang jelas Gendhis sangat suka mencium aroma itu. Membuatnya semakin nyaman bersandar dan memeluk Panji.

Namun separuhnya lagi hatinya perih bagai teriris sembilu. Bagaimana bisa lelaki ini melambungkan hatinya setinggi awan lalu membiarkannya jatuh begitu saja seakan tak pernah terjadi apapun diantara mereka.
Lelaki macam apa sesungguhnya Panji ini, tak terasa bulir hangat menemani perjalanan Gendhis ke kota.

Sesampainya di kota motor panji memasuki halaman luas sebuah rumah besar disana. Itu adalah rumah adik kandung dari bu Lurah yang berprofesi sebagai dokter.
Mantri Sugeng begitu namanya sering disebut menyambut hangat ponakan cantiknya itu.

Dia tampak serius mendengarkan cerita tentang Nawang, raut kawatir tak dapat disembunyikan demi mendengar kabar salah satu ponakan tersayangnya itu.
Namun malam ini dia sudah terlanjur ada janji dengan salah satu pasiennya sehingga tidak bisa langsung ikut serta ke desa.
Dia berjanji besok pagi setelah urusannya selesai akan segera bertolak ke desa.

Panji dan Gendhis berpamitan setelah sebelumnya istirahat dan makan di rumah mantri Sugeng. Mereka pulang membawa beberapa obat yang katanya bisa sedikit menenangkan Nawang sementara waktu.
***

"Kamu berani ndak Jeng?"

Galih sesungguhnya sedang meyakinkan dirinya sendiri juga kala menanyakan kesanggupan gadis gempal itu menemaninya masuk hutan siwerak.

Semalaman Galih memikirkan kata-kata mbah Gayem kemarin. Teriakan dan tangisan Nawang terasa menyayat hati membuat dirinya nyaris tak bisa memejamkan mata.
"Aku yakin Jeng, mbah Gayem nyuruh kita ambil air tuk sigaru buat nyembuhin Nawang".
"Ndak ada yang menyebut nama Nawang og mas kemarin"
"Iyo tapi kamu denger kan mbah Gayem nyuruh ambil air, trus tau-tau juga dia nyebut Panji, ini pasti bukan kebetulan Jeng".
"Tapi tuk (mata Air)  sigaru itu ada di dalam hutan siwerak mas Galih, Ajeng takut"
Sebenarnya Galih juga takut tapi ntah mengapa dia merasa harus kesana.
"Yo wes nek kamu ndak mau aku tak kesana sendiri ya Jeng, ntar nek sampai mahrib aku belum keliatan brarti aku dipek anak (diangkat anak) sama wewe"

Galih berkata sambil berlalu dari hadapan Ajeng yang terbengong bingung.
Galih sengaja melambatkan langkahnya berharap Ajeng segera menyusulnya.
Mana mungkin aku berani masuk hutan terlarang itu sendiran, pikir Galih kecut.

Galih semakin manjauhi Ajeng namun tak juga terdengar langkah kaki menyusulnya. Galih menoleh kebelakang, Ajeng bahkan sudah pergi meninggalkannya.
Langkahnya gotai membayangkan dia dimakan mahluk penunggu hutan wingit itu sendirian.

Eh tunggu tapi itu suara apa gedebukan dibelakangnya pikir Galih sambil menoleh.
Dilihatnya Ajeng tengah berlari menyusulnya sambil membawa batok kelapa!
Rasanya baru kali ini dia sangat bahagia melihat gadis itu.
"Mbah Gayem bilang ambilnya harus pakai bathok kan mas" kata Ajeng ngos-ngosan sambil memperlihatkan bathok kelapa di tangannya.
"Kamu benar-benar gadis yang baik Jeng, nanti tak beliin serabi yu Jurni ya Jeng" kata Galih bahagia.
Ajeng mengangguk senang.

Mereka berjalan menyusuri jalan yang semakin menyempit ke arah hutan.Tampak jelas jalan itu jarang dilewati karena memang hampir tak pernah ada orang yang berani ke sana.
"Kamu tau ndak Jeng letak tuk sigaru"
"Aduh, ndak tau juga sih mas, tapi Ajeng pernah dengar kalau tepat di tengah hutan siwerak Ada mata Air yang dilindungi pohon besar"

Membayangkan keberadaan mata Air itu saja sudah membuat bulu kuduk Galih meremang.
"Jadi kita masuk ke dalam hutan ne" kata- kata Galih mulai bergetar.
Ajeng mengangguk, demi dilihatnya wajah semangat Ajeng membuat keberanian Galih timbul.

Mereka melewati rumah mbah Gayem, tampak wanita renta itu tersenyum ke arah mereka. Galih bergidik melihat senyum itu.
Sedangkan Ajeng melambaikan tangan ke arah mbah Gayem. Wajahnya tampak tenang.

Perjalanan mereka sampai di pintu sebuah hutan yang gelap. Saking besar dan rimbunnya pohon yang Ada di hutan itu membuat cahaya matahari yang sedang bersinar terik tak mampu menembusnya.

Suasana hutan tampak gelap dan lembab, pantas saja tidak Ada yang berani kesini, pikir Galih.
Mereka semakin masuk ke arah hutan, bebagai macam hewan dijumpainya. Segerombolan monyet tampak asing melihat kehadiran mereka.
Beberapa burung beterbangan dari ranting satu ke ranting yang lain.

Tak lama samar- samar terdengar gemericik air. Ajeng dan Galih berpandangan dan tersenyum. Mereka tampak bahagia menemukan mata air sigaru.
Segera Ajeng mengambil air di tuk yang tak seberapa besar itu. Tuk itu berada di pokok sebuah pohon raksasa yang bahkan daunnya hampir menutupi mata air tersebut.
Setelah bathok terisi penuh mereka segera beranjak dari mata air itu.

Belum sempat mereka pergi sebuah bayangan hitam tampak berkelebat disamping mereka.
Membuat lutut mereka berdua terasa lemas dan jantung nyaris copot.
Galih segera menarik tangan Ajeng untuk berlari meninggalkan hutan. Tampak bayangan hitam itu berlari mengikuti mereka.
Melihat itu Ajeng dan Galih berlari seperti orang kesetanan, Ajeng bahkan beberapa kali nampak terjatuh.
Air yang dibawanya mungkin sudah habis seandainya bathok itu tidak mempunyai tutup.
Segera mereka berlari dan berlari. Jalan masuk hutan itu terasa sangat panjang tak juga menemukan ujung. Nafas mereka tersengal tak karuan.

Untunglah didepan sana terlihat cahaya terang, sepertinya itu pintu masuk hutan, mereka berlari menuju kesana.
Benar saja tak lama mereka keluar dari kegelapan, seperti baru keluar dari dunia lain.
Galih tampak menoleh kebelakang, bayangan hitam itu berhenti mengikuti mereka. Namun Galih tahu pasti sepasang mata hitam mengintainya.
Segera mereka melanjutkan berlari. Dan baru berhenti didepan rumah nenek Gayem.
Nenek renta itu terlihat tertidur di kursinya. Ajeng dan Galih berbaring di jalan depan rumah mbah Gayem saking capeknya berlari.
Dipandanginya bathok kelapa yang dipegang Ajeng, isinya bahkan hanya tinggal beberapa tetes .
***

Menjelang sore, hujan turun. Panji dan Gendhis masih harus menempuh setengah perjalanan lagi. Mereka terpaksa berteduh di gardu pembatas desa satu dengan yang lainnya.

Gendhis yang kedinginan tampak menggigil. Dibukanya jaket Panji dan dipakaikan ke badan Gendhis tanpa ekspresi.
Dada Gendhis bergemuruh mendapat perlakuan itu, dirinya teringat kala dipinggir kali Panji dulu memakaikan jaket itu padanya.
Namun kala itu masih disertai senyum lembut dan tatapan teduh Panji.

Mereka hanya terdiam terpekur dengan pikiran masing-masing sampai hujan reda dan kembali melanjutkan perjalanan.

----------

Terlihat Galih sedang meringis ketika salah satu kakinya sedang dipijit Pak Karto, sepertinya Galih terkilir.
Kalau Galih terkilir, lain lagi Ajeng, gadis tambun itu belum pernah berlari secepat itu sebelumnya sekarang nafasnya mendadak sesak.

Salah satu warga yang habis merumput melihat mereka berdua tergeletak lemas di depan rumah mbah Gayem.
Memang masih bisa meringis tapi mereka benar-benar lemas, perpaduan capek dan takut kayaknya.

Sesampainya di pendopo, Galih langsung meminta Pak Lurah mengusapkan air yang ada di bathok kelapa itu ke rambut Nawang.
Dengan wajah bingung Pak lurah menuang sisa air yang isinya nyaris habis itu kemudian diusapkan ke rambut Nawang yang kebetulan tertidur sejak dikasih obat yang dibawa oleh Gendhis dari kota.

"Bune aku kenapa" tanya Nawang tampak bingung.
Dilihatnya disekeliling banyak orang mengerumuninya. Wajah mereka tampak senang dan lega menatapnya.
Bu Harjo menghambur ke pelukan Nawang, didekapnya Nawang dengan erat seolah dirinya telah lama tak bersua dengan gadis cantik ini.
Sejenak suasana haru dan bahagia menyelimuti warga yang ada dipendopo itu.

Tak lama Nawang bangun, mengenali ibunya kemudian minta makan. Berita sadarnya Nawang cepat tersebar ke penjuru desa.
Warga berduyun-duyun menuju pendopo. Selain ingin melihat Nawang mereka juga penasaran siapa gerangan yang mampu menyembuhkan Nawang.
Namun keadaan Galih sepertinya belum bisa ditanya banyak. Ajeng apalagi namun mereka berdua mendadak menjadi pahlawan desa Somawangi.
Gendhis nampak bahagia melihat kakaknya telah pulih. Dirinya dan Panji baru sampai desa pas waktu mahrib.

Seharian bersama Panji membuat hatinya tak menentu. Dielusnya jaket setengah basah milik Panji yang masih dikenakannya.
Masih tersisa aroma khas tubuh Panji disana membuat Gendhis merasakan nyaman sekaligus nyeri. Seandainya cinta bisa terhenti secepat saat dia jatuh hati, mungkin sekarang dia tak perlu sesakit ini.
***

Lewat tengah malam tiba-tiba Nawang yang sudah pulih seperti sedia kala kembali menggigil. Kali ini malah wajahnya semakin pucat dan matanya tampak melotot marah.
Bu Harjo yang tidur menemani Nawang kaget saat melihat tubuh putrinya pucat dan mengejang, baru beberapa jam yang lalu Nawang minta selalu dipeluknya karena dia bilang merasa takut.

Kehebohan kembali terjadi di rumah Pak Lurah. Pendopo yang  awalnya mulai lengang dan sepi kembali ramai oleh warga.
Ada apa lagi dengan Nawang?

Pagi buta, pak Lurah mengajak serta pak Wongso, mbah Jiwo, beberapa sesepuh desa, Ajeng dan Galih untuk berdiskusi serius di ruangan khusus samping pendopo.
Sengaja mereka "ngumpet" agar lebih bisa berkonsentrasi dalam membahas Nawang.

Mula-mula Ajeng bercerita soal kedatangannya ke rumah mbah Gayem sampai pada saat Galih mengajaknya ke siwerak.
Pak Lurah dan yang lainnya tampak serius mendengarkan cerita Ajeng dan Galih. Tak bisa di sembunyikan jika terpancar dengan jelas raut muka ketakutan di wajah mereka.

Lama terdiam, mbah Jiwo selaku pinisepuh dan orang pintar didesa angkat bicara.
"Agaknya Nawang mencoba meniru Wening Harjo" katanya kepada Pak Lurah.
Pak lurah hanya tertunduk kehabisan kata-kata dia sungguh tak menyangka aib keluarganya akan terbuka lagi.

Wening adiknya pernah jatuh cinta kepada pemuda tampan bernama Winoto. Namun status Winoto yang telah menikah membuat mereka tidak bisa bersama.
Wening yang telah dibutakan oleh cinta mencari segala cara untuk mendapatkan cinta Winoto. Dia mendatangi seorang dukun yang ada dihutan siwerak.

Bukannya cinta Winoto yang didapatnya justru kematian karena Wening terjatuh dalam perjalanan sepulangnya dari hutan siwerak.
Dan Winoto, tak lama ditemukan meninggal juga dalam keadaan tergantung lehernya. Dia yang telah kena "mantra" membuatnya nekat mengakhiri hidupnya kala mendengar wening telah meninggal.

Cerita kelam berselimutkan mistik itu tersimpan rapi bertahun- tahun lamanya.
Dukun yang dimaksud adalah satu-satunya manusia penghuni hutan siwerak yang terlarang lagi angker.
Galih inget saat itu dia memang dikejar oleh bayangan hitam yang diyakini olehnya bahwa itu memang manusia. Matanya sempat beradu pandang dengannya. Namun sosok yang tidak jelas dan tampak misterius membuatnya takut.

Lalu apa hubungan dukun yang ada di siwerak dengan mbah Gayem?
Karena dari kata- kata mbah Gayem lah Galih terdorong mengambil air di hutan Siwerak.
***

Pada jaman dulunya mbah Gayem mempunyai seorang suami yang bisa dibilang sakti. Beliau menguasai kanuragan kejawen yang mistis. Hanya dengan sedikit mantra yang terucap dari bibirnya terjadilah apa yang dia inginkan.
Namun sayangnya ilmu tersebut digunakan untuk berbuat jahat dan mencelakai orang. Sampai pada kejadian seorang warga desa yang berseteru dengannya meninggal secara tidak wajar.
Warga yang tidak terima beramai-ramai membakar rumahnya. Suami mbah Gayem menyuruh istrinya dan satu-satunya anak perempuan mereka berlari ke hutan siwerak.
Sedangkan dirinya menghadapi amukan warga yang murka. Namun sayangnya nyawa beliau hilang ditangan warga yang begitu marah karena ulahnya.
Mbah Gayem  dan anaknya yang lari ke hutan hidup dalam ketakutan dan kesengsaraan. Anak mbah Gayem yang bernama Sruni tumbuh menjadi anak pendiam dan penuh dendam.
Dia mulai mempelajari apa yang ayahnya pelajari, dia ingin menjadi orang sakti.
Mbah Gayem tidak bisa berbuat banyak melihat putrinya dibutakan dendam dengan kematian bapaknya yang mengerikan.

Setelah beberapa tahun di hutan, akhirnya dia kembali ke desa dan di sidang di balai desa pada masa itu. Dia mengatakan kepada warga bahwa Sruni meninggal dimakan binatang buas di hutan sehingga dia tidak berani tinggal di hutan lagi.
Dia tidak ingin warga tahu bahwa putrinya masih hidup dan belajar ilmu kejawen seperti bapaknya. Karena jika warga tahu bukan tak mungkin Sruni juga bernasib sama dengan bapaknya.

Karena kasihan warga membangunkan rumah di pinggir hutan siwerak karena mbah Gayem bilang ingin selalu dekat dengan arwah anaknya.
Namun mbah Gayem sempat berbicara pada sesepuh desa jika sebenarnya putrinya Sruni masih hidup namun dia minta untuk membiarkan Sruni hidup karena dia sendiri yang akan menjaminkan hidupnya jika Sruni berbuat jahat ke pada warga desa.

Alhasil tak banyak yang tahu bahwa hutan angker itu berpenghuni. Sruni yang misterius juga menghabiskan waktunya bersemedi di gua dekat tuk sigaru berpuluh puluh tahun lamanya.

Pak Lurah tak habis pikir darimana Nawang dapat keberanian sebesar itu untuk masuk hutan siwerak.
Apakah dia tahu dari Wening buliknya? Memang selama hidup sifat Nawang sangat mirip dengan Wening, atos (keras) kalo sudah punya keinginan.
Tapi saat kejadian Wening, Nawang masih kecil mungkin baru berusia 7 - 8 tahun kala itu. Bagaimana gadis sekecil itu mengerti hal klenik macam ini?

Rasanya tidak penting memikirkan itu sekarang karena yang terpenting sekarang Nawang sadar dulu, dari dialah semua bisa terbuka karena dia yang memulai.

"Jadi gimana Mbah?" pak Lurah menyudahi flashback-nya.
"Mungkin benar obat Nawang memang harus diberi air tuk sigaru" kata Mbah Jiwo.
"Tapi sekarang Nawang kesambet lagi, padahal sudah dikasih air tuk" kata mbah Wongso.
Diikuti anggukan setuju sesepuh yang lain.
"Apa karena airnya kurang banyak Pak Lurah?" tanya Galih.
"Kami mengambil air tuk penuh tadinya tapi tumpah karena kami ketakutan ada yang mengintai dan mengejar" urai Ajeng.
"Sruni pasti marah kalian ndak ijin kepadanya" gumam mbah Jiwo.
"Kita harus minta izin mbah Gayem agar Sruni tidak marah daerahnya kita masuki dan airnya kita minta" usul mbah Wongso.
"Tapi ndak mungkin cukup kalo cuma dengan air sigaru, kalau sampai Nawang begini, sudah ada mantra yang keucap, hanya Sruni yang tahu"
lanjut Mbah Jiwo.
"Lebih baik kita temui mbah Gayem, lalu setelahnya menemui Sruni itu lebih masuk akal"
Para sesepuh yang dari tadi hanya menyimak mengangguk setuju.
"Tapi siapa yang tahu keberadaan Sruni di siwerak sana hutan itu sangat luas loh" celetuk pak Lurah.

Mereka semua terdiam sementara diluar sana terdengar teriakan dan tangisan Nawang.
"Mungkin mbak Arum tahu" kata Ajeng.
Semua menengok ke arahnya. Pandangan mereka seperti mencari alasan kenapa Arum?
"Karena mbak Arum pernah keceplosan sama Ajeng katanya sehari sebelum mbak Nawang kesambet mbak Arumlah yang mengantar mbak Nawang ke siwerak"
"Nduk... Tolong panggil Arum sekarang" perintah Pak Lurah lirih kepada Ajeng.
Pikirannya judeg, benar- benar shock mengetahui putrinya berbuat senekat itu.

Tak lama Ajeng kembali dengan Arum yang tampak ketakutan. Badannya gemetar bahkan nyaris menangis seolah dia adalah dalang dari semuanya.
"Duduk cah Ayu, sini.. " ajak Pak Lurah berusaha menenangkan Arum yang ketakutan.
"Sudah jangan nangis nduk, bapak cuma mau tanya sama kamu, ndak usah takut" lanjut Mbah Wongso.
"Coba tolong ceritakan kepada kami apa saja yang Arum ketahui tentang Nawang dan siwerak" tanya Pak Lurah lembut.

Arum hanya tertunduk susah payah menahan butiran hangat itu menetes.
"Ndak papa mbak Arum, Pak Lurah ndak akan menghukum kita" tangan Ajeng mengusap tangan Arum dan meremasnya lembut.
"Arum cuma disuruh ngancani (nemenin) Nawang pak Lurah" kata Arum terbata.
"Arum ngancani Nawang sampai masuk ke siwerak?"
Arum mengangguk lemah, sepertinya dia sangat ketakutan.
"Di siwerak Nawang ngapain rum?"
"Nawang .." Arum tersendat.
"Nawang kenapa cah Ayu" balas Pak Lurah lembut.
"Hiks... hiks,," akhirnya tangis Arum pecah.

Pak Lurah dan semua yang ada diruangan itu menarik nafas panjang sambil menunggu tangis Arum reda.
"Nawang ketemu sama mbah-mbah pak Lurah, mbah itu sama Nawang masuk ke gua kecil di samping tuk sigaru, Arum ndak tau mereka ngomong apa" akhirnya beban itu lepas dari hati Arum.
"Mbah putri mirip mbah Gayem ndak mukanya" tanya mbah Jiwo.
"Nggeh mbah Jiwo tapi luwih enem niki (lebih muda ini)" kata Arum.
"Bener Sruni" gumam Mbah Jiwo.
"Sebelum kejadian ini kamu pernah ndak ke hutan siwerak sebelumnya?" tanya Pak Kendar salah satu sesepuh desa.

Kembali Arum mengangguk "Udah lama dulu mbah, sekali kira-kira setahun yang lalu"
Mereka semua terdiam. Galih baru kali ini mendengar dan bahkan terlibat langsung dengan sesuatu yang berbau klenik. Ternyata semua nyata adanya bukan hanya sekedar cerita mitos.
"Yo wes mumpung masih pagi dan sebelum Nawang tambah ngamuk, saya, pak lurah, mbah Wongso dan kamu cah Bagus, mari kita ke siwerak" kata Mbah Jiwo mantap.
"Kamu nduk Ayu, tolong jangan cerita macam- macam ke yang lain yah, ndak baik ini masalah aib keluarga pak Lurah" pesan mbah Jiwo kepada Ajeng dan Arum.
***

Berempat mereka menyusuri jalan setapak yang masih tampak basah oleh embun. Matahari tampaknya masih malas menyinari semesta.
Sesekali terdengar pak Lurah menghela nafas, beliau tampak terpukul dengan kejadian ini.
Dulu adik perempuan satu-satunya harus meninggalkan dia dengan cara yang tidak wajar, sekarang anak gadis nya nyaris menjadi korban.

Sampai dirumah mbah Gayem, tampak nenek renta itu sedang berdiri didepan pintu.
Kehadiran mereka seperti telah dia ketahui. Segera bergantian mereka menyalami wanita penuh keriput itu.
Sebuah bungkusan yang masih hangat diletakkan di samping kursi mbah Gayem.
Tampak beliau terkekeh memperlihatkan giginya yang tak lagi lengkap dan juga berwarna hitam.
"Ciri wanci lelai ginawa mati (watak orang yang buruk tidak akan berubah sampai mati) " katanya sambil menyesap rokok lintingannya.

Sesaat kemudian wajahnya tertutup dengan asap putih, tampak menyeramkan.
"Anakmu ki menawa cecak nguntal cagak (anakmu itu seperti orang yang punya keinginan namun tidak sadar akan kemampuan)" lanjut nya sambil menatap pak Lurah.
"Mulat salira, hangrasa wani (sebelum bertindak hendaknya dipikir lebih dulu agar tidak sembrono dan merugikan orang lain)" mbah Gayem melanjutkan.
"Wes ndang nyang siwerak selak Sruni murka (sudah cepat ke siwerak sebelum Sruni murka)" kata mbah Gayem sambil menyuapkan ketan anget ke bibir hitamnya.

Rombongan segera berpamitan kepada mbah Gayem menuju belantara siwerak.
Galih kali ini tetap masih takut namun kehadiran pak lurah dan sesepuh yang sudah paham medan hutan membuatnya sedikit tenang.

Tampak gerombolan bebek putih terdiam menatap mereka. Mbah Jiwo yang berjalan paling depan  entah berkomat kamit apa lalu dengan menunduk lewat didepan bebek tersebut.
Semua mengikuti gerakan mbah Jiwo. Tak lama kemudian Galih yang penasaran menoleh ke belakang dan rombongan bebek tadi bahkan sudah lenyap.

Tanpa komando segenap bulu kuduknya berdiri, dicekalkan lengan pak Lurah tanpa sadar.
Bebek macam apa pula itu baru ditinggal kedip sudah menghilang. Bebeknya saja seram apalagi yang lainnya, bisik Galih ciut.

Semakin ke tengah suasana hutan semakin rimbun dan lembab, rasanya tak percaya ada manusia yang bisa hidup dilingkungan seperti ini.
Rasanya panjang sekali hutan itu hingga akhirnya sampailah mereka di depan sebuah pohon beringin yang sangat besar. Akarnya bahkan menjulur hingga menyerupai sebuah tenda alami.

Galih ingat ditempat itulah dia menciduk air. Rupanya rimbunan itu bukan daun melainkan akar yang menjulur.

Kemarin boro-boro dia sempat memperhatikan keadaan hutan wong mau nafas aja susah rasanya saking takutnya.
"Nuwun sewu Sruni" teriak mbah Jiwo.
"Jiwo kalian rencang sowan badhe tangkled (jiwo dan juga teman datang ingin bertanya) " ucap mbah Jiwo.
"Medhal rumiyen Srun ( keluar dulu Srun)" tambahnya lagi.

Tak lama rimbunan akar itu bergerak dengan pelan, tampaklah sosok berpakaian hitam berbadan bongkok muncul.
Galih ketakutan sampai memeluk pak Lurah. Pak lurah dan mbah jiwo sekalipun tampak tegang dan memundurkan langkahnya.
Nenek bongkok itu memandang dengan raut tidak bersahabat. Mulutnya asik mengunyah entah daun apa.
"Nuwun sewu Sruni bilih ganggu, namung sekedap (permisi Sruni bila mengganggu tapi cuma sebentar) ucap mbah Jiwo lembut.
"Hmm.. " dengus nenek Sruni kasar.
Lalu dirinya berbalik masuk kembali ke gua di balik rimbunan akar beringin itu, tangannya tampak menyuruh mbah Jiwo mengikutinya.
Mbah jiwo dengan mantap mengikuti mbah Sruni ke dalam "rumahnya".
Pak Lurah, mbah Wongso dan Galih tampak tercekat melihat penampakan dan perangai nenek misterius tersebut.
Agak Lama mbah jiwo di dalam sana, terdengar hentakan kaki dan entah suara hewan apa di dalam sana.

Kemudian rimbunan akar itu bergerak lagi, tampak mbah Jiwo muncul dengan muka tegang .
"Harjo, Nawang telah berbuat sembrono, takabur dia" desahnya.
"Pripun mbah (gimana mbah) " tanya pak Lurah.
"Nawang sudah 2 kali melakukan ini pertama dengan pemuda bernama Abimana dan kali ini dia mencoba mengambil hati pemuda bernama Panji"
"Dia ingin memiliki hati pemuda itu namun sayangnya kedua pemuda itu telah jatuh hati kepada Gendhis adiknya"

Pak harjo kaget bukan kepalang mendengar penjelasan mbah Jiwo.
"Lajeng, pripun mbah (Lalu bagaimana mbah)" kata pak Lurah cemas.
"Perasaan Abimana wis macet mergo kegerus wedhal (perasaan Abimana sudah tidak bisa dirubah karena sudah terlalu lama) dia akan selamanya mencintai Nawang, untuk Abimana ini berhasil tapi tidak untuk Panji"
"Rajah yang sudah terlanjur terpatri ke Abimana tidak bisa dicabut dan dialihkan ke pemuda lain, namun Nawang memaksa sehingga Nawang kena wadhalnya (akibatnya)"

Pak Lurah semakin lemas mendengar penjelasan mbah Jiwo.
"Hanya satu hati yang bisa diselamatkan Harjo"
"Maksud mbah Jiwo ?" Kata pak lurah bergetar.
"Mengembalikan ingatan Nawang namun menghapus semua ingatan Panji akan Gendhis atau mengembalikan ingatan Panji tentang Gendhis namun selamanya Nawang linglung"

Nanar mata pak Harjo membayangkan dua wajah Putri tersayangnya, posisi mereka sama di hatinya.
Membiarkan Nawang hilang ingatan sungguh berat namun membuat hati Gendhis patah untuk kedua kalinya terasa sangat kejam.
Tak terasa air mata Pak Harjo mengalir membuat mata Mbah Sruni menyipit lalu menarik mbah Jiwo masuk kembali ke guanya.

Tak lama dia keluar kembali, menyuruh Galih kembali ke desa menjemput Gendhis, ternyata bukan pak Harjo yang menentukan pilihan namun Gendhis.
Terlihat mbah Sruni mengambil 2 buah bathok kelapa dari dalam guanya. Sama-sama diisi air dan bunga. Satu bunga berwarna merah dan dan satu lagi berwarna putih.

Diletakkannya dua bathok tersebut di atas cerukan tuk sigaru, terapung dan sedikit terombang ambing menanti Gendhis.
Lalu sosoknya menghilang dibalik rimbunan semak hutan siwerak.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER