Galih tertatih meninggalkan hutan wingit siwerak. Kakinya memang masih belum pulih benar namun dia sangat semangat kali ini.
Belum lagi dirinya keluar dari hutan, ketemu lagi dengan rombongan bebek putih yang seperti terdiam menatapnya.
Bulu kuduk Galih meremang tanpa komando. Perlahan dia berjalan menunduk seperti saat pertama kali melihat bebek itu.
Tanpa menoleh kebelakang lagi, dia berlari secepat mungkin menuju pintu masuk hutan.
Nafasnya agak tersengal dan kakinya mulai terasa berdenyut nyeri. Terseok Galih berjalan di jalan setapak depan rumah mbah Gayem.
Terlihat wajah wanita renta itu dibalik jendela yang kacanya mulai menghitam, pandangannya beradu dengan mata Galih membuat Galih bergidik ngeri.
Galih semakin mempercepat langkahnya, sampai akhirnya dia merasa tidak kuat lagi melangkah.
Galih terduduk di rumput jalan setapak sambil meringis memijat kakinya yang sekarang terasa sangat nyeri.
"Duuh,,, jangan sakit dulu donk, penting ini" keluhnya masih tetap sambil memijit.
Keheningan membuat telinganya menangkap sebuah suara langkah kaki.
Siapa itu? Ditajamkannya indra pendengaran mencari sumber suara itu.
Antara ngeri dan senang, ngeri seandainya yang datang bukan sosok manusia tapi senang jika itu benar manusia berarti dia bisa minta tolong kembali ke desa.
Jantungnya berdegup kencang menanti siapakah yang datang.
Sebuah bayangan agak besar dengan langkah kaki berat muncul, Ajeng!!
Galih melepas nafas lega melihat wajah bulat itu yang muncul. Ajeng yang melihat Galih lesehan dirumput segera berlari menghampiri.
"Mas galih kok disini, ndak ikut masuk siwerak to?" tanyanya.
"Ikut Jeng, ini aku bar dari siwerak disuruh mbah Jiwo jemput Gendhis"
"Gendhis?" tanya Ajeng dengan dahi berkerut.
Lalu Galih menceritakan apa yang dia dengar di hutan siwerak.
"Tuh kan bener dugaan Ajeng, dasar emang mbak Nawang sontoloyo" geram Ajeng berapi-api tangannya bahkan mengepal gemas.
"Hush.... jangan keras-keras Jeng" Galih mengingatkan.
Ajeng segera menutup mulutnya seraya menengok kekiri dan kekanan.
"Inget ya Jeng ini rahasia loh"
Ajeng mengangguk cepat.
"Kamu sendiri ngapain keluyuran kesini Jeng?"
"Aku penasaran makanya mau nunggu kalian di rumah mbah Gayem"
"Trus mas Galih ngapain nglemprak (lesehan) disini, katanya suruh jemput Gendhis?" bisiknya.
"Iya, aku juga lagi jalan mau ke desa Jeng tapi kakiku nyeri banget makanya istirahat sebentar disini" jawab Galih meringis sambil memijit kakinya.
"Owalah iyo, kaki mas Galih kan kesleo yo, pak Lurah lali (lupa) opo ya kok nyuruh mas Galih yang jemput Gendhis sih?" sesal Ajeng.
"Gini aja mas, biar Ajeng yang jemput Gendhis ke desa, mas Galih tunggu sini aja piye?" tawar Ajeng.
"Aku tunggu disini sendirian ngono (gitu)?" Galih terlihat ragu.
"La iyo.. Kan Ajeng nyusulin Gendhis ke desa, piye to? "
"Aduh Jeng, aku takut kalau sendirian di tengah alas (kebun) gini, tadi kamu datang aja tak kira memedi" jawab Galih dengan muka memelas.
Ajeng merengut mendengar Galih mengira dirinya medi.
"Yo wes, mas Galih nunggu di rumah mbah Gayem aja piye?"
"Walaaah opo maneh (apalagi) disana bisa mati berdiri aku diliatin mbah Gayem" Galih berkata sambil bergidik ngeri.
"'Trus piye karepe (trus gimana maunya) disini ndak mau, di rumah mbah Gayem juga ndak mau, ikut ke desa kakine sakit" keluh Ajeng mecucu.
"Yo wes, aku tunggu disini ndak papa, kamu ke desa jemput Gendhis tapi jangan lama- lama ya" pinta Galih.
"Tenan (bener) yo, ya udah mas Galih duduk aja disini Ajeng ke desa dulu yah" kata Ajeng sambil berlalu.
"Jeng... " panggil Galih.
Belum dapat 5 langkah Ajeng beranjak Galih sudah memanggilnya.
"Opo maneh to (apa lagi sih) mas Galih?" kata Ajeng sambil berbalik kembali ke arahnya.
"Aku takut Jeng, kalo aku diangkut wewe piye?" keluh Galih lirih.
"Iiiish...Yo wes" kata Ajeng sambil melepas kancing kebayanya.
"Eeeeh.... Mau apa kamu buka baju segala Jeng" kata Galih panik melihat kelakuan Ajeng.
Sambil mendengus Ajeng membalikkan badan, tak lama dia memberikan sebuah peniti berbandul benda hitam.
"Nih... Pake" katanya sambil menyerahkan peniti aneh itu ke Galih yang terbengong bingung.
"Apa ini Jeng" katanya sambil memperhatikan benda aneh itu.
"Itu jimat dari mamakku, katanya kalau pake itu ndak bakal ada memedi yang berani sama kita" kata Ajeng
"Jimat apaan kaya gini bentuknya"
"Itu yang item dringo bangle (daun dan sejenis umbi- umbian) yang diiris, trus dom (jarum) itu ditancepin ke baju kita, ngene ki (gini ni)" kata Ajeng sambil memakaikan peniti itu di baju Galih.
Dengan muka tidak yakin Galih membiarkan benda itu dipasang oleh Ajeng.
"Kamu yakin Jeng.. wewe takut sama beginian?"
"Wes to percaya sama Ajeng, buktinya sampai sekarang Ajeng ndak pernah digondol wewe kan?" kata Ajeng dengan nada sombong.
"Kayaknya wewe juga pikir-pikir mau gondol kamu Jeng, abot (berat) ndak bakal bisa kebawa mabur (terbang)" gumam Galih.
"Apa mas Galih, Ajeng ndak denger" kata Ajeng menoleh mendengar Galih bergumam.
"Ndak... Ndak,, josss pokoknya jimatmu, ayo ndang (cepat) jemput Gendhis"
"Yo wes" kata Ajeng sambil melesat menuruni bukit menuju desa somawangi.
***
Mantri Sugeng tertegun melihat ponakan cantiknya dipasung dikamarnya. Mukanya kuyu dan pucat dengan rambut acak-acakan membuat penampilannya kacau, dia sendiri merinding melihat Nawang.
Apalagi mulutnya senantiasa bergumam dan mata nyalang memancarkan amarah.
Nawang terpaksa di pasung karena ingin melukai siapa saja yang berada di dekatnya dan selalu ingin pergi keluar rumah.
"Piye iki ponakanmu Geng?" Bu Harjo tergugu di pelukan adiknya itu.
Mantri Sugeng hanya bisa berusaha menenangkan kakak perempuan satu-satunya itu.
"Ndak papa mbakyu, besok kalau belum ada perkembangan Nawang kita bawa ke kota saja, ada rumah sakit yang bisa menyembuhkan Nawang" Mantri Sugeng tampak membesarkan hati Bu Harjo.
Ajeng tampak tergopoh-gopoh menuju pendopo. Nafasnya tersengal dan tampak kelelahan, sepertinya dia sengaja berlari agar cepat sampai.
Gendhis yang melihat sahabatnya tampak kepayahan segera mengambilkan segelas air kendi dingin yang menyegarkan.
"Waaah,,, urip neh aku (hidup lagi aku)" kala segelas air kendi habis diteguknya.
"Makasih ya Ndis"
"Iyo, kamu darimana to, ngos-ngosan gitu, tadi mau tak ajak nyuci ke sungai, kata mbak Arum sejak pagi kamu udah pergi"
"Aku abis dari siwerak, sekarang mau kesana lagi ngajak kamu"
"Kok aku? Ndak ah takut aku Jeng" tolak Gendhis.
"Ini demi masa depanmu dan mas Panji ganteng Ndis" teriak Ajeng semangat.
"Huss apa sih kamu, ojo ngawur lo" larang Gendhis tampak pucat.
Di ujung pendopo tampak pemuda tampan bernama Panji menoleh kala mendengar namanya disebut.
"Aduh Ajeng, isin aku" kata Gendhis sambil menarik tubuh gempal Ajeng masuk ke kamarnya.
"Eh ini Ajeng ya" sapa mantri Sugeng ramah.
"Walah ada pak mantri, pripun kabaripun (gimana kabarnya) pak Mantri" kata Ajeng sambil menyalami mantri Sugeng.
"Alhamdulillah sehat Jeng, kamu makmur yo saiki (sekarang)"
"Sanjang mawon (bilang saja) Ajeng lemu (gemuk) pak Mantri hahahaha"
"Sing penting sehat Jeng, udah sana ada perlu sama Gendhis to"
"Njeh pak, pareng" pamit Ajeng.
Disusulnya Gendhis dikamarnya.
"Ndis ayok ke siwerak, ini disuruh pak Lurah sama mbah Jiwo, aku ndak ngapusi (bohong)"
"Aduh Jeng, ada apa sih, kok kudu (harus) ke siwerak Jeng, tenanan (beneran) aku takut kalo ke siwerak, kamu aja yah" kata Gendhis sambil meremas-remas tangannya.
"Kalo aja diwakilin aku bisa, tak lakoni (ku lakukan) Ndis" bujuk Ajeng. Ben mbak Nawang edan sisan (biarin Nawang gila sekalian), batin Ajeng.
"Tenan kan ada bapak sama mbah Jiwo Jeng, trus ono sopo neh (trus ada siapa lagi) ?" tanya Gendhis
"E.. e...iku, Sopo neh yo...kuwi eeeh.. sopo yo" kata Ajeng panik.
Gendhis memandang lekat-lekat sahabat baiknya itu.
"Galih... Yo mas Galih Ndis ada mas Galih disana" kata Ajeng yakin.
"Yo wes, pamitan bune sama Pak lik sek yo"
Harap-harap cemas Galih menunggu kedatangan Ajeng dan Gendhis. Mereka serasa sangat lama.
"Edan... Dari tadi disini ndak ada satupun orang lewat" bisik Galih heran.
Untunglah tak lama kemudian Ajeng dan Gendhis muncul di ujung jalan.
"Mas Galih, kok disini?" tanya Gendhis.
"Iya Ndis, nunggu kamu sama Ajeng" kata Galih sambil berdiri.
"Eeh..... Bisa ndak" Ajeng segera membantu Galih berdiri.
"Aduh... kalian mesra banget loh" puji Gendhis begitu melihat kelakuan Ajeng dan Galih.
"Hih... Opo to Ndis" kata Ajeng sambil mendorong Galih.
"Aduuuh, Sakit Ajeng" kata Galih yang terduduk kembali.
"Aduh mas Galih, sepurone, Gendhis sih.. Sini tak bantu mas" kembali Ajeng menawarkan tangannya.
Gendhis cuma mesem melihat tingkah kikuk mereka.
Beriringan mereka berjalan menuju hutan siwerak. Tangan Gendhis tak pernah terlepas dari lengan Ajeng. Dia benar-benar ketakutan.
Semakin memasuki hutan, bahkan genggaman Gendhis berubah jadi cekalan erat di lengan Ajeng.
"Aduh pelan-pelan Ndis, sakit" keluh Ajeng.
"Aku takut Jeng, kalo ada medhi piye" bisik Gendhis panik.
"Ndak... Ndak,, ada mas Galih tenang aja, paling dia dulu yang dimakan" kata Ajeng bercanda.
Galih melotot ke arahnya, raut takut tak bisa disembunyikannya.
"Aduuuh bebek ini lagi" bisik Galih pucat. Segera dia membungkuk saat melewati rombongan bebek berjumlah 3 ekor itu.
Ajeng dan Gendhis melakukan hal yang sama dengan Galih. Namun kali ini bebek tidak menghilang malah mengikuti mereka dari belakang.
Ajeng dan Gendhis nampak ketakutan diikuti mahluk yang sebenarnya lucu itu. Namun sepertinya kelucuan tidak berlaku lagi manakala mereka berada di hutan yang keangkerannya telah tersohor seantero kampung.
Galih melepas nafas lega melihat wajah bulat itu yang muncul. Ajeng yang melihat Galih lesehan dirumput segera berlari menghampiri.
"Mas galih kok disini, ndak ikut masuk siwerak to?" tanyanya.
"Ikut Jeng, ini aku bar dari siwerak disuruh mbah Jiwo jemput Gendhis"
"Gendhis?" tanya Ajeng dengan dahi berkerut.
Lalu Galih menceritakan apa yang dia dengar di hutan siwerak.
"Tuh kan bener dugaan Ajeng, dasar emang mbak Nawang sontoloyo" geram Ajeng berapi-api tangannya bahkan mengepal gemas.
"Hush.... jangan keras-keras Jeng" Galih mengingatkan.
Ajeng segera menutup mulutnya seraya menengok kekiri dan kekanan.
"Inget ya Jeng ini rahasia loh"
Ajeng mengangguk cepat.
"Kamu sendiri ngapain keluyuran kesini Jeng?"
"Aku penasaran makanya mau nunggu kalian di rumah mbah Gayem"
"Trus mas Galih ngapain nglemprak (lesehan) disini, katanya suruh jemput Gendhis?" bisiknya.
"Iya, aku juga lagi jalan mau ke desa Jeng tapi kakiku nyeri banget makanya istirahat sebentar disini" jawab Galih meringis sambil memijit kakinya.
"Owalah iyo, kaki mas Galih kan kesleo yo, pak Lurah lali (lupa) opo ya kok nyuruh mas Galih yang jemput Gendhis sih?" sesal Ajeng.
"Gini aja mas, biar Ajeng yang jemput Gendhis ke desa, mas Galih tunggu sini aja piye?" tawar Ajeng.
"Aku tunggu disini sendirian ngono (gitu)?" Galih terlihat ragu.
"La iyo.. Kan Ajeng nyusulin Gendhis ke desa, piye to? "
"Aduh Jeng, aku takut kalau sendirian di tengah alas (kebun) gini, tadi kamu datang aja tak kira memedi" jawab Galih dengan muka memelas.
Ajeng merengut mendengar Galih mengira dirinya medi.
"Yo wes, mas Galih nunggu di rumah mbah Gayem aja piye?"
"Walaaah opo maneh (apalagi) disana bisa mati berdiri aku diliatin mbah Gayem" Galih berkata sambil bergidik ngeri.
"'Trus piye karepe (trus gimana maunya) disini ndak mau, di rumah mbah Gayem juga ndak mau, ikut ke desa kakine sakit" keluh Ajeng mecucu.
"Yo wes, aku tunggu disini ndak papa, kamu ke desa jemput Gendhis tapi jangan lama- lama ya" pinta Galih.
"Tenan (bener) yo, ya udah mas Galih duduk aja disini Ajeng ke desa dulu yah" kata Ajeng sambil berlalu.
"Jeng... " panggil Galih.
Belum dapat 5 langkah Ajeng beranjak Galih sudah memanggilnya.
"Opo maneh to (apa lagi sih) mas Galih?" kata Ajeng sambil berbalik kembali ke arahnya.
"Aku takut Jeng, kalo aku diangkut wewe piye?" keluh Galih lirih.
"Iiiish...Yo wes" kata Ajeng sambil melepas kancing kebayanya.
"Eeeeh.... Mau apa kamu buka baju segala Jeng" kata Galih panik melihat kelakuan Ajeng.
Sambil mendengus Ajeng membalikkan badan, tak lama dia memberikan sebuah peniti berbandul benda hitam.
"Nih... Pake" katanya sambil menyerahkan peniti aneh itu ke Galih yang terbengong bingung.
"Apa ini Jeng" katanya sambil memperhatikan benda aneh itu.
"Itu jimat dari mamakku, katanya kalau pake itu ndak bakal ada memedi yang berani sama kita" kata Ajeng
"Jimat apaan kaya gini bentuknya"
"Itu yang item dringo bangle (daun dan sejenis umbi- umbian) yang diiris, trus dom (jarum) itu ditancepin ke baju kita, ngene ki (gini ni)" kata Ajeng sambil memakaikan peniti itu di baju Galih.
Dengan muka tidak yakin Galih membiarkan benda itu dipasang oleh Ajeng.
"Kamu yakin Jeng.. wewe takut sama beginian?"
"Wes to percaya sama Ajeng, buktinya sampai sekarang Ajeng ndak pernah digondol wewe kan?" kata Ajeng dengan nada sombong.
"Kayaknya wewe juga pikir-pikir mau gondol kamu Jeng, abot (berat) ndak bakal bisa kebawa mabur (terbang)" gumam Galih.
"Apa mas Galih, Ajeng ndak denger" kata Ajeng menoleh mendengar Galih bergumam.
"Ndak... Ndak,, josss pokoknya jimatmu, ayo ndang (cepat) jemput Gendhis"
"Yo wes" kata Ajeng sambil melesat menuruni bukit menuju desa somawangi.
***
Mantri Sugeng tertegun melihat ponakan cantiknya dipasung dikamarnya. Mukanya kuyu dan pucat dengan rambut acak-acakan membuat penampilannya kacau, dia sendiri merinding melihat Nawang.
Apalagi mulutnya senantiasa bergumam dan mata nyalang memancarkan amarah.
Nawang terpaksa di pasung karena ingin melukai siapa saja yang berada di dekatnya dan selalu ingin pergi keluar rumah.
"Piye iki ponakanmu Geng?" Bu Harjo tergugu di pelukan adiknya itu.
Mantri Sugeng hanya bisa berusaha menenangkan kakak perempuan satu-satunya itu.
"Ndak papa mbakyu, besok kalau belum ada perkembangan Nawang kita bawa ke kota saja, ada rumah sakit yang bisa menyembuhkan Nawang" Mantri Sugeng tampak membesarkan hati Bu Harjo.
Ajeng tampak tergopoh-gopoh menuju pendopo. Nafasnya tersengal dan tampak kelelahan, sepertinya dia sengaja berlari agar cepat sampai.
Gendhis yang melihat sahabatnya tampak kepayahan segera mengambilkan segelas air kendi dingin yang menyegarkan.
"Waaah,,, urip neh aku (hidup lagi aku)" kala segelas air kendi habis diteguknya.
"Makasih ya Ndis"
"Iyo, kamu darimana to, ngos-ngosan gitu, tadi mau tak ajak nyuci ke sungai, kata mbak Arum sejak pagi kamu udah pergi"
"Aku abis dari siwerak, sekarang mau kesana lagi ngajak kamu"
"Kok aku? Ndak ah takut aku Jeng" tolak Gendhis.
"Ini demi masa depanmu dan mas Panji ganteng Ndis" teriak Ajeng semangat.
"Huss apa sih kamu, ojo ngawur lo" larang Gendhis tampak pucat.
Di ujung pendopo tampak pemuda tampan bernama Panji menoleh kala mendengar namanya disebut.
"Aduh Ajeng, isin aku" kata Gendhis sambil menarik tubuh gempal Ajeng masuk ke kamarnya.
"Eh ini Ajeng ya" sapa mantri Sugeng ramah.
"Walah ada pak mantri, pripun kabaripun (gimana kabarnya) pak Mantri" kata Ajeng sambil menyalami mantri Sugeng.
"Alhamdulillah sehat Jeng, kamu makmur yo saiki (sekarang)"
"Sanjang mawon (bilang saja) Ajeng lemu (gemuk) pak Mantri hahahaha"
"Sing penting sehat Jeng, udah sana ada perlu sama Gendhis to"
"Njeh pak, pareng" pamit Ajeng.
Disusulnya Gendhis dikamarnya.
"Ndis ayok ke siwerak, ini disuruh pak Lurah sama mbah Jiwo, aku ndak ngapusi (bohong)"
"Aduh Jeng, ada apa sih, kok kudu (harus) ke siwerak Jeng, tenanan (beneran) aku takut kalo ke siwerak, kamu aja yah" kata Gendhis sambil meremas-remas tangannya.
"Kalo aja diwakilin aku bisa, tak lakoni (ku lakukan) Ndis" bujuk Ajeng. Ben mbak Nawang edan sisan (biarin Nawang gila sekalian), batin Ajeng.
"Tenan kan ada bapak sama mbah Jiwo Jeng, trus ono sopo neh (trus ada siapa lagi) ?" tanya Gendhis
"E.. e...iku, Sopo neh yo...kuwi eeeh.. sopo yo" kata Ajeng panik.
Gendhis memandang lekat-lekat sahabat baiknya itu.
"Galih... Yo mas Galih Ndis ada mas Galih disana" kata Ajeng yakin.
"Yo wes, pamitan bune sama Pak lik sek yo"
Harap-harap cemas Galih menunggu kedatangan Ajeng dan Gendhis. Mereka serasa sangat lama.
"Edan... Dari tadi disini ndak ada satupun orang lewat" bisik Galih heran.
Untunglah tak lama kemudian Ajeng dan Gendhis muncul di ujung jalan.
"Mas Galih, kok disini?" tanya Gendhis.
"Iya Ndis, nunggu kamu sama Ajeng" kata Galih sambil berdiri.
"Eeh..... Bisa ndak" Ajeng segera membantu Galih berdiri.
"Aduh... kalian mesra banget loh" puji Gendhis begitu melihat kelakuan Ajeng dan Galih.
"Hih... Opo to Ndis" kata Ajeng sambil mendorong Galih.
"Aduuuh, Sakit Ajeng" kata Galih yang terduduk kembali.
"Aduh mas Galih, sepurone, Gendhis sih.. Sini tak bantu mas" kembali Ajeng menawarkan tangannya.
Gendhis cuma mesem melihat tingkah kikuk mereka.
Beriringan mereka berjalan menuju hutan siwerak. Tangan Gendhis tak pernah terlepas dari lengan Ajeng. Dia benar-benar ketakutan.
Semakin memasuki hutan, bahkan genggaman Gendhis berubah jadi cekalan erat di lengan Ajeng.
"Aduh pelan-pelan Ndis, sakit" keluh Ajeng.
"Aku takut Jeng, kalo ada medhi piye" bisik Gendhis panik.
"Ndak... Ndak,, ada mas Galih tenang aja, paling dia dulu yang dimakan" kata Ajeng bercanda.
Galih melotot ke arahnya, raut takut tak bisa disembunyikannya.
"Aduuuh bebek ini lagi" bisik Galih pucat. Segera dia membungkuk saat melewati rombongan bebek berjumlah 3 ekor itu.
Ajeng dan Gendhis melakukan hal yang sama dengan Galih. Namun kali ini bebek tidak menghilang malah mengikuti mereka dari belakang.
Ajeng dan Gendhis nampak ketakutan diikuti mahluk yang sebenarnya lucu itu. Namun sepertinya kelucuan tidak berlaku lagi manakala mereka berada di hutan yang keangkerannya telah tersohor seantero kampung.
Tampak pak lurah tersenyum menyambut kedatangan Ajeng, Galih dan Gendhis.
Mbah Jiwo tampak mengelus lembut rambut Gendhis. Kemudian mereka duduk di pokok pohon mahoni yang mengering disekitar situ.
Mbah Jiwo tampak berbicara serius dengan Gendhis. Wajahnya terlihat tegang sementara Gendhis tampak terkejut dan memucat.
Pak Lurah menghampiri mereka dan menggenggam erat tangan putrinya. Gendhis terlihat tegang menahan tangis.
Tak lama kemudian mbah Sruni muncul dari balik rimbunan semak, membuat Gendhis dan Ajeng terkejut bukan kepalang.
Nenek bungkuk itu menuju tuk sigaru dan menyuruh Gendhis mendekatinya.
Gendhis tampak ragu-ragu, dilihatnya mbah Jiwo mengangguk lalu perlahan Gendhis mendekati mbah Sruni yang tampak menunggunya mendekat.
Wajahnya yang penuh dengan keriput memandangnya lekat-lekat. Sebuah senyum lembut tersungging di bibirnya, mungkin baru kali ini senyumnya hadir kembali setelah puluhan tahun lamanya.
"Cah ayu, apakah kamu melihat wajah di batok ini?" tanya mbah Sruni sambil menunjuk dua bathok kelapa yang mengambang dipermukaan air tuk sigaru.
----------
Gendhis mencoba mendekati tuk, lalu berlahan dilihatnya dua batok yang mengambang disitu.
Ada bathok berisi air dan bunga putih satunya lagi bathok berisi bunga merah. Hanya itu yang dilihatnya.
"Mboten kethingal suryanipun sinten-sinten (tidak terlihat muka siapapun) mbah?" tanya Gendhis bingung.
Lagi- lagi mbah Sruni tersenyum.
"Gatekke (perhatikan) bathok isi kembang putih cah ayu" sarannya.
Mata Gendhis tertuju ke arah yang ditunjuk mbah Sruni. Pemandangannya masih sama, air dan beberapa helai bunga mawar putih disana.
Namun semakin diperhatikan perlahan ada wajah Nawang disana, Nawang yang sedang tersenyum. Itu senyum Nawang saat pertama kalinya Gendhis bisa menulis. Ya... Nawanglah yang mengajarinya menulis kala itu.
Air mata Gendhis menetes.
Mbah Sruni mengelus lembut pundak Gendhis. Ditunjuknya bathok dengan bunga berwarna merah.
Masih sama isinya walaupun perlahan tergambar wajah Panji disana, senyumnya yang manis dan pandangan teduhnya yang melenakan. Perasaan hangat menjalari relung hatinya, betapa dia merindukan tatapan dan senyum itu.
"Jikuk sidji (ambil satu) cah ayu, tanya hatimu siapa yang pantas kamu selamatkan" bisiknya lembut.
Hati Gendhis bergetar, tangannya bahkan sangat berat terangkat. Namun dengan mantap dia mengambil salah satu bathok.
Bathok itu digenggamnya erat seolah itu satu-satunya harta yang dia miliki.
Pandangan matanya lekat memandang bathok bunga merah dengan senyum Panji disana, perlahan air tuk memenuhi batok itu hingga akhirnya tenggelam bersama setengah dari jiwanya.
Pandangannya beralih ke mbah Sruni mencoba mencari tahu sudahkah benar pilihannya.
Mbah Sruni hanya manggut- manggut dengan sorot mata yang menghujam sukma Gendhis.
Gendhis menghampiri bapaknya yang tampak tertunduk, pundaknya bergetar menahan tangis. Tak sampai hatinya melihat muka putri cantiknya itu.
Diserahkannya batok itu kepada mbah Jiwo yang juga berdiri mematung memandangnya.
Ajeng tampak melongo tak percaya memandangi bathok yang kini berada di tangan mbah Jiwo.
***
Keheningan tampak menguasai hutan sepi itu sampai ketika seekor bebek mencoba "nyosor" Ajeng.
"Aduh... Iki bebek opo to, hush... hush" teriak Ajeng mencoba mengusir bebek yang hendak mematuk kakinya.
Semua tampak kaget oleh jeritan Ajeng, segera mbah Jiwo berkomat-kamit dan ajaibnya tiga ekor bebek itu langsung lari ke balik rerimbunan hutan.
"Kamu lagi ndak suci ya Jeng?" tanya Mbah Jiwo.
Ajeng mengangguk malu. Mbah Jiwo sakti banget sih sampai aku lagi haid aja tahu, batin Ajeng.
"Bukan saya yang tahu Jeng, tapi bebek itu yang ngasih tahu" kata mbah Jiwo membuat Ajeng terperanjat.
Wiiiih.. Sakti tenan mbah Jiwo iki aku ngomong dalam hati bisa tahu, batin Ajeng sambil manggut-manggut.
Galih mengaruk kepalanya yang tidak gatal, apa hubungannya bebek itu sama Ajeng yang lagi haid.
Akhirnya mbah Jiwo menemui mbah Sruni entah mereka berbicara apa setelah itu beliau berpamitan, disusul oleh semuanya.
Mata Mbah Sruni mengantar kepergian mereka, dipandanginya Gendhis dengan mata haru.
"Gendhis cah ayu" panggilnya.
Mereka terhenti dan menoleh ke arah mbah Sruni.
"Sini nduk" ajaknya kepada Gendhis.
Gendhis menghampiri mbah Sruni yang sedang tersenyum menyambutnya. Ditariknya tangan Gendhis, satu tangannya mengelus pipi mulus Gendhis.
"Legowo ya cah ayu, pangeran mboten sare (Tuhan tidak tidur)" pesannya lembut.
Gendhis tersenyum memandang wajah tua mbah Sruni, dilepaskannya satu-satunya cincin dijarinya, kemudian diserahkan ke mbah Sruni.
Mbah Sruni tertegun dan terharu melihat kebaikan hati Gendhis, untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun air matanya menitik lagi.
Dia selalu berpikir jika semua manusia serakah, sombong dan keji namun hari ini hatinya dihangatkan oleh gadis manis berhati mulia.
Bahkan gadis ini memeluk tubuh bongkoknya yang telah renta. Sungguh perasaan yang bahkan sudah dia lupakan bagaimana rasanya.
"Mbah Sruni sehat ya" kata Gendhis sambil pergi meninggalkannya.
Jika saja dari awal mbah Sruni tahu gadis ini yang bernama Gendhis tak akan pernah kubiarkan mantra apapun terucap dari mulutku.
"Nyuwun agunging pangapunten (maaf sebesar-besarnya) cah ayu" bisiknya lirih sambil melihat cincin bermata satu yang sekarang menjadi miliknya itu.
***
Mbah Jiwo langsung membasuhkan air yang dibawanya dari siwerak ke ubun-ubun Nawang.
Ajaib, Nawang yang sedang bergumam entah ngomong apa tiba-tiba terdiam. Perlahan matanya mulai terpejam lalu tertidur dengan sangat nyenyak.
Semua yang menyaksikan terkesima, betapa tidak, Nawang beberapa hari ini nyaris tidak tertidur terus saja mengoceh dan mengamuk.
Mbah Jiwo segera menyuruh pak Lurah melepaskan pasungan Nawang. Mantri Sugeng awalnya keberatan karena takut Nawang akan mengamuk lagi saat terjaga nanti.
Tapi mbah Jiwo meyakinkan kalo Nawang besok akan terbangun dengan normal. Akhirnya beliau mengalah dan membiarkan Nawang tertidur tanpa pasung.
***
Gendhis berdiri memandang semburat senja dari jendela kamarnya. Disudut kamarnya ada sebuah kotak kecil tempat dirinya menyimpan semua bunga yang pernah terselip di ujung jendelanya tiap pagi.
Hampir penuh kotaknya namun dia sangat yakin kotak itu tak akan pernah penuh.
Sudah hampir dua minggu tak lagi ditemui bunga disudut kamarnya. Mungkin selamanya tak akan ada lagi bunga disitu.
Di kejauhan terlihat rombongan pemuda KKN pulang dari balai desa. Mereka terlihat berjalan sambil bercanda. Diantaranya tampak Panji disana.
Panji bahkan sudah tak pernah melihat ke arahnya. Kemarin-kemarin Gendhis sempat berpikiran jika pemuda tampan itu tak lebih dari pemuda kota yang brengsek karena mempermainkan perasaannya.
Tapi sekarang dia tahu Panji bersikap demikian bukan karena kemauannya. Hati Gendhis sakit mengingatnya. Bagaimana caranya dia mulai menata perasaannya kembali kali ini.
Cintanya telah begitu mendalam kepada sosok ketua KKN itu. Kepalanya berdenyut merasakan sakit yang terasa menusuk hati.
Minggu ini akan menjadi minggu terakhir para pemuda KKN berada di desa Somawangi. Mungkin setelah ini Gendhis tidak akan pernah lagi melihat Panji.
Walaupun Gendhis tidak yakin semoga dengan tidak melihatnya bisa membantu Gendhis melupakan pemuda tampan itu.
Gendhis merasakan ada mata yang mengawasinya, dia berbalik benar saja tampak ibunya tengah memperhatikan dirinya.
Mata bu Harjo tampak basah. Direngkuhnya tubuh Gendhis ke dalam pelukannya. Bibirnya kelu tak menyangka kedua putrinya harus berada di situasi seperti ini.
Sementara itu Pak Harjo tak berhenti menangis di kamarnya. Hatinya begitu sakit membayangkan perasaan Gendhis putrinya.
***
"Pak Lek", teriak Nawang kegirangan mengetahui mantri Sugeng berada dirumahnya.
"Kapan Paklek kesini, kok Nawang ndak tahu"
"Kemarin nduk, kamu sudah tidur pas Pak Lek datang" katanya.
"Pak Lek beliin Nawang apa?" tanya Nawang manja. Paklek Sugeng memang sangat sayang kepada kedua ponakan cantiknya ini.
Saat mereka berkunjung ke kota atau saat dirinya ke desa pasti dia membawa buah tangan yang sangat banyak untuk keponakannya tersebut.
"Ndak bawa Wang, kebetulan pak Lek ndak sengaja kesini, jadi ndak bawa apa-apa"
"Nawang pengen opo to, nanti kalau ke kota aja Pak Lek beliin ya"
"Siap" kata Nawang semangat.
Semua yang ada dipendopo merasa sangat lega. Mbah Jiwo dan Mbah Wongso bernapas lega mengetahui Nawang telah kembali seperti sedia kala.
Mereka tampak pamit meninggalkan pendopo. Tampak Pak Lurah mengantar kepergian mereka yang selama beberapa waktu menemaninya.
Galih terlihat mengejar mbah Jiwo, agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
"Mbah Jiwo nyuwun sewu (permisi) badhe tanglet (mau tanya)"
"Eh cah bagus, opo nang" katanya ramah.
"Itu mbah, bebek di siwerak hehehe"
Mbah Jiwo tampak manggut-manggut mendengar pertanyaan Galih.
"Yang kamu lihat itu memang bukan bebek biasa cah bagus, bebek itu jelmaan dari sosok mahluk wanita berambut panjang"
Galih merinding seketika.
"Itulah mengapa dia mendekati Ajeng yang sedang tidak suci, kuntilanak sangat suka dengan wanita yang sedang haid"
"Semua bebek begitu mbah?"
"Oh ndak... Ndak, hanya bebek yang berada di tempat tidak wajar saja yang biasanya jelmaan ngger (panggilan untuk anak laki-laki)"
"Sudah ya ngger" kata mbah Jiwo sambil berlalu. Meninggalkan Galih yang tiba-tiba memutuskan untuk tak lagi menjadikan bebek sebagai hewan kesayangannya gara-gara ucapan mbah Jiwo.
Warga pun banyak yang telah meninggalkan pendopo. Selama Nawang sakit pendopo nyaris penuh setiap hari.
Suasana pendopo lengang kembali mengiringi kembalinya ingatan Nawang, namun tidak dengan cinta Panji kepada Gendhis.
Sejujurnya mantri Sugeng merasa sangat heran dengan perubahan drastis perilaku Nawang.
Walaupun sudah dijelaskan oleh pak Lurah tetap saja dirinya yang seorang tenaga medis merasa ini tidak masuk akal.
Namun walaupun dia awalnya tidak bisa menerima akhirnya dia harus paham memang hal itu nyata adanya dan benar- benar terjadi di keluarganya sendiri.
Mbah Jiwo tampak mengelus lembut rambut Gendhis. Kemudian mereka duduk di pokok pohon mahoni yang mengering disekitar situ.
Mbah Jiwo tampak berbicara serius dengan Gendhis. Wajahnya terlihat tegang sementara Gendhis tampak terkejut dan memucat.
Pak Lurah menghampiri mereka dan menggenggam erat tangan putrinya. Gendhis terlihat tegang menahan tangis.
Tak lama kemudian mbah Sruni muncul dari balik rimbunan semak, membuat Gendhis dan Ajeng terkejut bukan kepalang.
Nenek bungkuk itu menuju tuk sigaru dan menyuruh Gendhis mendekatinya.
Gendhis tampak ragu-ragu, dilihatnya mbah Jiwo mengangguk lalu perlahan Gendhis mendekati mbah Sruni yang tampak menunggunya mendekat.
Wajahnya yang penuh dengan keriput memandangnya lekat-lekat. Sebuah senyum lembut tersungging di bibirnya, mungkin baru kali ini senyumnya hadir kembali setelah puluhan tahun lamanya.
"Cah ayu, apakah kamu melihat wajah di batok ini?" tanya mbah Sruni sambil menunjuk dua bathok kelapa yang mengambang dipermukaan air tuk sigaru.
----------
Ada bathok berisi air dan bunga putih satunya lagi bathok berisi bunga merah. Hanya itu yang dilihatnya.
"Mboten kethingal suryanipun sinten-sinten (tidak terlihat muka siapapun) mbah?" tanya Gendhis bingung.
Lagi- lagi mbah Sruni tersenyum.
"Gatekke (perhatikan) bathok isi kembang putih cah ayu" sarannya.
Mata Gendhis tertuju ke arah yang ditunjuk mbah Sruni. Pemandangannya masih sama, air dan beberapa helai bunga mawar putih disana.
Namun semakin diperhatikan perlahan ada wajah Nawang disana, Nawang yang sedang tersenyum. Itu senyum Nawang saat pertama kalinya Gendhis bisa menulis. Ya... Nawanglah yang mengajarinya menulis kala itu.
Air mata Gendhis menetes.
Mbah Sruni mengelus lembut pundak Gendhis. Ditunjuknya bathok dengan bunga berwarna merah.
Masih sama isinya walaupun perlahan tergambar wajah Panji disana, senyumnya yang manis dan pandangan teduhnya yang melenakan. Perasaan hangat menjalari relung hatinya, betapa dia merindukan tatapan dan senyum itu.
"Jikuk sidji (ambil satu) cah ayu, tanya hatimu siapa yang pantas kamu selamatkan" bisiknya lembut.
Hati Gendhis bergetar, tangannya bahkan sangat berat terangkat. Namun dengan mantap dia mengambil salah satu bathok.
Bathok itu digenggamnya erat seolah itu satu-satunya harta yang dia miliki.
Pandangan matanya lekat memandang bathok bunga merah dengan senyum Panji disana, perlahan air tuk memenuhi batok itu hingga akhirnya tenggelam bersama setengah dari jiwanya.
Pandangannya beralih ke mbah Sruni mencoba mencari tahu sudahkah benar pilihannya.
Mbah Sruni hanya manggut- manggut dengan sorot mata yang menghujam sukma Gendhis.
Gendhis menghampiri bapaknya yang tampak tertunduk, pundaknya bergetar menahan tangis. Tak sampai hatinya melihat muka putri cantiknya itu.
Diserahkannya batok itu kepada mbah Jiwo yang juga berdiri mematung memandangnya.
Ajeng tampak melongo tak percaya memandangi bathok yang kini berada di tangan mbah Jiwo.
***
Keheningan tampak menguasai hutan sepi itu sampai ketika seekor bebek mencoba "nyosor" Ajeng.
"Aduh... Iki bebek opo to, hush... hush" teriak Ajeng mencoba mengusir bebek yang hendak mematuk kakinya.
Semua tampak kaget oleh jeritan Ajeng, segera mbah Jiwo berkomat-kamit dan ajaibnya tiga ekor bebek itu langsung lari ke balik rerimbunan hutan.
"Kamu lagi ndak suci ya Jeng?" tanya Mbah Jiwo.
Ajeng mengangguk malu. Mbah Jiwo sakti banget sih sampai aku lagi haid aja tahu, batin Ajeng.
"Bukan saya yang tahu Jeng, tapi bebek itu yang ngasih tahu" kata mbah Jiwo membuat Ajeng terperanjat.
Wiiiih.. Sakti tenan mbah Jiwo iki aku ngomong dalam hati bisa tahu, batin Ajeng sambil manggut-manggut.
Galih mengaruk kepalanya yang tidak gatal, apa hubungannya bebek itu sama Ajeng yang lagi haid.
Akhirnya mbah Jiwo menemui mbah Sruni entah mereka berbicara apa setelah itu beliau berpamitan, disusul oleh semuanya.
Mata Mbah Sruni mengantar kepergian mereka, dipandanginya Gendhis dengan mata haru.
"Gendhis cah ayu" panggilnya.
Mereka terhenti dan menoleh ke arah mbah Sruni.
"Sini nduk" ajaknya kepada Gendhis.
Gendhis menghampiri mbah Sruni yang sedang tersenyum menyambutnya. Ditariknya tangan Gendhis, satu tangannya mengelus pipi mulus Gendhis.
"Legowo ya cah ayu, pangeran mboten sare (Tuhan tidak tidur)" pesannya lembut.
Gendhis tersenyum memandang wajah tua mbah Sruni, dilepaskannya satu-satunya cincin dijarinya, kemudian diserahkan ke mbah Sruni.
Mbah Sruni tertegun dan terharu melihat kebaikan hati Gendhis, untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun air matanya menitik lagi.
Dia selalu berpikir jika semua manusia serakah, sombong dan keji namun hari ini hatinya dihangatkan oleh gadis manis berhati mulia.
Bahkan gadis ini memeluk tubuh bongkoknya yang telah renta. Sungguh perasaan yang bahkan sudah dia lupakan bagaimana rasanya.
"Mbah Sruni sehat ya" kata Gendhis sambil pergi meninggalkannya.
Jika saja dari awal mbah Sruni tahu gadis ini yang bernama Gendhis tak akan pernah kubiarkan mantra apapun terucap dari mulutku.
"Nyuwun agunging pangapunten (maaf sebesar-besarnya) cah ayu" bisiknya lirih sambil melihat cincin bermata satu yang sekarang menjadi miliknya itu.
***
Mbah Jiwo langsung membasuhkan air yang dibawanya dari siwerak ke ubun-ubun Nawang.
Ajaib, Nawang yang sedang bergumam entah ngomong apa tiba-tiba terdiam. Perlahan matanya mulai terpejam lalu tertidur dengan sangat nyenyak.
Semua yang menyaksikan terkesima, betapa tidak, Nawang beberapa hari ini nyaris tidak tertidur terus saja mengoceh dan mengamuk.
Mbah Jiwo segera menyuruh pak Lurah melepaskan pasungan Nawang. Mantri Sugeng awalnya keberatan karena takut Nawang akan mengamuk lagi saat terjaga nanti.
Tapi mbah Jiwo meyakinkan kalo Nawang besok akan terbangun dengan normal. Akhirnya beliau mengalah dan membiarkan Nawang tertidur tanpa pasung.
***
Gendhis berdiri memandang semburat senja dari jendela kamarnya. Disudut kamarnya ada sebuah kotak kecil tempat dirinya menyimpan semua bunga yang pernah terselip di ujung jendelanya tiap pagi.
Hampir penuh kotaknya namun dia sangat yakin kotak itu tak akan pernah penuh.
Sudah hampir dua minggu tak lagi ditemui bunga disudut kamarnya. Mungkin selamanya tak akan ada lagi bunga disitu.
Di kejauhan terlihat rombongan pemuda KKN pulang dari balai desa. Mereka terlihat berjalan sambil bercanda. Diantaranya tampak Panji disana.
Panji bahkan sudah tak pernah melihat ke arahnya. Kemarin-kemarin Gendhis sempat berpikiran jika pemuda tampan itu tak lebih dari pemuda kota yang brengsek karena mempermainkan perasaannya.
Tapi sekarang dia tahu Panji bersikap demikian bukan karena kemauannya. Hati Gendhis sakit mengingatnya. Bagaimana caranya dia mulai menata perasaannya kembali kali ini.
Cintanya telah begitu mendalam kepada sosok ketua KKN itu. Kepalanya berdenyut merasakan sakit yang terasa menusuk hati.
Minggu ini akan menjadi minggu terakhir para pemuda KKN berada di desa Somawangi. Mungkin setelah ini Gendhis tidak akan pernah lagi melihat Panji.
Walaupun Gendhis tidak yakin semoga dengan tidak melihatnya bisa membantu Gendhis melupakan pemuda tampan itu.
Gendhis merasakan ada mata yang mengawasinya, dia berbalik benar saja tampak ibunya tengah memperhatikan dirinya.
Mata bu Harjo tampak basah. Direngkuhnya tubuh Gendhis ke dalam pelukannya. Bibirnya kelu tak menyangka kedua putrinya harus berada di situasi seperti ini.
Sementara itu Pak Harjo tak berhenti menangis di kamarnya. Hatinya begitu sakit membayangkan perasaan Gendhis putrinya.
***
"Pak Lek", teriak Nawang kegirangan mengetahui mantri Sugeng berada dirumahnya.
"Kapan Paklek kesini, kok Nawang ndak tahu"
"Kemarin nduk, kamu sudah tidur pas Pak Lek datang" katanya.
"Pak Lek beliin Nawang apa?" tanya Nawang manja. Paklek Sugeng memang sangat sayang kepada kedua ponakan cantiknya ini.
Saat mereka berkunjung ke kota atau saat dirinya ke desa pasti dia membawa buah tangan yang sangat banyak untuk keponakannya tersebut.
"Ndak bawa Wang, kebetulan pak Lek ndak sengaja kesini, jadi ndak bawa apa-apa"
"Nawang pengen opo to, nanti kalau ke kota aja Pak Lek beliin ya"
"Siap" kata Nawang semangat.
Semua yang ada dipendopo merasa sangat lega. Mbah Jiwo dan Mbah Wongso bernapas lega mengetahui Nawang telah kembali seperti sedia kala.
Mereka tampak pamit meninggalkan pendopo. Tampak Pak Lurah mengantar kepergian mereka yang selama beberapa waktu menemaninya.
Galih terlihat mengejar mbah Jiwo, agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
"Mbah Jiwo nyuwun sewu (permisi) badhe tanglet (mau tanya)"
"Eh cah bagus, opo nang" katanya ramah.
"Itu mbah, bebek di siwerak hehehe"
Mbah Jiwo tampak manggut-manggut mendengar pertanyaan Galih.
"Yang kamu lihat itu memang bukan bebek biasa cah bagus, bebek itu jelmaan dari sosok mahluk wanita berambut panjang"
Galih merinding seketika.
"Itulah mengapa dia mendekati Ajeng yang sedang tidak suci, kuntilanak sangat suka dengan wanita yang sedang haid"
"Semua bebek begitu mbah?"
"Oh ndak... Ndak, hanya bebek yang berada di tempat tidak wajar saja yang biasanya jelmaan ngger (panggilan untuk anak laki-laki)"
"Sudah ya ngger" kata mbah Jiwo sambil berlalu. Meninggalkan Galih yang tiba-tiba memutuskan untuk tak lagi menjadikan bebek sebagai hewan kesayangannya gara-gara ucapan mbah Jiwo.
Warga pun banyak yang telah meninggalkan pendopo. Selama Nawang sakit pendopo nyaris penuh setiap hari.
Suasana pendopo lengang kembali mengiringi kembalinya ingatan Nawang, namun tidak dengan cinta Panji kepada Gendhis.
Sejujurnya mantri Sugeng merasa sangat heran dengan perubahan drastis perilaku Nawang.
Walaupun sudah dijelaskan oleh pak Lurah tetap saja dirinya yang seorang tenaga medis merasa ini tidak masuk akal.
Namun walaupun dia awalnya tidak bisa menerima akhirnya dia harus paham memang hal itu nyata adanya dan benar- benar terjadi di keluarganya sendiri.
Dia menjadi sangat prihatin dengan nasib satu lagi ponakan cantiknya. Gadis ayu itu bahkan tidak terlihat sedih, itu setidaknya yang terlihat dari apa yang Gendhis tampilkan.
Namun dia yakin hatinya pasti sangat terluka. Digenggamnya erat-erat tangan Gendhis, dia berterima kasih Gendhis telah memilih Nawang dan mengorbankan hatinya.
"Tidak ada yang namanya mantan saudara, namun mantan kekasih sangat banyak pak Lek, darah lebih kental daripada air, tidak mungkin rasanya aku tidak memilih Nawang, Nawang itu kakak Gendhis satu-satunya pak Lek, darah yang mengalir di tubuh Gendhis sama dengan Nawang, itu tak bisa diputus dengan apapun"
Sungguh jawaban yang tidak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Andai Nawang tidak seserakah itu, andai Nawang juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Gendhis.
Sungguh malang dan baik hatimu cah ayu, semoga Alloh membalasmu dengan setimpal, batin mantri Sugeng.
Bersambung #7
Namun dia yakin hatinya pasti sangat terluka. Digenggamnya erat-erat tangan Gendhis, dia berterima kasih Gendhis telah memilih Nawang dan mengorbankan hatinya.
"Tidak ada yang namanya mantan saudara, namun mantan kekasih sangat banyak pak Lek, darah lebih kental daripada air, tidak mungkin rasanya aku tidak memilih Nawang, Nawang itu kakak Gendhis satu-satunya pak Lek, darah yang mengalir di tubuh Gendhis sama dengan Nawang, itu tak bisa diputus dengan apapun"
Sungguh jawaban yang tidak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Andai Nawang tidak seserakah itu, andai Nawang juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Gendhis.
Sungguh malang dan baik hatimu cah ayu, semoga Alloh membalasmu dengan setimpal, batin mantri Sugeng.
Bersambung #7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel