Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 20 April 2020

Istri Boros #8

Cerita bersambung

Sepulang shalat berjamaah di mesjid. Ibu dan Risma jalan berdempetan menuju rumah. Memakai mukenah sambil menenteng sajadah. Kontras perbedaan jenis kain dan warna.
Ada yang terlihat baru dan mulai memudar. Risma yang tubuhnya agak tinggi ketimbang ibu, terlihat sesekali memegang tangannya saat Ibu nyaris tersandung batu. Penampakan yang tidak pernah kutemui sekian lama.


Sedang aku berdua ayah jalan di belakang mereka seperti pengawal. Dengan baju kokoh biru muda, songkok hitam bulu,  sarung kotak-kotak, serta sendal jepit hijau putih yang dipakai dari kampung menjadi ciri khasnya.
Orang-orang yang melihat, bertanya "itu Ayahnya pak Ibam?" -mungkin- agak heran. Rumah anak sebesar istana tapi penampilan orang tua berbanding terbalik.

Ada sesal dan kesal pada diri sendiri. Dikuliahkan susah payah hingga sukses di rantauan, menikahi orang kaya, tapi tak ada sumbangsih pada ayah ibu untuk mengantarnya keluar dari kesengsaraan. "Anak tidak tahu diuntung, anak sialan, anak celaka, anak durhaka." Kata-kata ini yang sering menghujamku sebelum tidur. Sehingga masih sulit memaafkan Risma. Setiap malam air mata mengucur deras. Betapa tidak berbaktinya hamba terhadap kedua orang tua.

Apalah aku ini. Jangankan membuatkannya singgasana, berkunjung ke gubuk mereka saja bisa kuhitung jari. Kalaupun datang, di sana kami berdua disambut bak raja dan ratu yang mengunjungi rakyat jelata. Astagfirullah!

Beruntung sikap bijak dan penyayang dijunjung tinggi. Sehingga amat mudah memaafkan anak menantunya.

Sesampai di halaman rumah, masih agak petang. Ayah memandang pekarangan yang sangat luas. Mobil Alpard terparkir rapi di garasi yang sudah di lantai marmer krem. Di depannya rumput jepang tumbuh subur dikelilingi deretan tanaman bongsai di sisi kanan rumah. Sedang di sebelahnya, kolam ikan ukuran kecil serta air mancur, juga ayunan besi menambah indah tampilan.

"Bu, ayo masuk!" Risma meraih tangan ibu saat melewati tiga anak tangga menuju teras. Nafas ibu tersengal-sengal padahal hanya sekian meter. Ia duduk sejenak. Kususul dengan ayah. Sedang Risma masuk sendirian.

Sekitar lima belas menit, ia keluar membawa nampan berisi empat cangkir teh dan sepiring biskuit. Hatiku bergetar. Ada semburat bahagia di sana. Kulihat ia menunduk menyajikan satu persatu di atas meja. Dia tak menatapku, tapi kutahu ia sadar bahwa suaminya terkesima melihat perilaku terpujinya.

"Tidak usah repot-repot, nak!" ucap Ibu yang mulai stabil nafasnya.
"Tidak, bu! Ini kubawakan gula, siapa tau hambar." ia kembali ke dalam sambil memeluk baki yang mulai kosong.

"Yah, semalam kalian belum sempat menjawab bagaimana bisa datang kesini? Risma yang jemput?" tanyaku membuka percakapan.
"Iya, tapi dia tidak sendiri. Seorang supir -yang kira-kira seumuran kakakkmu Ivan- mengantarnya." jawab ayah yang memegang telinga cangkir yang siap diseruput.
"Oo, mungkin itu supir orang tuanya. Risma memang sering  memanggilnya ketika ingin bepergian jauh, tapi aku tidak sempat mengantarnya. Tapi kenapa kalian mau ikut?" kataku.
"Kasihan toh, sudah jauh-jauh trus ditolak. Lagipula padi di kampung semua sudah kering. Jadi ibu ayah punya waktu luang." ucap ibu yang mulai melepas mukenahnya.
"Ibam, semalam kau pulang bersama siapa?" tanyanya penasaran.
"Teman kantorku, bu!" segera membuang muka agar tidak ditanyai lebih panjang. Tapi tetap saja tidak lolos.

"Hati-hati, nak. Jangan sampai ia terbawa perasaan nantinya." ibu mengingatkan.
"Maksud ibu? Anita?" tanyaku.
"Iya, tidak ada salahnya mengingatkanmu. Masuk sana. Sudah mulai terang. Awas terlambat ke kantor." aku lalu menghabiskan teh yang dibuat istriku kemudian masuk ke rumah untuk mandi dan berkemas.
***

"Anita, ke ruanganku sekarang!" kataku sambil melintas di samping mejanya.
"Baik, pak!" jawabnya lalu ikut di belakang.
"Silakan duduk!" balasku.
"Maafkan perilaku Risma semalam!" Anita tertunduk kecewa.
"Tidak apa-apa, pak! Aku yang salah." ia kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu menangis terisak-isak. Karena iba, tak berpikir panjang, aku berjalan ke sisinya lalu menepuk-nepuk pundak Anita.

"Sudah, yah. Maafkan Risma!" tangisnya semakin kencang. Kasihan berubah menjadi panik.
"Permisi!" aku berbalik ke arah pintu. Arman yang ingin masuk, tapi melihat tanganku masih memegang pundak Anita, ia justru keluar kembali dan mengucapkan, "maaf mengganggu!"

Astaga apa jadinya kalau orang kantor berpikiran tidak-tidak. Hancur reputasi yang kubangun selama ini. Tapi, Anita terlihat tidak risih. Ia lalu menghapus air mata dan berdiri meminta maaf karena terlalu berlebihan katanya.

"Maaf, pak. Kenapa jadi cengeng begini." ia merebahkan tubuhnya ke dadaku. Aliran darah serasa naik turun. Jantung berdegup tidak karuan. Tapi otak masih bisa mengedalikan anggota tubuh yang lain agar tidak menikmati dekapan Anita. Kusingkirkan tubuhnya perlahan lalu pura-pura mencari barang di atas meja agar tak kelihatan kaku.

"Silakan kembali bekerja! Sekali lagi kuucapkan maaf atas nama istriku!" ucapku. Kemudian Anita meraih tanganku lalu berkata, "Baik, demi Bapak!"
***

Sengaja pekerjaan hari ini kuselesaikan lebih awal agar bisa cepat pulang. Kasian ibu ayah di rumah. Selera makannya berbeda dengan Risma. Namun, ketika hendak masuk ke dalam mobil. Anita secara mendadak berdiri di sampingku.

"Pak, boleh ikut?" perasaanku mulai risih. Kalau dulu ia sengaja kutawari, kenapa sekarang berubah lebih agresif. Ingin menolak, tapi terlanjut tidak enak. Dengan terbata kubilang "boleh. Silakan!"

Tidak ada percakapan di atas mobil sampai kami melintasi  restoran baru di samping rumahnya.
"Pak, ayo singgah makan dulu. Kata teman-temanku di sini enak. Jadi penasaran!" ucapnya.
"Lain kali saja yah!" balasku singkat.
"Yaaa, bapak. Ayolah!" ia mulai memaksa. Seperti anak kecil yang merengek ingin dibelikan permen di toko. Akhirnya aku turun bersama Anita.

"Mas, mas, sini!" ia melambaikan tangan ke arah pelayan untuk memesan makanan.

"Mau pesan apa, Bu'? Sambil memegang buku catatan kecil dan sebuah pulpen, pelayan remaja itu menulis aneka menu yang dipesan Anita. Seperti orang kelaparan. Ia menunjuk berbagai macam makanan yang harganya mahal.

Sambil menunggu pesanan diantarkan. Ia berbicara panjang lebar. Anita berubah atau memang ini karakter aslinya. Selama berkenalan ia tampil anggun dan jarang berbicara. Sekarang jadi agresif dan lumayan cerewet.

"Pak, bu Risma hamil?" tanyanya.
"Iya." jawabku singkat.
"Pantas kulihat wajahnya agak berjerawat yah. Kulitnya juga kusam." ekspresinya berubah-ubah ketika ia menjelaskan tentang Risma yang tidak semulus dulu. Tiba-tiba rasa iba berkecamuk di hati. Apa iya aku keterlaluan jika tidak memberi kesempatan pada istriku. Setelah ia mengorbankan ego demi memberiku keturunan.

"Tidak juga!" ucapku seakan membantah asumsi Anita terhadap istriku. Secara tidak sengaja aku membelanya.

"Coba bapak perhatikan kalau pulang nanti. Bu Risma berbeda dari biasanya. Jadi takut hamil, pak. Hehehe.. " sepertinya pembahasan Anita mulai tidak sehat.
"Aku pulang duluan yah? Kepalaku sakit!" karena risih, kuambil handphone di atas meja. Lalu berdiri untuk pamit.

"Trus aku gimana, pak?" wajahnya memelas.
"Makan dulu. Sebentar lagi pesanannya datang." ia menawar-nawar. Sekitar sepuluh menit kemudian. Tiga orang pelayan datang mengantarkan ke meja kami.

"Banyak sekali, Anita. Apa tidak mubazzir?" tanyaku. Kalaupun dulu Risma suka jajan di luar. Tapi tidak pernah sekalap ini.

Kulihat Anita mencicipi semua lauk yang tersaji. Tapi, tidak ada yang habis. Bahkan tidak berkurang seperdua porsi pun. Setelah puas, ia mengajak ke meja kasir.

"Ayo, pak!" ajaknya.
"Makanan ini, dibiarkan saja?" tanyaku heran.
"Kenyang, pak!" dia begitu santai menjawab.

Kami berdua berjalan ke meja kasir. Ia mengintip uang di dompetnya yang tinggal dua ratus ribu. Sedangkan pesanannya tadi sampai lima ratusan. Andai dimakan semua, tidak masalah. Tapi, dibiarkannya tersisa. Tidak mungkin juga kubawa pulang. Karena semua makanan sudah diaduk-aduknya.
Secara terpaksa kartu kreditku lagi-lagi yang jadi penyelamat.

"Aku pulang duluan yah? Rumahmu sisa berapa langkah dari sini " ucapku setelah membayar bill lalu meninggalkannya di resto sendirian. Lalu kenapa dulu ia sering naik angkot dan membawa bekal di kantor, toh aslinya juga seboros ini.

==========

Setelah memarkirkan mobil, kususuri jalan panjang hingga sampai ke rumah. Beruntung tiba sebelum malam. Anita menguras waktu kurang lebih sejam. Kulihat ayah sedang asik duduk bersantai di atas kursi. Ditemani secangkir kopi. Kuhampiri ia.

"Ayah, kok sendiri? Yang lain kemana?" Tanyaku. Kuletakkan tas laptop di atas meja bundar bersebelahan dengan minuman ayah. Ukurannya lumayan besar, jadi muat beberapa barang.

"Ada di dalam. Setiap hari kau pulang terlambat? Kukira kantoran hanya sampai jam empat sore? Atau lembur?" ucapnya. Memperhatikan secara detail tingkahku yang agak kelagapan.

"Anu yah, singgah sebentar!" kuambil tas kembali lalu masuk segera. Aku tidak suka berbohong, daripada ditanyai lebih lanjut, mending pergi saja.

"Aku ke dalam dulu, yah!" ucapku.

Kususuri ruang tamu yang nampak kosong. Kamarku dan kamar Risma juga tak berpenghuni. Namun, terdengar suara dari arah dapur. Rasa penasaran menyelinap, Kusimpan tas di sofa lalu berjalan ke dalam. Kaget bukan kepalang. Risma duduk di lantai sambil mengupas bawang merah dan bawang putih. Rambutnya diikat membentuk konde, dengan celemek merah muda di kalungkan dileher. Lagi-lagi kali pertama melihatnya seperti itu.

Sedang ibu dengan daster tuanya, sibuk memotong-motong tahu dan tempe di  sebelah kompor.

"Bu, bawang merah putihnya sudah kukupas. Tadi ibu bilang, enam bawang merah dan empat bawang putih? Ini diris, dicincang atau kuulek?" Sedikit mendongak, ia bertanya pada ibu yang berdiri di sampingnya.

"Diulek, nak! Iya segitu. Jangan lupa tambahkan satu sendok teh ketumbar dan 3 butir kemiri" ibu memalingkan wajah agar nampak jelas suaranya.

"Kemiri yang mana, bu? ini?" Risma berdiri sambil memegang buah pala yang dikiranya kemiri. Betul-betul istriku ini. Tak terasa aku cekikikan di balik tembok.

"Itu buah pala, nak. Kemiri yang ini." ibu membungkuk mengambil satu kotak lalu memperlihatkan ke arah Risma.
"Maaf, Bu!" ia menutup mulutnya karena malu. Setelah semua bumbu dimasukkan, Risma menumbuk diulekan dengan sangat kencang sehingga banyak yang terbuang.

"Pelan-pelan saja. Kalau susah hancur, bisa ditumbuk sekali trus lanjut diulek seperti. Awas matamu kena kalau terlalu kencang!" ibu mempraktekkan cara menghaluskan.
"Hahaha!" aku tertawa lepas. Sampai ibu dan Risma berbalik memandangiku. Tidak tahan rasanya melihat tingkah lucunya itu.

"Ibam? Dari tadi disitu?" Tanya ibu yang kembali memotong tahu tempenya.
"Mau bikin apa, Bu?" tanyaku. Kuhampiri tempat berdiri ibu yang membelakangi Risma. Sesekali kulihat ke arahnya, ia tidak menatapku. Justru masih asik belajar mengulek.

"Risma minta diajar membuat tempe bacem. Makanan favoritmu." balasnya.
"Bu, sudah halus. Mau diapakan lagi ini?" tanya Risma.
"Siapkan wajan, nak. Lalu tuangkan air kelapa setelah itu masukkan yang sudah diulek tadi!" Jawab ibu. Risma mengambil wajan yang tergantung lalu menyalakan kompor. Dituangnya pelan-pelan air kelapa disusul dengan bumbu halus tadi. "Bu, semuanya kan?" tanyanya kemudian dibalas anggukan oleh ibu.

"Ibu tadi dari belanja? Persediaan bumbu mulai menipis selama asisten rumah tangga tidak ada." tanyaku seraya mengambil satu pisau dipakai Risma tadi lalu membantu ibu.

"Risma mengajak ibu ke pasar dalam gedung. Di sana ada tangga yang bisa bergerak sendiri. Awalnya ibu menolak, tapi istrimu bilang sekalian jalan-jalan. Alhasil, ia harus kurepotkan berdua ayahmu. Tahu sendiri kan, di kampung tidak ada begituan." Ibu menjawab dengan sangat antusias. Apa Risma sudah berubah? Hatiku selalu dipenuhi tanda tanya. Jika belum, tidak mungkin ia mau berjalan di tempat umum bersama kedua orang tuaku yang dari tampilan saja sudah jelas perbedaannya.

"Maksud ibu supermarket? Naik apa bu?" tanyaku lagi.
"Tadi istrimu hanya menekan-nekan HPnya. Tidak lama mobil sudah datang. Pas sampai di tujuan, supirnya bilang bintang lima yah! Ayahmu jawab, kami cuma punya uang. Tidak ada bintang. Eeh supirnya tertawa, trus Risma senyum-senyum lalu menjelaskan, yah walaupun ibu dan ayah sampai sekarang belum mengerti maskudnya. Bintang lima itu apa. Yang kami tahu cuma bintang tujuh obat puyer di warung-warung" spontan aku tertawa renyah di samping ibu.

"Bu, diapakan lagi?" tanya Risma.
"Masukan lengkuas dan daun salam di kantongan itu!" ibu menunjuk kotak di sebelah kotak kemiri tadi.
"Yang mana, Bu?" ia mengeluarkan semua isi di lantai. Wajar dia bingung. Di dalamnya ada lengkuas, jahe, daun jeruk, daun salam, kencur dan kunyit muda.

 "Ini. Cuci dulu, nak!" tanpa menjelaskan, ibu hanya mengambil lengkuas dan daun salam untuk diberi pada Risma. Tidak lama kemudian menuangkan tahu dan tempe tadi ke dalam wajan. Lalu ditambahkan sedikit kecap.

"Masak sampai airnya habis yah! Trus tuang dulu ke wadah tertutul atau masukkan di kulkas setelah dingin. Nanti malam biar ibu saja yang goreng!"
***

Setelah shalat isya berjamaah, kami berkumpul bersama di meja makan.  Risma dan ibu bolak-balik mengambil aneka menu dari dapur.

"Wah, siapa yang masak ini?" tanya ayah saat melihat tempe bacem dan sambal sudah terhidang.
"Risma, yah!" jawab ibu.
"Bukan. Cuma bantu-bantu di dapur, yah!"
"Ayo silakan makan! Maaf karena aku beda sendiri!" Risma menyantap salad sayur yang dipenuhi mayonise dan keju.
"Gak papa, nak. Sayur bagus untuk kesehatan bayimu. Tadi dokter juga bilang begitu kan? Rajin makan sayur biar asimu nanti melimpah?" ingin sekali rasanya menanyakan mengapa mereka ke dokter tanpa mengajakku. Tapi, mungkin Risma masih takut kutolak.

Setelah menyantap sampai tak tersisa makanan sedikitpun, ayah membuka pembicaraan.

"Besok ayah dan ibu pulang dulu, nak!" ucapnya.
"Kenapa buru-buru sekali ayah? Tunggu hari minggu saja biar Ibam yang antar!" balasku.
"Kasian ayam di kampung, tidak ada yang urus!" timpalnya.
"Ayah, ibu, tinggal-tinggalah dulu barang seminggu lagi. Masih banyak tempat yang mau Risma tunjukkan." sambung Risma yang sedang bersandar di kursi.
"Nanti lagi nak,  kalau kamu sudah mau melahirkan, baru ayah ibu datang kemari lagi" jawab ibu yang mulai berdiri membereskan makanan.

"Simpan disitu saja bu, biar aku yang angkat!" kenapa Risma begitu menakjubkan akhir-akhir ini.
"Tapi kalian mau naik apa? Akses masuk kampung susah, Bu. Tunggu Ibam saja!" bujukku seraya kembali meneguk air minum.

"Kan banyak truk pengangkut sayur!" jawab ibu lagi yang kemudian kembali duduk.
"Jangan, Bu. Kalau memang sudah mau pulang, besok kusuruh mang Ujang kesini. Kita berangkat sama-sama ke kampung!" Risma kembali menyambung pembicaraan.
"Tidak baik hamil muda sepertimu trus-trusan berkendara jauh, nak!" Ayah kembali mengingatkan.
"Baik, Yah. Tapi, kalian harus mau yah diantar sama mang Ujang!"

Entah mengapa jantungku trus-trusan berdetak lebih cepat saat mendengar Risma begitu baik kedua mertuanya
***

Saat bersiap ke kantor, ibu ayah juga berkemas untuk pulang. Risma menyiapkan teh dan roti panggang di dapur.
Suara klakson di depan rumah, pertanda bahwa mang Ujang sudah datang.
Kubuka pintu, ternyata Mama dan ayah mertua juga ada di atas mobil. Ia kemudian turun lalu mencari orang tuaku.

"Ibu ayahmu kemana, Ibam?" Tanya Ayah mertua.
"Di dalam, yah!" mereka menerobos masuk. Kulambaikan tangan pada mang Ujang untuk ikut ke dalam, tapi ia hanya bilang "Makasih, bos!"

Saat masuk, mereka berempat bertemu di ruang keluarga. Ayah dan ibu yang sudah rapi menyambut hangat besannya.

"Sudah berapa hari disini? Kenapa tidak bilang-bilang!" icap ayah mertua yang langsung merangkul besannya.
"Iya nih, tahu begini, semalam kami jemput biar menginap di rumah saja!" sambut Mama mertua lalu memeluk ibuku.

Selama menikah, walaupun mama Risma sering mengatakan bahwa aku tidak bisa mencukupi kebutuhan anaknya, tapi, saat bertemu kedua orang tuaku, mama tahu persis caranya menghargai. Aku juga bingung bagaimana Risma bisa kasar pada ayah ibuku, sedangkan orang tuanya selalu bertingkah sopan pada besannya. Tak ada pembeda keduanya.

"Baru berapa hari, bu'! Jawab ibuku.
"Untung tadi mang Ujang bilang kalau mau mengantar mertua Risma katanya. Untung kami tidak sibuk, jadi bisa menyempatkan diri kesini." celoteh ibu, kemudian melihat sekeliling mencari istriku. "Risma kemana?" ucapnya.
"Hadirrrrrr!" Risma keluar membawa baki.
"Astaga anak mama. Pembantumu mana? Kenapa kau yang ke dapur? Kan anak mama yang cantik ini sedang hamil." mulai lagi drama yang sering ditampilkan saat Risma mengerjakan semua sendiri.
"Wah, hebatnya anak ayah. Begitu dong!" sambung ayah mertua.
"Lagi cuti, Mah. Jadi sekalian Risma belajar mengurus rumah!" ucap Risma sambil meletakkan nampan di atas meja. Lalu memeluk orang tuanya.

"Kenapa tidak bilang. Kan di rumah ada sepuluh pembantu yang semuanya sudah dijamin tidak bakalan macam-macam!" mama mertua masih sibuk mencium pipi anaknya. Padahal usia Risma sudah lebih tigapuluh, tapi masih diperlakukan seperti anak kecil.

"Ayo duduk dulu. Ayah, ibu, mama, silakan dicicipi dulu. Maaf seadanya!" Risma mulai jarang berinteraksi denganku. Bahkan untuk menatap saja ia sudah tidak berani.

Setelah bercengkrama panjang lebar, akhirnya ibu ayah berpamitan pulang ke kampung. Aku, Risma dan mertuaku mengantar mereka sampai ke teras.

"Mang ujang, berani kan balik ke sini sendiri?" Risma turun ke anak tangga terakhir untuk bertanya pada supir mertuaku.
"Siap, Non!" mang Ujang melap-lap mobil mewah milik mertuaku sambil sedikit membungkukkan badan.
"Ibu dan Ayah pamit dulu yah!" ucapnya pada Risma yang dibalas pelukan begitu lama. Lalu mereka mendekatiku dan berkata, "jaga calon anak dan ibunya!" kubalas mengangguk.
"Bu besan. Di mobil ada bingkisan, kalau sampai di sana, minta tolong sama mang Ujang untuk di bawah turun yah. Soalnya berat." ucap mertuaku.
"Wah, terima kasih banyak!" jawab ayah dan ibuku bersamaan.
"Isinya apa mah?" tanya Risma mencoba mengintip dari kejauhan.
"Rahasia!" mereka tertawa bersama di teras rumah. Sedangkan aku sibuk menatap Risma.

Bersambung#9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER