Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 22 Februari 2020

Ikhlas #3

Cerita bersambung


Aku menarik sebuah bangku, tetapi ia tak mau duduk. Sepertinya ia terburu-buru. Atau, mungkin takut setelan jasnya yang mahal kotor terkena debu.

”Aku sibuk, Mbak,” kilahku, seraya mencoba tersenyum. Seperti biasa, ia tak mengacuhkan senyumanku. ”Tidak lama lagi ujian semester. Raka tidak bilang?”
”Tetapi, urusan Mayang juga urusan serius,” ia bersikeras.
”Mayang lagi. Apakah Mbak sudah yakin betul bahwa Mayang hamil?” kataku agak ragu.
”Kau bilang aku bohong?” wajah Mbak Laras berubah sengit.

”Aku hanya kurang yakin, Mbak,” aku meluruskan. ”Mbak sendiri yang bilang kalau dia tidak mau diajak ke dokter. Minggu lalu aku ke sana, dia tidak ada. Tiap kuhubungi, ponselnya tidak diangkat.”
”Kau masih berpikir tidak terjadi apa-apa pada Mayang?”

Aku menarik napas berat. Tiga puluh tahun umurku dan lebih dari separuh umurku kuhabiskan menjaga Mayang. Bukannya aku bosan, tetapi terkadang aku merasa beban yang mereka ikatkan pada punggungku terlalu berat. Aku hanyalah kakak Mayang, bukan ibunya atau kakak tertuanya yang lebih pantas mengawasinya.

”Mayang sudah dewasa, Mbak. Aku pikir sebaiknya kita mulai memperlakukannya layaknya orang dewasa.”
Alis Mbak Laras bertaut. Aku tahu persis ia paling tak suka didebat. Sama seperti Ibu.
”Maksudmu?”
”Maksudku, biarkan dia mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri seperti yang dilakukan orang dewasa lainnya. Kalaupun akhirnya gagal, aku yakin ia akan meminta pendapat kita.”
”Lalu, dengan tindakan orang dewasa seperti apa kira-kira yang kau maksud yang akan diambil Mayang untuk masalahnya ini? Bunuh diri?”

Sebuah senyum sinis melengkapi nada suara Mbak Laras yang terdengar begitu sok tahu. Aku memalingkan wajah pada kertas-kertas yang masih berserakan di atas mejaku. Ya, Tuhan. Terkadang aku begitu muak melihat sikapnya. Tapi, mengapa ketidak berdayaanku selalu mengalahkan kata hatiku untuk menentangnya?

”Aku akan mencoba temui dia lagi. Nantilah kita bahas lagi masalah ini setelah aku bisa memastikan bahwa Mayang benar-benar hamil.”
“Kau betul-betul meragukanku?” Mbak Laras mulai terlihat kesal. Ia beranjak menutup pintu lalu melanjutkan kalimatnya yang belum selesai. “Aku menemukan test pack dengan hasil positif di kamar mandinya dua minggu lalu. Lalu, Mbok Surti melapor bahwa sudah satu minggu Mayang muntah-muntah dan makan sedikit sekali. Ketika aku bertanya padanya, dia bahkan tidak bisa mengangkat mukanya. Aku mengajak dia periksa ke dokter, dia mati-matian tidak mau. Masih kau pikir aku mengada-ada?!”
”Kalau begitu, kenapa aku harus bertemu dengan Mayang? Bukankah dengan Mbak Laras, semua persoalan sudah beres? Mbak tidak bertanya siapa yang menghamilinya? Bagaimana kalau mereka segera menikah saja? Kan Mbak sudah menyanggupi akan mengurusnya.”

Kali ini mata Mbak Laras yang indah seakan ingin menerkamku. Tetapi, kutatap ia dengan berani. Rasanya cukup menyenangkan melihat raut wajahnya yang uring-uringan. Selama ini ia terlalu sempurna di mataku.

”Kau lebih tahu siapa Mayang,” akhirnya suara Mbak Laras melunak. ”Kau satu-satunya orang yang bisa membuatnya bicara.”
”Ibu? Ibu tidak tahu masalah ini?’
Mbak Laras menggeleng cepat. ”Ibu tidak boleh tahu. Tidak siapa pun. Kau paham?”

Aku tak mengiyakan, tapi tak juga menggeleng. Kepalaku dipenuhi pertanyaan yang membingungkan. Mengapa Mbak Laras begitu ngotot mengurusi urusan Mayang? Tetapi, betulkah Mayang hamil? Dengan siapa?
Mbak Laras beranjak. Seperti biasa, beberapa uang kertas berwarna merah ditinggalkannya di atas meja. Aku tak meliriknya sama sekali.

”Mbak?”
Tangannya telah mencapai gagang pintu. Ia menoleh padaku.
”Masih ada yang ingin Dewi bicarakan. Tentang Raka. Nilai-nilainya. Semester ini nilai bahasa Inggris-nya anjlok. Kemarin aku juga dapat laporan dari guru-guru bidang studi lainnya bahwa kondisinya tidak jauh berbeda dari yang kutemui. Mbak tahu sebabnya? Sebentar lagi ujian semester.”

Mbak Laras mengibaskan tangannya. ”Biasalah, anak menjelang puber begitu. Lagi senang-senangnya main dengan kawannya. Nanti aku beri tahu ayahnya.”
”Mbak,” lagi-lagi kutahan langkah Mbak Laras.
”Apa lagi?”
”Kalau Mayang tidak mau bicara?”

Matanya menatapku tajam. Mata yang indah, tetapi amat angkuh untuk bisa dipandangi berlama-lama. Membuatku terkadang merinding.
”Harus mau.”

Sesungguhnya sejak kedatangan Mbak Laras di pagi-pagi buta ke rumahku, aku belum memikirkan masalah Mayang dengan serius. Aku memang pengasuhnya sejak kecil. Aku yang menggendongnya jika ia menangis. Aku yang menyuapinya, tak peduli butuh berjam-jam untuk menghabiskan sepiring nasi. Aku yang memandikannya setiap hari, memakaikan baju, bahkan mencuci baju-bajunya yang kotor. Aku yang sering berdebar cemas jika ia demam tinggi, dan berdoa sepanjang malam untuk kesembuhannya.

Tetapi, Ibu telah membuat kami jauh. Sejak mulai sekolah, Ibu mulai memperlakukan Mayang persis seperti Mbak Laras. Aku tak lagi boleh tidur bersamanya atau menemaninya makan. Ibu tak membolehkanku mendekatinya. Bahkan hanya untuk berbagi cerita dengannya, Ibu melarangku. Perasaan perih karena tersisihkan selalu menyergapku. Aku ingin sekali ikut lebur dalam canda dan obrolan mereka. Aku tak keberatan melakukan semua pekerjaaan rumah sendiri, asalkan diperbolehkan ikut berbagi dalam riuh tawa mereka.

Namun, cukup dengan pelototan mata Ibu, aku harus menyingkir jauh-jauh ke dapur, tempat yang nyaris tak terjamah oleh mereka. Bahkan, mendengar canda mereka dari jauh pun, aku tak boleh. Terkadang, sambil mengerjakan cucian piring yang menumpuk, aku menangis. Berharap aku tak pernah lahir di tempat itu, oleh wanita yang entah mengapa tak pernah menyukaiku. Bahkan, sekali waktu Mayang tergerak membantuku membereskan rumah, Ibu mendampratku dan menuduhku telah menyuruh Mayang untuk bekerja. Sejak itu, setiap kali bertemu, Mayang menghindariku.

Aku belajar menempatkan diri di tempat Ibu menginginkanku. Aku memang hanya pengasuh bagi Mayang, ketika masih kecil. Tak kurang dan tak lebih. Hubungan kami mulai membaik, setelah aku mulai bekerja. Aku sesekali meneleponnya, menanyakan kabarnya. Kusadari bahwa sikapnya terhadapku semata-mata hanyalah karena Ibu. Sesekali aku mengajaknya keluar untuk makan atau nonton saat aku gajian. Tetapi, menurutku, ia gadis yang amat tertutup. Ataukah, karena tak biasa berhadapan denganku, si Upik Abu?

Dulu, setiap kali membayangkan pengalaman hidupku bersama Ibu dan saudara-saudaraku, aku selalu berurai air mata. Kini keadaan jauh berbeda. Mas Endi telah mengajariku tentang mengikhlaskan segala sesuatu. Termasuk, ikhlas menerima perlakuan Ibu dan ikhlas karena tak pernah memperoleh tempat yang sejajar di antara saudara-saudaraku.

Hari ini kuluangkan waktu untuk mencari Mayang. Pagi-pagi sekali aku naik angkutan umum ke kampusnya. Menurut informasi dari Mbok Surti melalui telepon, Mayang telah berangkat beberapa menit sebelum aku menelepon. Mbok Surti tak bisa memastikan ke mana Mayang pergi. Tetapi, aku mengira-ngira, di pertengahan semester begini pasti Mayang mempunyai jadwal ujian tengah semester yang padat.

Aku keliru. Setelah mengelilingi fakultas ekonomi yang padat mahasiswa, bertanya ke sana kemari, aku menemukan kenyataan amat mencengangkan dari seorang anak muda berambut kriwil. Dia menerangkan, Mayang semester ini mengambil cuti kuliah. Ia menyarankan aku mengecek kebenaran berita tersebut ke kantor administrasi fakultas, meski wajahnya menyiratkan tanda tanya, ketika aku memperkenalkan diri sebagai kakak Mayang.

*****

Aku pulang dengan lesu. Hari ini aku langsung pulang, karena semalam mertuaku menyanggupi untuk menjemput Hauzan. Hingga tukang ojek berhenti di depan rumah, mataku menemukan pagar rumah terbuka lebar. Ada Mayang tengah menungguku di teras.
Aku memeluk dan mencium kedua pipinya dengan hati tak menentu. Setengah gembira, setengah khawatir. Segera kuajak ia masuk, kurasakan ia mengikuti langkahku dengan canggung.

“Dari mana, May?“

Ia tak segera menjawab. Ia mengambil tempat di sofa hijau yang sudah layak ganti kulit, lalu tersenyum kecut. Aku duduk di sisinya. Mataku melirik ke arah perutnya.

“Gimana kabarmu? Mbak sudah lama tidak melihatmu.“
”Baik, Mbak,” jawabnya, nyaris berbisik.
Aku tersenyum. ”Syukurlah. Minggu lalu Mbak ke rumah Mbak Laras, tetapi kamu tidak ada. Mbak kangen ingin ketemu kamu....”

Ia menatapku. Entah apa arti tatapannya, tetapi matanya mendadak berkaca-kaca. Aku serba salah. Aku ke dapur dan membuat segelas teh manis. Otakku berputar mencari pertanyaan yang harus kutanyakan kepadanya. Tetapi, begitu teh manisku selesai, aku justru makin gugup.

”Tidak kuliah, May?” aku mencoba membuka percakapan. ”Bagaimana? Tahun ini sudah bisa jadi sarjana, ’kan?”
Mayang menggeleng.
”Harusnya kamu sedang mengerjakan skripsi, bukan? Ada kesulitan? Ada yang bisa Mbak bantu?”

Lama sekali Mayang terdiam. Jarinya sibuk memilin-milin ujung rok selututnya. Aku mengamatinya dengan seksama. Ia tampak agak kurus dari terakhir kali yang kulihat.

”May...,” aku menyentuh lengannya. Ia tersentak. Matanya menatapku ragu. Seketika perasaan cemas menyergapku. Mungkinkah yang dikatakan Mbak Laras benar adanya?
”Mengapa Mbak begitu baik?”

Aku terkejut. Antara ingin tersenyum, tetapi tak mengerti maksud pertanyaannya. Sebuah pertanyaan yang sederhana, tetapi entah mengapa begitu sulit kutemukan jawabannya. Ya, mengapa aku bisa begitu baik pada Ibu dan Mbak Laras yang sering tak menghargaiku?
Mayang menatapku serius, seperti mengharap jawaban yang segera. Aku tak pernah merasa begitu baik. Apa yang kulakukan rasanya semuanya wajar saja. Tak dibuat-buat.

”Mbak pasti sudah mendengar dari Mbak Laras tentang keadaanku yang sebenarnya.”
Aku memasang telinga baik-baik.
”Mbak tadi mencariku? Adi yang bilang.” Adi? Pasti anak muda berwajah bocah yang punya rambut kriwil itu.
“Maafkan Mbak, ya? Mbak tidak tahu harus mencarimu ke mana. Telepon Mbak tidak pernah kamu angkat. Mbak khawatir....”
”Mbak tidak salah apa-apa,” ujar Mayang, lirih.
”Tetapi, Mbak sudah sok tahu, mau ikut campur urusanmu.”
”Urusanku adalah urusan semua orang, Mbak.” Mayang tersenyum kecut. Nada suaranya pesimistis. ”Urusan Mbak Laras dan Ibu tepatnya.”
”Mereka berdua terlalu sayang padamu,” dengan tenang aku berusaha meluruskan.
”Benarkah?” Senyum Mayang berubah sinis. “Mbak Laras dan Ibu hanya sayang pada diri mereka sendiri.“

Sedih sekali terdengar. Tetapi, itulah kenyataannya. Aku yang setengah mati menunjukkan kepada mereka bahwa aku cukup berharga. Tetapi, sampai detik ini, pengakuan itu tak juga kuperoleh.

”Kau tahu, Mbak Dewi dulu sering begitu lelah hidup dengan mereka. Tetapi, seburuk apa pun mereka, mereka tetap bagian hidup Mbak Dewi yang harus Mbak Dewi syukuri. Bukan berarti karena mereka tak pernah bisa seperti yang Mbak harap, lantas Mbak harus benci mereka. Bukan begitu, May....”
”Andai aku bisa setulus Mbak Dewi,” ujar Mayang, menatapku dengan sorot mata tak bersemangat.
Kusentuh jemarinya.
”Aku hamil, Mbak.” Kali ini Mayang menatapku tepat di kedua bola mataku. ”Mbak sudah dengar dari Mbak Laras, ’kan?”
Aku mengangguk. ”Dengan siapa, May?”
Mayang tersenyum, tapi wajahnya muram.
”Kalau kau bersedia menceritakan, Mbak akan mendengar.”
”Mbak pasti membenciku setelahnya.”
Mayang membuang pandangannya jauh ke luar pintu. ”Aku malu, Mbak. Aku mau aborsi saja.”

Aku mendekat, ingin merengkuh tubuhnya, ingin memeluknya. Tetapi, ia menepiskan kedua tanganku. Cepat-cepat dihapusnya air mata dengan kasar.

”Mbak mau membantuku mencari orang yang bisa menggugurkan kandunganku?”

Ganti aku terdiam. Setelah beberapa tarikan napas yang kurasa teramat berat, kukuatkan diriku untuk tersenyum. Kubelai rambut Mayang yang panjang sebahu. Hitam legam, cantik sekali berpadu dengan kulit putihnya.
Kalau boleh Mbak tahu..,” aku berkata hati-hati, ”Siapa yang menghamilimu...?”
Mayang menggeleng pelan.
”Memang hakmu untuk tidak menceritakan yang sebenarnya. Tetapi... bagaimana Mbak bisa membantu menyelesaikan masalah ini kalau kau tidak mau cerita? Mbak harus tahu, siapa pria itu, lalu kita bicara dengannya untuk segera menikahi....”
”Aku tidak mungkin menikah dengannya!” suara Mayang terdengar pilu.
”Mbak tidak mengerti. Kau tidak ingin menikah dengannya? Mengapa? Kau tidak mencintainya?”
Mayang menggeleng. ”Bukan itu. Aku takkan bisa....”
”Takkan bisa apa?”
”Aku takkan bisa bersamanya. Kami takkan mungkin bisa....”

Aku masih diliputi banyak pertanyaan, tetapi Mayang sudah terguncang-guncang dalam sedu sedan. Setelahnya, aku tak sempat lagi bertanya, karena kedatangan ibu mertuaku setelah menjemput Hauzan pulang sekolah. Mayang segera kuungsikan ke kamar tamu. Aku berjanji akan menemaninya mengobrol setelah urusan dapur selesai.
Namun, usai melakukan salat lohor, ibu mertuaku memberi tahu bahwa Mayang telah pergi. Terburu-buru sekali kelihatannya. Mayang hanya menitipkan pesan bahwa ia akan meneleponku nanti.

Sepanjang hari aku didera kegelisahan. Sampai putus asa aku mencoba menghubungi Mayang, tetapi ponselnya tidak aktif. Mas Endi yang kuhubungi berusaha menenangkanku. Ia minta agar aku tetap tenang. Ia juga berjanji akan menemaniku mencari Mayang di rumah Mbak Laras setelah pulang kerja.

Kami sampai di rumah Mbak Laras pukul tujuh lewat tiga puluh sekian. Tampaknya ada tamu, beberapa mobil terlihat berjejer rapi di halaman rumah Mbak Laras.
Tidak ingin merusak acara, aku dan Mas Endi masuk lewat belakang. Mas Endi memilih menunggu di kursi panjang di tepi kolam, sementara aku masuk ke dapur yang tampaknya sedang sibuk. Mbok Surti, Neneng, dan dua pembantu lain yang tampaknya masih baru, sibuk menyiapkan hidangan. Kehadiranku lagi-lagi nyaris membuat Mbok Surti terpekik riang.

”Ada tamu, Mbok? Siapa, sih?”
”Kurang tahu, Non,” sahut Mbok Surti seraya dengan sigap menyeduh secangkir teh untukku. ”Dengar-dengar, sih, calon besannya Ndoro Putri....”
”Calon besan Ibu?” Alisku bertaut. ”Memangnya anak Ibu mana yang hendak menikah?”
”Lho? Non Dewi ini,” Mbok Surti menyodorkan segelas teh yang masih mengepul, disusul Neneng menghidangkan beberapa stoples kue kering. ”Kan Mbak Mayang masih gadis. Gimana, sih?”
”Mayang mau menikah?”
Lagi-lagi Mbok Surti mengiyakan. ”Non Dewi tidak tahu?”

Aku menggeleng.

Bersambung#4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER