Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 19 April 2020

Istri Boros #7

Cerita bersambung


Masih seperti biasa, setelah shalat subuh menyiapkan perlengkapan sendiri sebelum berangkat. Para asisten kukabari agar jangan dulu datang. Yang membedakan, dua iris roti yang telah dipanggang dan segelas teh hangat. Roman-romannya Risma mulai berubah, tapi masih sulit kembali percaya setelah berkali-kali dikelabuhi.

Kulihat sekeliling meja makan tidak ada orang, tangan memegang roti kemudian diambil setengah, minum seteguk lalu kembali menenteng tas laptop keluar rumah.

"Terima kasih!" kudengar suara Risma yang entah dari mana asalnya. Rumah ini terlalu luas. Bukan berharap, tapi jika ada pencuri masuk, ia pasti akan kewalahan menembus sekat persekat.

 Langkah terhenti sejenak kemudian kugoyang-goyangkan pangkal dasi agar tidak terkesan keki.
***

Setiba di kantor, suasana masih sunyi. Halaman juga lumayan lenggang. Saat ingin memarkirkan kendaraan, sebuah mobil lama sekali mencari posisi. Dari caranya, sepertinya dia perempuan. Daripada buang waktu, kuambil tindakan untuk menawarkan bantuan. Kulihat di kaca mobil, "Anita!"
"Iya, pak. Hahaha. Saking jarangnya pegang setir,  aku sampai kewalahan cara untuk memundurkan mobil ini.!"
Ia tertawa menatap ke arahku yang berdiri di samping.

"Turun dulu, biar kubantu!" ucapku seraya menyingkir sedikit agar pintu mobilnya bisa terbuka dan Anita turun.
"Maaf, pak merepotkan!" balasnya saat kendaraan kami sudah tersusur rapi berdempetan.
"Tumben bawa mobil sendiri?" Anita mendekati untuk menjawab.
"Semalam nonton berita kalau supir angkot hari ini mogok kerja, Pak."
"Oo begitu." singkat jawabku. Sembari trus berjalan ke lobby kantor.
"Pak, sebentar sore ada waktu tidak?" tambahnya.
"Kenapa memang?" kulihat Anita kurang mahir berbasa-basi. Ia tampak canggung memberi jawaban.
"Tidak, pak. Gak jadi." ia tersipu malu-malu. Tertunduk sedikit sampai rambut yang tadi disimpan di belakang berlomba-lomba ke depan menutupi wajah.

"Apa?" Tanyaku kembali.
"Jawab saja. Mau minta tolong?"
"Iya, pak. Tapi tidak enak. Mau ke toko buku langganan bapak, tapi judul-judul buku yang direkomendasikan dulu kelupaan, pak. Tapi, kalau tidak bisa, yah tidak jadi masalah."
"Oo, itu. Pulang kantor sebentar kita mampir ke sana. Tapi, jangan lama yah" ucapku. Ternyata rasa kasihan terhadap Risma masih tersisa.
"Baik, pak!"
***

Toko buku yang terletak di dalam pusat perbelanjaan atau biasa orang sebut mall. Risma senang sekali ke sini. Betis kadang keram mengikutinya berkeliling-keliling tanpa henti. Sekali masuk, bisa dihabiskan lima juta hanya untuk membeli barang yang stoknya sebenarnya masih banyak di rumah. Tapi, begitulah dia.
Kali ini, bukan dengan Risma melainkan Anita yang berdiri di sebelahku. Mengenakan rok mini selutut dengan baju kemeja yang agak sedikit gombrang. Jika Risma berkeliling untuk mencari lipstik, Anita mengajakku mencari buku.

"Ayo ke sebelah sana!"kutunjukkan rak buku khusus ilmu-ilmu perkantoran. Bagaimana cara menjadi pekerja yang baik serta inovatif.
"Judulnya apa, pak?"
"Totalitas tanpa batas!" balasku. Mata trus mencari-cari letaknya. Sebuah komputer yang disediakan untuk memudahkan pengunjung mencari letak buku, ternyata stok habis.

"Sepertinya buku yang bapak bilang sudah habis. Yah, gimana dong?" ucapnya sedikit mendayu.
"Ambil itu saja. Coba baca sinonpsis di belakangnya!" kuraih sebuah buku lalu menyodorkannya pada Anita.
"Yang ini, pak?"  tanyanya.
"Ia itu saja. Isinya hampir sama. Ayo pulang. Sudah malam ini." gelisah juga berlama-lama di tempat umum berdua dengan orang yang bukan mahram.

"Astaga, pak. Aku lupa bawa dompet." sebelum ke kasir ia sempat mengintip ke dalam tas, tapi katanya ia tidak membawa uang. Terpaksa aku yang harus bayar. Anita ini. Ingin membeli buku, tapi ceroboh juga tidak membawa uang. Atau dikiranya gajiku yang banyak selalu kusimpan rapi di dompet. Kuberikan kartu kredit punyaku dengan nomor pin yang belum sempat kuganti. Memudahkannya untuk menghapal.

"Kau pakai ini saja. Masih ada isinya. Aku mau singgah ke toilet dulu. Kalau sudah selesai, tunggu di parkiran saja".
"Terima kasih banyak, pak. Maaf banyak merepotkanmu hari ini.! Ia tersenyum manis di depan meja kasir.
"Sama-sama!" balasku singkat.

Hampir dua jam waktu dihabiskan di dalam mall. Aku dan Anita berpisah di parkiran.

"Aku duluan, yah!" sambil melambaikan tangan ke arah Anita.
"Terima kasih banyak, pak!" Anita menghadapkan wajah ke bawah dan agak condong ke depan.
***

"Mas kenapa baru pulang? Aku mual-mual seharian" kalimat pertama yang diucapkan Risma ketika membuka pintu lalu mengunci kembali.
"Mas!" suaranya lemah memanggil sambil trus membuntuti.
Secara mendadak pintu ada yang mengetuk. Risma berbalik arah untuk melihat.

"Kamu? Mau apa kesini? Sudah malam. Bukan waktu yang tepat untuk bertamu." sambutnya kesal.
"Mau mengembalikan ini pada pak Ibam. Tadi lupa kuberi waktu di mall."  astaga itu suara Anita.
Aku menyusul Risma. Kulihat Anita menyodorkan kartu kredit yang kuberi tadi di toko buku.

"Kenapa tidak tunggu besok saja?" ucapku.
"Takut hilang, pak!" jawabnya sambil tersenyum. Sedangkan Risma terlihat begitu terpukul. Nafasnya berkali-kali ditarik dalam-dalam.
"Kan ini sudah ada di tanganku. Silakan pulang!" tanpa menunggu Anita pamit, ia langsung menutup kembali pintu.

"Mas, apa maksudnya ini?" Air matanya tumpah seketika.
"Jawab, mas? Kalau sampai ibu dan keluargaku tahu bahwa kau bermain hati dengan perempuan lain, mau ditaruh dimana wajahku ini?"
"Mas!" Risma bersimpuh di kakiku. Dadaku terasa penuh karena iba. Tapi, pikiranku terus-terusan menghakimi bahwa Risma yang paling bersalah atas peristiwa ini.

"Kau selalu saja memikirkan perasaan keluargamu. Tapi, coba ingat selama sepuluh tahun kita menikah. Sekalipun orang tuaku tak pernah kau anggap ada, Risma! Bahkan aku yang telah menjadi kepala keluarga, tidak pernah kau hargai. Kau melakukan semaumu. Setiap kunasehati, bukannya berubah justru semakin menjadi-jadi. Aku bisa saja sabar saat kau uji, tapi kau keliru jika menganggap perilakumu terhadap ibuku akan mudah kumaafkan" bibirku bergetar sambil menatap lampu agar tak ada tangis menetes.

"Maafkan aku, mas! Beri aku kesempatan sekali lagi untuk menunjukkan baktiku sebagai seorang istri. Aku sangat menyesal dan berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi. Demi anak yang sedang kukandung ini." ia mengencangkan pelukan di kakiku. Tersedu-sedu meminta diberi kesempatan sekali lagi.

"Entah berapa banyak waktu lagi yang kubutuhkan untuk bisa kembali percaya padamu." kulepaskan dekapannya dengan lembut lalu berjalan ke kamar.
"Mas! Maafkaan akuuuu!" Ia tersungkur di lantai sambil terus terisak. Sesal mendalam begitu nampak di wajahnya.

Barulah setibanya di dalam ruangan terpisah, kucurahkan segala kelu kesahku pada sang maha pencipta. Rumah tanggaku sedang di ambang kehancuran. Aku bersimpuh di atas sajadah panjang.

==========

Sudah seminggu kejadian Risma melempar uang ke wajah ibu. Jika pekan lalu kami pulang ke kampung, hari ini adalah acara family gathering kantor. Setiap akhir tahun sering diadakan guna mengakrabkan sesama karyawan maupun dengan sanak keluarganya. Karena itu pula banyak yang mengenal Risma.

Tapi tahun ini dia tidak kuikutsertakan, padahal sudah  jauh-jauh hari ia selalu excited setiap mengingat acara ini semakin dekat. Karena ingin memamerkan baju baju mode terbaru dengan harga terbilang fantastis di depan teman kantorku

"Mas, ayo berangkat!" Risma memakai kaos putih gombrang, lengan baju dilipat ke dalam agar kelihatan jangkis, dan celana yang agak longgar dibagian perut. Tidak lupa kacamata di kaitkan di atas kepala. Serta sepatu kets putih bercorak navy. Tas ransel kecil di gantung di pundak sebelah kirinya. Serta tangan kanan sibuk menggenggam iphone keluaran terbaru.

Risma memang selalu tampil trendi disetiap kegiatan. Ia tidak pernah kewalahan memadupadankan pakaian sesuai tema yang diusung. Ini juga salah satu alasan hati terpikat waktu itu. Orang sering bilang bahwa aku 'pungguk merindukan bulan', tapi begitulah jodoh, bak gayung bersambut, Risma menerima cintaku.

"Aku mau sendiri dulu." ucapku berlalu. Tidak mungkin membawa Risma saat emosiku masih menguasai.

"Mas aku sudah selesai bersiap-siap. Kenapa tidak bilang sebelumnya kalau ingin membatalkan. Tapi, tidak apa-apa. Kalau memang mood mu akan rusak kalau ada aku, lebih baik tidak ikut." Risma meraih kunci yang di atas meja lalu berjalan keluar tanpa berpamitan. Kuikuti ia, mengendarai mobil keluar gerbang. Mau kemana?

Jika Risma tlah siap, begitu juga denganku. Celana jeans dan kaos putih berkerah. Dengan jam tangan Rolex hadiah pemberiannya di hari ulang tahunku.

"Halo, Anita! Aku mau minta tolong untuk dijemput di rumah. Mobiku dipakai Risma." tidak ada pilihan lain kecuali meminta pada Anita.
"Baik, pak."
***

Karena sejalur, hanya butuh sepuluh menit Anita melewati jalanan untuk sampai ke rumah. Dia juga mengenakan baju kaos putih dengan kacamata hitam yang digantung di kerah baju. Lumayan cantik, tapi gaya Risma masih terbilang lebih unggul. Itu di mata teman kantor. Dulu, Anita sempat tersinggung saat acara tahun lalu, "Nit, kupikir kau cantik. Ternyata istri pak Ibam luar biasa cantiknya."

"Maaf yah merepotkan!" Anita mendekatkan badan ke setir sambil menghadap ke samping lalu tersenyum manis melihatku berdiri di samping mobilnya sedang berusaha membuka pintu.

"Ahh, gak, pak." jawabnya.
"Ngomong-ngomong istri bapak ke mana? Semalam dia tidak marah kan?" timpalnya.
"Hehee!" celingak celinguk kebingunan hendak berkata apa.
"Pak, aku followers bu Risma loh. Pengikutnya sudah sepuluh ribu orang lebih. Memang sih, story dan feed istri bapak itu keren semua. Jalan-jalan kemana-mana, makanan mewah, barang branded, arisan ala sosialita selalu menghiasi instagram miliknya. Wajar banyak yang suka. Tapi kulihat akhir-akhir ini, jarang update. Beruntung sekali dia punya suami seperti bapak yang sesukses ini." aku tersentak mendengar ucapan Anita. Kutelan ludah dalam-dalam. Dia tidak tahu bahwa istriku masih merasa kekurangan. Mungkin di mata Anita aku suami bergelimang harta, memanjakan istri prioritas utama. Dia tidak tahu setiap bulan gajiku bahkan tidak cukup untuk jajannya. Yang ada, orang tua Risma yang menutupi sebagian.

"Hehe, iya." jawabku singkat. Jarak tempuh yang dekat, tapi terasa lama karena pembahasan Anita sangat mengulik privasiku. Tidak sepatutnya rekan kerja bertanya seperti itu.

"Maaf, pak. Terbawa suasana" ia membuang muka ke samping kanannya untuk menghilangkan canggung sehingga nyaris saja masuk ke selokan.

"Biar aku saja yang nyetir!" ucapku kemudian bertukar tempat duduk. Ruangan dalam mobilnya serba pink. Setirnya juga demikian. Dengan hiasan bulu-bulu menambah kesan feminin bagi siapapun yang melihat.

Setiba di lokasi tepatnya di pantai -namun tidak begitu jauh dari kota- semua mata melihat kami dengan tatapan menghardik. Baru kali ini Risma tidak ikut, malah aku datang bersama Anita. Untung Faisal dan Arman segera menyapa, kalau tidak, kaki akan sulit melangkah.

Hamparan pasir dipenuhi teman-teman barbaju kaos putih. Mereka tengah sibuk untuk memulai pembukaan gathering. Selesai dibuka, seluruh karyawan diarahkan untuk membentuk lingkaran besar sambil menyorakkan yel-yel yang membakar semangat. Suara gelak tersebar dari berbagai arah, menertawakan senior-senior yang berumur namun tak kalah hebohnya bernyanyi sambil berjoget.

Setelah lelah, masing-masing dari mereka berpencar sejenak. Ada yang menikmati es kelapa di bawah pohon, merokok di gazebo, berselfie, membuat story instagram. Sedang aku dan Anita duduk berdua di atas pasir.

"Tidak tahu kenapa, aku selalu tenang saat melihat laut membentang luas. Dengan segala kesederhanaan menyimpan kekayaan di dasarnya." Anita duduk memeluk lutut dan menatap lurus ke depan. Dibiarkan rambutnya tertiup angin.

"Maksudnya kamu juga cari pria seperti itu? Polos, tapi ternyata kaya?" selidik maksud Anita.
"Hahaha. Ada-ada saja." jawabnya.
"Lalu kenapa sampai sekarang kau belum menikah? Mustahil tidak ada yang mau." tanyaku lagi
"Nunggu sampai ada yang cocok." akunya
"Tipemu seperti apa?" ucapku
"Seperti bapak. sebenarnya sejak dulu aku menyimpan..." lamunanya terberai, tampak malu terlihat. Ia kemudian berdiri dan membersihkan pasir yang menempel di celananya. "Pak, aku gabung dengan yang lain dulu." ucapnya kemudian berlalu. Kupandangi ia berjalan sampai menghilang di tengah kerumunan orang.

Setelah itu melanjutkan kegiatan pembagian grup, untuk lomba yang melatih ke kompakan tim. Estafet tepung jadi pilihan tahun ini. Kami berbaris panjang perkelompok lalu mengoper tepung hingga sampai ke anggota tim paling belakang.Petinggi maupun karyawan biasa diperlakukan sama saat kegiatan sampai acara berakhir. Suasana semakin seru ketika wajah mereka dipenuhi bubuk terigu. Sesekali kudapati Anita mencuri pandang ke arahku.
***

"Tadi, mau ngomong apa?" tanyaku
"Pak, sudah sampai." ia memotong pembicaraan. Nyaris saja kulewati rumahku
"Gak mau mampir dulu?" berniat basa-basi saat kumatikan mesin mobil untuk kembali kemudi diambil alih Anita. Namun diluar dugaan, ia tidak kembali masuk ke dalam mobil. Melainkan ikut berjalan ke arah gerbang.

"Boleh, pak. Kebetulan kepalaku pusing. Semoga bu Risma tidak marah." benar-benar habis akalku dia nekat ikut masuk.

Dari kejauhan kulihat Risma sedang duduk di teras bersama orang yang mirip ibuku dan ayah Kupicingkan mata untuk meyakinkan diri. Masak iya. Semakin dekat teras, dugaanku benar. Ternyata itu ibu. Tatapan tajam menembus jantungku. Apa yang harus kukatakan.

"Anita kau pulang saja" terlihat raut kecewa di wajahnya. Tapi ia tidak berbalik melainkan datang sebentar ke depan orang tuaku lalu menjabat tangannya. Setelah itu permisi pulang. Wajah ayah ibu datar, sedangkan Risma seperti singa yang siap menyantap mangsanya.

*plakk*

"Perempuan murahan kamu!" Risma berdiri mendekati dan melayangkan tamparan di wajah Anita. Aku yang terlalu kaget, sampai lupa melerai. Ia kemudian berlari ke arah mobil tanpa sepatah kata. Ayah ibu ikut berdiri di sampingku.

"Anita!" teriakku. Ibu kemudian berkata "Ibam, apa-apaan kau ini?"
"Dia perempuan baik-baik, bu." ucapku membela.
"Sejatinya perempuan baik-baik, tidak akan mungkin sudi berdekatan dengan pria beristri" tambah Ayah.
"Pantas saja kau tidak mengizinkanku ikut ke sana, Mas. Ternyata sedang asik menikmati waktu berduaan dengan teman kerjamu" Risma mengusap air matanya lalu berjalan masuk melewatiku. Entah sudah berapa kali ia menangis. Sedang dulu aku berjanji akan selalu membuatnya bahagia.

"Bagaimana ibu ayah datang kesini?" mencoba mengalihkan perhatian. Apa tadi Risma ke kampung menjemput mereka? Tapi,  kenapa mereka mau?

"Tidak penting itu. Kami kecewa dengan kelakuanmu, Ibam. Ku tahu kau sangat marah pada Risma. Tapi, kau pikir dengan menghadirkan orang ketiga masalahmu akan selesai? Justru semua tambah rumit." ucap Ayah mencoba menasehati. Sedang aku duduk menjuntai di atas kursi bekas Risma tadi. Menahan malu.

"Aku bingung mau berbuat apa, bu, ayah. Aku masih sangat sulit memaafkannya" jawabku.
"Jangan berharap istrimu bisa kau bimbing, kalau kau saja tidak punya pendirian dalam bersikap. Sekali kau ucap ikrar, seluruh tanggung jawab ayah Risma beralih ke pundakmu. Jangan berani menikahi, tapi tidak sanggup membawanya ke jalan yang benar. Dia sulit berubah karena kau yang tidak tahu cara bertindak. Lalu kau marah melihat sikap istrimu yang tidak sopan kemudian menghukumnya dengan cara begini? Apa bedanya kau dengan Risma?" aku hanya bisa tertunduk tak berani menoleh.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER