Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 18 April 2020

Istri Boros #6

Cerita bersambung

Di dalam kamar ukuran kecil, pada ranjang besi tua. Berhias kelambu koyak warna putih bermotif bunga-bunga kamboja. Ibu terbaring menggigit bantal agar suara tangis pecahnya tertahan. Rambut putihnya kubelai lembut.

"Maafkan Ibam, Bu!" Kutempatkan badan, melipat kedua lutut, bertumpu pada telapak kaki dengan bokong tidak rapat ke lantai. Berjongkok di depan tempat tidur yang sedikit pendek, kemudian merapatkan dahi pada kening keriputnya. Air mata berlomba menyusuri seprei yang juga tlah usang.


"Bu!" masih tersedu-sedu. Kubiarkan Ibu menikmatinya dulu. Biarkan rinai hujan menghapus jejak kelam yang tertorehkan. Terbawa arus kemudian menghilang dan kelak perasaannya kembali pulih.

"Sudah, nak. Itulah resikonya menikah dengan kasta yang berbeda. Sulit menyatukan pandang. Pun sama denganmu, pasti kau kepayahan mengikuti gaya dan kebiasaan istrimu sedari kecil. Begitu juga dengan Risma. Maafkan dia. Bimbinglah ke jalan yang benar. Sudah jadi tugasmu sebagai seorang suami" Ayah menepuk bahu sebelah kiriku seraya menasehati dengan amat bijak. Suasana kian sendu, namun secara mendadak keributan dari arah luar mengalihkan perhatian. Teriakan yang kutahu siapa pemiliknya.

"Risma! " mataku dan Ayah saling menatap.
"Bu, tunggu disini sebentar." ucapnya
"Ayo, Ibam! Kami percepat langkah menuju sumber suara.
"Apa-apaan ini? Bian. Sudah! Biarkan kakakmu yang mendidik istrinya. Kau tidak berhak main hakim sendiri."
"Laki-laki lembek begitu mana bisa meluluhkan perempuan batu seperti dia" Bian menunjuk ke arah Risma sambil menyemburkan ludah yang nyaris mengenai istriku .

"Kenapa belum pergi dari sini? Hah?" singkat tapi jelas bentakanku.
"Aku takut, mas!" Wajah Risma mendadak pucat, matanya sayu, tapi tidak mengurangi rasa benciku.
"Pergi sana! Rumah ini terlalu jelek untuk kau tempati. Kau tidak cocok disini!" sambung Bian yang berkacak pinggang sambil mendongak dengan baju batik seragam kantornya.

"Ayah, aku takut pulang sendiri!" Risma melangkah dua jengkal sembari mengadu pada mertuanya. Dia tahu orang yang dihina punya seribu alasan untuk selalu memaafkan.

"Sudah, Ibam, Bian. Kasihan Risma. Apalagi ia tengah mengandung, kondisinya pasti terasa berbeda" Nasehat Ayah sambil menatap kami persatu.
"Biar dia tahu beratnya pengorbanan ibu. Hamil, melahirkan, membesarkan, ehh sialnya, pas menikahkan anak, malah dapat mantu gila." Bian kembali menyindir.

"Terima kasih, Ayah. Tidak masalah kalau harus tidur di mobil. Asal jangan paksa aku pulang ke kota sendirian."
"Kau yakin?" tanya Ayah heran. Tanpa berkata, aku masuk kembali ke dalam rumah disusul Ayah dan Bian.
***

"Ibam, bangun, Nak. Sudah subuh!" Tangan kasar menepuk-nepuk pipiku agar terbangun. Tidak berasa semalam tertidur di samping Ibu.
"Bu! Maafkan Ibam" terburu kubuka mataku kemudian bangkit memeluknya yang sudah tertutup rapi dengan mukenah.
"Sudah. Ayo kita shalat berjamaah dulu!" godaan untuk tidur kembali setelah semalaman begadang membuat mataku terpaksa kubuka. Penglihatan buram sampai normal setelah berwudhu. Lalu berjalan menuju tempat kami shalat dan mengaji. Walaupun rumah sempit, tapi Ayah sengaja membuat satu ruangan khusus untuk ibadah. Hanya di sini berlantaikan tegel. Sisanya cuma disemen kasar sehingga terkadang kaki sakit saat berjalan.

Setibanya, kulihat dua orang perempuan duduk berdampingan di barisan makmum, tangan spontan mengucek-ngucek kedua mata kembali.

"Siapa yang menyuruhmu masuk kesini?" bentakku sambil menunjuk Risma. Mereka serentak membalik bersamaan.
"Ibam. Sudah! Ibu yang menyuruhnya. Ayo shalat dulu!" melihat wajah ibuku, amarah meredam. Setelah selesai shalat, Risma menjabat tangan orang tuaku lama sekali, sambil menangis dan meminta maaf berkali-kali.. Tapi tidak berani mengajakku bersalaman. Lalu, ia pamit untuk pulang ke rumah kami sendirian.

"Risma pulang dulu, Bu, Ayah!
"Hati-hati, Nak!" sahut Ayah. Kutinggalkan mereka di ruang shalat. Tidak lama setelah itu, terdengar jelas bunyi mobil lalu perlahan-lahan menghilang.
***

Jingga di pelataran menjemput petang. Ditemani secangkir teh hangat serta sepiring kacang rebus di teras rumah. Terbawa lamunan pada masa kecil. Masalah terberat hanyalah lupa mengerjakan PR lalu dihukum Guru berdiri di sudut kelas. Seiring bertambahnya usia, ujian hidup silih berganti.

"Nak, apa sebaiknya kau pulang saja ke rumahmu? Kasihan Risma tengah mengandung" Tanya ibu yang sedang asik melepas isi kacang dari kulitnya. Perlahan lukanya mulai mengering.

"Tapi rasanya masih berat memaafkan Risma, Bu setelah apa yang ia perbuat." jawabku.
"Beri dia kesempatan sampai anak kalian lahir. Kalau tidak berubah, terserah bagaimana tindakanmu setelahnya" ucap ibuku sembari menyorkan kacang yang telah dikupasnya.
"Apa kau tidak sakit hati lagi, Bu?" obrolan santai tapi berat pembahasan.
"Siapa yang tidak kecewa diperlakukan seperti itu, Ibam. Tapi Ibu juga enggan melihat rumah tangga kalian karam karena Ibu" Akunya.
"Dulu kalian menikah atas dasar cinta. Jangan lupa itu." tambahnya.
"Tapi, Bu. Selama menikah dia jadi istri yang tidak bisa bersyukur. Aku kewalahan menutupi semua biayanya. Sampai untuk kuberikan pada ibu saja tidak ada. Dan sekarang baru kutahu bahwa perlakuannya padamu sudah kelewat batas. Atau ku..." Ibu memotong pembicaraanku, "jangan sekali-kali mengambil keputusan saat kau sedang marah. Tidak baik."
"Pulanglah, Nak! Urusan kantormu juga sudah terbengkalai beberapa hari ini." sejak kemarin Anita memang mengirimkan pesan bahwa banyak berkas yang mesti ditandatangani.
(Pak, kapan masuk kantor? Banyak berkas yang harus ditandatangani. Juga izinmu kemarin yang di acc hanya tiga hari).
Juga chat Risma yang berisi (Mas, pulanglah dulu. Kita perbaiki semua mulai dari awal. Lagipula ibu sudah memaafkanku) hanya kubalas dengan kata "tidak usah mengubungiku lagi".
"Baik, Bu. Tapi, tentu perlakuanku terhadap Risma akan berbeda nantinya." Mungkin sebagai balasan dari sikapnya selama ini.
***

Susahnya hidup di desa yaitu kurang akses menuju kota. Hanya truk pengangkut sayuran yang bisa mengantar -minimal- sampai ke tengah kota. Itupun harus menunggu setelah shalat subuh.

"Pak! Pak!" kulambaikan tangan untuk menahan mobil yang melintas di depan rumah.
"Kenapa?" tanya pria buntal berkulit hitam. Sepertinya bukan orang dari kampung sini, tapi dari barang bawaannya, dia mau ke kota.

"Boleh numpang sampai kota, Pak?" tanyaku mendongak berbicara pada kernet yang duduk di atas mobil.
"Tapi sudah full, dek. Ada di belakang, tapi dekat tumpukan barang." tidak masalah. Yang penting bisa kembali ke kantor untu bekerja.

"Bu, Ayah. Ibam pamit dulu. Sekali lagi maafkan semua kesalahanku" membungkukkan badan untuk mencium kedua tangan orang tuaku.

Sekitar dua jam perjalanan, aku tiba di rumah megah bercat putih. Jika dibanding mungkin luasnya dua puluh kali lebih besar daripada rumah orang tuaku. Rumah warisan dari mertua untuk putrinya, Risma.
Suara ketukan pintu berubah gedoran kasar saat lima menit belum ada yang membuka. Barulah Risma keluar dengan mukenah dan alQuran di tangan. Sepertinya baru selesai mengaji.

"Mas, akhirnya kau pulang! Matanya berbinar dan senyum merekah berubah jadi sendu ketika kuterobos masuk ke dalam rumah tanpa menyapa.  Tampak ia mengikutiku, sesekali memegang lengan baju tapi trus kutangkis.

Aku masuk ke dalam kamar utama dan mengambil semua pakaian lalu kupindahakan ke kamar lain. Dan merebahkan tubuh sejenak. Saatnya membersihkan diri. Setelah mandi, kulihat baju kemejaku tergantung rapi di hanger depan lemari. Juga semangkuk bubur ayam yang di atasnya ada keripik emping favoritku. Pintu memang tidak dikunci. Mungkin Risma yang masuk tadi.

"Mas, sarapan dulu!" Ia berdiri di depan pintu, tapi tak kugubris. Tanganku sibuk mencari baju yang masih berserakan di lantai.

"Mas, itu bajumu sudah kusetrika. Kenapa tidak dipakai?"
"Yang mana?" jawabku.
"Oo, ini?" kuambil mangkuk bubur lalu kutumpahkan di atasnya. Terlihat genangan di kornea matanya seraya mengelus perut yang belum membuncit.

==========

Tidak fokus, sering terlambat, dan cuti mendadak, semua karena Risma. Parkiran kantor sudah berderetan mobil dan motor yang memenuhi halaman. Gedung enam belas lantai juga tak kalah ramainya pertanda aku lebuh lambat dari biasanya.

"Pagi, Pak!" sapa satpam di lobby.
"Pagi!" kutepuk tangannya sembari tersenyum manis. Walaupun rasa jengkel masih mengepung hati.
"Tumben, Pak gak pernah ngopi di pos lagi?" sebelum kejadian ini, aku memang sering mampir sejenak menikmati segelas kopi hitam pekat setelah selesai lembur. Kecuali kalau melihat Anita berdiri sendiri menunggu angkot.

"Iya, lagi sibuk. Aku ke ruangan dulu yah, sudah telat." ia agak membungkukkan badan dan berkata "Siap, pak!"
Kutenteng tas hitam yang berisi laptop di sebelah kanan, sedang sebelahnya menekan angka delapan di lift. Ruanganku berada di sana.

Setelah pintunya terbuka, kulihat Anita sedang terburu-buru sambil menenteng rantang besi juga tas yang diselipkan diantara lengannya. Dia nyaris terlambat juga. Kupercepat langkah agar menyamakan posisi.

"Tumben telat?" dengan nafas tersengal-sengal, kuhampiri ia yang sedikit lagi sejajar denganku. Anita sedikit berserong agar wajahnya kelihatan, kemudian disambung dengan menyapu rambut yang menutupi telinganya.
kulit sawo matang, pipi dan bibir senada warna pink, dengan kemeja batik condong abu-abu, serta celana panjang yang menjuntai ke bawah menutupi bagian atas sepatu hak miliknya. Sangat anggun.

"Aku masuk dulu, yah! O ,iya. Jangan lupa berkas yang harus kutandatangani bawa saja ke ruanganku sebentar" ucapku ketika ia tlah sampai di meja kerja yang di atasnya terdapat sebuah komputer, rak pulpen, foto ukuran kecil dan tumpukan berkas.

"Siap, Pak! Sisa diangkut kok. Semua sudah beres. Hehehe." jawabnya sambil melepas tas yang masih menempel di badannya.

Ruang kerjanya cenderung terbuka. Hanya dibatasi sekat pemisah antara satu karyawan dengan lainnya. Beda dengan ruanganku yang tertutupi kaca keseluruhan. Jelas, jabatanku lebih tinggi darinya jadi ada tempat khusus yang disediakan kantor untukku. Pintu tepat di samping meja kerja Anita, jadi mau tidak mau  harus melintas lebih dulu di depannya.

Rindu juga suasana disini. Walaupun pikiran belum stabil. Sambil melihat ke atas, kusandarkan tubuh pada kursi hitam empuk lalu memutar-mutar ke ke arah berlawanan. Sesekali menggoyangkan pulpen hitam yang sedang kujepit di antara ibu jari dan telunjuk. Serta paha kanan kiri saling menindih. Sedikit membayangkan berat beban yang sedang ditanggung.

Terdengar suara ketukan pintu namun kuabaikan.
"Permisi, Pak!" suara perempuan dengan *krak* pintu beriringan. Ditambah bunyi sepatu yang semakin jelas terdengar.

"Pak!" lamunanku buyar. Pulpen terjatuh kemudian segera ku perbaiki posisiku. Kursi kutarik beberapa senti mendekati meja.

"Maaf, Pak. Tadi sudah permisi masuk, tapi bapak melamun. Hehehe." Kutatap senyum manisnya beberapa saat lalu kembali tunduk melihat tumpukan berkas dan pulpen yang disodorkan. Lagi-lagi hampir hanyut. Semarah-marahnya terhadap Risma, aku tetap suaminya.

Rumah tangga kami ibarat perahu kecil yang sedang menantang ombak samudra. Hanya keajaiban sang maha kuasa sebagai penentu bertahan tidaknya sampai ke pulau besar yang kami sebut kebahagiaan. Mengajak orang ketiga masuk di dalamnya, besar kemungkinan perahu karam sebelum tiba di tujuan. Dan satupun tak dapat keuntungan. Walau tak kunafikkan, gisik baik dan sisi burukku sedang bertempur di sanubari. Kulanjutkan perjalanan dengan Risma, ataukah mengantarnya kembali ke bibir pantai lalu menggantinya dengan Anita. Astagfirullah.

"Iya, tidak apa-apa. Kepalaku masih berat. Tadi mesti berangkat subuh-subuh dari kampung dan kembali kantor lagi. Makan pun tidak sempat" kubuka lembar demi lembar yang telah diberi pembatas agar memudahkanku bertanda tangan.

"Kalau tidak keberatan dan bapak mau seadanya, rantang yang tadi kutenteng berisi makanan bisa disantap bersama dengan teman-teman yang lain, Pak. Tapi, nanti setelah makan siang." Anita menjawab sambil merapikan berkas yang selesai.
"Ah, apa tidak merepotkan?" tanyaku.
"Tidak, pak. Hitung-hitung sedekah dengan teman-teman yang lain." perempuan idaman.
"Kalau begitu, bawa saja masuk ke sini. Di luar kurang luas untuk makan lesehan. Kalau di pantry terlalu ramai, bisa-bisa aku gak kebagian. Hehehe" Anita hanya tertawa mendengarnya.
***

"Permisi, Pak!" Anita, Faisal, dan Arman bergiliran melewati pintu.
"Gak papa makan di bawah saja, Pak?" Tanya Anita yang sedang membuka pengait di bagian atas rantangnya. Lalu menurunkan satu persatu bagian. Nasi yang sengaja dipenyet agar bisa muat banyak. Lauk ayam lengkuas, sambel  yang bersebelahan dengan tempe orek. Serta di bagian atas sup berisi bihun yang ditaburi potongan daun bawang dan seledri.

"Malah enak kalau begitu. Lebih mantap makannya tidak usah pakai sendok." ucapku.
"Wah. Sepakat, Pak!" celoteh Arman yang kemudian disikut  Faisal. Ia kemudian menutup mulutnya..
"Santai saja!" Arman lalu menjulurkan lidah ke arah Faisal. Anita hanya tertawa sambil menyiapkan makanan.
"Ayo Pak, mari makan!"

Kami berempat duduk melantai bergantian mengambil lauk dan juga nasi.

"Enaknya, Nit. Mau gak jadi istriku?" Ucap Faisal.
"Gak level!" balas Arman.
"Sudah. Sudah! Ayo buruan makan. Jangan lama-lama. Ingat, selesai ini kalian ditugaskan untuk menyurvei lokasi untuk cabang baru.

Mereka kemudian terburu-buru menyantap makanan lalu pamit duluan meninggalkan aku dan Anita berdua di ruangan. Jika tadi kukunyah dengan santai, sekarang berganti rasa canggung.

"Pak, kalau boleh tahu, apa bapak punya masalah dengan bu Risma?" aku tersedak mendengar pertanyaannya.
"Maaf, Pak!" Anita menyodorkan sebotol minuman di tumbler dan berkata "Tidak usah dijawab, Pak. Maaf lancang. Silakan lanjutkan makannya lagi!"

Sambal di piring sudah habis, saat ingin mengambil lagi di rantang, tanpa sengaja tanganku dan tangan Anita bersamaan meraih sendok membuat mata kami saling berpandangan.

"Pak, maaf! Ada nasi di dagu bapak" Anita membersihkan wajahku dengan tangannya.
"Mas!" suara perempuan sambil membuka pintu. Menjatuhkan kresek berisi satu dos berwarna kuning mirip dengan kemasan di warung sebelah. Tangannya spontan menutup mulut. Matanya terbelalak dan berkaca.
"Kalian!"
"Tadi kami berempat! Tangan Anita menunjuk bekas makan Faisal dan Arman tadi. Tapi Risma tetap tidak percaya, kemudian keluar sambil mengusap air matanya.

"Kejar bu Risma, pak!" aku segera bangkit dengan menggebu lalu mencoba mengikuti istriku. Namun, ketika di ambang pintu, langkahku terhenti.

"Tidak usah!"  jawabku.
***

Suasana rumah hening. Kupegang gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Masuk dan mendapati Risma sedang menangis di sofa.

"Mas, kutau kau sangat marah karena perlakuanku terhadap ibumu. Tapi, tolong jangan bawa perempuan lain ke dalam rumah tangga kita" ia tertunduk menopang kepala yang bertumpu pada bantal kecil di bawah sikunya.
Tak berani menatapku.

"Bukan urusanmu!" sambil berjalan masuk ke kamar.
"Tapi, Mas!" Risma menyingkirkan bantal di pahanya lalu berdiri.
"Tapi apa?" spontan tangan meraih guci hias yang kulewati lalu kulemparkan di dekatnya. Gerakan refleks Risma mengangkat kedua tangan lalu menutupi wajahnya agar tak terkena pecahan beling.

"Keterlaluan kau, Mas!" ia lalu duduk dan menangis menjerit-jerit.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER