Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 13 April 2020

Istri Boros #1

Cerita bersambung
Oleh : Febriani Kharisma

Selama sepuluh tahun pernikahan, bisa dihitung jari berapa kali kusantap makanan yang dimasak istriku. Itupun hanya membeli seafood lalu digoreng seadanya. Kalaupun dibumbu, ia hanya menggunakan bumbu instan yang dibeli di supermarket. Bukan hanya itu, hampir sepulang kerja dia tidak di rumah.

Kami belum dikaruniai anak, jadi mungkin itu alasannya tak betah sendirian saat aku tengah bekerja di kantor. Sehingga hampir setiap bulan gajiku yang dua puluh juta tidak cukup untuk dipakai berfoya-foya.

Kami punya dua orang pembantu. Satunya untuk membantu memasak dan satunya membersihkan rumah serta mencuci pakaian. Jadi bisa dikatakan istriku Risma hidup dengan sangat layak.

Kadang iri dengan istri saudara atau rekan-rekan kerjaku. Walaupun gaji seadanya, tapi raut wajahnya tak nampak kesusahan. Setiap hari dibuatkan bekal untuk dibawa ke kantor. Sederhana memang, tapi sangat kuidamkan.

Tak ada yang bisa kusesali dari kejadian ini. Aku sendirilah yang memilih untuk menikahi gadis dari garis keturunan konglomerat. Gaji yang fantastis di mata orang-orang, masih sering dikeluhkan olehnya.

"Mas, harusnya kah cari sampingan lain biar hidup kita bisa lebih baik lagi. Tidak malu dengan keluarga-keluarga lain. Setiap acara arisan, bajuku yang paling kuno" ucapnya
"Kuno? Baju sepotong begitu harga lima juta masih kuno?" tanyaku terheran-heran. Kalau yang begini kuno, bagaimana yang keren. Astaga.
"Iya, kuno. Baju kakak ipar dua puluh juta. Belum berlian, belum jam tangan, sendal, sepatu, dan masih banyak lagi barang mewah yang mereka pakai.

"Kalau kau tidak setuju, jangan salahkan aku kalau lelaki di luar sana ku beri celah untuk merusak rumah tangga kita" timpalnya.
"Istigfar, Mah!" jawabku.

Aku begitu mencintainya, tapi kalau terus-terusan begini, salahkah aku jika menaruh simpatik pada teman kantorku Anita? Dia perempuan yang sangat sederhana. Persis impianku di kala muda. Hanya jodoh yang mengantsrkanku bertemu Risma.

Setiap hari pakaiannya begitu sejuk dipandang mata. Tak ada blink-blink yang membuat mata rusak.
Aku terus-terusan beristigfar tiap kali perasaan itu bergejolak. Kucoba meyakinkan hati bahwa Rismalah satu-satunya perempuan yang ingin kutemui di surga nanti. Walau tak kunafikkan, Anita jauh lebih baik dari Risma.

"Bukannya kau sudah berjanji akan menafkahiku lahir dan batin?" Pernyataan yang selalu dilontarkan setiap inginnya tidak diiyakan.
"Baiklah, mungkin aku harus buka bisnis agar bisa mendapat penghasilan tambahan. Tapi bolehkan kupinjam uang simpanan kita dulu untuk modal?" tawarku.
"Simpanan apa? Sadar mas, gajimu tidak cukup untuk biaya setiap hari. Mana bisa disimpan?" jelas gaji duapuluh juta tidak cukup jika gaya hidupnya seperti orang yang berpenghasilan milyaran.

Kalau begini, aku harus bagaimana?

==========

Seperti biasa, aku lebih dulu tiba di rumah daripada Risma. Kemana lagi kalau bukan meet up dengan teman sosialitanya. Kumpulan para istri yang kebanjiran uang. Wajar saja istriku kelimpungan kalau pulang.
Biaya nongkrong di restoran mewah dan bertanding-tanding ingin membayar, membuat Risma sering mendesak setelah di rumah.

Mendesak agar uang yang kuperoleh lebih banyak daripada sekarang.
Ku cek sosial medianya, benar saja. Ia sedang asik makan malam di tempat para konglomerat. Segelas jus jeruk yang harganya ratusan ribu bahkan banyak minuman dibanderol jutaan rupiah. Sulit kujelaskan rasanya karena ketika kuteguk, otakku membayangkan isi dompet.
Lidahku yang terbiasa makan-makanan warteg, sulit beradaptasi dengan makanan kebarat-baratan. Beda dengannya yang terbiasa memakan keju yang tidak ada putusnya. Keju apa lagi? Mozarella mungkin namanya.

"Bi, ibu kemana?" tanyaku basa-basi pada salah satu asidten rumah tangga yang membuka pintu.
"Anu, Pak. keluar sama teman-temannya" aku tahu itu.
"Tuan, itu nyonya sudah datang" selang beberapa menit masuk rumah, istriku juga tiba. Padahal hampir sejam menunggunya di teras rumah. Sekalian mencari angin di malam hari.
Aku lembur untuk mencari uang tambahan, sedangkan dia sibuk keluyuran untuk menghabiskan uang lembur. Begitu seterusnya.  Tapi pokok permasalahan bukan hanya itu saja. Masalah uang, kan memang sepenuhnya tanggung jawabku. Rezeki yang kudapat tentu karena ia bahagia. Bukankah kebahagiaan istri bisa mengundang limpahan nikmat? Yang walaupun dag dig dug setiap tanggal tua habis bulan habis gaji.

Tapi,  tingkahnya itu yang membuatku risih dengan ocehan para tetangga, juga adik-adik dan orang tuaku. Ia sama sekali tidak malu ketika mempertontonkan kekonyolannya di akun sosial medianya. Berteriak-teriak tidak jelas di depan kamera. Aku malu!

"Dari mana saja?" tanyaku
"Kemana lagi. Ngumpul sama teman-teman. Kau sibuk, aku bosan di rumah" padahal dialah alasanku giat bekerja.
"Kan untukmu juga. Supaya kau selalu senang." tuturku pelan. Berharap malam ini tidak ada perdebatan panjang.

"Makanya, kalau istri nongkrong jangan diprotes, kan biar senang" ia kemudian berlalu.
"Tunggu!"
"Bisa minta tolong?"
"Kenapa, ada apa? Jangan yang susah-susah. Aku capek!" belum juga disuruh, sudah mengeluh duluan.
"Buatin teh panas dong. Lama tidak mencoba teh buatanmu!" semoga tak ditolak.
"Maaf yah, Mas. Sebelum ngumpul tadi, aku ke salon dulu. Coba lihat kuteks di kuku, cantik kan?" padahal hanya segelas teh.
"Kan tinggal di seduh, Risma! Tidak mungkin cat kukumu rusak kalau hanya mengambil air panas di dispenser kemudian menyeduh teh!" saking jengkelnya, namanya kusebut.
"Gampang yah? Kalau begitu kau saja yang buat tehnya, Mas. Sekalian untukku satu. Jangan lupa gulanya kurangi sedikit. Eh anuu, mas, tehnya yang pekat. Mau kan?  Atau kalau tidak ikhlas, suruh bibi saja." Kena deh!

Secangkir teh panas, mestikah bangunkan pembantu lagi. Kasian seharian sudah bekerja. Lagipula, aku benar-benar rindu dilayani layaknya istri ke suaminya. Tapi, sudahlah. Malas berdebat.
***

Tumben pagi ini sebelum ke kantor Risma lebih dulu mandi dan mengganti pakaian. Kupikir untuk melayaniku. Sekadar membuat sepiring nasi goreng ataukah sepotong roti di atas meja. Tapi mustahil!

"Mau kemana pagi-pagi begini?" tanyaku heran.
"Arisan, mas." jawabnya singkat.
"Tapi bajumu, tidak sopan begitu. Istigfar Risma, auratmu dipertontonkan, dosamu suami yang tanggung" dia hanya memakai celana di atas lutut dan baju yang seperti belum selesai di jahit. Ada lubang di pundaknya.

"Syukurlah, mas kalau dosaku kau yang tanggung. Hehehe" betul-betul tidak ada harganya aku di matanya. Bukannya kaget lalu mengganti baju, ia malah cengengesan.

"Ganti bajumu itu. Tidak baik dilihat orang!"
Nadaku mulai meninggi.
"Repot amat, sih! Begini kalau menikah sama orang kampung. Ini acaranya di pantai. Masak iya harus pakai jaket tebal di sana." lagi-lagi aku hanya bisa beristigfar.

Besok di acara arisan keluarga, nasibku lebih suram dari ini.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER