Panji terlihat resah dan tidak tenang, berkali kali matanya melirik jam yang melingkar ditangannya. Sore ini Panji memang sedang menunggu Galih.
Ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya sejak pertama mengingat gadis manis Somawangi itu. Seperti sesuatu yang besar dan membuncah namun terhalang.
Agak tergesa Galih menghampiri Panji yang terlihat mondar mandir di parkiran.
"Aduh sepurone lo Nji, lagi tanggung tadi" kata Galih agak terengah.
"Ndak papa Lih.. yuk duduk dimana gitu biar enak ngobrolnya," kata Panji.
Akhirnya mereka berjalan menuju sebuah kantin tempat Galih bekerja.
"Kopi kaleh (dua) Bu Tini, " kata Galih ramah.
"Siap mas Galih," jawab pemilik kantin yang biasa dipanggil Bu Tini itu sigap.
"Jadi gimana Nji ada apa kok kayaknya agak serius ini," ujar Galih memulai.
"Gini Lih, kemarin abis ketemu kamu itu aku mendadak pengen nostalgia masa kuliah ceritane lo, pas lagi bongkaran nemu ini," kata Panji sambil menyerahkan album foto jadul.
"Waah.... Masih ada punyamu Nji, duwekku (punyaku) ilang e," ujar Galih girang sambil jarinya sibuk membuka lembar demi lembar album itu.
"Waah iki Bagas ireng (hitam) banget hahaha," katanya kegirangan.
"Iki gaweanmu (kerjaanmu) Nji moto aku pas lagi tidur," katanya lagi sambil meninju pelan lengan Panji.
Panji hanya tersenyum melihat tingkah sahabat lamanya itu. Jantungnya berdegup tak beraturan mengikuti jari Galih yang sedang membolak balik album foto itu.
"Waah.. Gendhis sama Ajeng," katanya sambil menunjuk foto dua orang gadis berkebaya yang sedang mencuci disungai.
Agak lama Galih memandang foto itu, senyum Ajeng memang tampak manis disana. Teringat kembali berbagai tingkah konyol yang gadis gempal itu lakukan.
"Eh... Tadi kamu mau nanya apa Nji, kok malah aku asik sendiri sih," kata Galih.
"Eem... Gimana ya Lih, aku juga bingung sebenernya, dari kemarin nemu album ini dan lihat foto Gendhis kok perasaanku aneh ya tapi aku juga bingung apa", kata Panji sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Wajah tampannya tampak bingung.
Galih agak terkejut mendengar pengakuan Panji. Pasalnya sampai sekarang dirinya pun tak bisa melupakan kejadian klenik yang terjadi kala mereka KKN itu.
"Kamu inget apa aja soal Gendhis Nji?" katanya bersemangat.
"Ya... apa ya, cuma inget gitu doank Gendhis anak pak Lurah tempat kita menginap waktu KKN"
"Moso itu doank sih, apa lagi?" tanya Galih memaksa.
"Lah piye, itu doank sek tak inget Lih, tapi aku bingung, coba deh buka halaman selanjutnya album itu"
Buru-buru Galih membuka album itu dan beberapa halaman terakhir tampak dipenuhi oleh foto Gendhis dalam berbagai ekspresi dan tempat.
"Waaah, ayu banget emang Gendhis yo, ndak gaya aja apik lo fotone, pantes kowe (kamu) klepek-klepek Nji" gumam Galih tanpa sadar.
"Naaah.... Itu yang pengen aku tahu Lih" kata Panji terlonjak.
" Opo.. aku nembe ngomong opo emang?" Galih tampak bingung dan balik bertanya.
"Ada hubungan apa antara aku sama Gendhis, secara ndak mungkin lah... aku moto ndekne (dia) banyak banget gitu trus aku ndak ada apa-apa sama dia?"
Galih agak bingung memandang sahabatnya. Jelas dulu mbah Jiwo bilang ingatan Panji soal Gendhis tidak akan kembali kecuali keajaiban.
Kayaknya keajaiban akan segera dimulai, batin Galih.
"Kok nglamun (melamun) loh.. Piye Lih?"
"O iyo... Sorry Nji, gimana ya mulai darimana yah?" Galih tampak bingung memulainya.
"Eeem... Jadi gini Nji, kamu sama Gendhis itu gimana ya bisa dibilang pacaran gitu lah Nji, pokoe kupingku nganti (sampai) panas dengerin kamu ngomongin Gendhis seharian hehehe", kata Galih sambil terkekeh.
"Trus.. "
"Ya terus kamu lupa gitu aja sama Gendhis," kata Galih sambil memandang wajah sahabatnya lekat-lekat.
"Aku lupain Gendhis gitu aja maksudnya piye to?" tanya Panji tampak bingung. Kepalanya mendadak pening.
"Gini aja deh Nji, sekarang lebih baik kamu inget-inget dulu soal Gendhis sebanyak banyaknya yang kamu bisa nanti baru tak jelasin, intinya sih kalian pacaran" saran Galih.
Panji manggut-manggut pikirannya tampak kalut. Antara ingin mengingat lebih jauh tentang Gendhis namun tiba-tiba pening tak tertahankan.
Akhirnya mereka berpisah dan Galih berjanji menemui Panji dirumahnya minggu depan.
***
Sepanjang jalan menuju rumahnya Panji memandangi foto Gendhis, pikirannya mencoba mengaduk-aduk isi hatinya berharap ada yang tertinggal disana.
Seperti ada sesuatu yang salah dan tidak semestinya namun Panji tak tahu apa itu. Jika memang gadis ayu ini kekasihnya mana mungkin dia melupakan bahkan meninggalkannya begitu saja.
Sejak kapan aku punya sifat pengecut macam itu, batin Panji gemas tanpa sadar dia meremas dan menarik rambutnya.
Namun Panji yakin sahabatnya itu tidak bercanda soal Gendhis, tapi kok dia tidak ingat kalau pernah mempunyai perasaan kepada gadis itu.
Apalagi bisa dibilang Panji belum pernah jatuh cinta dan pacaran, berarti Gendhis cinta pertamanya, mana mungkin semudah itu cinta pertama dilupakan.
Cinta macam apa yang ada dihatinya jika mengingatnya saja tak bisa?
Semua tanya dikepalanya seolah tak berkesudahan membuat kepalanya kian pening.
Akhirnya sampai dirumah Panji segera berwudhu, membasuh ubun-ubunnya yang terasa panas dipaksa berpikir, lalu segera bersujud kepada pemilik semesta. Berharap beban hatinya ikut luruh bersama lantunan doa kepada-NYA.
***
Sore ini gerimis menyapa Somawangi, sudah lama hujan tidak turun membuat gerimis ini banyak dinanti.
Anak- anak kecil tampak girang menyambut tetesan demi tetesan yang turun. Mereka bertelanjang dada dan berlari ditengah hujan yang mulai deras.
Lapangan berdebu dekat rumah Gendhis tampak basah disiram hujan. Tercium aroma tanah yang menenangkan. Sementara anak-anak mulai belepotan terkena lumpur lapangan.
Gendhis tersenyum melihat tingkah polos mereka. Menari dan tertawa lepas seakan tidak mempunyai beban.
Yaa, memang apa yang anak kecil pikirkan, paling berantem rebutan siapa yang jadi jagoan siapa jadi penjahat, pikir Gendhis.
Gendhis selalu bahagia saat hujan turun. Karena hujan selalu menawarkan kenangan manisnya kembali.
Hujan pernah menahan Panji tetap bersamanya kala Gendhis tak punya alasan untuk sekedar memandang wajahnya padahal ada segunung rindu menghimpitnya.
Hujan juga yang tahu betapa gemetarnya tangan Gendhis saat pertama kali Panji menggenggamnya.
Karena hujan pula Gendhis tahu bahwa wajah Panji akan semakin tampan jika rambutnya basah.
Kata orang rindu itu indah, tapi kenapa Gendhis merasa sakit saat merindunya. Bahkan setelah rasa ini tak terbalas dan terlupakan tetap saja rindu memenuhi hatinya.
Gendhis berjalan menyusuri pendopo ditembok sebelah pintu utama, ada sebuah pigura besar. Disana ada foto seluruh pemuda KKN.
Dan tepat disamping gambar pak Lurah adalah Panji. Samudra dari segala rindunya. Hanya itu pengobat kala hatinya mulai sesak menahan sakitnya rindu.
Dan memang hanya itu satu-satunya gambar panji yang bisa dia lihat.
Tentu saja setiap jengkal wajah Panji diingatnya dengan akurat namun tetap saja terasa kurang tanpa memandang senyum di foto itu.
Nanar mata Gendhis memandang senyum Panji kali ini. Agaknya penantian panjangnya sudah mencapai batas.
Bukankah dua tahun sudah cukup baginya untuk sebuah ketidakpastian.
Penantiannya bahkan tak berdasar pada setitik harapan pun.
Sungguh bukan lelah yang membuatnya berhenti berharap namun kebahagian orang-orang tercintanyalah yang membuatnya berani melompati lingkaran itu.
Bukankah sehelai daun yang jatuh berguguran pun sudah ada yang mengatur, apalagi kehidupan manusia. Sudah pasti sudah diatur dengan sempurna oleh pemilik semesta.
Dirinya pun sudah cukup berikhtiar selama ini, bahkan sampai rela menggoreskan kecewa di hati kedua orang tuanya.
Akhirnya hanya pasrah yang kini harus coba legowo diterimanya, bukankah takdir dari yang kuasa selalu menjadi yang terbaik dari yang baik.
Mas Panji... maafkan aku kalau harus menyerah, bisik Gendhis.
***
Siang tadi Pak Harjo dan Bu Harjo pulang dari kota. Sesampainya di rumah mereka mendadak mengajak Gendhis ngobrol. Agak serius rupanya.
"Nduk cah ayu, sini bune sama bapak pengen ngobrol sama kamu," ajak Bu Lurah.
Gendhis segera duduk disamping ibunya. Tampak Pak Lurah tengah asik menghisap rokok kretek kegemarannya.
"Pripun (gimana) bune?" tanya Gendhis.
"Sinten pak, bapak apa bune?" tanya Bu Lurah meminta persetujuan.
Pak Lurah hanya mengangguk seraya mempersilahkan istrinya berbicara.
"Begini cah ayu, tadi bune sama bapakmu ke rumah pak lek Sugeng trus kita sempat ngomongin kamu nduk, kebetulan pak lek mu punya teman baik seorang dokter juga," kata Bu Lurah menjelaskan.
Gendhis hanya tertunduk dan terdiam, perasaannya mulai tidak enak.
"Nah dokter teman pak lek Sugeng punya seorang anak yang ingin dijodohkan dengan kamu cah ayu, piye menurutmu nduk?" kata Bu Harjo melanjutkan.
"Pak lek mu pasti ndak sembarangan merekomendasikan seorang pemuda untuk menikahimu nduk" pak Lurah menambahkan.
Hampir menangis rasanya Gendhis mendengar ucapan kedua orang yang dicintainya itu.
Tak tahukah mereka jika hatinya masih berpenghuni?
Sepenting itukah menikah sampai harus mengorbankan perasaannya?
"Piye menurutmu nduk, perlukah bapak menolak saran Pak Lek mu?" tanya pak Lurah.
Sungguh pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, batin Gendhis.
Tentu saja aku menolak, batinnya lagi.
"Kalau kamu keberatan ndak papa kita batalkan saja nduk?" tanya bu Harjo mulai kawatir jika putrinya marah.
"Kalo ndak piye nek kalian ketemu dulu saling mengenal gitu nduk?" Pak Lurah pun mulai menyadari jika Gendhis tak bereaksi apapun.
Suasana hening sesaat menguasai ruang keluarga.
Perlahan Gendhis mengangkat mukanya, memandang wajah tua bapak dan ibunya, tampak ketulusan yang tak pernah pudar disana.
"Nggeh Bune, Bapak, Gendhis mau," kata Gendhis mantap. Sebuah senyum tersungging di bibir sebagai penyempurna keputusannya.
Pak Harjo dan Bu harjo tidak bisa menyembunyikan kelegaan dan kebahagiaan di wajah mereka.
"Tenan nduk, kamu ndak keberatan tenan to?" tampak Bu harjo memastikan.
Gendhis mengangguk pelan, sesungguhnya dia ingin menggeleng keras namun rasanya tak sampai hati membuat kedua orang tuanya kecewa lagi.
"Kapan Gendhis bertemu dengan...calon suami Gendhis bune," tanya Gendhis agak tercekat.
"Nanti bapak tanya pak lek mu nduk, beliau yang atur semuanya" kata pak Harjo tampak lega.
"Kamu, tenan ndak keberatan to" kembali bu Harjo meyakinkan.
"Kamu ndak usah kawatir cah ayu, pak lek mu pasti sudah mengenal baik sahabatnya itu termasuk anaknya, pasti beliau tidak asal pilih, bebet bobot dan bibitnya pasti sudah sangat dipertimbangkan" lanjut Pak Harjo.
"Bapak pernah ketemu dengan.. Eee calon Gendhis ndak?" tanya Gendhis ragu.
"Belum nduk, tapi pak Lek mu pernah, bapak yakin pak lek mu ndak bakal salah pilih" pak Harjo tampak meyakinkan.
"Nggeh pak" jawab Gendhis pelan.
"Ya sudah nduk, sana kalau kamu mau ke kamar, matur nuwun ya cah ayu," ujar Bu Harjo tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Gendhis segera berlalu meninggalkan kedua orang tuanya, air matanya tak bisa menunggu terlalu lama lagi kini.
"Apakah keputusan kita sudah tepat pak?" tanya Bu Harjo tampak kawatir.
"Insya Alloh bune, semoga dengan Gendhis menikah dia tidak sedih dan ingat nak Panji lagi" kata Pak harjo dengan mata menerawang.
Sementara itu di kamar Gendhis sekuat tenaga menahan tangisnya agar tak pecah, dia tidak ingin bapak ibunya mendengar isaknya.
----------
Galih tampak duduk disalah satu kursi tunggu sebuah rumah sakit. Kebetulan siang itu suasana agak sepi cuma ada beberapa saja orang yang berlalu lalang didepannya.
Saat sedang asik memperhatikan orang yang lewat matanya tertumbuk kepada sosok berbaju putih yang baru memasuki ruangan.
Wajahnya seperti familiar, pikir Galih.
Sosok berbaju putih yang sepertinya seorang dokter itu juga nampak memandang ke arahnya.
Saling bertatap kemudian tersenyum.
"Pak Mantri, ya" teriak Galih girang.
"Kamu mahasiswa KKN itu kan ya, siapa namanya aduuh.... lupa saya, temennya Ajeng kan?" kata pak mantri tak kalah girangnya.
"Galih pak, saya mahasiswa yang di desa Somawangi itu" kata Galih sambil mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
"Walah... Lama ndak ketemu ya, kamu siapa yang sakit, kok ada disini?" tanya Mantri Sugeng.
"Oh ini... Ndak ada yang sakit alhamdulillah pak, saya sedang menunggu bapak saya kebetulan tugas di sini " kata Galih.
"Bapakmu kerja disini lih? Siapa namanya siapa tahu saya kenal to?," tanya mantri Sugeng.
"Pak Wiratama namanya pak Mantri" jawab Galih.
"Looh.. dokter Wiratama maksudmu ngger? Kamu ini yang namanya Galih Wiratama to?" tanya pak mantri dengan nada tak percaya.
Galih mengangguk pelan, dia juga merasa heran pak mantri mengetahui profesi ayahnya dan bahkan nama lengkapnya kini.
"Kalo kamu mah aku kenal ndak perlu dikenalin lagi, " lanjut mantri sugeng terkekeh. Membuat Galih semakin bingung.
Tak lama muncul seorang pria paruh baya yang mengenakan mantel putih serupa yang dipakai mantri Sugeng. Raut mukanya terlihat bijaksana dan ramah, dia adalah dr. Wiratama bapak Galih.
Melihat anaknya tampak akrab dengan teman sejawatnya dr. Wiratama mengerutkan keningnya.
"Kalian sudah kenal rupanya" sapa dr. Wira sambil berjabat tangan dengan mantri Sugeng.
"Walah pak, Galih ini mahasiswa yang mondok dirumah mbakyuku di Somawangi ya pasti kenal tapi ndak tahu kalo dia putra pak Wira" jelas mantri Sugeng terkekeh.
"Ndak yo Lih?" tanya Dr. Wira kepada Galih putranya.
Yang ditanya cuma nyengir.
"Tumbu ketemu tutup iki jenenge (sesuatu yang sangat cocok ini namanya)" kata Dr. Wiratama sambil terkekeh.
Kemudian mereka menuju ke parkiran tak lama mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah rumah makan yang saat itu tampak lengang.
Setelah memesan makanan yang diinginkan mereka tampak akrab mengobrol.
Rupanya diantara dr. Wira maupun mantri Sugeng telah menyusun sebuah rencana. Rencana perjodohan Galih dengan Gendhis.
Galih tampak kaget sekaligus tidak setuju mendengar rencana mereka. Apalagi saat ini Panji tengah berusaha keras mengingat Gendhis.
Bagaimana jika Panji tahu hal ini, bisa-bisa dibunuh aku sama insinyur muda nan ganteng itu, batin Galih.
Dan Galih, aah... sudah ada sebuah nama yang menghuni hatinya.
Tapi ditahannya dulu keinginannya. Lagipula ini baru sebuah rencana dan Galih tahu pasti ayahnya bukan tipe orang yang suka memaksakan kehendak.
Sejurus kemudian Galih tersedak kala mendengar "rencana" mereka akan direalisasikan bulan ini juga.
Galih tampak menunjukkan raut tidak setuju namun mereka tak menanggapi protesnya. Malah sepertinya mereka semakin asik merancang acara itu tanpa meminta pendapat dan persetujuannya.
Baaah.... ini siapa yang mau melamar dan menikah sih kok mereka yang sibuk, batin Galih.
Selesai makan ternyata dr. Wira harus segera kembali ke rumah sakit. Sementara mantri Sugeng hendak pulang. Karena searah Galih menawarkan untuk mengantarnya pulang.
Ingin rasanya dia mengutarakan pendapatnya tentang rencana mantri Sugeng dan ayahnya namun ditahannya keinginan itu, menunggu saat yang sangat tepat.
Setelah pertemuan mereka Galih ingin segera menemui Panji. Ingin rasanya Galih menggetok kepala Panji berharap dia segera mengingat tentang Gendhis.
" Nji.... Nji ndang elingo kalo ndak Gendhismu meh dipek mantu mbi bapakku (Nji... Nji ayo cepat ingat kalau tidak nanti Gendhismu mau dijadikan menantu sama bapakku)," keluh Galih lirih.
***
Setelah menyadari tak bisa lagi mengelak untuk dijodohkan Gendhis menjadi agak pendiam. Muka Panji bahkan semakin intens merajai benaknya.
Kembali terbayang wajah rupawan yang entah dimana dia berada.
Lupakah dia jika hatiku telah digenggamnya, lalu apa yang harus kulakukan saat nanti hadir lelaki baru meminta hatiku? Katakan padaku apa yang harus ku lakukan Panji, batin Gendhis perih.
Di sisi lain terbayang wajah kedua orang tuanya. Tak tega rasanya kembali mengecewakan kedua orang tuanya, namun bagaimana nasib cintanya ini.
Semenyedihkan itukah dirinya sampai kedua orang tua bahkan pakleknya turun tangan untuk urusan hatiku, bisik hati Gendhis.
Berusaha ikhlas dan pasrah ternyata tak semudah yang dibayangkan. Jika bukan karena mengingat kedua orang tuanya mungkin Gendhis ingin pergi saja dari desa.
Lebih parah terlintas ingin mengakhiri saja hidupnya.
Namun jika dia berbuat demikian entah bagaimana malu dan sakit hati yang harus diterima kedua orang tuanya. Sungguh lagi-lagi Gendhis harus melapangkan dadanya menerima takdir hidupnya.
Dia hanya mampu menguatkan hatinya jika ini adalah yang terbaik dari yang paling baik untuknya.
***
Entah darimana awalnya tiba-tiba malam itu Panji merasa ingat semuanya. Semua seperti sebuah bendungan yang meluap begitu saja.
Senyum Gendhis, raut ayunya dan semua yang membuat Panji terlena terbayang dengan jelas.
Tanpa menunggu pagi tiba, dia segera menstater sepeda motornya untuk menemui Galih. Jarak beberapa kota darinya tak menyurutkan semangat Panji yang tengah menggebu.
Matahari telah tinggi kala akhirnya mesin motor terhenti untuk meminta jatah bahan bakarnya. Panji menghentikan motornya di tempat pengisian bensin, rupanya dia telah sampai di kota Salatiga, kota Galih.
Tiba-tiba Panji teringat sesuatu. Segera dirogoh semua kantong celana dan mengaduk seluruh isi ransel dipundaknya.
Alamat rumah Galih yang ada disecarik kertas tidak ada. Panji belum pernah sekalipun mengunjungi rumah Galih.
Dengan gontai Panji mengarahkan laju motornya menuju kantor kecamatan tempat Galih bekerja. Padahal itu hari minggu dimana semua pegawainya libur.
Mau kemana lagi, ini satu-satunya tempat yang mungkin saja dikunjungi Galih cuma ini, batin Panji lesu.
Di sebuah pertigaan tiba-tiba matanya tertuju pada seseorang yang sepertinya dia kenal. Sebuah keluarga kecil yang rasanya familiar.
Segera Panji menepikan motornya. Lalu memastikan padangannya dia takut salah.
Sosok yang merasa diperhatikan sepertinya juga mengenali Panji.
"Panji ya," sapa Abimana ragu.
"Waah.... Nawang sama Abimana ya, beruntung banget ketemu kalian disini?" sambut Panji sambil menjabat tangan Abimana.
"Waah, kalian serasi banget sih dan ini.. ganteng banget jagoannya" seru Panji sambil mencubit gemas pipi Dimas, anak Nawang.
"Mas Panji tinggal di Salatiga?" tanya Nawang.
"Oh ndak Wang, aku mau kerumah Galih tapi lupa alamatnya hehehe kamu inget Galih ndak Wang?" tanya Panji sambil terkekeh.
"Mas Galih ya,, inget mas" jawab Nawang lembut.
Panji agak pangling melihat Nawang sekarang, nampak keibuan tapi semakin cantik. Tutur katanya juga lebih lembut.
"Mampir dulu ke rumah kami yuk Nji" kata Abimana membuyarkan lamunan Panji.
"Waah.... Kapan-kapan saja bi, kudu nyari Galih dulu ini penting" kata Panji sambil tersenyum.
"Loh... Katanya alamatnya hilang, trus piye?" tanya Nawang.
"Ndak tahu ya paling coba cari dulu Wang" kata Panji sambil menstater motornya.
"Mas Panji" panggil Nawang.
Panji menoleh, "Iya, kenapa wang?".
"Gendhis.... "
"Kenapa Gendhis Wang?" kata Panji jantungnya mendadak bergemuruh mendengar nama itu disebut.
"Gendhis minggu depan mau dilamar mas" kata Nawang tercekat.
Jelas terlihat raut terkejut di muka Panji. Lututnya bahkan terasa lemas sekarang namun sekuat tenaga ditahannya.
"Oh iya, sama siapa Wang?" tanyanya datar. Padahal rasanya mata panji udah sangat panas menahan tangis.
Nawang hanya menggeleng lemah, Nawang menangkap perubahan wajah Panji.
"Anak temennya Paklek sugeng Nji, ingat kan itu lo mantri Sugeng" jawab Abimana.
"Oh... Iya, sampaikan saja salam buat Gendhis ya Bim, duluan ya Bim, Wang" kata Panji buru-buru.
Dia sudah tak bisa lagi menahan tangisnya. Apa yang telah aku lakukan kenapa jadi begini, batinnya.
Punya hak apa aku tidak terima Gendhis akan dilamar orang, bahkan setelah selama ini dia baru akan dilamar? Mungkinkah Gendhis menungguku selama ini, laki-laki macam apa aku, runtuk Panji dalam hati.
Jika benar selama ini Gendhis menungguku alangkah tidak tahu diri aku ini, tak menyadari dan bahkan melupakan dia, astaga, batin Panji getir.
Pandangan matanya nanar menatap jalan, rasanya ingin Panji berteriak sekeras mungkin. Hatinya mendadak sangat sakit, terlintas kembali wajah manis Gendhis.
Akhirnya dia menepikan motornya memasuki kantor kecamatan tempat Galih bekerja. Entahlah apa yang akan dilakukankanya.
Dia memasuki kantin yang kala itu dikunjungi bersama Galih. Tampak sepi namun penjual kopi yang sama tampak membuka kedainya.
"Kopi setunggal (satu) bu" pintanya sopan.
"Njeh mas sekedap (iya mas sebentar)" balasnya ramah.
Wajah Panji tampak sangat kusut, selain dia kurang tidur tadi malam kabar Gendhis tadi benar-benar membuatnya kacau.
Secangkir kopi terhidang dihadapannya, Panji mencoba tersenyum sekilas kepada ibu warung lalu kembali tertunduk.
"Mas ini kalo ndak salah temannya mas Galih kan?" tanyanya sopan.
Panji mengangkat mukanya.
"Iya betul bu, saya ini mau kerumahnya tapi ndak tahu alamatnya bu, apakah ibu tahu rumah Galih?" tanya Panji penuh harap.
"Eem.... Gitu, kalo ndak salah rumah mas Galih ada di perumahan apa ya namanya" ibu warung tampak berpikir.
"Eh biasanya hari minggu mas galih suka piket kesini lo mas, coba sebentar" kata ibu warung tergesa meninggalkan Panji yang masih terbengong.
Tak lama perempuan paruh baya itu kembali diikuti Galih dibelakangnya.
Panji tersenyum sumringah, ternyata tak sia-sia dia membelokkan motornya ke kecamatan.
"Wiiiih... baru sore ini aku berencana maen ke rumahmu Nji, kamu lebih gesit rupanya" sapa Galih riang.
Panji hanya tertawa mendengarnya.
"Gimana ada perkembangan?" tanya Galih sambil menyesap kopi Panji.
Dipandangnya muka Panji, masih tetap ganteng sih walaupun sedikit kacau penampilannya tapi malah menciptakan kesan cowok ugal-ugalan yang suka bikin cewek klepek-klepek.
"Oke.... Kayaknya lebih baik ngobrol dirumahku aja yuk," ajak Galih seraya menarik tangan Panji setelah sebelumnya meletakkan uang dibawah gelas kopi.
***
Mata Panji membulat saking tidak percayanya dengan cerita Galih. Berulang kali ditepuknya pipinya sendiri memastikan dirinya tidak sedang bermimpi.
Dia tidak menyangka ada hal seperti itu didunia, dan tidak menyangka lagi Nawang tega berbuat sedemikian rupa kepada adiknya sendiri.
Memang sikap buruk Nawang beberapa telah diketahuinya namun dia tidak menyangka Nawang akan berbuat sejauh ini.
Lalu pikirannya segera melayang membayangkan bagaimana hati Gendhis. Betapa teganya dirinya membuat gadis itu terlupakan begitu saja. Gendhis pasti sangat terluka.
Bagaimana rasanya ketika Gendhis harus memilih Nawang dan membiarkan hatinya sendiri terluka dan dia hanya melenggang santai meninggalkan Gendhis begitu saja.
Dan hal itu tidak sekali Gendhis mengalaminya.
Panji menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Rasanya otak Panji tak berfungsi kini.
"Temenin aku ke Somawangi yuk Lih" kata Panji tiba-tiba.
"Gendhis mau dilamar orang, aku... aku masih pantas ndak yah menemuinya lagi" kata Panji terbata, sudut matanya berair.
"Aku pengen banget ketemu dia Lih, aku mau minta maaf tapi aku takut merusak hari bahagia dia sama cowoknya sekarang" lanjutnya pilu.
Galih terdiam memandang sahabatnya, andai Panji tahu dia yang akan melamar Gendhis.
"Yo wes... nanti tak cari informasi dan cara biar kamu bisa ketemu Gendhis lagi ya" hibur Galih sambil menepuk bahu Panji.
Panji hanya mengangguk lemah.
***
"Waaah..... Calon manten datang bune" teriak mantri Sugeng yang sedang bersantai diteras rumah bersama istrinya malam itu.
Galih tampak salah tingkah mendengarnya. Tak lama mereka terlihat asik mengobrol kemudian istri mantri Sugeng ijin masuk ke dalam.
"Pak mantri, kedatangan saya kesini mau ngomongin acara lamaran saya itu" kata Galih memulai.
"Oh iyo... Piye-piye lih, gugup yo kowe (kamu)?" tanya mantri Sugeng sambil terkekeh.
Dirinya teringat saat dulu akan melamar istrinya, rasanya gugup dan takut ditolak walaupun dulu mereka telah berpacaran namun statusnya kala itu yang masih seorang mahasiswa membuatnya takut keluarga istrinya menolak lamarannya.
"Bukan Pak mantri, tapi karena Panji" kata Galih membuat mantri Sugeng terdiam dan terlihat serius.
"Panji?" tanyanya serius.
Galih lalu menceritakan perjumpaannya kembali dengan Panji dan bagaimana perasaan Panji saat ini kepada Gendhis. Bahkan keputusasaan Panji mendengar Gendhis akan dilamar pun diceritakannya.
Mantri Sugeng tampak menyimak dengan seksama semua cerita Galih. Keningnya berkerut menandakan dia sedang memikirkan sesuatu.
"Sebenarnya rencana saya dan bapak mu menjodohkan kalian juga merupakan ide dari saya Lih, kenapa? Karena orang tua Gendhis tidak tega membiarkan Gendhis terus menerus bersedih memikirkan Panji", terang mantri Sugeng.
"Jadi sebenarnya kita juga tahu pasti Gendhis ini masih sangat mencintai Panji, la wong kalo dihitung dia sudah menolak 3 lelaki yang melamarnya je" lanjutnya.
"Cuma kemarin-kemarin kan ndak ada itu terdengar kabar Panji to, mungkin saja dia sudah menikah sementara Gendhis terus saja menunggu, siapa yang tau to" kata mantri Sugeng.
"Bapakmu cerita, punya bujangan lapuk dirumah, berhubung sudah kenal baik sama beliau saya menyarankan Gendhis ponakan saya dan bapakmu langsung setuju"
Galih cuma manggut-manggut mengerti.
"Ya... Tapi acara ini rasanya ndak bisa dibatalkan begitu saja wong saya sudah ngabari ibuknya Gendhis dan di Somawangi sana sudah siap-siap"
"Tapi masa pak mantri tega sih sama Gendhis, panji dan saya ... Panji dan Gendhis saling mencintai lo pak, saya sahabat mereka masa saya yang ngancurin to, lagian saya udah punya pacar pak" Galih mencoba memberi alasan.
"Tapi sudah terlalu mepet buat batalin Lih, trus gimana bapakmu ibukmu hayo"
"Lagian kemarin ndak minta pendapat saya dulu sih" sungut Galih.
"Kamu juga ndak bilang kan?" balas mantri Sugeng.
"Pas itu Panji belum sadar, aku takutnya dikira alesan doank pak mantri"
Mantri Sugeng tampak bingung juga sebenarnya.
"Tak pikirin dulu, masih dino senin to ini, lamarane kan sabtu... Masih ada waktu kan, besok rabu tak sowan ke rumahmu yo" tutup mantri Sugeng.
***
"Edaaaan... kamu mau lamaran Lih? Waah kalah aku" kata Panji sambil memeluk Galih yang tampak rapi dengan baju batiknya.
"Wuuuuh... kolo-kolo (sekali- kali) aku ngalahin kamu lah Nji" kata Galih riang.
"Aku bantu apa ni, siap graaak pokoknya" balas Panji sambil menegapkan badannya.
"Kamu ganti baju aja yang rapi trus temenin aku melamar doi" kata Galih genit.
"La ....kamu sendirian kesini, rombongan keluargamu mana?" tanya Panji.
"Mereka sudah jalan duluan, tinggal aku ngampirin kamu lo buat nemenin"
"Oke siap, tunggu ya... tak dandan dulu biar ndak kalah ganteng sama calon manten" jawab Panji sambil berjalan ke kamarnya.
Rumahnya sepi karena seluruh keluarganya dari semalam pergi ke acara salah seorang budenya di Yogya.
"Maafin aku ya Nji" bisik Galih lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel