Galih cuma berdua dengan Panji di dalam mobil. Di kursi belakang tampak beberapa "seserahan" yang apik dibentuk sedemikian rupa.
Panji senyum-senyum sendiri melihat sahabatnya. Baru kali ini sahabatnya tampil rapi, biasanya slengean banget penampilannya.
"Digatekke (diperhatikan) kamu ganteng juga Lih" goda Panji sambil terkekeh.
"Laah....selama ini aku tuh cuma pura-pura jelek Nji" jawab Galih santai.
"Halaaah... ini sih cuma efek baju batikmu aja Lih, kamu jadi agak mangklingi"
"Ngawur... wong ibuku bilang aku itu cowok paling ganteng sedunia kok"
"Kenyataannya boro-boro sedunia, cuma berdua kamu aja aku udah kalah telak hahahah" kata Galih terkekeh.
"Lih... Makasih ya, kamu itu teman terbaik yang aku punya" kata Panji sungguh-sungguh.
Galih hanya tertawa. Liat aja nanti apa kamu masih bisa nyebut aku teman terbaik, batin galih.
Perjalanan mereka terasa sangat melelahkan. Bahkan waktu telah masuk waktu asyar.
"Lih... ndak salah kamu, calon istrimu jauh banget rumahnya, kenal dimana sih edaaaan" Panji berkomentar.
"Wes to.. Rasah protes, jodoh itu Alloh yang ngatur dimana aja sesulit apapun keadaannya kalo Alloh sudah menggariskan, pasti ketemu ndak ada yang bisa menghalangi ndak ada yang bisa nuker" kata Galih.
Termasuk mantra mbah Sruni sekalipun, batin Galih.
Panji tampak manggut-manggut.
"Tak kira kamu itu ndak suka cewek Lih, soalnya dari dulu kan ndak pernah aku lihat kamu pacaran opo dekat sama cewek ngono"
"Halah kaya kamu pacaran aja Nji paling banter juga sama Gendhis" ucap Galih.
Panji tampak termangu, memang baru Gendhis perempuan yang mampu menggetarkan hatinya.Tapi nasib cinta pertamanya sudah pupus kini.
Galih melirik sekilas sahabatnya yang tiba-tiba terdiam. Ada raut sedih disana.
"Nji... tolong kamu gantiin nyetir ya, ngeri aku belum pengalaman medan gini" kata Galih.
Panji mengangguk, sejurus kemudian tampak Panji yang berada dibalik kemudi.
Medan yang dilalui memang terjal dan banyak tikungan tajam. Jika pengemudi tidak jeli bukan tidak mungkin mobil terperosok ke kebun atau malah jurang.
Panji mengusap keringatnya ketika akhirnya menemui jalanan yang rata.
"Wuuuh... jalannya ngajak gelut (berkelahi) iki Lih" teriak Panji.
"Makanya aku mundur" Galih terkekeh
"Udah lama aku juga ndak nemuin medan gini Lih, kagok ne hehehee"
"Kapan terakhir Nji" pancing Galih.
"Jaman KKN lih, naik motor sih dulu pas nganterin Gendhis ke rumah pakleknya" jawab Panji lancar.
Kemudian dia terdiam sendiri menyadari kata-katanya. Lalu Panji mulai memperhatikan jalan didepannya. Sepertinya jalan ini tidak asing baginya.
"Kanapa Nji?" tanya Galih pura-pura bodoh. Padahal dia yakin Panji mulai menyadari ini jalan menuju kampung dulu mereka KKN.
"Ini bukanya jalan ke Somawangi ya? Tuh... Bener itu jembatan kan dulu kita yang ngecat, bener gak sih ?" kata Panji keheranan.
"Waah... Pak Insinyur selain ganteng ternyata daya ingat seperti gajah ya" Galih terkekeh.
"Sebentar... Sebentar" ucap Panji tiba-tiba lalu mesin mobil dimatikan olehnya.
Dipandangnya wajah sahabat baiknya itu dalam-dalam. Seolah mencari sesuatu disana.
"Nawang bilang Gendhis mau dilamar minggu ini, hari ini tepat seminggu aku ketemu Nawang, trus sekarang aku nganterin kamu kesini buat ngelamar, kamu bukan mau melamar Gendhis kan?" tanya Panji tajam.
"Menurutmu"? Galih balik bertanya.
"Heh.... Ndak mungkin, kamu itu sahabat aku Lih" kata Panji mendesis, jelas ada percikan amarah disana.
"Jadi maksudmu aku disuruh nemenin kamu Lih buat ngelamar Gendhis?" tandas Panji.
"Sayang sekali tapi memang iya" kata Galih tajam.
Nafas Panji seketika memburu, tangannya menggenggam erat setir mobil dan pandangannya jauh melihat ke bawah jembatan.
Entah apa saja yang berkecamuk didadanya kali ini, kecewa, sakit hati, marah dan patah hati berpadu di dadanya.
Rahangnya yang kokoh tampak mengeras namun sudut matanya berair.
Seketika Galih merasa bersalah telah mempermainkan perasaan Panji.
"Nji....sepurone Nji" kata Galih bergetar dia mulai takut Panji akan berbuat nekat.
Panji tidak bergeming, pundaknya kini tampak melemah dan bersandar di sandaran kursi mobil.
"Sepurone Nji...aduuuh aku cuma bercanda, sepurone Nji" kata Galih melemah.
Panji sekilas melirik Galih, terlihat menyeramkan lirikan itu bagi Galih.
"Maksudmu" desis Panji.
"Aduuuh....jangan nesu to,, Aaaku memang mau melamar Gendhis..."
Belum selesai Galih ngomong panji menoleh tajam ke arahnya, seakan ingin menelan Galih bulat-bulat.
"Melamar Gendhis buat kamu Nji....aduuuh sabar Nji....ngeri aku liat kamu marah" tambah Galih menyelesaikan omongannya, mukanya sedikit pucat.
"Sudah sini kamu pindah sini duduknya biar mobil aku yang bawa, ngeri digowo njegur (dibawa terjun) aku" kata Galih menyuruh Panji pindah.
Kemudian mobil kembali berjalan kali ini mulai memasuki desa Somawangi. Tak banyak perubahan di desa asri ini, malah nyaris tidak ada yang berbeda sejak ditinggal 2 tahun silam, tetap tenang dan sejuk.
"Lih...tolong jelaskan sama aku Lih, hampir saja aku mati mendadak denger kamu mau nglamar Gendhis" desak Panji lemah.
"Aku memang mau melamar Gendhis Nji serius, tapi bukan buat aku, buat kamu" jelas Galih
"Boleh ndak jangan muter-muter gitu jelasinnya, kepalaku pening sumpah" kata Panji sambil mengacak- acak rambutnya.
"Tuh...kamu lihat..itu mobil siapa Nji" kata Galih menunjuk ke depan.
Dengan lemah Panji menengok ke depan, tampak olehnya mobil berwarna hitam dengan nomer plat yang nyaris dihafalnya.
"Kok mobil bapak disini" keningnya berkerut dan kepalanya terasa semakin berdenyut.
"Nah iya...percaya kan sama aku" kata Galih santai. Dia mulai memasukkan mobilnya ke halaman pendopo. Tampak serbuan anak kecil yang tadinya mengerubungi 2 mobil yang telah terlebih dulu datang kini gantian merubungi mobil yang ditumpangi Panji.
"Percaya opo sih Lih, tenan aku ndak mudeng arrrhh" geram Panji mulai tak sabar.
"Cerita selengkapnya nanti pasti tak ceritain, sekarang ayo cepat kita masuk ke pendopo, semua sudah nunggu kamu, tuh lihat ibukmu luntur bedaknya hahahha" kelakar Galih.
"Aku mau ngapain, mereka ngapain nunggu aku Lih he.." teriak Panji kesal. Dia merasa dipermainkan oleh bocah koplak itu.
"Ya mau ngelamar Gendhis lah pak insinyur, po mau nglamar bu Harjo nggo kowe hah, ayo ndang mudun (cepat turun)" kata Galih gregetan.
Panji segera merapikan rambut dan penampilannya, berulang kali memastikan semua tampak bagus di kaca spion.
Galih yang tidak sabar segera menghampirinya "Halaah...ngasi kocone ( sampai kacanya) pecah juga kamu itu tetep ganteng Nji, kesuwen ngoco, Gendhis tak pek (kelamaan ngaca Gendhis tak ambil) lho yo" ancamnya.
"Eeeh....ngati-ati kowe Lih, wani nowel Gendhis tak antemi kowe (berani nowel Gendhis tak pukulin kamu)" balas Panji tergesa.
Segera mereka memasuki pendopo yang memang benar para tetamu tengah menunggu kehadiran mereka. Tampak seluruh keluarga Panji hadir disitu membuat Panji bingung.
Bukanya mereka pamit mau ke Yogya, pikirnya semakin tak mengerti.
Diliriknya sekilas ada mantri Sugeng dan ada seorang bapak-bapak yang mukanya mirip sama Galih, mungkin itu bapaknya Galih, pikir Panji.
Dia menatap Galih, tampak temannya itu tersenyum jahil ke arahnya, lalu pandangannya mengarah ke depan, tampak Pak Lurah tersenyum namun menatapnya tak percaya pun dengan tatapan heran Bu Lurah.
"Gusti pangeran...iki ono opo sih?" bisiknya pelan.
"Naah....ini pengantennya datang juga, mas Panji sini duduk dekat bapak" tiba-tiba bapak dengan wajah mirip Galih mengajaknya duduk berdampingan.
Dengan ragu Panji menatap ibunya, wajah ayu ibunya terlihat mengangguk lalu segera Panji menempatkan diri disamping dr.Wira.
Segera terjadi pembicaraan khas orang melamar anak gadis. Mereka tampak takzim dan hikmat mendengar sambutan dari beberapa orang tersebut.
Tinggallah Panji terbengong belum sepenuhnya mengerti malah beberapa kali mencubit lengannya sendiri, khawatir ini hanya mimpi.
----------
Ajeng bingung menenangkan sahabatnya itu, malah dirinya kini ikut menangis tak tega rasanya melihat Gendhis.
"Jeng...aku tak lari aja ya Jeng, aku ndak mau dilamar siapa itu aduh siapa sih aku ndak tau namanya huhuhuhu" kata Gendhis terisak.
"Ojo no Ndis...mesakke bu Lurah (jangan donk Ndis kasihan bu Lurah)" kata Ajeng ikut terisak.
Mereka tidak tahu jika yang datang melamar Gendhis kali ini adalah lelaki yang namanya selalu Gendhis dengungkan dalam lantunan doanya.
"Gunting...ndi gunting aku tak mati wae saiki yo (gunting, mana gunting aku tak mati aja sekarang ya)" kata Gendhis sambil matanya nanar mencari keberadaan benda itu.
"Aduuuh...ojo Ndis, walah bu Lurah mana ini, takut Ajeng" kata Ajeng bingung sambil memeluk erat sahabatnya.
Untunglah tak lama bu Lurah tergopoh masuk kamar Gendhis, terlihat Ajeng dan Gendhis sedang berpelukan sambil menangis.
"Aduh ini pada kenapa to?" katanya kawatir.
"Niki lo bu Lurah, Gendhis ndak mau dilamar" jelas Ajeng.
"Bune, Gendhis minta maaf bune, tolong Gendhis ndak mau bune" Gendhis memohon seraya bersimpuh di kaki ibunya.
Diikuti Ajeng yang juga bersimpuh mengharap bu Lurah membatalkan saja lamaran untuk Gendhis kali ini.
Keduanya kini berada di kaki bu lurah dan terisak bersama.
"Aduh... aduh... Piye nek ngene iki (gimana kalau kaya gini)" kata Bu Lurah kebingungan sambil berusaha membangunkan keduanya berdiri.
"Coba Jeng cah ayu, kamu cuci muka trus intip ke pendopo kamu lihat ada siapa" perintah Bu Lurah.
Ajeng segera beranjak ke dapur, menyiuk air di gentong air lalu membasuh mukanya. Lalu buru-buru berjalan ke arah pendopo.
Melalui celah kecil di penyekat ruangan dia melihat seluruh tamu yang ada dipendopo.
Matanya membulat ketika menangkap sosok yang menonjol disana. Segera dia berlari ke kamar Gendhis.
"Ndis.... Ndis kali ini kamu harus mau dilamar Ndis, tenan" teriak Ajeng kegirangan.
Gendhis tampak protes ke arah Ajeng, tidak percaya dirinya jika Ajeng berbalik tak mendukungnya kini.
Bu Lurah mengusap kepala Gendhis perlahan, terasa benar jika beliau amat menyayangi putrinya itu.
"Ndak papa kalau nanti kamu nolak lamaran ini nduk, cuma setidaknya kamu lihat dulu siapa yang melamar kamu kali ini" kata beliau.
"Setelah kamu lihat dan kamu merasa tidak cocok bune ndak bakal maksa kamu buat terima cah Ayu" bujuknya lembut.
Gendhis memandang teduh muka ibunya berharap menemukan keseriusan kata-kata ibunya.
"Bune ndak marah kan kalo Gendhis nolak lagi"? kata Gendhis meyakinkan.
Bu Lurah tersenyum dan mengangguk pelan.
"Sudah cuci mukamu dan sini ibu rapiin sanggulnya" perintahnya kemudian.
Gendhis tampak menuruti perintah ibunya, walaupun berat setidaknya ibunya mengizinkan seandainya dirinya menolak lagi lamaran yang datang.
"Bune ndak bohong kan" Gendhis kembali meyakinkan ibunya.
"Iyo nduk Ayu, tenan" kata Bu Harjo pasti. Kemudian Gendhis berlalu menuju dapur.
Ajeng segera menempel bu Lurah.
"Bu Lurah itu mas Panji yang datang?" bisik Ajeng tak percaya.
"Iya nduk, ibu juga baru tahu pas nak panji datang, sungguh Alloh sebaik-baiknya pengatur ya nduk yang penting kuncinya jangan putus berdoa dan meminta, ya Alloh matur nuwun" kata Bu Lurah berlinang air mata.
Ajeng berkaca-kaca mendengar ucapan bu Lurah. Semoga saja doa yang Ajeng lantunkan selama ini didengar gusti Alloh, batin Ajeng.
Setelah cuci muka, Bu Lurah segera merapikan rambut Gendhis, sedikit menyapukan bedak namun Gendhis tampak menolak ketika ingin dipakaikan gincu.
"Ndak bune, sudah begini saja" tolaknya lembut.
Bu Lurah mengangguk, wajah Gendhis sudah sempurna walau tanpa benda itu.
"Pakai ini saja Ndis" tawar Ajeng sambil memperlihatkan satu set baju dan kain serta tusuk konde pemberian Panji dulu.
"Jangan Jeng, ndak boleh" tolak Gendhis lemah. Itu dari mas Panji, mana mungkin aku pakai saat orang lain melamarku, bisik hatinya.
"Pakai ini saja Ndis" kata Nawang yang tiba-tiba sudah berada di depan kamar gendhis dengan kebaya maroon yang dulu pernah sekali dipakainya.
"Ndak papa mbak?" tanya Gendhis ragu.
"Ndak to Ndis, ini buat kamu saja, pasti kamu semakin ayu pakai ini" jawab Nawang.
Kebaya ini memang dibeli Panji untukmu dulu Ndis, batin Nawang sambil menyerahkan batik maroon ke tangan adiknya.
Semua tampak terpana kala Gendhis keluar kamar setelah memakai kebaya itu.
"Gendhis.... aduh ayu banget" desis Ajeng takjub.
Bu Harjo dan Nawang tersenyum melihat ekspresi malu di wajah Gendhis walaupun masih tergambar keresahan disana.
"Ayo nduk" ajak bu Lurah sambil merangkul Gendhis.
Gendhis terlihat ragu, namun akhirnya bergeming juga mengikuti ajakan ibunya.
Berjalan ke arah pendopo kali ini bagi Gendhis seperti menuju tempat eksekusi dimana dia akan kehilangan nyawanya.
Gendhis tidak berani melihat siapapun tamu yang hadir. Lehernya kelu dan terasa berat untuk diangkat menatap siapapun disana.
Panji yang melihat Gendhis lagi untuk pertama kalinya sejak 2 tahun lalu seperti tersihir. Gadis itu telah menjelma menjadi seorang wanita yang sangat anggun dan semakin cantik.
Walaupun masih tertunduk Panji bisa dengan jelas melihat kecantikan Gendhis yang paripurna. Terlebih baginya kecantikan Gendhis terpancar bukan dari wajahnya semata.
Rindu didadanya membuncah tak tertahankan, ingin rasanya dia berlari memeluknya jika saja dipendopo tak ada keluarga besarnya.
Namun tak hanya Panji yang terkesima, hampir semua tamu memandang takjub kepada Gendhis.
Walaupun dengan dandanan seadanya malah nyaris polos tak menutupi pesona kecantikan jawanya.
Ibu Panji tampak tersenyum senang, merasa putranya tidak salah memilih calon istri.
Sementara bapak Panji yang berprofesi sebagai dokter senior sekaligus seorang dosen tampak manggut-manggut. Tampaknya puas dengan pilihan putranya.
Gendhis yang telah duduk berhadapan dengan keluarga besar Panji belum menyadari sosok didepannya itu, masih menunduk.
"Nduk cah ayu, angkat wajahmu nak" bisik bu Harjo.
Gendhis masih tak bergeming. Sedangkan Panji yang duduk bersimpuh tepat di hadapan Gendhis sedang memandangnya lekat-lekat. Tak rela rasanya berkedip, seolah dirinya takut jika berkedip semua akan hilang.
Dunia Panji serasa berhenti melihatnya lagi, jantungnya berdegup tak berirama. Jiwanya seperti hidup kembali. Gendhis terlihat semakin menawan, batin Panji.
Merasa semua mata tertuju padanya, perlahan Gendhis mengangkat kepalanya. Pandangan pertamanya langsung beradu dengan mata Panji.
Pemuda tampan yang namanya selalu menjadi bagian dari doa Gendhis selama ini duduk dihadapannya. Sedang tersenyum menatapnya.
Jiwa yang telah gersang selama ini terisi kembali, pandangan teduh dan senyum itu kembali.
Gendhis seperti mematung beberapa saat, otaknya mengolah dan memastikan jika ini nyata. Tangannya bahkan mulai gemetar, dan nafasnya terasa tercekat. Tidak mempercayai pemandangan didepannya kini.
"Jadi nduk, Panji anak bapak ini ingin mengambilmu sebagai istri, apakah nduk Gendhis bersedia?" tanya bapak Panji lembut.
Gendhis terdiam dan hanya mampu menelan ludahnya sendiri, mulutnya seperti terkunci dan namun hatinya tengah sibuk bersorak.
Ekor matanya mencuri pandang ke arah Panji, ya ampun pemuda itu masih saja menatapnya.
Gendhis tertunduk malu mendapat pandangan sedalam itu dari Panji. Betapa dia merindukan pandangan itu selama ini.
"Piye nduk" kali ini Pak Harjo yang bertanya melihat putrinya masih terdiam.
Tiba-tiba Panji tampak berbisik ke bapaknya, tampak wajah terkejut disana.
Kemudian bapak Panji berbisik pula ke dr. Wiro bapak Galih, ekspresi terkejut juga terpancar di mukanya. Namun sejurus kemudian dia tampak manggut-manggut.
"Nyuwun sewu (permisi) pak Lurah kalian Ibu, sepertinya dengan amat terpaksa kami dari keluarga Panji membatalkan acara lamaran ini" kata dr.Wiro.
Hampir semua yang ada di pendopo tampak terkejut mendengar ucapan dr. Wiro. Terlebih Gendhis. Hatinya yang masih belum sepenuhnya sadar kembali terguncang. Matanya memerah nyaris menangis.
Belum habis keterkejutan mereka dr. Wiro melanjutkan lagi.
"Nak Panji tidak ingin melamar nduk Gendhis namun ingin hari ini juga menikahi putri Pak Lurah Harjo" sambungnya.
"Bagaimana nduk, purun (mau)" tanya dr. Wiro dengan ekspresi kocak.
Semua hadirin melepas nafas lega. Berganti dengan senyum sumringah. Gendhis yang sempat menahan nafasnya bisa bernafas lega kini.
Matanya memandang Panji yang masih saja memandangnya, terlihat mata teduh Panji berkaca-kaca kini.
Gendhis menganggukkan kepala kali ini. Membuat seluruh hadirin kembali bernafas lega. Bu lurah terlihat menyeka ujung matanya yang basah.
Ajeng malah terlihat sesenggukan sehingga Nawang perlu memeluknya agar tak menjadi jadi tangisnya.
"Kebetulan sudah masuk waktu asyar, alangkah lebih baiknya kita sholat dulu, nanti minta tolong kepada mantri Sugeng untuk mengutus siapa menjemput penghulu di kecamatan sana" kata Pak Lurah Harjo, wajahnya tampak sumringah.
"Acaranya kita laksanakan setelah sholat isya ya pak Doktor", kata Pak Lurah kemudian.
Bapak Panji tampak tersenyum hangat kepada calon besannya itu. Sikap hangat dan suasana desa Somawangi benar-benar membiusnya.
Setelah itu semua tampak sibuk sendiri. Para lelaki berjalan menuju surau untuk sholat berjamaah dan para ibu terlihat memasuki ruangan disamping pendopo untuk beristirahat.
Ibu Panji tampak sedang berbincang akrab dengan bu Lurah. Sesekali mereka terlihat tertawa.
Panji tampak tak bisa menahan ingin tahunya lagi dicecarnya Galih dengan sejuta pertanyaan yang berputar di kepalanya.
"Lih... aku benar-benar ndak tahu harus ngomong apa, ini diluar mimpi dan harapanku, coba tolong ceritakan gimana kok bisa begini" tanya Panji dengan tampang bingung namun sangat bahagia.
"Hahahaha, semua terjadi gitu aja sebenarnya Nji" kata Galih. Lalu dia menceritakan tentang rencana bapak dan mantri Sugeng yang awalnya ingin menjodohkan dirinya dengan Gendhis.
Lalu tentang pertemuan Galih dengan Mantri Sugeng meluncur begitu saja dari mulut Galih.
"Kok bisa gini Lih akhirnya?" tanya Panji.
"Hari rabu kemarin mantri sugeng datang kerumah lalu aku menjelaskan semua sama bapakku dan mantri Sugeng, setelah itu aku memperlihatkan fotomu sama mereka, ternyata wajahmu familiar buat mereka terutama untuk bapak" jelas Galih.
"Bapakku itu temen lama bapakmu Nji naah mantri Sugeng adalah mantan mahasiswa bapakmu, kecil ya dunia hahaha"
"Trus gimana mereka bisa rencanain ini Lih?" tanya Panji.
"Mantri Sugeng sama bapakku datang ke universitas bapakmu Nji trus ndak tahu aku, pokoknya kemarin malam aku di briefing rencana tadi tapi aku ndak tau kalo kamu pengen langsung nikah aja"
Panji mengingat-ingat kejadian beberapa hari lalu, keluarganya memang mendadak sibuk dan bilang mau ke Yogya.
Mereka beralasan ada acara keluarga dadakan sehingga Panji yang sedang bekerja tidak diajak serta.
Padahal biasanya tidak pernah sekalipun Panji tidak diikutsertakan saat ada acara keluarga. Dirinya yang jomblo selalu menjadi sasaran bude-budenya untuk dijodohkan.
"Makasih ya Lih" kata Panji tulus.
Galih hanya nyengir. Dia ikut bahagia melihat kedua temannya akhirnya bersatu.
"Nji Gendhis tuh" kata Galih seraya memberi kode dengan kepalanya agar Panji melihat ke depan.
Rumah bu Harjo sore ini tampak ramai. Berita Gendhis dilamar dan langsung menikah malam ini juga membuat warga penasaran.
Apalagi calon suami Gendhis adalah Panji, sang mahasiswa ganteng yang menjadi idola didesa mereka kala KKN 2 tahun lalu.
Terlihat beberapa warga mondar mandir disekitar pendopo dan dapur bu Lurah. Mereka tengah sibuk mempersiapkan pernikahan Gendhis.
Terlihat Ajeng dan Gendhis muncul dari samping pendopo menuju ke arah balai desa.
Panji dan Galih segera menyusul mereka.
"Ajeng... Gendhis" panggil Galih.
Serempak Ajeng dan Gendhis menoleh, Ajeng terlonjak melihat Galih sedangkan Gendhis tertunduk malu dengan muka memerah.
"Mas Galih..... Ajeng kangen" sambut Ajeng antusias.
Galih dan Panji tertawa melihat tingkah gadis tambun yang sekarang sudah langsing itu.
"Jeng... kamu cantik kalo langsing gini, terlihat berbeda" puji Galih tulus.
Yang dipuji "clengosan" malu, sambil mlintir-mlintir rambut kepangnya.
"Bener Jeng, aku yo pangkling liat kamu, beda... tambah Ayu" puji Panji.
"Mas Panji jangan gitu ndak Gendhis nesu sama aku lo hihihi" Ajeng makin salah tingkah.
Gendhis hanya mesam mesem aja mendengar Ajeng berceloteh. Tanpa sadar Ajeng dan Galih menghindar agar Panji bisa berjalan berdua dengan Gendhis.
Gendhis yang merasa kaget ternyata hanya jalan berdua Panji menjadi panas dingin. Wajahnya tampak tegang.
"Ndak usah takut Ndis,, Ajeng sama Galih lagi pengen ngobrol sebentar, kamu aman kok sama Panji, mau ke sungai kan, yuuk ditemenin" kata Panji lembut.
Gendhis tersenyum lalu mengangguk, betapa semua bunga dihatinya bermekaran tanpa izin kini.
Doa dan tangisnya selama ini di dengar oleh yang kuasa, pemuda tampan ini mengingatnya lagi, bahkan sebentar lagi menjadi bagian dari hidupnya.
"Aku minta maaf ya Ndis terlambat menemuimu"
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu waktu aku pergi begitu saja dan melupakanmu Ndis," ucap Panji lirih.
"Aku bahkan membiarkanmu menungguku dalam ketidakpastian yang begitu lama, maafkan aku ya Ndis" Panji tercekat dengan kata-katanya sendiri.
"Terima kasih.."
Bruuuuk!
Tiba-tiba Gendhis memeluk tubuh Panji dari belakang. Semua terasa begitu tiba-tiba semua terasa begitu indah dan sempurna dirasakan Gendhis. Dia tak tahu harus ngomong apa untuk mengungkapkan perasaannya kini.
Bisa memeluknya dan menghirup lagi wangi tubuhnya kini mampu menghapus luka dan tangisnya selama ini.
Panji terkejut mendapat pelukan tiba-tiba itu. Gendhis menjadi wanita kedua yang berani memeluknya setelah ibunya.
Dadanya berdesir entah perasaan apa. Rasanya sangat nyaman mendapat pelukan dari orang tercinta.
Lama keduanya terhanyut dalam pikiran masing-masing, meresapi rasa nyaman dan rindu yang menggebu.
"Eh... eh...eh...ndak boleh itu belum sah" kata Ajeng mengagetkan lamunan indah Panji dan Gendhis.
Gendhis segera melepaskan pelukannya dan mukanya tampak sangat malu.
Segera ditariknya Ajeng berjalan menuju sungai.
"Aduh Ajeng, isin banget aku, kok iso sih... aduuh" kata Gendhis merutuki tindakannya tadi.
Ajeng cuma cekikikan mendengarnya.
Panji tampak belum bisa menguasai perasaannya, dia masih tidak percaya tadi Gendhis memeluknya.
Dipandanginya tubuh Gendhis dan Ajeng yang menghilang berbelok ke arah sungai.
Galih terkekeh melihat ulah sahabatnya, Panji meninju pelan lengan Galih.
"Kangen banget ya Nji, ditinggal sebentar udah wuuuuuu....wuuuu bahaya ini kalo pak pengulu ndak datang ini" goda Galih.
"Sialan kamu, ndak lah Lih... Aduh Lih aku masih gemetar ini dipeluk Gendhis, Gendhis meluk aku Lih" kata Panji girang.
"Iyo...iyo aku weruh mau (aku lihat tadi)" kata Galih.
"Dah ayo mandi, mau jadi nganten harus bersih dan wangi" ajak Galih sambil menyeret Panji yang masih terbengong.
***
Sholat isya telah usai, itu pertanda prosesi ijab qobul Panji dan Gendhis segera dimulai.
Panji tampak gagah dengan batik tua milik Pak Lurah Harjo, batik yang dulu dipakai Pak Harjo saat menikahi istrinya. Beliau sengaja menyuruh Panji memakai batik bersejarah itu.
Gendhis terlihat Ayu dengan kebaya dan kain yang dulu dibelikan Panji untuknya. Rambutnya tersanggul rapi dengan tusuk konde bermata intan.
Warga desa berbondong-bondong memenuhi pendopo. Mereka ingin melihat prosesi ijab qobul Panji dan Gendhis.
Apalagi setelah acara ijab selesai akan ada "gendhingan" yaitu memainkan lagu Jawa dengan alat musik gamelan.
Acara berlangsung sakral dan hening tanpa adanya hingar bingar yang berlebihan. Akhirnya Panji dan Gendhis resmi menjadi suami istri.
Semua terbayar lunas, Alloh mempertemukan kedua sejoli itu diwaktu dan saat yang tepat. Nyata adanya, gusti Alloh mboten sare.
Ketika malam semakin larut, warga masih setia dengan alunan gendhingnya. Diam-diam Panji menemui pengantin cantiknya dikamar.
Sinar lampu templok yang temaram dan alunan gendhing membuat suasana kian syahdu. Muka Gendhis terlihat mempesona dibawah cahaya temaram.
Rambutnya yang hitam tampak tergerai dibahunya, membuat Panji tak karuan. Apalagi sekarang mereka telah menjadi sepasang suami istri.
Gendhis tersenyum menyambut kedatangan separuh jiwanya itu. Dadanya berdesir dan bergejolak.
Perlahan tangan Panji meraih tangan Gendhis, keduanya sama gemetar.
Pandangan mereka saling bertaut, semakin dekat sampai terdengar deru nafas keduanya yang memburu. Gendhis memejamkan mata ketika bibir Panji mendekat lalu..
Tok... tok.. tok...
Ambyar!! Suasana romantis nan syahdu yang tercipta hancur seketika. Gendhis tampak malu karena telah memejamkan mata.
Sejurus kemudian keadaan kembali sunyi, hanya sayup terdengar musik gamelan.
Panji merengkuh lembut tubuh Gendhis kedalam pelukannya. Terasa nyaman dan damai, namun perlahan geloranya meletup kembali.
Diraihnya dagu Gendhis, ketika bibirnya dan Gendhis nyaris bertemu...
"Dis... dis... " terdengar suara bisikan dari luar kamarnya.
Karena penasaran Gendhis segera melepaskan pelukan Panji lalu mendekatkan telinganya ke dinding.
"Dis... dis.. " kembali bisikan itu terdengar.
Gendhis dan Panji berpandangan. Ajeng!!
"Kenapa Jeng" Gendhis menjawab sambil berbisik.
"Ndis... bulan depan aku mau dilamar mas Galih..." bisiknya.
Ya Tuhan Ajeng ndak bisa apa cerita itu besok saja, ini malam pertamaku sama Gendhis, astaga, batin Panji sambil meremas rambutnya sendiri.
*Entek (Habis)*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel