Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 23 Februari 2020

Ikhlas #4

Cerita bersambung
”Lalu, Mayang di mana, Mbok?”
”Nah itu dia. Dari tadi pagi tidak ketahuan dia ke mana. Apa menginap di rumah temannya, ya?” ujar Mbok Surti. Kuputuskan untuk memeriksa kamar Mayang. Aku menyelinap naik ke lantai atas. Kamar Mayang terletak di bagian belakang lantai dua, bersebelahan dengan kamar Ibu. Aku mendapati ruangan yang besarnya dua kali lipat daripada kamarku itu kosong.

”Kau mencari Mayang? Dia tidak di sini.”
Aku menoleh. Mbak Laras. Seperti biasa, ia memandangku tak ramah.
”Mengapa ke sini mencarinya? Bukankah tadi pagi dia sudah ke rumahmu?” Mbak Laras berjalan lambat mengelilingi kamar Mayang, seraya matanya mengamati setiap benda yang ada di ruangan tersebut secara bergantian.

”Dasar gadis tidak tahu diri!”
”Maksud, Mbak?”

”Kurang apa lagi yang aku berikan selama ini kepadanya? Bahkan sejak kuliah, dia bebas membawa mobil ke kampus. Aku tak habis pikir....”
”Mbak sudah menemukan orang yang menghamilinya?”
Matanya mendelik. ”Tak usah lagi kau pusing soal itu,” katanya kemudian, dengan nada memerintah. ”Aku sudah menemukan orang yang mau jadi suaminya.”
”Orang yang menghamilinya?”
Mbak Laras menggeleng. Raut wajahnya keruh.
”Kau tak perlu tahu. Dia masih keluarga Mas Dewo.”
Aku makin bingung. ”Pria mana yang mau menikahi Mayang yang sedang hamil?”

Mata Mbak Laras melotot padaku. Ditutupnya pintu kamar Mayang segera. Dan, setengah berbisik, ia berkata, ”Ssst... mereka tidak tahu bahwa Mayang hamil....”

Aku menarik diri, duduk di sofa merah kecil di sudut ruangan dan menarik napas. Ada apa lagi ini?
”Mayang sudah setuju?”
”Setuju atau tidak, dia tetap harus menurut. Ini semua demi kebaikannya.”

Benar kata Mayang, hidupnya adalah urusan Ibu dan Mbak Laras. Aku malah ragu Mayang sudah mengetahui tentang rencana ini.

”Mengapa harus begini, Mbak? Bukankah tidak adil bagi Mayang untuk menikah dengan pria yang tidak dicintainya?”
”Adil? Keadilan apa yang kau harapkan untuk orang yang tidak punya harga diri, perusak rumah tangga orang?” nada suara Mbak Laras meninggi.
”Perusak rumah tangga orang?”

Mata Mbak Laras menatapku geram. ”Pria itu sudah beristri. Kau sudah sadar betapa bodohnya adik kesayanganmu itu?”

Aku kehilangan kata. Aku teringat pertemuan dengan Mayang tadi pagi. Aku takkan mungkin bisa bersamanya. Kami takkan mungkin bisa....

”Aku hanya ingin masalah ini cepat selesai,” ujar Mbak Laras, terdengar mirip sebuah keluhan. Wajah cantiknya terlihat lelah. ”Yang penting keluarga ini terhindar dari cemoohan orang.”
”Lebih baik malu daripada menipu orang lain, Mbak,” aku mencoba menyentuh hati Mbak Laras.
”Cukup!” bentak Mbak Laras, membuatku ciut. ”Kau sudah makin pintar rupanya! Kau pikir aku tak memikirkan semua ini baik-baik? Kita tidak punya pilihan lain. Suka atau tidak, Mayang harus bersyukur aku masih mau mengurusinya, menutup aibnya dari Ibu, menyelamatkan hidupnya dari kehancuran. Dia beruntung aku masih mau menganggapnya adik.”

Aku tak bisa bicara. Ya, di satu sisi aku kurang setuju pada tindakan Mbak Laras. Di sisi lain, aku sepertinya membenarkan bahwa keputusan kakakku ini akan menyelamatkan hidup Mayang, bahkan mungkin harga diri Ibu.
Aku beranjak pergi. Seperti biasa, aku tak punya harapan sedikit pun untuk bisa menentang Mbak Laras. Jelas sudah posisiku kini. Aku tak seharusnya ikut campur.

Ketika hampir mencapai tangga, mataku tertumbuk pada Mas Dewo yang duduk termenung di ruang kerjanya yang pintunya separuh terbuka. Ia tak melihat kehadiranku. Sebotol minuman keras berdiri tegak di atas meja. Sejenak langkahku terhenti. Aku sebelumnya tak pernah tahu bahwa Mas Dewo suka minum minuman keras. Dari cerita-cerita Ibu, setahuku Mas Dewo adalah pria yang rajin beribadah.
Atau, memang seperti itu tuntutan gaya hidup orang kaya? Mengapa ia tidak hadir di ruang bawah menyambut tamu-tamu yang datang meminang Mayang? Masalah apa yang tengah dihadapinya?

Malam itu, aku pulang dengan perasaan hampa. Kepalaku nyut-nyutan karena tak bisa memecahkan persoalan Mayang, berikut sikap Mbak Laras. Dan, meski ada Mas Endi setia di sisiku, aku tetap merasa kosong. Lagi-lagi, aku merasa bukan siapa-siapa.

Hari ini ujian tengah semester dimulai. Ada hal penting lain yang menyita perhatianku. Nilai-nilai Raka, anak Mbak Laras, tak kunjung membaik. Aku khawatir jika di ujian bahasa Inggris besok, ia mulai berulah lagi. Ya, aku tak percaya bahwa ia benar-benar tak mampu dalam pelajaran ini.

”Raka!” Langkah anak laki-laki berwajah tampan yang mewarisi wajah ayahnya itu terhenti. Ia melirikku tanpa minat, lalu berjalan mendekat setelah kulambaikan tanganku.

”Nanti selesai ujian jangan langsung pulang, ya? Ada yang Ibu mau tanyakan.”
”Tentang apa? Bukan soal Tante Mayang, ’kan?”
”Memangnya kenapa?” Aku menatapnya bingung tak paham. Tapi, Raka segera berlalu meninggalkanku. Ia tampak kesal.

Pulang sekolah aku menunggunya di kantin. Kami memang jarang berkomunikasi, karena Raka tergolong anak yang tertutup. Ia pun jarang memanggilku dengan sebutan ’Tante’.

Raka duduk mengambil tempat di depanku. Kutawari minuman, tetapi ia menggeleng. Wajahnya kusut. ”Ada apa, sih, Bu?”
Aku tersenyum. Terkadang aku geli mendengarnya memanggilku dengan panggilan ’Bu’, mengingat ia keponakanku. Kuteliti wajah tampannya. Sinar matanya redup, seperti kurang tidur.
”Nilai-nilaimu berantakan. Boleh Ibu tahu mengapa? Kau mau, Ibu memberimu privat bahasa Inggris di rumah? Sayang kalau nilaimu terus-menerus begini....”
“Memangnya Ibu mau ke rumahku?” Raka balik bertanya. “Ibu tidak bosan jadi bulan-bulanan Nenek? Nenek tidak suka Ibu.”
Aku terperangah. ”Kau tahu dari mana?”
Kening Raka mengernyit. ”Ibu tidak merasa?”
Aku menggeleng. Ya, aku berdusta!
”Nenek cuma sayang pada ibuku dan Tante Mayang. Tetapi, Nenek salah. Sebenarnya, cuma Ibu yang baik. Yang lainnya palsu.”
”Kau bicara apa? Tidak pantas seorang anak berbicara tentang keburukan orang tua.”

Di mataku, hari ini ia tampak seperti seorang pria dewasa dalam seragam anak sekolah menengah. Aku menduga wataknya lebih keras dibanding ibunya. Aku tak pernah terlalu dekat dengannya, karena memang tak pernah ada kesempatan untuk itu. Tetapi, yang kuketahui sepanjang ini, ia anak yang baik.

”Tidak perlu pintar untuk jadi orang baik. Kadang-kadang orang yang terlalu pintar, tidak baik.” Kali ini Raka membuatku berusaha menebak usianya saat ini. Aku jadi khawatir melihat gaya bicaranya.
”Ibu dan ayahmu pasti kecewa kalau....”
”Mereka lebih mengecewakan,” tuding Raka, cepat. Wajahnya kini tanpa ekspresi.
”Kau tak mau seperti ayah ibumu? Sukses, banyak uang, terkenal.”
Raka tertawa. Sinis.
”Orang tidak tahu siapa mereka.”
Aku menatapnya tak mengerti.

”Mereka yang kita lihat bukan mereka yang sebenarnya,” lanjutnya dan mulai berbisik, ”Ayahku tidur dengan perempuan....” Ia berhenti sejenak seperti sedang berpikir mencari kata-kata yang tepat sebelum melanjutkan, ”Perempuan yang sebenarnya tak pantas untuknya. Dan ibuku.... juga punya simpanan. Seorang lelaki muda. Lelaki yang masih sepupu ayahku, tetapi ia sama sekali tak tahu.”

*****

Rasanya seperti tertohok tepat di ulu hati. Kaget sekaligus sakit. Benarkah yang baru saja diucapkan Raka? Separah itukah? Bukankah selama ini Mas Dewo dan Mbak Laras pasangan yang amat rukun? Atau anak muda ini yang sedang ngelantur, seperti ketika ia menjawab soal-soal bahasa Inggris yang aku berikan dalam ujian?

”Tidak lama lagi aku akan punya adik.” Raka berdiri. Matanya menatapku penuh arti.

Sore ini akan jadi sore tak terlupakan seumur hidupku. Sebuah undangan merah jingga sampai ke tanganku lewat pos. Undangan pernikahan Mayang dengan pria bernama Indra. Undangan pernikahan adik kandungku sendiri yang kuterima dari pak pos. Aku duduk di teras dan termenung untuk beberapa saat. Begitu besarkah kebencian Ibu dan Mbak Laras sehingga mereka tega memperlakukanku seperti ini?

Hingga satu hari sebelum tanggal pernikahan Mayang, aku belum memutuskan apakah aku ingin menghadiri pernikahan tersebut atau tidak. Mas Endi tidak membujukku sama sekali. Agaknya kesabarannya pun nyaris habis. Tapi, lagi-lagi hati kecilku menentang. Ibu tetaplah Ibu. Orang tua yang sudah mengandung dan melahirkanku.

Sampai hari yang ditentukan tiba, pagi-pagi sekali aku mendengar dering telepon dari ruang tengah. Kuangkat gagang telepon dengan tak bersemangat.

”Kau tidak datang?”
Aku terkesiap. Mbak Laras!
”Tidak tahu, Mbak. Apa penting aku ada di sana?”

Lama tak terdengar suara di seberang. Cuma desahan berat, kemudian disusul suara yang agak parau. ”Itu ide Ibu. Aku sebenarnya mau mengantarkan undangan itu sendiri ke sana, tetapi kata Ibu....”
”Aku tak perlu undangan, Mbak!” Mendadak aku ingin menangis. ”Sebenarnya aku ini siapa, Mbak? Saudaramu atau bukan? Anak Ibu atau bukan? Kakak Mayang atau bukan?!”

Lama tak terdengar suara. Entah bagaimana ekspresi Mbak Laras saat ini. Entah bagaimana perasaannya.
”Tak usah dibesar-besarkan. Kau adikku, anak Ibu sekaligus kakak Mayang. Aku minta maaf soal itu. Kau bisa datang, ’kan?”

Maaf? Semudah itu? Aku hanya seorang lemah tak berdaya! Kututup telepon dengan pelan. Mas Endi mematung di sisiku. Aku tahu, ia telah kehabisan nasihat untukku. Harga dirinya pun mulai tersakiti.

”Kau boleh tidak pergi, jika tidak ingin,” ucap Mas Endi kemudian, seraya tangannya membelai halus rambutku. ”Sudah saatnya mereka sadar akan sikapmu. Mereka pun harus belajar mengerti dirimu.”

"Aku tak tahu kegilaan apa yang telah merasuki diriku. Cinta adalah anugerah, tetapi cinta yang kurasakan kali ini adalah malapetaka. Cinta yang takkan mungkin menjelma menjadi kenyataan manis. Cinta yang berbalas, tetapi tak mungkin bersanding. Tuhan, kalau boleh aku ingin jatuh cinta pada orang lain, selain dia...."
Aku membaca dengan seksama kata demi kata, tulisan tangan Mayang dalam buku harian yang dititipkannya pada Adi. Tadi sore, sahabat Mayang itu datang dan memberikan buku itu tanpa berucap sepatah kata pun. Malam ini, di malam pernikahan Mayang, aku menyendiri di teras depan.

Mencintai tidak harus memiliki, itu yang diucapkannya berulang-ulang. Ia amat bahagia bisa mencintaiku dan sebaliknya. Ia ingin aku merasakan kehadirannya kini dan tak risau akan hari esok yang jelas-jelas bukan milik kami. Oh, sungguh malangnya aku.... Setiap detik bersamanya begitu membahagiakan sekaligus mencemaskanku. Jika esok semuanya harus berakhir, apa yang akan terjadi padaku? Bagaimana aku bisa melupakannya? Sementara hatiku telah kuberikan utuh padanya.

Aku menahan napas. Tiap goresan tangan Mayang menyiratkan kepedihan.

Terlalu bodoh mungkin, semua yang telah aku lakukan. Demi membuktikan cintaku, aku akhirnya takluk pada dosa. Aku tak sanggup kehilangannya. Aku tak sanggup setiap kali melihatnya bersama wanita itu. Wanita yang sebenarnya dengan diam-diam telah kukhianati. Hatiku sakit. Sampai kapan pun aku takkan bisa menyamai wanita itu, ia terlalu sempurna untukku.

Aku teringat percakapan dengan Mbak Laras beberapa minggu yang lalu di kamar Mayang. Benar, Mayang terjebak dalam cinta pria yang telah menikah.

Aku harus menghentikan semua ini. Sia-sia dan begitu melelahkan. Aku takkan pernah memenangkan hatinya.
Dan... wanita itu telah menemukanku bersamanya. Apa yang harus kulakukan kini? Hidupku ada di tangannya....

Aku makin penasaran. Segera kubalik halaman berikutnya.

Aku sudah jauh berlari, tetapi entah mengapa aku ingin sekali kembali. Merasakan pelukannya, mendengar suaranya yang menenteramkan. Tuhan, tolong aku.... Kalau saja aku bisa menjadi miliknya.... Kalau saja makhluk kecil dalam diriku ini bisa membuatnya kembali padaku.... Tetapi, wanita itu akan membunuhku, jika itu sampai terjadi.

Aku menahan napas.
Kubalik lembar berikutnya. Kosong. Halaman berikutnya, kosong lagi. Seterusnya, tak ada lagi tulisan tangan Mayang. Kuperiksa lembar per lembar dan di akhir buku itu kutemukan foto seorang pria yang nyaris membuat jantungku copot.

Gusti Alloh! Ini tidak mungkin....

Tengah malam lewat aku dibangunkan Mas Endi. Mbak Laras menelepon, mengabarkan tentang Mayang yang nekat melompat dari lantai empat di hotel tempat ia dan suaminya menginap. Saat ini kondisinya kritis.
Aku tak bisa menahan detak jantungku yang berdegup kencang sepanjang perjalanan ke rumah sakit dini hari itu. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kupanjatkan doa memohon keselamatan Mayang.

Di pintu rumah sakit, kami disambut oleh Mas Dewo. Perasaan asing tiba-tiba menyergapku, ketika ia menyapaku. Mbak Laras terduduk lemas di kursi tunggu di depan ruangan gawat darurat bersama seorang pria muda yang kuduga adalah suami Mayang. Kucari sosok Ibu, tetapi tak kutemukan. Di ruangan itu hanya ada kami berlima, dan dua orang suster jaga.

”Mbak....”
Aku terkejut. Mbak Laras bangkit dan menyongsongku, memelukku, dan terisak-isak, seperti anak kecil yang kehilangan ibu. Aku canggung. Bingung harus berbuat apa. Seumur-umur, ia tak pernah memelukku seerat ini. Pun pada saat kematian Bapak.

”Bagaimana keadaan Mayang?” tanyaku.
Tangis Mbak Laras makin menjadi-jadi. Aku terpaksa membiarkan badanku sakit, karena pelukannya yang terlalu erat. Perasaanku campur aduk dibuatnya. Tak pernah sekali pun kulihat ia selemah ini. Mbak Laras adalah wanita paling angkuh yang pernah kukenal dalam hidupku. Ia pantang menangis untuk hal apa pun.

Seorang pria berseragam putih keluar dari ruangan gawat darurat diiringi dua perawat. Mas Dewo segera menyongsong pria itu dan berbicara padanya sebentar.

Dan, Mas Dewo tertunduk dalam. Suami Mayang terlihat membelalak di sampingnya. Apa yang terjadi? Kulihat Mas Endi pun berubah air wajahnya.

Dokter berikut dua orang perawat tersebut kembali masuk ke dalam ruangan. Indra, pria malang yang belum 24 jam menjadi suami Mayang, mengikuti langkah Mas Dewo dengan tidak sabar.

”Mas! Apa maksud dokter tadi? Kandungannya tidak bisa diselamatkan? Mayang hamil??”
Mas Dewo tak menjawab. Mbak Laras yang telah berhasil tenang, segera kuajak duduk.
”Mas, jawab aku! Jangan bilang Mas tidak tahu masalah ini!” Indra mencecar Mas Dewo. Dari Mas Endi kuketahui bahwa Mayang dalam kondisi koma, tulang kepalanya retak dan kandungannya tak terselamatkan. Ia mengalami perdarahan hebat.

”Mas?! Bagaimana ini? Aku minta penjelasan kalian berdua. Pantas aku dipaksa melaksanakan pernikahan secepatnya. Kalian pasti sudah tahu tentang kondisi Mayang. Betul, ’kan?”

Mas Endi berdiri menenangkan Indra. Mbak Laras menunduk tak berani memasang wajahnya. Suara bisik-bisik suster jaga yang kini bertambah menjadi lima orang, terdengar mengganggu.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER