Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 16 April 2020

Istri Boros #4

Cerita bersambung
#Durhaka

[PoV. IBU]

Jika ada orang tua celaka karena menantu, mungkin aku orangnya. Jauh sebelum mereka menikah sudah kutekankan pada anakku Ibam agar berpikir dahulu sebelum mengambil keputusan. Risma anak perempuan dari keturunan yang hartanya tidak bisa habis tujuh turunan. Apalah aku ini, bisa makan sehari-hari sudah bersyukur.

Tidak ada yang bisa kuwariskan pada anak cucuku selain menyekolahkan mereka. Cukup aku saja yang baca. tulis saja kewalahan.

Bukan membandingkan, tapi dari kedua menantu lainnya, hanya Risma yang sering bertingkah tidak sopan. Kedatangannya betul-betul melukai hatiku sebagai seorang mertua. Tangis yang sejak kemarin sulit kuhentikan hingga pagi ini.

"Bu, sudah. Tidak usah berlarut-larut seperti itu. Kau kan tahu sendiri watak menantumu seperti apa." suamiku menepuk pundak berkali-kali. Sepulang Ibam lalu menceritakan semuanya, ia tidak berhenti menguatkan.
"Tapi, yah. Risma kali ini sangat keterlaluan!" untuk berbicarapun bibirku terus bergetar.
"Sabar, Bu. Doakan menantumu agara hatinya terbuka dan bisa sadar bahwa tingkahnya selama ini kelewatan." tuturnya lembut.
"Kau ingat saat pertama berkujung kesini? Dia tidak mau menyentuh makanan yang kumasak. Hanya menggeleng kepala."
"Pernah juga menjabat tangan Ayah, tapi tidak sepenuhnya menggenggam. Hanya ujung jari saja" Ingatanku kembali pada kesalahan-kesalahan menantuku "juga waktu adiknya Bian menikah, ia sempat menghujat rumah calon istri iparnya itu"
"Jangan diingat trus, Bu. Sudah!"
"Karena kita miskin, ia jadi bertindak semaunya! Andai waktu bisa diputar, menantuku jangan Risma. Sejak mereka menikah, jarang sekali Ibam menjenguk, kalaupun datang selalu ada kenangan buruk yang disisakan istrinya" ucapku.
"Istigfar, Bu!" beruntung ayah anak-anakku selalu mengingatkan.
"Astagfirullah. Yah, tolong jangan beritahu Ivan dan Bian, bisa-bisa tambah memperumit masalah" Pintaku.
"Assalamualaikum. Ayah! Ibu!" seperti suara si bungsu, Bian. Sebelum ke kantor ia memang sering singgah dulu sekadar bersalaman dengan kami. Setiap pagi.

"Yah, kamu saja yang keluar. Bilang ibu sedang tidak enak badan dan tidak bisa keluar kamar. Kalau dia masuk, halangi yah!" dia akan marah besar jika melihat mata ibunya sembab begini. Tapi, entah bagaimana cara suamiku meyakinkan sehingga Bian tetap saja lolos masuk dan mendapatiku bersandar lesu di bahu ranjang. Rambut acak dan pakainan lusuh. Meski air mata yang menggenang sudah kuseka, tapi bekas-bekasnya membuat Bian curiga.

"Bu, sakit apa? Bu, kenapa matamu seperti orang yang menangis semalaman?"
"Bu, jawab!" Bian menghujamku dengan banyak pertanyaan.
"Ibumu sakit, nak!" jawab suamiku.
"Jangan bohong, yah. Tidak mungkin karena sakit ia menangis seperti itu. Jangan bohong!  Bian bukan lagi anak kecil yang bisa dikelabuhi. Pasti ada sesuatu yang kalian sembunyikan."
"Karena kakakmu Risma!" ucap ayah keceplosan.
"Yah!" upayaku menghentikannya membongkar semua.
"Risma lagi, Risma lagi!"
"Ibu diapakan lagi olehnya?"
"Jawab bu, biar ku hancurkan wajahnya yang songong itu!" Bian mengepalkan tangan dan meninju lemari yang ada di dekat ranjang. Dadanya naik turun.
"Ibu, Ayah, jawab!"
"Risma kemarin datang kesini bersama kakakmu, Ibam. Dia melemparkan uang pada Ibumu sambil mengumpat. Katanya ibumu orang tua sialan, bodoh, miskin, tahunya hanya menyusahkan anak menantu. Lagipula kami tidak pernah meminta uang sepeserpun padanya. Dia juga bilang, jangan selalu berharap karena gaji Ibam hanya dua puluh juta tidak cukup untuk memebuhi kebutuhannya. Katanya ia orang kaya beda dengan kita semua" capek didesak, suamiku buka suara.
"Sial Risma itu. Perempuan sinting. Mas Ibam bodoh sekali dia tidak bisa mendidik istrinya. Dari awal menikah sampai sekarang, tidak pernah berubah. Tunggu Bu! Biar ini jadi urusanku. Soal uang, aku dan mas Ivan sepakat untuk berkongsi membantu ibu merenovasi dapur, pun disepakati mas Ibam. Dia bilang minta nomor rekening, tidak tahunya ternyata dia kesini. Sial!" Mata Bian memerah menahan amarahnya. Diambilnya telepon genggam di saku celana kemudian menelfon kakaknya. Sudah kularang, tapi dia tetap menghubungi Ibam.

"Tidak usah, nak! Kasihan kakakmu kalau tahu kelakuan istrinya masih seperti dulu. Ibu tidak apa-apa. Memang ibu pantas diperlakukan seperti ini. Toh ibu tidak bisa memberi kalian apa-apa" tidak bisa lagi kutahan air mataku. Bian kemudian berlalu dan entah apa yang dibicarakannya..

==========

[PoV Ibam]

Masih seperti kemarin dulu, bedanya hari ini diselimuti kecemasan perihal umpatan Bian tadi pagi. Setelah semua urusan kantor selesai, aku bergegas pulang. Tidak ada drama singgah mengajak Anita pulang bersama apalagi makan berdua. Rasa penasaran tetang hal yang diperbuat Risma sangat mengganggu fokusku.
Kulaju kendaraanku secepat mungkin. Berharap di rumah bisa kutemukan jawaban dari mulutnya. Suasana jalan raya yang masih lumayan lenggang membuat tak banyak waktu terbuang percuma.

"Risma!" teriakku sambil menggedor pintu.
"Tunggu, Mas!" Dijawab santai olehnya. Padahal emosiku sedang dipuncak. Kuterobos masuk ke ruang tengah kemudian menyuruhnya duduk di sofa depanku.
"Duduk kamu!" perintahku.
"Wah, tumben mas, Rindu?" masih sempatnya menggoda.
"Tidak usah basa-basi!"
"Apa yang kau katakan pada ibu? Kenapa Bian menelfonku kemudian berkata kita keterlaluan?" kupicingkan mata agar ia takut.
"Iyakah, Mas? Apa yang kukatakan. Cuma memeluk ibu di kamar lalu meminta maaf atas semua yang kuperbuat." kenapa firasatku semakin tidak baik.
"Tapi, kenapa dia bilang begitu. Jangan bohong kamu!" volume suara lebih rendah dari sebelumnya. Seolah terhasut dengan yang diucapkan Risma tadi.

"Mungkin maksudnya kita keterlaluan karena tidak mengabarinya saat ke rumah ibu kemarin. Kan sudah lama kita tidak bertemu dengannya, Mas. Terakhir waktu anak pertamanya lahir. Wah, aku jadi rindu dengan keponakan yang lucu itu. Kapan yah kita punya bayi?" dari gelagatnya seperti tidak ada yang dksembunyikan. Tapi, kenapa hatiku tidak tenang.

"Baiklah. Kalau begitu aku istirahat dulu. Minggu depan kita ke rumah ibu lagi." ucapku sebelum masuk ke kamar kami.
"Lain kali lagi, Mas. Jauh. Capek. Sekarang kan aku sedang program hamil."  benar juga yang dikatakan. Setelah sepuluh tahun menikah, baru ia menyetujui untuk program hamil. Sebelumnya selalu menolak, dia bilang nanti sedikasihnya saja. Padahal kudengar ia sengaja karena takut tubuhnya menjadi buntal.

"Mas!" panggilnya lagi lalu kubalas dengan menggumam saja.
"Love u!"
***

Di kamar utama yang didominasi warna pink, serta aneka barang berwarna putih; bupet, lemari, ranjang, gorden, dan masih banyak lagi isi ruangan ini. Sangat nyaman merebahkan tubuh sembari mengarahkan wajah mengahadap AC. Rumah ini berbanding terbalik dengan keadaanku dulu di kampung.

Risma kemudian datang dengan baju piyama berbahan sutra yang warnanya merah darah. Seksi sekali. Membuat jantungku kembali berdebar seperti saat malam pertama dulu.

"Mas, apa kau mencintaiku?" dia duduk di meja rias sambil menyisir rambut lurusnya. Ditemani lampu kian benderang menambah cantik parasnya.

"Kenapa kau bertanya begitu?" jawaban yang kuberi justru sebuah pertanyaan kembali.
"Andai kau disuruh memilih, aku atau ibumu? Kau memilih siapa?" lagi-lagi dibalas pertanyaan.
"Kau mikikku, sedang aku tetap bertanggung jawab atas kedua orang tua. Jadi aku berharap kau bisa membantuku berbakti pada mereka. Tapi, tentu bukan hal wajar yang kau tanyakan ini. Kalau bisa keduanya, kenapa harus memilih salah satu."
"Mas, aku bahagia memiliki orang tua seperti ibu. Kemarin dia memelukku erat. Katanya terima kasih karena aku sudah menerimanya." kudatangi Risma yang masih bersolek, lalu membungkukkan tubuh dan memeluknya.

"Terima kasih. Semoga rumah tangga kita selamanya bahagia tanpa ada yang terluka" dia kemudian berbalik arah dan berdiri menyamakan posisi.

"Aku yang berterima kasih, Mas. Selama ini aku kurang bersyukur. Padahal di luar sana banyak sekali perempuan yang menginginkan lelaki mapan sepertimu. Maaf yah, mas?"
"Mas, kau ingat dulu ibuku tidak merestui kita pada awalnya, tapi mendengar janjimu dan usahamu yang luar biasa, akhirnya dia merestui kita. Esok atau lusa kau marah besar, ingat yah bagaimana rumah tangga kita dibangun susah payah" suasana kian syahdu.
"Jangan tinggalkan aku yah, mas?" ucapnya sembari mencium pipiku.
"Asal kau berjanji akan berubah menjadi lebih baik lagi!"  Saat ingin kubalas ciumannya, di teras rumah terdengar suara pintu didobrak-dobrak.

"Risma! Keluar kau" mendengar itu, istriku ketakutan dan bersembunyi di belakangku. Kubuka pintu dengan rasa khawatir.
"Bian? Kenapa tiba-tiba datang malam begini?" kaget melihat adikku tiba-tiba berdiri di depan pintu.
"Diam kau!" balasnya kemudian menghantam pipiku.
"Kau kenapa?"

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER