Cerita bersambung
Bian tak menjawab pertanyaanku. Hanya mencari cela agar bisa meraih Risma yang bersembunyi di belakang. Sebagai suami, tentu aku akan melindungi istriku.
"Sini kamu!" Bian masih bersikeras menarik Risma.
"Mas, tolong aku, Mas!" Risma meremas-remas bajuku karena takut. Membuatku hilang keseimbangan.
"Bian, hentikan. Kamu kenapa, hah?" aku mulai emosi melihatnya seperti orang gila.
"Tanya istrimu itu. Dia apakan Ibu?"
"Jangan dengarkan, Mas!" lalu ditampik Risma.
"Sialan kamu. Istrimu ini melempar uang ke wajah ibu. Tidak sudi aku punya keluarga tidak berprikemanusiaan" *ccuihh* ia meludahi lantai.
"Dasar perempuan keparat! Sini kamu!" akhirnya pertahananku jebol. Bian tak bisa kukendalikan. Ia menyeret Risma ke dalam lalu didorongnya hingga terbentur di meja.
"Perempuan sinting!" berkali-kali dia mengumpat sambil menampar pipi kiri dan kanan istriku secara bergantian.
"Hentikan, Bian!" aku berusaha melepaskan Risma dari amukan Bian. Tapi adikku terlalu kuat sehingga setiap aku mendekat, ia mendorong kembali.
"Jangan mendekat, atau kubunuh istrimu ini?" ucap Bian sambil menarik rambut Risma.
"Mas. Tolong aku!" melihat istriku berderai air mata, kukerahkan seluruh tenaga untuk melawan adikku sendiri. Hingga Risma berhasil kudekap. Lalu melayangkan sebuah pukulan di wajah Bian.
"Mas. Aku takut!" Risma memelukku erat. Sedang Bian yang masih memegang pipi yang tadi kuhantam.
"Semua bisa dibicarakan baik-baik. Jangan bertingkah seperti itu, kalau tidak, kulapor kau ke polisi!" kutunjuk ke arahnya.
"Sekarang kau keluar dari rumahku!" ucapku kembali.
"Baik, kalau itu maumu. Selamatkan saja istrimu yang kau puja seperti dewi itu. Matamu memang telah buta setelah menikah dengan orang kaya!" kalimat terakhir Bian sebelum keluar dari rumahku.
"Mas, aku takut!" kata itu selalu diucapkan Risma. Setelah pelukannya mulai melemah, kuiring dia menuju sofa ruang tamu.
"Risma, jujur saja daripada harus menutupi kesalahanmu terus. Apa yang kau lakukan pada ibuku?" Risma masih tertunduk ketakutan.
"Tidak ada, Mas. Mungkin mereka terlanjur membenciku jadi membuat cerita seolah-olah aku yang salah lalu kau meninggalkanku!" Ia menyusulku yang duduk di sofa depannya.
"Apa kau tidak berbohong?" tanyaku kembali.
"Lihat mataku, Mas. Apa ada tanda-tanda ketidakjujuran?" ia menatap mataku seperti tidak ada yang disembunyikan.
"Kenapa hatiku tidak enak?" tuturku
"Mungkin hanya perasaanmu!" jawabnya lagi
"Tapi...." belum sempat kusambung, Risma berkata "untuk apa hubungan ini kalau suamiku sendiri tidak memepercayaiku!" sambil menangis ia berlalu.
Kuikuti langkahnya.
"Maafkan, Mas sayang. Aku hanya tidak habis pikir kenapa Bian seperti itu." kuraih tubuh langsingnya lalu kupeluk erat kembali untuk mencairkan suasana.
***
Walau hari kantor, aku meminta izin untuk tidak masuk hari ini. Sengaja tak kuberitahu Risma sebelumnya agar tidak ada alasan untuknya menolak jika kuajak ke rumah ibu.
"Halo, Anita?" sapaku diujung telepon.
"Iya, Pak ada apa?" balasnya.
"Hari ini aku tidak masuk yah, tolong buat laporan aku cuti mendadak karena ada urusan penting!" ucapku terburu-buru.
"Tapi, Pak" Risma datang, buru-buru kututup telepon. Dia pernah cemburu pada Anita dulu. Soal diizinkan atau tidak, urusan belakang.
"Siapa, Mas?" ia memang selalu penasaran setiap aku bicara diujung telepon.
"Teman kantor. Aku minta izin cuti hari ini. Kau siap-siap kita ke rumah ibu" matanya melotot saking kagetnya. Tapi ia tidak bisa menolak lagi.
"Baik, Mas." jawabnya singkat.
"Ayo, kita berangkat sekarang!" seruku.
"Aku ganti baju dulu!" katanya.
"Tidak usah!" hanya buang waktu jika menunggunya berpakaian. Lama!
Setelah naik di mobil, Risma tiba-tiba bilang bahwa kepalanya pusing.
"Mas, kepalaku pusing!" sambil memegang dahinya.
"Sebentar kita singgah di apotek beli obat!" jawabku seperti tidak begitu khawatir.
"Tapi, mas!" kuarahkan pandangan ke Risma, tubuhnya sudah lemas seketika.
"Risma, bangun!" sambil menepuk pipinYa berkali-kali tapi dia tidak merespon. Kulaju mobilku ke arah rumah sakit dan langsung menuju UGD.
Sekitar setengah jam menunggu, dokter kemudian memberi tahu, "selamat, pak usia kehamilan istrinya sudah empat minggu"
Rasa bahagia dan penasaran berkecamuk di hati. Antara bayi yang telah lama kunanti dan ingin mendapat jawaban dari ibuku di kampung.
==========
Episode : Bangkai, sejauh apapun disembunyi pasti tercium juga
Kami melangkahkan kaki keluar rumah sakit dengan tangan bergadengan. Sesekali Risma merapatakan kepala ke pundakku.
"Sayang, akhirnya aku hamil!" senyum sumringah dari di bibir tipis berwarna merah darah sambil trus berjalan menuju mobil.
"Iya. Alhamdulillah!" seharusnya ekspresiku lebih exited daripada ini. Tapi, malah biasa saja. Wajahku datar dengan tatapan kosong. Berjalan hingga menuju mobil yang terparkir rapi di halaman rumah sakit.
"Mas, kita mau kemana. Bukannya jalan pulang ke rumah itu mesti belok kanan? Atau kau mau mengurus sesuatu?"
"Mas, jawab!" kening Risma mulai mengkerut. Tangannya mendorong2 lenganku agar segera angkat suara.
"Kita ke rumah ibu sekarang!" Matanya tetiba terbelalak. Tubuhnya sedikit maju ke depan agar melihatku lebih jelas.
"Mas, aku ini sedang hamil. Jalanan ke sana itu jelek. Apa kamu tidak kasihan?" ucapnya.
"Nanti aku menyetirnya pelan saja kalau sudah di daerah yang rusak aspalnya!" sesekali menatap matanya lalu kembali fokus mengemudi.
"Aku tidak mau!" nada suaranya meningkat. Pandanganku tetap lurus ke depan.
"Mas, kau tidak sayang calon anakmu?" tanyanya lagi.
"Sayang." jawabku singkat.
"Mas, kalau kau tidak putar arah, aku lompat dari sini." tangan kirinya mulai membuka kunci, untung tanganku lebih lihai sekian detik untuk mengunci otomatis setiap pintu mobil.
"Mas! Berhenti!" masih berusaha membuka, tapi tidak bisa yang berujung ia memukul-mukul benda di sekitarnya." beberapa hari tak kudengar lengkingan suaranya, hari ini kumat lagi. Padahal belakangan dia berusaha jadi istri yang cukup baik.
"Mas!" telinga seperti berdengung mendengarkan teriakannya sejak tadi. Jendela tertutup rapat dan musik sengaja ku kencangkan agar tidak ada jalan suara Risma di dengar orang-orang saat melintas. Apalagi lajuku terbilang pelan.
"Berhenti!"
"Mas!"
"Kamu itu kenapa sebenarnya? Kita hanya ingin ke rumah orang tuaku untuk memperjelas semuanya. Lagipula kalau kau tidak punya salah tidak usah ngotot begitu. Soal bayi di perutmu. Dia juga anakku. Tentu tidak mungkin membiarkannya kenapa-kenapa. Jadi kamu tenanglah sedikit" kupukul setir mobil dengan kencang sampai klakson berbunyi tak kusadari. Ia kembali bersandar pada jok dan menatap ke depan.
"Nah, kalau begini kan aman. Kasian anak di perutmu kalau kau emosi begitu. Kukira kau sudah sabar, ternyata masih Risma yang dulu." seperti berbisik, tapi sampai di telinganya.
"Apa kau bilang, mas?" kembali maju sekian senti untuk menatapku tajam.
"Kamu cantik!" ucapku. Hanya dibalas menggumam olehnya.
Jika hari biasa hanya dua jam perjalanan, kali ini memakan waktu empat jam. Risma sempat tertidur di mobil jadi aku bisa lebih tenang mengemudi. Saat sisa satu kilo jarak dari rumahku, ia terbangun. Menatap sekeliling banyak rumah panggung serta deretan sawah hijau ditemani sinar senja di sore hari, ia pasti menyadari bahwa sebentar lagi kami tiba di tujuan. Kukerlingkan mata sekali-kali, ia tampak grasak grusuk tidak jelas. Seperti cacing kepanasan. Ia gelisah. Mungkin mual. Tapi tak ada tanda-tanda itu.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
"Gerah, Mas!" AC ku setel full, cuaca disekitar juga amat sejuk. Sedang ia sibuk mengkibas-kibaskan tangan untuk mencari angin.
"Kan dingin disini" jawabku
"Pengaruh hamil mungkin, Mas!" kukerutkan kening, lalu mengabaikan ucapannya. Tadi malam dia bilang sering kedinginan, sekarang kepanasan karena hamil katanya. Berlebihan!
Sekitar lima menit kemudian, kami tiba di gubuk tua orang tuaku. Tak ada satupun aktivitas di depan rumah. Hanya dua ekor ayam yang bersautan berkotek. Padahal ini masih musim padi. Di jam segini ibu dan ayah biasanya memasukkan kembali gabah yang telah dijemur ke dalam karung. Kegiatan kami setiap sore dulu. Bersama adik dan kakakku. Bian dan mas Ivan. Risma semakin tampak risau. Tangannya masih dikibas-kibas sambil melihat keadaan rumah yang sunyi.
"Ayo turun!" ucapku sambil mematikan mesin mobil. Juga memperbaiki baju berkerah navy yang tengah kupakai. Sesekali bercermin melihat rambut yang tak lagi klimis. Masih sempat berbenah sambil menunggu Risma siap turun.
"Kau duluan saja!" ucapnya. Matanya masih mengawasi keadaan.
"Ayo!" kubuka pintu mobil lalu lebih dulu menginjakkan kaki di tanah. Kuhampiri teras rumah dengan ribuan tanda tanya. Sedang istriku masih sama seperti tadi. Mengamati.
"Risma!" kuteriaki dia yang duduk di mobil. Akhirnya ia menyusul turun. Suara *grakk* pintu tetiba terdengar.
"Ibu!" matanya sembab, senyumnya terpaksa, tangannya tak merangkulku seperti setiap kudatangi rumah ini. Hanya mempersilakan masuk kemudian ikut duduk tanpa ada yang diucapkan. Tidak juga bertanya kenapa aku tiba-tiba datang.
"Risma, ayo!" kupanggil istriku yang mulai mendekat.
Kami duduk di sofa tua bekas dari tetangga lima tahun lalu. Kursi yang sudah mulai sobek kiri kanan masih berjejer rapi di ruang ramu.
"Ibam kenapa tiba-tiba kemari?" tanya ayah yang muncul dari arah dapur.
"Kemarin Bian datang ke rumahku lagi memukuli dan menyeret Risma. Katanya ada hubungannya dengan ibu?" langsung pada inti permasalahan.
"Bukan kan, Bu?" Risma memotong pembicaraan. Ibu dan Ayah saling menatap kemudian mengangguk. Bungkam setelahnya. Tiba-tiba pintu reot yang baru ditutup, seperti ada yang menendang dari luar. Kondisi papan yang mulai lapuk dan engsel yang berkarat, sangat mudah dijebol.
"Mau apa lagi kalian?" pertanyaan pertama orang yang membobol pintu tadi. Bian. Matanya merah seperti semalam. Seolah ingin menghantam kapan saja.
"Ibu ayo bicara! Ayo bu! Ayah! Biar anak durhaka ini tahu siapa istrinya!" desak Bian dengan begitu menggebu.
"Bian bohong kan, Bu?" ucap Risma kembali.
"Diam kamu! Mau kutempeleng lagi? Hah?" ia sedikit lebih maju menghampiri kami namun dihalau Ayah.
"Sudah. Sudah!"
"Istrimu tempo hari melempar uang pada ibumu, nak! Juga...." belum selesai kalimat Ayah, aku berdiri di depan ibu yang sedang tertuntuk. "Benar itu, Bu?" dibalas anggukan dari ibu, disusul tetes demi tetes air dari kornea matanya membasahi daster yang sudah tak layak pakai itu.
"Risma!" tubuhku berbalik ke hadapan Risma yang menatap mataku dalam. Dia menyangkal, "Mas, jangan percaya!" ucapnya sambil memegangku dengan kedua tangannya. Tak berpikir panjang kulayangkan tamparan lagi ke wajahnya.
"Mas!" bibirnya gemetar sehingga suara yang dihasilkan juga seperti bergetar. Terisak-isak menjatuhkan tubuhnya ke lantai lalu merapatkan wajah di betisku.
"Mas, maafkan aku!"
"Bu, maafkan aku!" kuhempaskan tubuhnya sehingga terlepas dekapannya.
"Sudah Ibam! Ibu sudah memaafkan!" perempuan tua itu masih tertunduk tak berani menatap. Air mata yang berbicara bahwa hatinya tidak baik-baik saja.
"Jangan maafkan perempuan itu, Bu!" teriak Bian yang berusaha lepas dari Ayah.
"Pergi kamu dari sini!" kulemparkan kunci mobil ke wajah Risma hingga mengenai pelipisnya. Mobil itu hadiah dari orang tuanya.
"Mas. Maafkan aku!"
"Sadar, Mas aku sedang mengandung anakmu. Sebentar lagi petang. Tidak mungkin aku pulang sendiri" kilahnya.
"Kamu hamil? Alhamdulillah!" sahut Ayah.
"Tidak usah dengarkan dia!"
"Pergi kamu!" nafasku terengah-engah. Sendainya bukan anak di kandungannya yang kupikirkan sudah kuhajar habis-habisan. Kulihat ibu beranjak dari tempat duduk lalu masuk ke kamarnya sambil terisak.
"Kamu keluar sendiri atau mau kuseret?" Risma mulai bangkit perlahan lalu berusaha mendekat namun kuhalangi.
"Kubilang pergi, pergi!" Bentakku.
"Maafkan aku, Mas!" sambil terisak ia mengambil kunci mobil yang tergeletak di lantai. Lalu keluar rumah melewati Bian di ambang pintu. Nyaris dipukul, tapi lagi-lagi dihalau bapak.
"Ibu..maafkan Ibam, Bu! Aku berlari menyusul ibu ke dalam. Sesak rasanya mengetahui semua yang dilakukan istriku Risma. Entah bagaimana aku bisa memaafkan setelah semua yang dilakukan sudah tidak bermoral.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Jumat, 17 April 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel