"Ternyata enak ya Jeng," kata Galih dengan mulut monyong penuh serabi.
"Jelas to, serabi yu Jurni ini sudah terkenal sampai kecamatan loh," jawab Ajeng dengan mulut tak kalah monyong.
Galih manggut-manggut percaya. Sayangnya kenikmatan serabi yu Jurni terlambat diketahuinya. Tak lama lagi malah harus ditinggalkannya. Masa KKN Galih dan teman-temannya akan usai akhir minggu ini.
Dipandangnya wajah bulat Ajeng yang kegirangan menyantap serabi hangat itu. Gadis lugu ini memberi warna lain di sisa hari terakhirnya di desa.
"Mas Galih, Ajeng boleh bungkus buat mamak dan mbak Arum ndak," celoteh Ajeng membuyarkan lamunan Galih.
"Oh iya boleh Jeng, sekalian buat Gendhis dan Nawang juga ndak papa"
"Opo, mbak Nawang... Cih ndak lah yaw buat Gendhis aja," kata Ajeng mecucu.
"Kok gitu to Jeng, ndak boleh gitu lo"
"Aku sengit (benci) sama mbak Nawang," gumam Ajeng dengan mimik muka sedih, mungkin dirinya ingat perlakuan buruk Nawang ke Gendhis sahabatnya.
"Gendhis aja maafin Nawang Jeng, moso kamu ndak?"
"Gendhis iku ndak bisa marah mas Galih, ndak tahu Ajeng juga bu Lurah dulu pas mbobot (hamil) Gendhis nyidam opo, kok anaknya bisa beda gitu, satu tukang marah satu lagi ndak bisa marah," cerocos Ajeng.
Galih terdiam mendengar pendapat Ajeng tentang dua bersaudara yang cantik itu. Diam-diam terselip perasaan haru untuk Gendhis.
"Mungkin ndak ya Jeng, Panji teringat lagi sama Gendhis" gumam Galih.
"Ndak ada yang ndak mungkin sih mas Galih, kalau pun bukan mas Panji semoga aja Gendhis dapat gantinya yang lebih baik"
"Jeng, nanti kalau aku sudah kembali ke kota, jangan lupain aku ya" gumam Galih.
Ajeng yang sedang asik mengunyah serabi terdiam.
"Mas Galih paling yang lupa sama Ajeng" kata Ajeng, serabi yu Jurni mendadak tak lagi menggugah seleranya.
Suasana tiba-tiba hening, mereka terdiam dan terpekur dengan pikiran masing-masing.
Pagi ini Nawang sedang menyapu halaman rumahnya. Di ujung pendopo tampak beberapa pemuda KKN sedang asik bercengkrama.
Nawang semakin semangat menyapunya ketika ekor matanya menangkap bayangan Panji.
Terlihat bahkan pemuda itu mendekatinya bersama galih.
"Kamu sudah sembuh Nawang" sapa Panji.
"Oh iya.. Sampun mas" balasnya riang, kemarin ibunya cerita kalau dirinya sempat demam beberapa hari. Namun anehnya dia tidak ingat apapun.
"Besok acara penutupan KKN kamu ikut ndak di balai desa Wang?" tanya Galih.
"Besok?" kata Nawang terkejut.
Dia tidak menyangka sebentar lagi pemuda KKN akan meninggalkan desanya.
"Ikutlah pasti mas Galih" katanya segera.
"Ajak Gendhis juga ya Wang" Panji menambahi.
"I.... Iya"
Ada nada tidak percaya Nawang disana, kemudian Nawang memandang Panji lekat-lekat namun pemuda itu melengos malah terlihat berlalu dari hadapan Nawang.
Dada Nawang bergemuruh dilemparkannya sapu lidi itu lalu bergegas menuju kamar Gendhis.
Dilihatnya adiknya sedang duduk menghadap jendela. Diseberang tampak punggung Panji dan Galih yang sedang menuju balai desa.
"Kamu maunya apa to Ndis?" kata Nawang dengan nafas memburu.
Gendhis yang memang sedang termenung kaget mendengar tiba-tiba Nawang datang dan berkata seperti itu.
"Maksudnya apa mbak Nawang?"
"Kamu sebenarnya pakai aji-aji apa sih sampai Panji tak juga mau melihatku?"
"Mereka sebentar lagi pergi dari desa kita tapi sampai sekarang Panji tak juga mencintaiku, selalu saja kamu yang dicarinya"
Gendhis memandang kakak satu-satunya tersebut.
"Mbak Nawang tenang saja, mas Panji sudah tak lagi memperdulikanku, dan aku tidak memakai ajian apapun karena cinta datangnya dari hati"
"Mbak Nawang beruntung masih ada mas Abimana yang mencintai mbak Nawang, jaga apa yang mbak Nawang punya, bukankah mbak Nawang juga menginginkan mas Abimana?"
"Maksudmu apa Ndis, urusanku sama Abimana berbeda dengan keinginanku memiliki Panji"
"Sudahlah mbak, mulai sekarang mbak Nawang harus bersyukur ndak baik serakah mbak, itu penyakit hati, satu lagi mbak, mas Panji juga sudah melupakan Gendhis mbak Nawang ndak usah kawatir" sahut Gendhis seraya meninggalkan kamarnya.
Matanya panas menahan amarah, tak habis pikir dirinya akan perangai kakaknya itu.
Bu Harjo yang mendengar pertengkaran putrinya segera menyusul ke kamar Gendhis. Namun gadis itu telah berlari meninggalkan pendopo.
Dijumpainya Nawang dengan muka marahnya.
"Kamu kenapa lagi nduk"
"Gendhis, kenapa sih Nawang harus punya adik kaya dia bune?" desis Nawang dingin.
"Looh... Maksudmu piye?" kata Bu Harjo terkejut.
"Dia selalu merebut apa yang Nawang suka, semua!" teriak Nawang.
Bu Harjo semakin bingung dengan kata-kata Nawang, bukankah sebaliknya Nawang selalu merebut apapun yang Gendhis suka?
"Cukup Nawang" Pak Lurah berteriak sampai menggelegar rasanya kamar Gendhis. Tiba-tiba beliau sudah ada di depan pintu kamar.
"Kamu sangat keterlaluan Nawang, seharusnya kamu bersyukur mempunyai adik seperti Gendhis kalau bukan dia yang jadi adikmu pasti kamu sudah gila" Pak Harjo tampak berapi-api menahan amarah.
"Pak.... " Teriak bu Harjo.
"Gapapa Bune, sudah saatnya anakmu ini tahu agar dia tidak lagi memperlakukan Gendhis dengan semena-mena, kebangetan kamu Nawang" desis pak Harjo.
Nawang terkejut bukan main dengan amarah bapaknya, baru kali ini bapaknya terlihat sangat marah.
"Maksud bapak apa?" tanya Nawang lirih.
"Sudah Nawang, jangan berpura-pura lagi didepan Bapak, kami sudah tahu semua kelakuanmu, termasuk ambisimu menjatuhkan Gendhis"
"Nawang ndak mudeng pak"
"Kami sudah tahu semua ceritamu tentang siwerak dan mbah Sruni, mau mengelak apa lagi kamu Nawang"
Muka Nawang tampak sepucat mayat, rahasia terbesarnya terbongkar.
"Tidakkah cukup kau merebut perhatian Abimana, masih belum puas pula kau coba merebut Nak Panji dari adikmu, hah?!"
Nawang menunduk sambil menggigit bibirnya.
"Tidakkah kau pikirkan perasaan Gendhis, bahkan saat kau meminta maaf dengan sepenuh hati pun rasanya tak akan cukup membalas sakit hati yang kau ciptakan"
"Masihkah kau tega menyakiti hati adikmu Nawang, semua cintanya telah kau renggut dan tanpa rasa bersalah kau masih saja menyalahkan dia karena Panji tak juga melihatmu?"
"Nawang, hatimu terbuat dari apa sebenarnya, kakak macam apa kamu ini masih saja kau memikirkan dirimu sendiri saat adikmu bahkan tak sedikitpun memikirkan hatinya" kata Pak Lurah sambil tergugu.
Nawang tidak menyangka reaksi bapaknya akan sehebat itu, apa yang sebenarnya telah Gendhis lakukan kepadanya.
Dia menoleh ke ibunya berharap mendapat jawaban namun ibunya tak jauh berbeda dengan bapaknya, ibunya tampak terisak di ujung dipan.
Nawang terdiam membatu, ada apa dengan kedua orang tuanya ini.
Tak lama pak Lurah meninggalkan kamar Gendhis, tinggallah Nawang mendekati ibunya, bukan menjelaskan ada apa ibunya malah memeluknya erat dan semakin menjadi tangisnya.
Setelah ibunya tenang beliau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bagai tersambar petir Nawang mendengar cerita ibunya.
Dadanya sesak membayangkan menjadi Gendhis. Nawang tidak menyangka adiknya akan berkorban untuknya yang selama ini bahkan selalu berusaha menjatuhkannya.
Nawang sangat menyesal telah berbuat kotor seperti itu terhadap adiknya. Tertampar rasanya. Ingin rasanya dia berlutut meminta maaf kepadanya. Serta berterima kasih karena telah menyelamatkannya.
***
Malam ini perpisahan pemuda KKN yang telah berada di desa Somawangi selama 3 bulan. Ada acara wayang kulit di balai desa. Warga tampak bebondong bondong menuju balai desa.
Nawang tampil cantik dengan kebaya maroonnya, Ajeng dan Arum juga telah menunggu di pendopo.
Nawang memasuki kamar Gendhis, dilihatnya Gendhis tengah menyanggul rambut hitamnya. Melihat Nawang masuk membuatnya berhenti sejenak.
"Ada apa mbak Nawang?" tanyanya saat melihat air muka kakaknya sendu.
"A... aku minta maaf ya Ndis" kata Nawang sambil menunduk, rasanya dirinya merasa tak pantas memandang wajah adik satu-satunya itu.
"Sudahlah mbak Nawang, Gendhis iklas, yang penting jangan ulangi lagi hal kaya gitu"
Nawang tampak mengangguk, rasanya malu sekali dirinya dihadapan jiwa besar adiknya.
"Maafin aku ya Ndis" katanya lirih, Gendhis segera memeluk Nawang. Diperlakukan demikian membuat tangis Nawang pecah, bahkan menyesalannya kini tak akan merubah apapun sekarang. Termasuk membuat Panji kembali mencintai Gendhis.
***
Sepanjang acara Gendhis hanya bisa terdiam, sesekali mencuri pandang ke arah raut tampan yang mungkin tak akan lagi ditemuinya nanti.
Hatinya semakin sakit menyadari bahwa Panji bahkan tak lagi memperdulikannya.
Akhirnya Gendhis meminta Ajeng mengantarnya pulang. Rasanya Gendhis merasa tak sanggup harus berlama- lama melihat Panji malam ini.
Ajeng yang mengantarnya juga tak banyak bicara. Ada segumpal rasa kehilangan didadanya.
***
Sayup terdengar pementasan wayang kulit dibalai desa. Namun Gendhis sedang tenggelam dalam kesedihan. Melihat tanpa bisa memiliki hati Panji membuat dadanya sesak.
Namun esok saat wajahnya pun tak bisa dilihatnya lagi membuat jantungnya seperti membatu, sangat sakit.
Gendis bersandar di dinding tempat biasa dirinya mengobrol dengan Panji. Dielusnya lubang kecil dinding itu, bahkan nafas Panji pun akan terdengar disana.
Gendhis terisak, hatinya hancur berkeping keping, mengingat semua itu tinggalah kenangan semata, besok sepenuhnya hati ini akan dibawa pergi olehnya.
Nawang tidak sengaja melihat pemandangan itu saat dirinya akan ke dapur. Hatinya begitu sakit kali ini, penyesalan sebesar gunung menghimpit hatinya.
"Maafkan aku Ndis" bisiknya lirih.
Suasana riuh menyelimuti balai desa malam itu. Anehnya ada sesuatu yang mengganjal hati Panji. Berulang kali hatinya meraba ada apakah gerangan, namun selalu gagal ditemukan penyebab resah hatinya.
Lewat tengah malam, dia berpamitan ke pendopo duluan kepada teman-temannya. Kepalanya sedikit pening.
Saat memasuki halaman pendopo tepat disamping kamar Gendhis. Samar dia mendengar isakan seseorang didalam sana.
Dia menajamkan pendengarannya, tangisan itu berada tepat dikamar Gendhis. Kenapa dia menangis, batinnya.
Ingin rasanya Panji mengetuk jendela itu, namun dia takut Gendhis akan terganggu. Panji akhirnya duduk bersandar di dinding kamar Gendhis, mendengar isakan yang tak kunjung usai.
Entah apa yang mendorongnya duduk disitu namun yang pasti keresahan hatinya sejak tadi sirna begitu saja. Menjelang pagi dia baru beranjak dari situ.
Di ujung pagar pendopo terlihat Ajeng termenung melihat pemuda KKN yang sedang beberes bersiap meninggalkan desa. Hatinya sedih melihat mereka tidak akan ada didesanya lagi.
Galih terlihat tersenyum menghampiri Ajeng.
"Kamu kenapa Jeng, sedih ya meh tak tinggal?" kata Galih berkelakar walaupun tak dapat dipungkiri ada kesedihan serupa di matanya. Apalagi saat memandang Gadis lugu di depannya ini.
"Ajeng pengen nangis mas Galih" kata Ajeng dengan muka memerah.
"Aku janji nanti kalau libur maen kesini Jeng, kita beli serabi yu Jurni lagi ya" hibur Galih.
Bukanya senang Ajeng malah menangis. Membuat Galih bingung sehingga mengajaknya duduk disamping pendopo.
Banyak warga yang berdatangan ke pendopo. Mereka ingin ikut mengantar kepulangan pemuda KKN itu. Suasana sedih kian terasa, karena banyak yang terisak merasa kehilangan.
Bukan tidak mungkin ini terakhir kalinya pemuda itu bertemu warga desa. Padahal mereka sudah seperti keluarga disana.
Rasanya semalaman Gendhis menangis, pagi ini matanya terlihat bengkak. Saat membuka jendela hatinya terlonjak, antara kaget, heran dan senang. Ada sekuntum mawar putih di jendelanya.
Segera dia keluar dari kamarnya mencari senyum dan pandangan itu. Sosok tegap itu tampak sedang mengatur barang yang hendak dinaikkan ke mobil truk.
Agak tergesa Gendhis menghampirinya. Menyiapkan senyum terbaiknya, saat hendak bersiap menyapanya, sosok itu terlebih dulu menyadari kehadirannya.
Dada Gendhis bergemuruh kala Panji menoleh ke arahnya.
----------
"Gendhis, selamat pagi, kamu habis menangis yah... Semoga bunga yang aku selipkan dijendela bisa membuatmu tersenyum yah" sapanya manis sambil tersenyum.
Tanpa menunggu jawaban Gendhis, Panji kembali mengatur penataan barang di mobil truk. Seolah sapaannya memang hanya basi basi yang tak butuh jawaban.
Gendhis tertegun dan tercekat, dia salah. Panji benar-benar telah melupakannya.
Harapan yang tadi sempat meletup padam seketika. Panji meletakkan bunga itu untuk menghiburnya bukan karena perasaannya yang kembali bersemi.
Terdiam Gendhis kembali memasuki pendopo. Pak Harjo yang sedang membantu para pemuda KKN berbenah menoleh melihat putrinya.
Raut wajah Gendhis sangat sedih bahkan nyaris menangis. Namun Gendhis langsung berlari ke kamarnya.
Pak Harjo segera mengejar putrinya, sejak kejadian kala itu baru kali ini dirinya melihat Gendhis menangis.
Melihat betapa sedih hati putrinya membuat batin Pak Harjo sangat hancur. Sebagai bapaknya dia bahkan tak bisa berbuat banyak untuk sekedar menenangkan hati Gendhis.
Perlahan dielusnya rambut hitam Gendhis yang sedang terisak.
***
2 tahun kemudian.
"Nduk cah Ayu, sudah 3 kali ini kamu menolak ketika ada pemuda yang hendak melamarmu, apakah kamu benar-benar tidak ingin berumah tangga? " tanya Bu Harjo.
"Ngapunten (maaf) nggeh bune", jawab Gendhis tersenyum.
Baru siang tadi rumahnya menerima tamu dari kota yang berniat ingin melamar Gendhis.
Namun lagi- lagi hanya gelengan kepala yang Gendhis berikan. Bu Harjo dan Pak Harjo pun tidak bisa berbuat banyak apalagi memaksa kehendak putrinya.
Mereka hanya bisa mengucapkan seribu maaf kepada siapa saja yang pernah datang untuk melamar Gendhis.
"Ora ilok (tidak baik) lo nduk, seorang anak perawan menolak pemuda yang melamarnya, apalagi sampai berkali-kali", ujar Bu Harjo.
Lagi-lagi hanya dibalas senyum pahit Gendhis.
Entahlah, hatinya terasa hampa semenjak kepergian Panji. Separuh dirinya seperti dibawa serta pemuda itu. Tak ada lagi keinginan untuk membuka hati kepada siapapun.
Bahkan saat melihat kakaknya Nawang menikah dengan Abimana, tak membuat hatinya bergeming untuk mulai sebuah rajutan cinta agar dirinya bisa segera menyusul Nawang.
Hatinya begitu kosong tak bernyawa, Panji benar-benar seperti membawa serta jiwanya kala itu.
Namun hatinya sedikit tergerak ketika melihat bapak dan ibunya. Apalagi didesanya gadis seusia Gendhis hanya ada beberapa yang belum menikah.
Ketika berkumpul dengan kerabat, pertanyaan kapan Gendhis akan menikah selalu menjadi bahasan, apalagi kakaknya yang berusia tak jauh dari Gendhis sudah mempunyai seorang putra.
Itu membuat ganjalan tersendiri untuk Gendhis, dia ingin membahagiakan bapak ibunya di usia tua mereka. Namun saat ada pemuda yang berniat meminangnya hatinya seperti berontak tak terima.
Padahal sebagai anak kepala desa, para pemuda yang datang melamarnya juga bukan pemuda sembarangan.
Nama baik Pak Lurah Harjo dan kecantikan Gendhis sudah tersohor sampai kota sana, namun mereka harus menelan kecewa kala Gendhis hanya menggelengkan kepala.
"Ndis... Ajeng boleh nanya ndak?" tanya Ajeng sambil tangannya asik mencuci.
" Opo Jeng", jawab Gendhis tanpa menoleh ke arah Ajeng, tangannya juga tengah sibuk mengucek kain.
"Kamu masih inget ya sama mas Panji?," tanya Ajeng hati- hati.
Gendhis menghentikan aktifitasnya, memandang sahabatnya kemudian menghela nafas panjang.
"Kenapa jeng, kok tiba-tiba nanya itu?" tanya Gendhis lirih, ada nyeri di hatinya.
"Ndak papa sih Ndis," jawab Ajeng.
"Tenane (beneran)", kata Gendhis memastikan.
"E... nganu Ndis, tapi ojo nesu (jangan marah) ya".
"Halah... Emangnya kamu pernah lihat aku marah apa hehehehe"
"Iyo sih Ndis, gini kemarin kata mamakku kamu habis dilamar sama insinyur dari kota sana ya, tapi kamu nolak?"
"Ooh... Kuwi," kata Gendhis datar.
"Bener to ndis?"
"Iyo Jeng," jawab Gendhis lirih.
Ajeng manggut-manggut lalu ditatapnya wajah ayu Gendhis. Gadis manis itu seperti menyimpan sesuatu dihatinya.
"Berarti udah 3 kali ini kamu nolak pas ada pemuda yang nglamar ya Ndis?"
Gendhis cuma terdiam. Pernah didengarnya jika seorang gadis menolak lamaran pria dia akan susah lagi dapat jodohnya.
Tapi bagi Gendhis, apalah arti omongan orang karena yang dia yakini jodoh, maut dan rejeki itu sudah ada yang mengatur.
Mereka akan datang diwaktu dan saat yang tepat. Bahkan ketika orang mulai punya patokan "seharusnya sudah" apadaya jika yang kuasa belum mengizinkannya.
"Aku juga ndak tahu Jeng, hatiku merasa belum siap saja".
"Oiya mamakmu kata siapa to?"
"Ibukmu yang cerita Ndis, kata mamak bu Lurah Nangis... eeh" Ajeng buru-buru menutup mulutnya.
Gendhis sempat menangkap apa yang Ajeng katakan. Namun gadis yang merasa keceplosan itu membuang mukanya.
"Sudah yuk Ndis", kata Ajeng segera.
***
Gendhis termenung dikamarnya. Rumahnya sepi sekarang, mbak Nawang dan anaknya ikut mas Abimana ke kota.
Semenjak menikah mas Abimana langsung membawa serta Nawang ke kota.
Bapaknya di balai desa dan ibunya tampak sedang menyulam di pendopo bersama ibu-ibu yang lain.
Gendhis sedang memikirkan kata-kata Ajeng tadi pagi. Benarkah ibunya menangis saat bercerita jika dirinya menolak lagi lamaran pemuda yang datang ke rumahnya?
Kecewakah ibunya dengan sikapnya itu?
Sudahkah ibunya ingin menimang cucu darinya?
Aaah... Kan sudah ada Dimas, anak mbak Nawang, bisik hati Gendhis.
Atau apakah orang tuanya malu karena harus menolak lamaran yang datang?
Bukankah memang tidak sopan kalau menolak lamaran?
Bukankah usianya sudah cukup untuk menikah?
Sebenarnya apa yang aku tunggu, bisik hati Gendhis.
Tapi aku tidak kenal dengan pemuda yang melamarku?
Bukankah Cinta bisa datang karena terbiasa?
Aah.... Banyak sekali pertanyaan yang berkelebat di pikiran Gendhis. Lalu berlahan wajah Panji kembali menari dibenaknya.
Rindu sekali rasanya ingin berjumpa dengan pemuda tampan itu. Dimanakah gerangan Panji. Semenjak pamit pagi itu tak lagi dijumpainya sosok pemilik hatinya.
Bahkan ketika beberapa dari pemuda KKN berkunjung ke desa lagi, tak ada Panji disana.
Benarkah Panji sudah tidak mengingat apapun tentang dirinya?
Tahukah dia bahwa Gendhis sampai saat ini masih sangat memujanya. Namanyapun selalu serta saat dirinya berdoa.
Bukankah karena dirinya pula semua lamaran itu ditolaknya? Panji jugalah alasan kenapa dirinya tak juga membuka hati kepada siapapun.
Namun sesungguhnya apakah Panji juga mengingatnya, dua tahun ini bahkan tak sekalipun Gendhis dengar tentangnya. Tapi kenapa rasa Cinta dihati ini tak juga sirna?
Pening kepala Gendhis memikirkan perdebatan dibatinnya.
***
"Nji..... Bener kan Panji" teriak Galih mengagetkan sosok yang sedang asik menyesap secangkir kopi disebuah kedai kopi.
"Galih..... astaga Galih" kata Panji seraya memeluk erat tubuh sahabatnya itu.
"Nji kamu makin ganteng aja dan ini wiiih... Ir. Panji Bramantyo josss tenan" kata Galih riang saat mengeja name tag di baju Panji.
"Bisa aja kamu, kerja dimana kamu sekarang Lih?"
"Aku sekarang di kantor kecamatan Nji biasa bantu ini itu" katanya sambil terkekeh.
Pembicaraan menjadi semakin hangat setelah itu. Mereka bernostalgia masa kuliah dulu. Saling mentertawakan kekonyolan masa muda mereka.
Akhirnya mereka berpisah setelah sebelumnya saling bertukar alamat dan berjanji akan saling mengunjungi.
Setelah pertemuan dengan Galih siang itu, Panji mendadak ingin membongkar lagi barang-barang masa kuliah dulu.
Sebuah album foto dengan judul "KKN Somawangi" menarik perhatiannya. Dibukanya album foto itu perlahan. Terlihat senyum ceria dirinya dan kawan-kawannya kala itu.
Beberapa panorama desa Somawangi dan pendopo tempat mereka biasa bercanda. Senyum ramah warga desa serta gambaran kegiatan mereka yang membumi.
Lalu matanya tertumbuk pada sosok gadis berkebaya motif bunga kecil-kecil yang tampak tertunduk malu.
Rupanya itu foto saat penyambutan dirinya dan kawan-kawannya dulu pertama kali datang ke desa.
Terlihat dua gadis berparas cantik dengan dandanan serupa disana. Disampingnya berdiri seorang ibu yang diingatnya sebagai ibu lurah.
Disebelah kanan tampak seorang laki-laki berkumis dengan senyum hangat. Pak Lurah, bisiknya sambil mengusap lembut foto itu.
Dihalaman selanjutnya didominasi oleh gambar seorang gadis desa yang sangat manis. Tampak ekspresi alami beberapa pose disitu, gambar itu memang diambil tanpa sepengetahuan modelnya.
Gadis dengan paras teduh lagi anggun itu mengusik hatinya. Jelas teringat olehnya gadis itu bernama Gendhis namun alasan kenapa ada banyak gambar dirinya di album itu masih menjadi tanda tanya.
Segera kepalanya merencanakan untuk mengunjungi Galih. Siapa tahu dia mempunyai jawaban atas tanda tanya di kepalanya.
Ini cerita luar biasa gila. Bisa² nya membuat nangis, padahal cuma membaca. Pengarang nya luar biasa. Terima kasih ya...
BalasHapus