Cerita bersambung
Setelah mobil yang mengantar ibu ayah pulang, aku juga berpamitan kepada mertua dan Risma, walaupun agak canggung
"Mah, ayah, Ibam ke kantor dulu, yah!" ucapku samb mencium tangan keduanya secara bergilir. Setiba di dekat Risma, matanya di fokuskan pada benda-benda sekitar.
Kuulurkan tangan padanya agar mama dan ayah tidak curiga pada kami, disambut juga meski masih sulit bertemu pandang.
"Yang rajin kerjanya. Dunia perkantoran itu persaingannya sangat ketat. Apalagi kamu terbilang karyawan yang jenjang karirnya melejit pesat. Coba lihat jabatan yang sama denganmu, rata-rata lebih tua." ucap mama mertua sembari melipat tangan yang hanya dihiasi satu cincin berlian. Walaupun punya banyak, beliau tidak suka berlebihan memakai perhiasan. Ia berjilbab, meski belum menutupi dada. Lebih sering dikaitkan ke belakang. Mama juga senang memakai blush dipadankan dengan jeans. Dilihat sekilas, seperti adik kakak dengan anak-anaknya.
"Hati-hati, nak!" Ayah tersenyum lebar. Matanya agak sipit, kulit putih. Rambutnya mulai memutih. Ayah memakai kaos berkerah dengan celana pendek di bawah lutut dan depatu kets kekinian.
"Siap, ayah!"
***
Mentari mulai condong ke barat. Kendaraan pun semakin padat memenuhi jalanan kota. Menunggu lampu hijau juga memakan waktu. Karena, para pengendara belum sepenuhnya berlalu, lampu merah menyala lagi. Saking ramainya. Sampai-sampai tiga kali berganti, barulah aku bisa lolos.
Setelah berhasil, jalanan mulai lengang. Dari kejauhan seorang perempuan melambaikan tangan ke arah mobilku.
Dari jenis pakaiannya, dia Anita. Kutepikan kendaraan sejenak. Sambil menenteng tas dan juga rantangnya lagi, ia mengetuk kaca jendela lalu berkata, "beruntung bapak lewat. Aku boleh ikut?" belum kupersilakan ia sudah membuka pintu lebih dulu.
"Maaf, pak. Sejak tadi angkot tidak ada yang melintas. Sampai keringatan menunggu di pinggir jalan!" ia menyimpan rantang di dekat kaki dan memangku tasnya, lalu mengambil tissu di laci. Menepuk pelan bulir keringat di wajahnya, agar tidak mengenai riasan yang memang tipis itu.
"Bukannya jenis angkot yang berhenti itu yang sering kau tumpangi?" tanganku memacu setir sambil mengangkat telunjuk ke arah angkutan umum biru yang berhenti mengambil penumpang.
"Astaga, kok aku gak liat dia lewat yah. Mungkin waktu tunduk sebentar membersihakan celanaku ini! Beruntung bapak lewat, kalau tidak, bisa terlambat ke kantor." ucapnya.
"Mobilmu mana?" tanyaku.
"Orang tua bapak masih disini?" tanya Anita yang sibuk memandangiku. Mengalihkan pembicaraan.
"Baru saja pulang. Diantar supir mertuaku." jawabku.
"Kenapa tidak bilang, pak. Tahu begitu kemarin kutitipkan oleh-oleh untuk dibawa pulang ke kampung." lanjut Anita.
"Tidak perlu repot-repot!" balasku.
"Pak, hari ini aku masak menu lain. Telur balado, sayur nangka dengan sambel terasi." ia menunjuk rantang di dekat kakinya. "Nanti kita makan bareng lagi yah, pak! Pasti di rumah bapak jarang menyantap menu rumahan. Apalagi bu Risma mungkin tidak tahu masak. Secara, ia terbiasa hidup dilayani. Tega yah dia. Harusnya bisa menyesuaikan diri saat masih gadis dengan bersuami." bibirnya sedikit dimonyongkan, lalu menghempaskan tubuh ke jok mobil.
"Ah, siapa bilang!" bantahku.
"Tidak usah bohong, pak. Buktinya setiap makan bekal dari rumahku, bapak sangat lahap. Juga sering bilang bahwa sangat jarang makan seperti itu." ucap Anita kembali.
"Aku memang hobby masak, pak. Suka bersih-bersih rumah. Walaupun capek bekerja, sepulang kantor tetap melaksanakan kodratku sebagai seorang perempuan. Mungkin kalau berkeluarga nanti, suamiku tidak kurepotkan. Orang-orang selalu bilang bahwa yang jadi jodohku nanti paling beruntung dapat istri seperti saya, pak" timpalnya seolah promosi barang dagangan
"Makanya buruan nikah. Nanti jadi perawan tua loh!"
Balasku merespon.
"Hahaha Ahh, bapak, ada-ada saja!" Anita mendorong lenganku.
Kupercepat laju mobil agar bisa sampai di kantor lebih awal.
***
Di rumah, secarik kertas pink menempel di pintu.
"Aku nginap di rumah orang tuaku. Mas pakai kunci serep saja. Kalau tidak salah, ada di tas kerjamu. Risma."
Segera kugeleda tas lalu mencari-cari di setiap sisi mana tau terselip. Keadaan rumah sangat bersih, begitu juga kamar yang kutempati. Saat ingin beristirahat membuka baju kerja dan mengambil handuknyang tergantung di belakang pintu, kali ini bukan lagi secarik kertas.
Ukurannya lebih besar, tapi sama-sama ada tulisannya.
"Mas, kalau sudah mandi dan shalat, kau ke dapur yah! Tadi, sisa tahu tempe bacem yang kubuat bersama ibu kemarin, rencananya mau kugoreng untukmu. Hanya saja, minyaknya meletup-letup. Mungkin karena sisa bunga es dari freezer menempel jadi berair pas kugoreng. Terpaksa kumatikan kompor dan membiarkan tahu tempe itu di atas wajan yang penuh minyak. Mama sudah melarang, tapi aku bersikeras. Kusuruh ia melanjutkan, tapi juga tidak bisa. Maaf! Tapi, ada nasi di ricecooker. Coba lihat teksturnya. Kalau tidak suka, beli saja, Mas. Sekali lagi, maaf! Aku ke rumah orang tuaku untuk belajar masak dengan bibi yang sejak kecil tinggal di rumah. Besok setelah shalat subuh, aku sudah kembali. Satu lagi, Mas, jangan tancapkan kunci di pintu, biar besok aku bisa membukanya sendiri tanpa mengganggumu. Risma :)"
Dadaku serasa penuh sesak. Kututupi wajahku dengan kertas tulisan Risma yang mulai basah terkena air mata.
Istriku tengah mengandung. Seharusnya kami menikmati kebahagiaan itu, tapi nyatanya tidak. Kami seperti di dimensi berbeda. Risma sudah berusaha semaksimal mungkin, sedang aku mulai takjub, tapi terlalu gengsi untuk mengakui. Salut dengan perubahannya, walaupun kini terkadang rindu sikap bermanja-manjanya, meminta diambilkan barang meski dia sendiri sanggup melakukannya, juga saat menuntutku membeli sesuatu yang harganya tidak masuk akal. Tapi sekarang, jangankan meminta tolong, untuk menelpon memberi kabar juga tidak mau. Tidak kutuntut ia jadi sempurna. Hanya ingin Risma bersyukur pada setiap hal yang kuberi, juga bisa menghormati kedua orang tuaku. Itu saja. Soal iri dengan rekan kerja yang sering diberi bekal oleh istrinya, tidak masalah. Kekurangan Risma yang itu masih bisa ditoleransi.
Kutinggalkan handuk yang bersiap untuk menggelung di tubuh lalu berlari ke dapur membuktikan isi surat itu. Dan benar saja, tahu tempe yang mulai kecoklatan pinggirnya, berenang-renang di lautan minyak. Air mata keluar bersamaan dengan gelak tawa yang tak tertahankan.
***
Karena terlambat bangun, aku melewatkan kesempatan shalat berjamaah di mesjid, jadi di rumah saja sendiri. Mandi dan berpakaian pun hanya beberapa waktu. Tidak ada apapun yang kulihat di dalam rumah. Padahal, di surat itu ia tulis ingin pulang sebelum pagi. Rasa kecewa menghinggapi. Apa aku sudah mulai memaafkannya? Kenapa ada yang kurang hari ini.
Kuambil kunci mobil di atas lemari guci, yang di sampingnya jam kayu besar dan mewah bertengger. Sudah pukul tujuh rupanya. Dengan perasaan kurang semangat, aku berjalan keluar rumah menuju mobil.
Ketika kubuka pintu, di sebelah kiriku ada sebuah rantang bersusun tiga. Juga lagi-lagi pesan yang ditulis di atas kertas. "Mas, kalau kau baca ini, aku sudah di dalam kamar. Maaf tidak menyiapkan pakaianmu. Kepalaku pusing juga agak mual. Perut sedikit keram, tapi tidak usah khawatir. Aku hanya butuh istirahat. Di dalam rantang ini, bukan aku sepenuhnya yang buat, tapi dibantu bibi sebelum shalat subuh tadi. Maaf :)".
"Terima kasih, sayang!" ucapku sambil mencium kertas pink itu. Ingin masuk menemuinya, tapi malu rasanya.
==========
Setelah menimbang-nimbang di perjalanan, kuputar balik arah mobil mumpung belum terlalu jauh. Kuputuskan untuk masuk menemui Risma. Aliran darahku tidak karuan, begitupun jantung dan nafas yang mendadak sulit kuatur. Melangkah sedikit, mundur selangkah. Begitu terus sampai kupejamkan mata dan meyakinkan hati bahwa dulu aku pernah segrogi ini saat berdekatan dengan Risma. Kaki berjalan normal dengan sendirinya, hingga tak terasa telah tiba di pintu kamar utama. Tempatku dengannya memadu kasih dulu.
Kupegang gagang pintu, dan mengumpulkan nyali untuk membuka. Kudapati Risma duduk di lantai dan bersandar di sisi ranjang. Lututnya dipeluk dan tertunduk.
"Risma!" sapaku. Kupegang pucuk kepalanya lalu memberikan senyum terbaikku.
"Mas!" wajahnya terangkat sedikit ke atas dan menatapku penuh pengharapan. Dan kembali tertunduk saat tangisnya pecah.
"Maafkan mas yang menghukummu sekejam ini." ucapku sembari ikut duduk di hadapannya kemudian menuntunya berdiri. Kupeluk tubuh Risma dengan sangat erat. Ia semakin tersedu-sedu.
"Aku perempuan sial, Mas. Kau dan orang tuamu celaka bertemu denganku!" Kulepaskan Risma dari dekapan lalu menatap matanya. Ia melihat ke bawah, lalu kuangkat dagunya dengan ujung jemari.
"Aku yang salah. Sudah sepantasnya kau memperlakukanku seperti itu!" ucapnya lagi. Spontan telunjukku menutup mulut Risma.
"Kau adalah takdirku. Sejauh apapun aku berlari menjauhimu, kalau berjodoh, kita akan kembali dipertemukan dengan cara tak terduga. Kau adalah aku. Semua salah yang kau toreh karena aku tidak becus mendidikmu." matanya berbinar-binar. Segera kuseka basah yang menutupi wajah cantiknya.
"Sudah, sayang. Jangan menangis lagi. Kesalahan kemarin semoga bisa membuat hubungan kita semakin erat. Terima kasih sudah berusaha menjadi lebih baik. Kini giliran Risma yang melabuhkan tubuhnya di dadaku. Kubalas dengan memeluknya kembali dengan erat. Pucuk kepala kucium berkali-kali. "Mas, sudah peluknya. Nanti kau terlambat!" ucap Risma yang menyuruhku berhenti. "Biar saja!" kataku.
"Astaga sampai lupa!" aku mengagetkannya. "Kenapa, Mas?" ia melihatku dengan kening mengkerut.
"Aku lupa meminta maaf pada anak kita!" Risma mengelus-elus perutnya. Saat ingin kusentuh, dia melarang. Katanya malu-malu.
"Sebentar saja!" aku berlutut lalu mecium perut istriku. Dan melantunkan doa "Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa](QS. Ali Imron: 38).
Risma menyapu-nyapu kepalaku. Ku dekatkan telinga berharap ada suara kecil dari dalam, tapi mustahil. Kuselingi dengan nada bercanda ,membisikkan kalimat, "jangan boros seperti ibumu, nak!" kami tertawa bersama.
"Sudah, Mas. Nanti telat. Nanti gajinya berkurang, aku marah loh!" ucapnya sembari tertawa. Sendu berubah menjadi semburat kebahagiaan. Terima kasih ya Rabb. Tetapkanlah hati hamba berkomitmen hanya dengan satu wanita saja. Risma. Bimbinglah kami agar bisa melewati badai-badai yang siap menerjang biduk rumah tangga kami kapan saja.
"Mas berangkat dulu yah!" posisiku kembali berdiri seraya mencium kening Risma.
"Mukamu berjerawat. Kusam!" ucapku.
"Biar saja, mas. Demi anak ini!" jawaban yang menakjubkan. Seorang perempuan manja berubah drastis setelah kejadian itu.
"Tapi jauh lebih cantik dari sebelumnya!" kubelai lembut wajahnya. Ia memegang tengkuk leherku agar sedikit menunduk kemudian mencium pipiku lama sekali.
"Istirahat yah, jangan capek-capek!" ucapku sebelum berangkat ke kantor.
***
Setelah perempatan merah pertama yang sudah dekat dari rumah Anita, aku mulai deg-degan. Risih jika ia melakukan hal sama seperti kemarin. Dan, benar saja. Dari kejauhan kulihat ia masih berdiri dipinggir jalan. Tidak menahan satu angkotpun yang lewat di depannya. Hati dipenuhi curiga. Segera kutancap gas mobil lebih cepat sehingga bisa lolos dari Anita. Kenapa juga belum berangkat padahal ini sudah lewat jamnya.
Teleponku berdering.
"Halo, pak! Kenapa kencang sekali cara bawa mobilnya. Sampai kulambaikan tangan, bapak tidak lihat!" ucapnya dibalik telepon.
"O ,iyakah. Maaf. Ada yang mesti kukerjakan di kantor. Jadi tidak sempat memperhatikanmu di jalan. Sudah dulu yah. Aku buru-buru" balasku.
"Pak, tolong kembali ke sini! Aku juga terlambat. Tidak ada angkot yang lewat." ia kembali membujuk.
"Pakai mobilmu saja. Sudah yah. Aku buru-buru. Maaf!" kutekan tombol merah di HPku, lalu menonaktifkannya.
***
"Kudengar-dengar jabatan ASM akan dikurangi oleh direktur kita yang baru" ucap Faisal berbisik-bisik. Posisi kami sedang di lobby kantor. Ada dua pasang sofa yang saling membelakangi. Jadi mereka tidak melihat bahwa aku sedang duduk di belakangnya.
"Masak? Kok bisa?" itu suara Arman. Kumiringkan sedikit kepala agar bisa mendengar lebih jelas.
"Katanya tidak efektif kalau posisi itu dipegang tujuh orang sekaligus. Terlalu banyak. Jadi, akan ada dua orang yang terancam turun jabatan.!" ucap Faisal lagi.
"Jadi territory/wilayah yang dipegang dua ASM itu akan dibagi-bagi ke lima orang yang bertahan? Begitu?" tanya Arman.
"Iya. Kira-kira seperti itu. Menurutmu, siapa yang akan kena sial? Semoga pak Ibam yah?" Faisal cekikikan.
"Jahatnya kamu." kudengar Arman berbicara sambil memukul temannya.
"Siapa suruh selalu dekat-dekat dengan Anita calon istriku!" balasnya. Aku berdiri kemudian berdeham sehingga mereka perlahan tapi pasti membalikkan badan ke arahku. Aku memalingkan wajah, lalu memberinya senyuman. Mereka saling memandang dan menyalahkan.
Begitulah hidup. Kita tidak pernah tahu siapa kawan dan lawan yang sebenarnya. Jangan mengukur kebaikan seseorang saat kita sedang berada di puncak. Karena seringkali tulus dan modus beda tipis.
***
Jam istirahat adalah hal yang paling kunanti. Hari pertama istriku Risma memberi bekal yang di dalam rantang ada campur tangannya. Meski tak semua. Bibi tentu lebih mendominasi. Saat kuletakkan satu demi satu bagian, Anita tanpa permisi, menerobos masuk dengan membawa bekalnya juga.
"Pak, tadi aku terlambat lagi karena membuatkanmu ini!" ucapnya.
"Tidak usah. Terima kasih. Istriku sudah membuatkan makanan ini. Kau beri saja pada teman yang lain." ucapku.
"Punyaku lebih enak pak. Coba lihat tampilannya." ia membuka kotak berisikan menu ayam goreng, sambal matah dan sayur jagung. Lalu menyingkirkan rantang yang sudah ku sajikan tadi.
"Tidak usah Anita. Kasihan Risma sudah buat ini subuh-subuh!" kutarik kembali tempat makan tadi yang mulai sedikit menjauh dari tanganku.
"Simpan saja ini. Nanti kasih OB saja, Pak. Itung-itung sedekah. Bu Risma bisa dapat amal!" ia tersenyum seolah yang dilakukannya hal baik.
"Apa-apan kamu ini!" ucapku. Anita tersentak. Matanya tidak berkedip sama sekali.
"Pak! Semua ini kulakukan karena kutahu istrimu tidak becus mengurusmu dengan baik" matanya berair.
"Maaf Anita. Seburuk-buruknya Risma. Dia tetaplah istriku. Lagipula, seandainya kau bertemu denganku sebelum menikahinya, kuyakin kau tidak akan sudi berbuat begini. Satu-satunya perempuan yang meyakinkanku memulai dari nol dan memberanikan diri mempersuntingnya. Kembalilah ke meja kerjamu!"
"Lalu kebaikanmu selama ini untuk apa?" Air matanya menyeruak.
"Maaf. Kau hanya kuanggap rekan kerja. Tidak lebih!" berat bibir untuk berucap, tapi lebih baik daripada terus-terusan terjerumus dosa. Ia kemudian berlari keluar ruangan dan meninggalkan rantang dan kotak berserakan di atas meja.
Anita memang sempat menggoyahkan imanku. Berpikir Risma tidaklah lebih baik darinya. Tapi, beruntung logika dan hati masih terkendali. Menyadari diri bahwa sepatutnya seorang suami selalu menundukkan pandangan agar nafsu berahi tidak menguasai. Karena, tentu diluaran sana banyak ribuan wanita yang lebih menarik dari istriku.
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Selasa, 21 April 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel