Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 21 Februari 2020

Ikhlas #2

Cerita bersambung


Kami kini memiliki Hauzan. Bocah laki-laki yang kini duduk di kelas satu sekolah dasar. Kami tinggal di rumah mungil yang sudah dua tahun lebih kami miliki dengan cara mencicil. Tak sefantastis hidup Mbak Laras mungkin, tapi sungguh aku belum pernah sebahagia ini sebelumnya. Hidupku terasa begitu lengkap. Mas Endi mencintaiku dan makin memperlihatkan cinta yang begitu besar setiap harinya. Yang terpenting, ia selalu menghargaiku sebagai seorang wanita, memperlakukanku layaknya makhluk berharga yang layak dicintai.

”Dewi?”
Sebuah elusan di kepalaku membuatku tersentak. Mas Endi memandangku dengan heran.
”Pagi-pagi begini melamunkan apa?” Aku tersenyum malu.
”Ada yang datang, ya?” Ia menunjuk pintu pagar yang belum sempat kututup.
”Mbak Laras.”
”Mbak Laras?” Keningnya berkerut. ”Kakakmu?”
Aku tertawa. ”Ya, Mas. Siapa lagi? Entah mimpi apa semalam dia ke sini. Cuma nitip duit buat jajan Hauzan katanya.”

Kening Mas Endi masih berkerut. Kutahu ia makin bingung. Tapi, tak kupedulikan. Aku masuk dengan senyum-senyum sendiri. Tugas pagiku masih banyak. Membuat sarapan, memasukkan cucian dalam mesin cuci, memandikan Hauzan, lalu mengantarnya ke sekolah.

Tiba di depan gerbang rumah Mbak Laras yang bisa dibilang mirip istana kecil di negeri antah berantah, seorang satpam bertubuh tegap menghadangku. Sepertinya satpam baru. Maklum, aku jarang sekali ke sini. Kira-kira tiga bulan yang lalu terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah besar bergaya Prancis ini, saat ulang tahun Ibu.

”Siang, Bu,” Pak Satpam menyapaku ramah. Ternyata, ia tak sesangar wajahnya yang dihiasi kumis tebal. ”Ibu ingin bertemu siapa?”
”Mayang,” jawabku singkat.
”Ehm... maaf, Bu, kalau boleh tahu, Ibu ini siapa?”
”Aduh... Bu Dewi...,” seorang pria agak tua, bertubuh kurus dan dalam seragam yang sama dengan ’Pak Kumis’, menyahut dari belakang. Tergopoh-gopoh ia keluar menghampiri kami dan tersenyum padaku.
”Maaf, Bu. Maklum satpam baru.” Pak Joko, yang telah menjadi satpam sejak Mbak Laras mendiami rumah ini, menarik satpam berkumis tadi mundur. ”Ini Bu Dewi, adiknya Bu Larasati! Kakaknya Mbak Mayang.”

Spontan Pak Kumis meminta maaf. Aku pun membalasnya dengan senyum. Tak ada yang perlu dibesar-besarkan. Toh, aku bukan orang yang gila hormat. Mereka tak mengenal diriku pun tak apa-apa. Asal mereka tahu bersikap sopan. Itu yang penting.

Di halaman, Mbok Surti menyambutku dengan wajah riang. Wanita paruh baya ini memang selalu sumringah jika bertemu denganku. Mungkin karena aku yang paling sering menyapa dan menanyakan keadaannya. Mungkin karena di antara kami bertiga, aku yang paling manusiawi, begitu komentar Mas Endi.

”Sehat, Mbok?” aku menepuk bahunya pelan, tanda senang bertemu dengannya. Mata sipitnya memicing, karena tertarik oleh senyum lebar yang mirip sebuah tawa tanpa suara.
”Non sudah lama tidak ke sini,” ujarnya, seperti sedang memprotesku. Digendongnya Hauzan seraya mencium pipi kiri dan kanannya. ”Mbok kangen sama Den ganteng yang satu ini....”
”Ibu mana?” aku bertanya seraya mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.
”Ada di atas, Non. Mungkin lagi tiduran. Belakangan punggungnya suka sakit.”

Kesan mewah memenuhi perasaanku ketika melangkah memasuki ruang tamu. Beberapa guci raksasa antik buatan Cina berdiri megah di sudut-sudut ruangan, yang pasti takkan orang temui di rumahku yang mungil. Perabotan dari kristal berjejer anggun di atas bufet model terbaru. Aku akan berpikir seribu kali untuk membelanjakan uang demi perabotan mahal yang harganya bisa sampai jutaan rupiah itu. Sofa berwarna kuning emas, elegan sekali, serasi dengan pernak-pernik bantal kursi plus taplak. Hanya dengan meliriknya dari jauh akan segera terdeteksi bahwa barang-barang tersebut sungguh barang berkelas. Mahal dan angkuh. Tak sadar aku merinding.

”Hauzan?” suara Ibu yang kukenal bertahun-tahun menyambut.

Beliau melangkah tertatih menuruni tangga dikarenakan berat badannya yang makin naik. Segera kusongsong beliau. Kucium jemarinya dan kedua belah pipinya. Jujur saja, meski begitu banyak luka yang tertoreh di hatiku dikarenakan sikap beliau padaku, aku terkadang merindukannya. Hari-hari di masa lalu yang pernah kurangkai bersamanya, banyak yang pedih untuk diingat. Tapi, aku sadar, karenanya, aku bisa setegar ini. Karenanya, aku bisa memaknai hari-hari indah yang kini kumiliki dan terus mensyukurinya.

”Ibu sehat?”

Wanita dengan uban memenuhi kepalanya itu mengangguk tanpa senyum. Sikapnya padaku masih sedingin biasanya. Tetapi, aku pun sudah terbiasa dan tidak pernah lagi memendam perih karena sikap Ibu tersebut. Selalu kuingatkan diriku bahwa ibuku adalah manusia biasa yang jauh dari sempurna. Beliau punya kekurangan dan aku ingin memakluminya, karena aku adalah anak yang mencintainya.

Hauzan tak langsung menyongsong tangan Ibu yang terbuka lebar. Mata polosnya memandangku berkali-kali, lalu melihat Ibu seperti melihat seseorang yang baru ia lihat sebelumnya. Ibu balik memandangku dengan tajam. Seperti sedang menuduh aku yang melarang Hauzan mendekatinya.

Aku berjalan menuju Hauzan. Bocah itu langsung merengkuh tanganku erat-erat. Kugendong ia mendekati Ibu seraya berbisik di telinganya, “Hauzan tadi lihat Bunda mencium Nenek ya, Sayang? Nenek kan ibunya Bunda. Hauzan juga cium pipi Nenek, ya?“

Untunglah Hauzan anak yang penurut. Ia mau saja turun dari gendonganku dan meraih tangan Ibu. Dengan berjinjit diciumnya kedua belah pipi Ibu yang membungkuk padanya. Aku menarik napas lega. Begitu pula Mbok Surti yang sedari tadi berdiri dengan tegang mengamati kami. Aku mengedipkan sebelah mata padanya agar segera menyingkir sebelum Ibu menegurnya.

”Beginilah kalau kau jarang membawa Hauzan ke sini. Anakmu jadi tidak kenal siapa neneknya,” Ibu mulai mengomel. Aku tahu, hal ini akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Karenanya, aku segera mengambil tempat di sofa dan berusaha duduk senyaman mungkin.

Mbok Surti membawa dua gelas jus jeruk, dua stoples kue kering, dua potong puding cokelat, dan seplastik permen warna-warni yang segera membuat mata Hauzan berbinar ceria. Begini kalau bertamu di rumah orang kaya, segala jenis makanan tersedia lengkap.

Aku menikmati pudingku dengan serius. Sementara, Ibu masih melanjutkan ocehannya tentang aku yang tak pernah menelepon, tentang suamiku yang tak pernah ikut menengoknya, tentang kami yang lupa diri sejak menikah, tentang Hauzan yang pertumbuhannya kurang karena tak minum susu formula impor seperti yang diminum anak-anak Mbak Laras sejak kecil, dan tentang kekurangan-kekurangan kami lainnya yang tak pernah coba dimaklumi Ibu.

Dulu tiap dua hari sekali aku selalu ingat untuk menelepon Ibu. Kini tidak lagi. Terkadang lebih sering beliau tak mau mengangkat teleponku dengan alasan capek atau sudah mengantuk. Terkadang diangkatnya, tapi beliau menanggapi dengan amat dingin dan bertanya: ”Ada perlu apa kau mencari Ibu?” Akhirnya, acara menelepon Ibu yang dua hari sekali, dengan minta pertimbangan dari Mas Endi, kukurangi menjadi sekali seminggu. Setidaknya aku punya alasan. Jika Ibu ragu atas niat baikku menghubunginya, aku bisa bilang bahwa aku rindu padanya karena sudah lama tak mendengar suaranya.

Dan, Ibu memang tak pernah menyukai Mas Endi sebesar ia menyukai Mas Dewo, suami Mbak Laras. Bahkan, sampai setengahnya pun tidak. Aku maklum, demikian pula Mas Endi. Dan, hal itu tak pernah menjadi masalah yang patut dibesar-besarkan menurut kami. Rasa hormat kami pada Ibu tak pernah kurang karenanya.

*****

Justru terkadang Mas Endi yang menasihatiku panjang lebar tentang bagaimana memahami Ibu di usianya yang telah berumur dan tak punya suami. Biasanya, orang tua seperti Ibu amat peka perasaannya, sering mudah salah paham dan kekanak-kanakan. Lagi pula, seingatku, setiap ada acara keluarga, baik dari pihak keluarga Mas Endi ataupun dari pihak keluargaku, Mas Endi selalu menyempatkan datang. Hanya beberapa bulan terakhir ini waktunya menjadi sempit karena ia kuliah lagi untuk meraih gelar masternya. Aku belum pernah sempat memberi tahu Ibu tentang hal tersebut, karena Ibu pun tak pernah bertanya mengenai suamiku.

Mengenai susu formula, kupikir adalah hakku sebagai orang tua Hauzan untuk menentukan yang terbaik bagi putraku. Aku tak memberi Hauzan susu formula impor yang harganya selangit, bukan karena tak sayang pada anak semata wayangku itu. Sebagai ibu rumah tangga, aku harus pintar-pintar mengatur keuangan rumah tangga kami agar semuanya bisa berjalan lancar.

Aku cukup puas dengan salah satu merek susu produksi dalam negeri yang kugunakan sejak berhenti menyusui Hauzan selama dua tahun. Anakku jarang sakit. Meski tak gemuk (pertumbuhan tubuhnya yang sedang-sedang saja, kupikir karena ibu-bapaknya yang tak gemuk dan berpostur sedang), ia sangat cerdas. Sejak di taman kanak-kanak ia sudah pandai membaca dan berhitung. Kini ia sudah mulai kuajarkan istilah-istilah bahasa Inggris yang digunakan sehari-hari. Ia sudah bisa menyebutkan peralatan sekolahnya dalam bahasa Inggris.

Tetapi, Ibu tak pernah tahu, karena sepertinya Ibu memang tak pernah ingin tahu. Terkadang, saat Hauzan sakit, ibu mertuaku yang pertama mendaftarkan diri sebagai sukarelawan. Ibuku jarang tahu karena kami memang tak pernah ingin menyusahkan. Apalagi, pernah sekali aku memberi tahu Ibu tentang keadaan Hauzan yang merah-merah sekujur badannya karena alergi, Ibu malah mendampratku dan menuduhku tak becus mengurusi anak yang cuma satu.

Berbeda dari ibu mertuaku. Wanita bertubuh ramping dan bermata teduh itu amat berbeda perangainya dari Ibu. Seminggu dua kali ia datang bersama bapak mertuaku atau dibonceng motor oleh adik Mas Endi yang paling kecil. Tiap dua minggu sekali ia menginap di rumah kami selama beberapa hari. Maklum, Hauzan adalah cucu pertama di keluarga mereka.

Karenanya, meski Ibu acuh tak acuh, Hauzan tak pernah kekurangan kasih sayang seorang nenek. Ibu Endi adalah seorang wanita yang amat sabar dan telaten. Tak pernah sekali pun ia mengomeliku dengan kata-kata pedas atau menyalahkanku jika Hauzan sakit.

Terkadang hatiku trenyuh dan tak henti-hentinya mengucap syukur bahwa anak semata wayangku tak kekurangan kasih sayang sedikit pun dari orang-orang di sekelilingnya. Tidak seperti diriku dulu yang hanya memperoleh kasih sayang dari Bapak.

”Mayang mana, Bu?” tanyaku, setelah ceramah Ibu yang panjang lebar yang hanya mampu kusimak setengahnya saja. Paras wanita tua itu masih belum berubah. Tetap saja memamerkan kewibawaan yang amat sangat. Aku benar-benar merasa seperti tamu dibuatnya.

”Tak tahu ke mana dia,” sahut Ibu, ketus. ”Harusnya kau sekali-sekali nasihati dia agar tak terlalu banyak main. Sudah lima tahun kuliahnya belum selesai-selesai juga. Mau jadi apa nantinya? Masa cuma Mbak Larasmu yang bisa jadi orang?”

Jus jeruk manis yang tengah kuseruput terasa pahit di lidahku. Jadi orang? Cuma Mbak Laras? Lantas aku? Sepertinya aku benar-benar tak berharga di mata Ibu.
Kuraih tasku. Hauzan yang tengah menghitung permen di meja segera kugendong. Mata Ibu mendelik melihat tingkahku.

”Mau ke mana kau?”
”Pulang, Bu.” Aku mencoba tersenyum, meski hatiku sedang menangis.
”Kau kenapa?” Nada suara Ibu meninggi. “Apa Ibu salah ngomong?”
Aku menggeleng, masih coba tersenyum. Salah ngomong? Ibu bahkan tidak sadar telah melukai perasaanku. Rasanya kedua mataku mulai panas.

Dewi memang tidak pernah bisa membuat Ibu bangga.
Mata Ibu seakan menelanjangiku. Beliau seperti bisa membaca pikiranku.

”Tidak apa-apa, Bu. Ibu mertuaku akan datang siang ini,” aku membuat alasan. Ingin kusalami, tapi wanita tua itu menahan tangannya. Wajahnya terlihat amat geram. Apa salahku? Bukankah beliau yang mulai mencelaku sedari tadi?

”Kau memang sengaja menjauhkan Ibu dari cucu Ibu.”
Langkahku terhenti. Tuduhan apa pula ini?
”Maksud Ibu?”
”Kau pura-pura tidak mengerti, ya?” Kulihat matanya tengah memandangku tajam. ”Kau sengaja jarang datang. Sampai-sampai anakmu tidak kenal pada neneknya sendiri. Atau, suamimu yang mengajarimu....”

Jangan bawa-bawa Mas Endi, Bu! Dewi memang jarang datang, karena Dewi tahu betul Ibu tak terlalu suka dengan kehadiran Dewi. Ibu bahkan tidak mau main ke rumah kami, meski sekadar menengok Hauzan. Kenapa, Bu? Karena rumah kami kecil? Karena Mas Endi bukan anak konglomerat? Atau... atau karena aku bukan anak kesayangan Ibu sejak dulu?
Kurasakan mataku yang panas berangsur basah. Perjalanan hidupku menyisakan banyak sekali kenangan bersama Ibu yang tak pernah tulus menyayangiku. Ibu yang senantiasa ada di dekatku, tetapi tak pernah kurasakan belaian sayangnya. Ibu yang setiap hari kulihat, tetapi tak pernah bisa kupeluk, karena beliau begitu angkuh untuk membiarkanku bermanja-manja di pangkuannya. Apa yang salah dengan diriku sehingga beliau tak pernah sedikit pun bahagia melihatku? Padahal, di antara kami bertiga, akulah yang tak pernah membantah ucapannya dan tak pernah melanggar perintahnya.

”Dewi pulang, Bu.”

Aku berlalu dan tak menoleh lagi. Kupeluk erat-erat buah hatiku seakan ingin memastikan bahwa takkan pernah kubiarkan ia mengalami semua hal yang pernah kualami bersama Ibu. Aku tahu, hari ini aku telah menggores lagi sebuah luka yang tak kusengaja di hati beliau. Tetapi, biarlah, sepertinya sudah takdirku bahwa di setiap detik dalam hidupnya yang menyangkut aku adalah penyesalan yang takkan pernah termaafkan. Meski tak kutahu sebabnya, aku akan belajar mengerti.
Maafkan aku, Bu.

Satu minggu setelah pertemuanku dengan Ibu di rumah Mbak Laras, Mbak Laras masih gencar mendesakku lewat telepon untuk bertemu Mayang. Tetapi, aku pura-pura sibuk, atau terkadang ponselku tak kuaktifkan sepanjang hari.

Hari ini, permaisuri ratu menyambangiku di sekolah tempat aku mengajar. Bukan untuk menjemput Raka anak sulungnya, tentu. Tak pernah sekali pun aku melihatnya hadir pada pertemuan orang tua siswa. Tapi, sebagian besar guru maklum, apalagi Mas Dewo, suami Mbak Laras, adalah salah seorang donatur penting bagi sekolah ini.

Aku sedang memeriksa hasil ujian harian siswa di kelas, sementara satu per satu siswa telah meninggalkan kelas. Aku memang tak langsung pulang. Biasanya, pekerjaan seperti ini kuusahakan selesai di sekolah agar tak mengganggu pekerjaanku di rumah. Apalagi, aku selalu tak sabar ingin tahu nilai anak-anak didikku, apakah mengalami kemajuan atau tidak.

Sebuah lembar jawaban kucoret dengan tinta merah dan kuberi nilai nol yang amat besar. Nama yang tertera di sudut kanan atas: Raka Prasetya. Tidak ada yang bisa kulakukan dengan lembar jawaban ini, karena dua puluh nomor yang kuberikan pada ujian tadi kesemuanya dijawab dengan ngawur. Ini ujian ketiga kalinya dan semuanya dilalui Raka dengan gagal total. Padahal, seingatku, di kelas dua dulu ia memiliki nilai bahasa Inggris di atas rata-rata. Bahkan kalau tidak salah, ia ikut les bahasa Inggris sejak masih di sekolah dasar.

”Kau sulit sekali dihubungi,” ujarnya, tak ramah.

Bersambung#3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER