Cerita bersambung
Setiap bulan diadakan acara arisan keluarga. Bukan untuk silaturahmi, melainkan ajang untung mamerkan barang branded milik mereka. Dan aku benci itu. Tapi, mau tidak mau aku harus turut serta di dalamnya. Arisan kali ini diadakan di rumah orang tua Risma yang dihadiri semua keluarga dari kakek konglomeratnya.
"Mas, ganti dong bajunya. Minggu lalu sudah dipakai di acara kantormu." ia sering mengomentari pakaian yang kukenakan.
"Kan yang paling baru cuma ini. Mau diganti pakai apa?" sanggahku
"Makanya rajin-rajin beli pakaian. Sampai di rumah orang tuaku, bajumu yang paling jelek" mau beli pakai apa, syukur-syukur kalau ada sisa untuk beli bensin dan uang makan di luar.
"Kan uangnya semua kamu yang ambil. Gimana cara belinya?" Ucapku.h
"Ngasih duit cuma segitu, tapi dihitung-hitungnya berkali-kali. Uang dua puluh juta yang sudah dipotong sebagian untuk kebutuhan rumah dan bayar pembantu, kau pikir cukup? Uang jajan waktu kuliah saja jauh lebih banyak. Menyesal aku nikah sama kamu!" seketika remuk harga diriku. Orang tua jarang kuberi nafkah, sedang istri yang amat kukasihi tidak menghitung apa yang telah kuberi.
Diperjalanan menuju rumah mertuaku, dia hanya terdiam sambil menatap layar telepon genggamnya. Ribuan pertanyaan yang kuberi, tak satupun yang dijawab. Setibanya kami, keluarga sudah berkumpul di ruang tengah. Luasnya bisa menampung seratus orang lebih. Entah berapa kali aku tersesat saat masuk ke rumah ini. Sangat luas dengan arsitektur modern menambah kesan mewah disetiap sisi.
"Aduh, anak mama. Rindunya!" Dia ibu mertuaku, yang sindirannya kadang bahkan sering sampai ke hati.
"Kenapa kau terlihat pucat begitu? Seperti tidak terawat. Anak mama. Kasian :(" Setiap waktu ke salon, tapi masih dibilang tidak terawat.
"Ayo ke sana, keluarga besar sudah menunggu" terlihat silau di mana-mana. Cincin berlian yang tidak tahu berapa krat.
"Lagi bahas apa nih" sapa Risma pada kumpulan perempuan-perempuan yang tengah bergosip ria.
"Biasa, lagi bahas cincin berlian. Coba lihat punyaku, 3 milyar yang dihadiahi mas Andi untukku" raut wajah Risma berubah seketika saat kakak sepupunya bercerita soal hadiah. Siap-siap disembur saat di rumah nanti.
"Wah kebetulan, kemarin mas Ibam suamiku juga menghadiahi berlian, tapi ukurannya lebih besar daripada punyamu. Tapi lupa kupakai." apa-apaan si Risma itu, padahal aku sama sekali tidak beli apa-apa kemarin.
" Ibam, kulihat di postingan instagrammu, bukannya baju itu yang kau pakai di acara kantor? Risma, bajumu bagus, tapi jangan lupa suami dong! Hahaha" Wajah Risma seketika memerah menahan malu saat kakak sepupunya yang lain juga ikut bicara.
Ibu mertua memberi kode untuk mengajakku ke teras rumah. Di situ ada Ayah mertua juga.
"Ibam, kamu itu bisa tidak sih menghidupi istrimu, tiap bulan ibu kirim uang belanja untuk Risma karena ia mengadu gajimu hanya dua puluh juta. Seharusnya kau berusaha memberi yang lebih untuk anakku. Bukan cuma mengandalkan upah bulanan yang tidak seberapa itu." perlahan tapi pasti, ucapan ibu mengikis rasa percaya diriku.
"Tapi, Bu. Sudah sepuluh tahun menikah, serupiah pun tidak ada yang disimpan. Bagaimana bisa memberikannya hadiah" sanggahku.
"Anakmu memang yang terlalu boros. Masa gaji segitu tidak disyukuri. Ingat, Bu. Dulu diawal menikah Ayah susah payah di sepuluh tahun pertama. Apalagi orang tuamu sempat tidak merestuiku jadi menantunya. Mereka juga diam-diam sering mengirimkan uang belanja untukmu." Kalimat pengingat yang tidak diterima ibu mertuaku.
"Tapi kau yang terbiasa hidup enak, diturunkan ke anak-anak. Kau biasakan mereka hidup manja dan serba mewah. Sehingga tumbuh menjadi orang yang tidak bisa menghargai yang sedikit" Ayah mertua memang selalu jadi penolong saat semua orang menyerangku. Mendengar itu, ibu meninggalkanku di teras berdua dengan Ayah mertua.
"Sabar yah, ibumu memang begitu!" ucap ayah sambil menyodorkan sebatang rokok di atas meja.
"Aku sudah berhenti merokok, Yah!"
"Ibumu itu, seandainya bukan komitmen dan cinta, mungkin kami sudah berpisah ditahun pertama. Orang tuanya sering menuntut hal yang sulit kulakukan. Tugasmu sekarang hanya bersabar. Tuntun dia jadi istri solehah. Maafkan ayah yang tidak becus mendidik putri bungsuku itu." tenang sekali rasanya mendengar itu dari Ayah mertua. Setidaknya aku tidak sendiri.
"Semenjak menikah, berpuluh tahun lamanya selalu diadakan acara seperti malam ini, dan Ayah lebih senang menghabiskan waktu di tempat sepi daripada masuk bergabung mendengarkan harga berlian" timpalnya lagi.
***
"Kubilang juga apa. Kau betul-betul memalukan!" kalimat yang berulang kali diucapkan setelah pulang.
"Bagaimana mau membeli baju baru lagi kalau tiap bulan semua kebutuhanmu tidak bisa dikurangi. Malah terus-terusan bertambah. Lagipula aku nyaman dengan baju ini." membuatnya semakin marah.
"Aku menyesal menikah sama kamu!" dibantingnya pintu kamar dan menguncinya dari dalam.
==========
#Bertengkar hebat
"Sayang, buka dong pintunya. Sudah pagi ini. Bajuku semua ada di dalam. Nanti kalau telat bagaimana?" berkali-kali kuketuk pintu dan membujuknya agar bisa masuk dan akhirnya meluluh juga. Sekadar membuka pintu, tapi tak mau menatap ke arahku.
"Tolong bikinkan sarapan, yah. Hari ini semua pembantu izin mudik." sengaja kuberi libur para asisten rumah tangga semalam. Aku ingin menguji bagaimana perlakuan istriku jika tak ada yang bisa diharapkan mengurus segala kebutuhan rumah tangga.
"Selama kau tidak bisa memberi apa yang kubutuhkan, jangan harap bisa mendapat perlakuan khusus!" bentaknya.
"Risma, kurang apa lagi suamimu ini? Hampir selama kita menikah, belum cukup sepuluh kali kau melayani suamimu di meja makan. Jangan ditanya menyiapakan pakaian kantor, nyaris tidak pernah. Tapi tuntutanmu setiap hari betul-betul keterlaluan. Sepuluh tahun sudah aku berusaha memaklumi, tapi kau justru semakin melunjak." Sabar memang tak berbatas, namun porsi sabarku hanya sampai disini.
"Siapa yang menyuruhmu menikahiku, yang paksa menikah dengan perempuan keturunan konglomerat siapa? Hah!" biasanya mendengar Risma seperti itu, nyaliku menciut, tapi kini tidak lagi.
"Baik, mulai sekarang semua terserah kamu. Mau tinggal atau keluar dari rumah ini. Terserah! Aku betul-betul muak dengan tingkahmu itu!" Wajah istriku seketika panik mendengar ucapanku. Baru kali ini aku semarah itu.
Kutinggalkan ia di kamar dengan ekspresi tidak habis pikir.
***
"Pak, Ibam, tumben wajahnya kusut seperti itu" memang sulit menyembunyikan rasa jengkel di rumah tadi. Anita menyapa disaat yang tepat. Saat hatiku butuh dihibur.
"Sudah sarapan, Pak? Kalau belum, ayo kita makan bareng. Dengan teman-teman yang lain juga. Kebetulan tadi subuh sengaja kubuat sarapan yang agak banyak untuk dibagi ke teman kantor" Ada sedikit pengharapan agar Risma bisa melakukan hal yang sama. Kusuap sedikit demi sedikit, rasanya benar-benar nikmat. Andai istriku seperti Anita. Astagfirullah. Lagi-lagi setan mulai merasukku. Tapi sampai kapan aku bisa menjaga hati jika kelakuannya tak berubah sedikitpun.
"Terima kasih, yah. Rasanya enak!" kubalas semangkuk bubur dengan senyuman seadanya. Semoga hati selalu terjaga dari godaan berselingkuh.
Seharian aku tidak berkonsentrasi dalam bekerja. Pikiranku hanya tertuju pada nasib yang semiris ini. Orang tuaku hampir tak bisa menikmati seperserpun gajiku, sedang istri yang berusaha kunafkahi lahir batin, tak tahu berterima kasih.
Setelah jam pulang kantor, aku melihat Anita sedang menunggu angkutan umum. Lagi-lagi aku takjub. Gajinya yang lumayan tinggi, tak serta merta membuatnya congkak. Ia lebih memilih angkutan umum daripada mobil pribadinya karena ingin berbagi pada sesama dan mengurangi angka kemacetan kota. Sungguh mulia dia.
"Mau pulang bareng?" kuberanikan diri mengajaknya pulang karena sedsri tadi angkot tak satupun yang melintas. Apalagi sebentar lagi petang dan hujan, bahaya gadis jalan sendiri.
"Tidak usah, Pak. Terima kasih!" ucapnya menolak halus.
"Ayo, tidak usah sungkan. Kan rumah kita sejalur. Ayo, sebentar lagi petang juga akan hujan deras." sedikit memaksa akhirnya ia setuju.
Salahkah jika ada sedikit rasa takjub melihat gadis yang tengah duduk bersamaku di atas mobil?
"Kenapa belum menikah?" tanyaku.
"Belum dapat jodoh, Pak!" gadis sepertinya yang nyaris sempurna ini belum dipinang siapapun, andai.... Astagfirullah. Ada apa dengan pikiranku
***
Setiba di rumah dan memarkirkan mobil, tiba-tiba Risma muncul dari arah dalam. Dia yang membuka pintu.
"Tumben!" ucapku dalam hati. Iya, memang tidak seperti biasanya. Ia lebih dulu pulang daripadaku. "Mas, kau capek?" ia tersenyum manis sekali, tapi rasa jengkelku masih mendominasi.
"Bukan urusanmu!" jawabku.
"Kau masih marah?" tanyanya kembali
"Apa pedulimu!" kuucapkan kemudian berlalu membiarkannya sendiri di depan pintu.
Bersambung #3
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Selasa, 14 April 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel