Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 20 Februari 2020

Ikhlas #1

Cerita bersambung
Penulis : Mimi Hilza


Hari masih terlalu pagi, ketika kulihat sebuah sedan hitam mengilap berhenti di depan pagar rumahku. Tak lama kemudian, seorang pria tinggi yang kukenal bernama Pak Ian, turun seraya melempar senyum lebarnya padaku. Dengan sigap, dibukanya pintu belakang dengan kepala tertunduk hormat.

Seorang wanita cantik turun, berbalut busana kerja abu-abu tua. Keningku mengernyit. Sesuatu yang amat tidak biasa melihat Mbak Laras, wanita karier supersibuk yang notabene adalah satu-satunya kakakku, datang pagi-pagi ke rumah kami yang luasnya kurang lebih sama dengan luas kolam renang di rumahnya sendiri. Ada urusan apa? Hatiku bertanya-tanya.

Kulangkahkan kaki menuju pagar, menyambutnya dengan perasaan waswas. Mbak Laras tidak mungkin datang hanya untuk bersilaturahmi. Apalagi, pagi-pagi begini semestinya ia tengah berada dalam perjalanan menuju kantor.

“Pagi, Mbak. Tidak ke kantor?”

Ia tak menjawabku. Bibirnya tertekuk, menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Langkah kakinya masuk mendahuluiku tanpa kupersilakan. Ia kemudian duduk di kursi rotan di teras depan.

”Masuk dulu, Mbak.”
”Sudah, di sini saja,” sahutnya, dingin. Matanya menyiratkan kegusaran yang amat sangat. Aku pun diam dan duduk di seberangnya. Sebenarnya ingin kutawarkan segelas teh, tapi kupikir mungkin bukan ide yang bagus untuk saat ini.

”Kau harus ke rumah,” katanya kemudian, seperti sebuah perintah.
”Memangnya ada a....”
”Mayang...,” ia menyelaku dengan cepat. ”Dia...,” matanya melirik kiri- kanan, lalu volume suaranya turun sekitar delapan puluh persen. ”Dia hamil.”

Deg! Aku tersentak. Hamil? Mayang?

Mbak Laras mengangguk, seakan menepiskan keraguanku. ”Sudah seminggu ini dia muntah-muntah. Aku ajak ke dokter dia tidak mau. Kadang-kadang dia tidak mau makan sama sekali. Beginilah kalau anak gadis terlalu liar. Aku sudah lelah mengurusi anak itu.”
”Tapi, Mbak...,” aku ikut-ikutan berbisik. ”Apakah Mbak sudah yakin bahwa Mayang hamil. Maksudku, kalau tidak mau ke dokter, setidaknya bisa pakai test-pack.”
”Itulah mengapa kau kusuruh ke rumah!” ujarnya, ketus.

Dibetulkannya letak kacamatanya yang sedikit melorot turun pada hidung bangirnya. Seandainya ia mau bersikap ramah, aku pasti tak segan-segan memberi nilai sepuluh untuk kecantikan wanita ini.

”Mungkin besok, Mbak. Hari ini aku harus mengajar. Lagi pula, ada pertemuan guru.”
”Kau bisa langsung mampir setelah urusan itu, ’kan?” Mbak Laras terdengar makin tak sabar. ”Persoalan ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Cari tahu siapa yang menghamilinya, setelah itu aku akan urus pernikahannya. Jangan sampai orang-orang tahu.”

Aku manggut-manggut, pura-pura mengerti. Meski beribu pertanyaan mendesak di kepalaku, aku tahu pasti bahwa tak ada gunanya berpanjang kata dengan wanita yang satu ini. Percuma. Ia terlahir untuk selalu menang. Dan, aku terlahir untuk terpaksa mengalah.

Dibukanya tas dan dikeluarkannya lima lembar uang seratus ribu. Dengan cepat aku menggeleng. Walaupun aku termasuk pencinta uang, entah mengapa aku benci tiap kali harus menerima uang darinya. Hal itu membuatku merasa sebagai orang termiskin di dunia.

”Buat ongkos taksi,” lagi-lagi Mbak Laras bersikeras. ”Kalau kau tak mau, buat Hauzan saja. Beli susu.”

Aku diam. Ia tahu aku tak suka, tapi ia tak pernah mau memahamiku. Uang itu disimpannya di atas meja, sebelum ia beranjak menuju mobil. Pak Ian sudah siap membukakan pintu untuk sang permaisuri yang melenggang dengan angkuh. Bahkan, ia tak pamit padaku, si empunya rumah. Tak ada cium pipi kiri dan kanan. Tak ada senyum menyungging di bibirnya yang indah. Tak ada basa-basi.

Aku melambai, tepatnya pada Pak Ian yang terlihat amat ikhlas melempar senyumnya. Hampir sepuluh tahun pria penyabar itu kukenal, dan sepertinya lebih banyak keramahan yang ia berikan padaku dibanding Mbak Laras yang telah kukenal seumur hidupku.

Tapi, itulah hidup. Terkadang menawarkan kenyataan yang jauh dari harapan. Aku telah bertahun-tahun belajar untuk hidup dengan mencintai kenyataan, betapapun pahitnya.

Lahir sebagai anak tengah, tak pernah memberikan kebahagiaan bagiku. Aku selalu jadi kacung bagi kakakku, pengasuh bagi adikku satu-satunya, Mayang. Sejak kecil, aku asisten Ibu di dapur, tangan kanan Bapak di kebun, dan malam hari pun tak jarang aku begadang mengurusi Mayang yang masih kecil.

Mbak Laras biasanya mendekam di kamar dengan pelajaran sekolahnya. Ia memang yang paling pintar di antara kami. Karena kepintarannya, Ibu memperlakukannya bak mutiara. Wanita pintar, menurut Ibu, tak perlu tahu urusan masak dan cuci piring. Kalau pintar, pasti akan mudah mendapatkan uang. Kalau sudah punya banyak uang, tinggal mencari pembantu untuk mengurusi tetek bengek yang tak perlu.

Dan... terkadang aku menempatkan diriku sebagai pembantu. Aku sebenarnya tak sebodoh yang Ibu bayangkan. Nilai-nilaiku selalu unggul dalam pelajaran sosial, tapi memang sering keteteran pada ilmu-ilmu hitung dan pasti. Tapi, itu karena aku sering tak punya waktu belajar. Waktuku habis tersita untuk membantu Ibu. Terkadang, beliau tak mengizinkanku pergi sekolah, jika si kecil Mayang sakit. Aku harus menungguinya sepanjang hari, mencuci popoknya, menyiapkan susunya, menggendongnya bila menangis, sementara Ibu ke pasar menjual kue-kue basah dan pulang menjelang siang.

Ibu memang pandai membuat kue. Untuk menambah penghasilan keluarga yang hanya bergantung pada penghasilan Bapak sebagai guru sekolah dasar, Ibu tiap hari membuat kue-kue yang dititipkan di warung Mak Ida dan pergi berjualan kue di pasar dua kali seminggu. Sesekali, saat hari pasar bertepatan dengan hari libur sekolah, aku ikut Ibu sambil menggendong Mayang selama di perjalanan.

Tapi, tak sekali pun aku pernah melihat Mbak Laras pergi ke pasar tempat Ibu berjualan atau sekadar membantu Ibu menyiapkan kue-kue basah yang akan dijual. Padahal, kutahu pasti bahwa Mbak Laras-lah yang paling banyak menikmati uang hasil jualan Ibu, yang sering diselipkan ke tas sekolah Mbak Laras secara sembunyi-sembunyi, karena takut ketahuan Bapak.

Karenanya, walau hidup kami terbilang cukup prihatin, Mbak Laras selalu punya uang jajan yang cukup besar untuk ukuran anak guru sekolah dasar. Ia punya jepitan warna-warni, bando dan ikat rambut bermacam warna, sepasang sepatu pantofel kulit dan sepasang sepatu olahraga (yang semuanya dibeli dalam keadaan baru), dua buah tas sekolah hingga bisa dipakai bergantian, dan barang-barang ’mewah’ lain, yang tak pernah bisa kumiliki, sampai Mbak Laras memiliki barang baru dan akhirnya membuatnya terpaksa mewariskan barang lamanya kepadaku.

Sepatuku, bertahan selama dua tahun, yang depannya sudah menganga mirip buaya kelaparan, tak juga menggugah hati Ibu untuk membelikanku sepasang sepatu baru yang seharusnya merupakan hakku sebagai upah dari mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah setiap harinya. Bapaklah yang berinisiatif membawaku ke kota membeli sepatu baru dari hasil memecahkan celengan ayam yang bertahun-tahun beliau simpan di atas lemari pakaian, meski dari pandangan mata Ibu, aku tahu betul bahwa Ibu sama sekali tak rela.

Di sadel belakang sepeda Bapak, aku duduk dengan berlinangan air mata sepanjang jalan menuju ke kota. Kupeluk pinggang Bapak erat-erat, sementara hatiku perih memikirkan betapa Ibu tak mencintaiku dan terharu betapa Bapak telah berusaha keras berbuat adil bagi kami, anak-anaknya. Dalam hati aku bertekad, suatu hari nanti aku takkan pernah miskin lagi dan akan kubalas segala kebaikan Bapak padaku.

==========

Sayang, harapanku untuk membalas kebaikan Bapak tak pernah bisa terwujud. Beliau meninggal dalam kecelakaan bus, saat hendak pulang kampung menengok Nenek yang sakit keras. Umurku baru lima belas tahun saat itu. Aku betul-betul kehilangan sosok yang selama ini menguatkanku.

Ya, Bapaklah pelipur laraku. Saat aku lelah dengan beban pekerjaan yang diberikan Ibu. Tak jarang Bapak ikut membantuku. Baik itu memasak di dapur, mencuci piring, sampai membantu mengerjakan tugas-tugas sekolahku, yang terkadang baru sempat kukerjakan setelah salat subuh, sesaat sebelum aku berangkat ke sekolah. Bapak sering memprotes Ibu yang menyuruhku menimba air sumur setiap kali Tuan Putri Laras akan mandi.

Tapi, seperti aku, Bapak pun terlahir untuk terpaksa mengalah. Omelan Ibu tak pernah bisa tuntas dilawan. Makin kami diam, makin baik pula jadinya. Walaupun miskin, kami risi jika melihat tetangga berkumpul di depan rumah gara-gara mendengar omelan Ibu yang panjang lebar, pedas, dan terkadang ngawur.

Kepergian Bapak membuatku makin pasrah menghadapi hidup. Beban Ibu yang makin berat karena ketiadaan Bapak, tak ingin kutambah hanya karena aku merasa tak diperlakukan sama dengan kedua saudaraku yang lain. Biarlah Ibu tak mencintaiku. Yang selalu kuingat dari nasihat guru agamaku di sekolah dasar adalah setelah Alloh, orang tua adalah makhluk yang paling harus dihormati dan dihargai. Aku yakin, berbuat baik pada Ibu kurang lebih sama dengan menyenangkan hati Bapak di surga sana.

Aku lalu hampir berhenti sekolah sewaktu di sekolah menengah atas. Ibu menegaskan, beliau tak mampu lagi membiayai kami bertiga. Karenanya, harus ada yang mengalah. Menurut pertimbangan, akulah yang paling berpengalaman meneruskan usaha kue Ibu, sementara Mbak Laras meneruskan kuliah karena ia yang paling pintar di antara kami. Si kecil Mayang terlalu muda untuk putus sekolah. Aku pasrah. Sepertinya, atas hidupku memang hanya Ibulah yang berhak memutuskan.
Sampai akhirnya datang pertolongan Tuhan, yang sebenarnya tak pernah berani kuminta, bahkan dalam doa sekalipun. Pak Lik Aji, satu-satunya adik almarhum Bapak, datang dari kota dan membiayai sekolah kami bertiga hingga tamat kuliah. Wajah Ibu bukan main berseri-seri, apalagi aku. Tapi, kemudian beliau berkata dengan sungguh-sungguh, bahwa aku tak pantas jadi sarjana. Otakku pas-pasan dan aku hanya pandai membuat kue. Aku pantasnya hanya tamat SMA dan menikah saja setelahnya, jika ingin hidupku bahagia.
Sejak itu, aku mulai meyakini bahwa sebenarnya mungkin aku bukanlah anak kandung Ibu. Selain dari perlakuan Ibu yang amat berbeda padaku, aku juga tak mirip Mbak Laras ataupun Mayang. Mereka terlahir jelita bak bidadari, sedangkan aku, meskipun tak jelek-jelek amat, nilai yang pantas untuk tampangku menurutku hanya tujuh lebih sedikit. Aku tak luwes layaknya seorang wanita tulen. Jari tanganku kasar karena terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah dan aku tak pandai berdandan. Satu-satunya orang yang pernah memujiku hanya Bapak.
Tapi, pikiran itu segera kuenyahkan jauh-jauh. Di tengah kepiluanku sebagai anak yang tak dicintai, aku yakin aku akan menemukan orang-orang yang mencintaiku kelak di luar sana, seperti almarhum Bapak. Kuselesaikan SMA dengan belajar tekun hingga lulus dengan nilai mencengangkan, yang lagi-lagi, menurut ibuku, adalah suatu kebetulan semata. Aku melanjutkan kuliah di jurusan bahasa sembari bekerja, agar tak terlalu jadi beban bagi Pak Lik Aji. Kini aku berhasil menjadi guru bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah swasta ternama dan aku amat yakin Bapak tengah tersenyum bangga melihatku dari atas sana.
Mbak Laras sendiri berhasil memperoleh beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Bukan main bangganya Ibu saat itu. Tak putus-putusnya kabar tersebut diulang-ulang setiap kali ada keluarga atau tetangga yang ditemuinya di mana saja. Ibu pun makin bangga, karena setelahnya, Mbak Laras dilamar oleh seorang pria tampan dan kaya. Berakhirlah kisah sedih seorang janda penjual kue basah saat itu juga. Ibu dan Mayang ikut diboyong ke rumah besar hadiah mertua Mbak Laras di sebuah permukiman elite.
Bukan cuma mereka yang bahagia, aku pun mulai kenal dengan Mas Endi, seniorku di kampus. Tetapi, keseriusanku dalam studi menghalangiku untuk menerima tawarannya untuk jadi kekasih. Tiga tahun lebih, aku membiarkannya menunggu. Aku sendiri tak yakin, aku wanita yang memiliki tampang pas-pasan dan rasa percaya diri yang amat kurang, pantas untuk mendampinginya. Ia cukup tampan dan populer di kalangan gadis kampus. Pernyataannya tentang perasaan cintanya padaku, terdengar seperti sebuah ejekan yang biasa dilemparkan Ibu kepadaku. Aku si itik buruk rupa tak sanggup bermimpi punya kekasih setampan dan sebaik Mas Endi. Walau, jauh di lubuk hatiku, aku sadar aku telah jatuh cinta pada pria itu, pada pandangan pertama.

Ternyata, aku itik buruk rupa yang beruntung. Tiga tahun lebih Mas Endi setia menungguku. Kami tak pernah berpacaran. Kami hanya pernah pergi nonton sekali, itu pun saat ulang tahunku dan aku tak bisa menolak ajakannya. Ia tak pernah menyentuh tanganku sekali pun, sampai akhirnya tanpa kuketahui sama sekali, di hari aku merayakan kelulusanku, ia dan orang tuanya datang melamarku di hadapan Pak Lik dan Ibu.

Seperti biasa, Ibu meragukan setiap hal baik yang datang dalam hidupku. Beliau bahkan mencurigai ada sesuatu yang telah terjadi di balik hubungan kami. Beliau menuduhku hamil. Aku menangis berhari-hari. Orang tua Mas Endi telah pulang dengan tersinggung. Mas Endi masih setia menemuiku, tapi ia mengatakan dengan amat berat bahwa akan butuh waktu untuk bisa memperbaiki kesalah pahaman orang tuanya.
Sekali lagi aku kecewa pernah memiliki ibu seperti ibuku. Aku akhirnya menenggelamkan diri dengan kegiatanku mengajar, hingga setahun berlalu dan tuduhan Ibu tak terbukti benar.
Pak Liklah penolongku pada akhirnya. Hampir seperti mendiang Bapak, ia amat memahami diriku, meskipun kami jarang sekali bercakap dari hati ke hati. Setiap kali aku menerima gaji, kukirim gajiku ke rekening Pak Lik. Kuserahkan semuanya, utuh, sebagai tanda terima kasihku atas semua kebaikan beliau, meski kutahu harga yang harus kubayar masih jauh dari itu. Yang kuingat, keesokan paginya, uang itu dikirim kembali ke rekeningku.
Tanpa kuduga sama sekali, Pak Lik bersama istrinya kemudian diam-diam pergi bertemu orang tua Mas Endi dan meminta maaf atas kejadian setahun yang lalu yang disebabkan oleh Ibu. Akhirnya mereka mengerti dan amat terharu melihat Mas Endi yang sabar menunggu restu dari mereka untuk akhirnya bisa menikahiku.
Kami pun menikah, masih dalam cibiran Ibu, bahwa aku takkan bisa hidup sebahagia Mbak Laras yang bersuamikan anak konglomerat dan kini telah punya perusahaan sendiri. Tapi, aku tak peduli lagi. Aku telah menemukan tambatan hatiku. Aku pun telah memiliki Pak Lik sebagai pengganti sosok orang tua yang kuimpikan, dan sepasang mertua yang amat sangat menyayangiku.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER