Cerita bersambung
Seumpama bunga, kami sedang mekar-mekarnya. Terlintas niat ingin memberinya kejutan. Tapi, apa? Perhiaasan? Sudah banyak. Pernah kuintip satu laci dalam lemari, semua berisi emas berlian. Baju celana apalagi. Di dalam kamar sebelah kiri, ada pintu penghubung dengan ruangan sebelah yang isinya aneka perlengkapan pakaian Risma. Ukurannya sekitar delapan kali delapan meter persegi. Di dalamnya segala jenis ada. Seperti: topi, jaket, sendal, sepatu, tas, dan masih banyak lagi. Mungkin kalau perempuan lain masuk kesana, dia akan bilang 'surga dunia'. Semua tersusun rapi.
Walaupun Risma terbilang perempuan manja dan serba diurusi, berbeda dengan barang-barang pribadi miliknya. Ia menata ruangan itu sendiri dan tidak membolehkan siapapun mengubah posisinya. Jadi, ia tahu persis dimana letak semuanya.
Lalu harus kuberi apa? Uangku pun tak seberapa. Coklat? Ia tidak begitu suka. Tadi kuumpakan hubungan kami seperti bunga. Kenapa tidak tumbuhan itu saja? Kuyakin dia pasti senang. Meskipun aku bukan tipe suami romantis, tapi perubahan Risma mesti diapresiasi. Walaupun hanya setangkai bunga.
***
Di pusat kota terdapat sebuah toko bunga yang lumayan besar. Niat hati mencari mawar, tapi setibanya aneka macam kembang seperti memanggil-manggil. Bunga lili dengan elegannya, carnation, garbera, anggrek, tulip, daffodil yang berarti harapan, dan hydrangea dengan bermacam warna. Begitu memanjakan mata. Saat ingin singgah sejenak, seketika kuingat Anita. Mungkin jika dianalogikan, bunga-bunga ini seperti perempuan merempuan di luaran sana yang terkadang membuat kita lupa tujuan awal.
"Cari bunga apa, Pak?" seorang lelaki paruh baya dengan kacamata yang melekat. Jam tangan mahal kelihatan serta kulit putih dengan mata sipit. Si empunya toko.
"Bunga mawar ada?" tanyaku.
"Banyak, pak. Seri warnanya lengkap. Kuning, orange, merah, pink, putih. Mau pilih yang mana? Atau digabung dalam bentuk buket, pak?"
"Warna merah saja, ko! Saya butuh 30 tangkai." panggilanku. Karena sepertinya memang keturunan cina. Dari dialegnya masih jelas kedengaran.
Pernah kubaca di artikel tentang Bunga mawar bahwa setiap warna memiliki makna tersendiri. Meski semuanya selalu dikaitkan dengan hal romantis. Dan, warna merah sangat tepat untuk mengekspresikan cinta. Juga mengatakan jumlahnya mesti dua belas, karena konon bulan dalam setahun ada segitu. Lain halnya denganku yang memilih tiga puluh sebagai simbol hari. Berharap Risma mengisi hariku setiap saat. Kenapa tidak sekalian 365 tangkai? Terlalu banyak. Uangku sisa sedikit. Hahaha.
"Tunggu yah. Silakan duduk dulu!" tutur si pemilik toko sambil menunjuk sofa abu-abu basah depan meja kasir.
"Tolong sekalian kartu ucapan cinta atas nama istriku koh. Risma!" tambahku.
Sekitar lima belas menit kutunggu di atas kursi sembari melihat jam yang sebentar lagi pukul setengah enam, ia datang membawa buket bunga mawar merah yang sangat indah. Tidak lupa ucapan 'aku mencintaimu' tertera di sepoting kertas berbentuk hati. Apa ini yang namanya belajar romantis? Yang kutahu. Aku berdebar-debar membayangkan senyum merekah Risma ketika tiba di rumah nanti.
"Coba cek namanya, Pak!" ia menjulurkan bunga dengan kartu ucapan menghadapku. Kumiringkan sedikit kepala agar jelas tulisannya.
"Ia, koh!" kuambil bunga sambil memberikan kartu kredit. Setelah proses transaksi selesai, aku pulang ke rumah dengan perasaan gembira.
***
Kurang lebih seperti tadi pagi. Tidak terlalu percaya diri untuk menemuinya. Tanganku gemetar basah menggenggam tangkai sambil berjalan dari parkiran ke rumah. Bunyi *krakk* pintu yang kubuka, beriringan dengan suara rintihan dari arah dalam kamar. Sunyi senyap sekitar, sehingga akan jelas suara menggema dari ruangan. Ada apa dengan Rismaku. Degup bahagia berganti kecemasan yang mengaduk-aduk hati. Dengan sepatu kantor yang masih melekat di kaki, aku berlari mencarinya.
Tubuhku lemas seketika. Seperti tidak bertulang. Nafasku pun serasa ingin menghilang. Di depan ranjang, Risma tergeletak bersimbah darah dari pangkal paha hingga lantai putih berubah warna. Sebuket bunga mawar di tangan jatuh di ujung kaki.
"Kau kenapa?" tanyaku sambil berusaha menggendongya. Ia tak henti merintih kesakitan dengan meremas bagian perutnya. "Mas! Sakit!" ya Tuhan cobaan apa ini. Bagaimana dengan Risma dan calon anak kami.
Kubopong menuju mobil untuk mencari rumah sakit ibu dan anak. Diperjalanan darahnya trus mengalir seiring Risma yang mulai tidak sadarkan diri.
***
Setiba di UGD, istriku ditangani langsung oleh dokter yang sedang bertugas serta beberapa perawat dan bidan juga mendampingi. Aku diarahkan untuk mengisi beberapa data umum untuk pasien seperti nama dan alamat lalu mengambil telepon genggam untuk mengabari orang tua Risma.
Setelah administrasi selesai. Kubuang tubuh di atas kursi tunggu depan UGD. Kutopang kepala dengan tangan lalu memukul berkali-kali. Kalau terjadi sesuatu pada keduanya, tentu aku adalah orang yang paling bersalah disini. Selang beberapa saat, seorang perawat keluar.
"Keluarga pasien atas nama Risma!" kuarahkan pandang menujunya. "Aku suaminya, Sus!" ucapku panik.
"Bapak, silakan menemui dokter obgyn di sebelah sana!" ia menunjuk ke arah ruangan yang bersebelahan dengan istriku.
"Silakan duduk!" dokter terlihat begitu tenang. Berbanding terbalik denganku yang kacau balau.
"Bagaimana keadaan istriku, dok?" ucapku bergetar.
"Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan dalam. Juga di USG, istri bapak mengalami keguguran. Padahal Bu Risma memeriksakan kandungannya beberapa waktu lalu, sudah kuberitahu untuk tidak bekerja terlalu berat dan jangan stres karena tidak baik untuk ibu hamil." kedua tangan dokter menyodorkan sebuah hasil pemeriksaan. Mungkin begini maksud orang-orang tentang dunia runtuh. Rasa marah, kecewa, sedih bercampur menjadi satu. Aku menangis sejadi-jadinya di ruangan dokter.
"Seringkali ibu hamil yang baru mengalami keguguran akan tergoncang secara emosional ia butuh istirahat total. Bapak sebagai suami, harus menguatkan istrinya. Jangan seperti ini di depan pasien, karena tentu menambah beban pikirannya" kuseka basah di pipi. Tapi, seperti mata air, tidak ada habisnya.
"Lalu tindakan selanjutnya, dok?" ucapku terbata.
"Saat di USG, seluruh jaringan janin sudah keluar atau disebut keguguran lengkap, jadi istri bapak tidak memerlukan tindakan lebih lanjut. Tapi, saya tetap akan meresepkan obat-obatan untuk mengatasi keluhan pasien yang lain!"
"Juga untuk memastikan kestabilan tubuh, istri bapak biarkan dulu di rawat inap barang satu dua hari.
***
Jika berita ini membuatku terpukul, begitupun dengan Risma. Ia jauh lebih terluka dan merasa bersalah tidak becus menjaga kandungannya.
"Mas, anak kita!"
"Mas, maafkan aku!"Risma terus-terusan menangis di atas ranjang rumah sakit. Tangannya menarik-narik seprei.
"Maafkan aku, Mas!" ia menatap mataku dengan wajah sendu.
Kuhapus air mata yang menggenang "Sudah, sayang. Tidak apa-apa. Nanti kita bisa punya anak lagi insya Alloh!"
"Aku istri tidak berguna. Aku bukan ibu yang baik!" teriaknya.
"Jangan berkata seperti itu!" ucapku.
"Ini balasan atas dosa-dosaku padamu dan ibu, Mas. Aku tidak berguna. Menantu durhaka!" teriaknya lagi.
"Maaf, mas!" masih menangis tersedu-sedu.
"Ussttt. Tidak apa-apa, sayang! Tuhan masih mau kita menghabiskan waktu berdua dulu!" tangan kananku menggenggam Risma, satunya lagi menyapu-nyapu lembut ubun-ubunya. Kucium berkali-kali untuk menguatkan, walaupuh aku sebenarnya tidak punya tenaga lagi. Sekujur tubuh masih sangat lemah, tapi nasehat dokter tadi masih menggema. Jika ada yang mesti disalahkan, akulah orangnya. Suami tidak berguna.
==========
Setelah semalaman tidak tidur karena trus-trusan menangis, pagi ini Risma berhasil ditenangkan. Tapi, belum mau makan. Mama dan ayah mertua kusuruh beristirahat dengan tidur di sofa. Sedangkan aku, harus total dalam membantunya pulih. Sudah kukabari pihak kantor bahwa hari ini dan mungkin besok, tidak masuk dulu.
"Sayang, makan dulu yah! Trus minum obat" Ucapku memegang semangkok bubur yang diantarkan pegawai rumah sakit subuh tadi. Sekalian mengambil makanan yang semalam tidak tersentuh. Risma hanya menggeleng membelakangiku. .
"Ayo, makan dulu. Sedikit saja!" berusaha membujuknya. Kutarik bagian lengannya agar tidur terlentang. Tak susah. Risma sangat lemas sehingga mudah membalik posisinya. Matanya bukan lagi sembab, tapi bengkak karena tangis
Ia memandangiku dengan mata sayunya.
"Mas. Jangan marah yah!" panggilnya lemah.
"Iya, asal kau makan ini dulu!" kusapu kepalanya. Ia menutup rapat mulutnya agar makanan yang berusaha kusendokkan tidak masuk.
"Sedikit saja! Dokter bilang, satu bulan ke depan, setelah menstruasi, kita bisa punya anak lagi. Tapi, kamu harus sembuh dulu. Yah, salah satunya dengan ini!" bujukku kembali. Akhirnya Risma mau memakannya walaupun hanya seujung sendok.
Teleponku berdering. Terpaksa kubangunkan mertuaku dulu
"Sayang, tunggu sebentar yah!" Ucapku pada Risma sambil menaruh makanan di lemari ruangan. Lalu menuju ke sofa tempar mertuaku terbaring menggantikan posisiku.
"Mah, mah!" panggilku. Namun, ia hanya bergeming. Justru ayah mertua yang terbangun.
"Kenapa, ibam?" Ayah mengucek matanya lalu bangkit dari tidurnya.
"Mau angkat telepon sebentar, yah!" mertuaku mengagguk.
Kuambil handphone genggam di saku dan melihat nama Arman yang muncul di layar.
"Halo, kenapa? Tadi saya sudah minta izin tidak masuk dulu!" ucapku.
"Iya, Pak. Kami ada di depan. Disuruh mewakili teman kantor untuk menjenguk bu Risma!" berarti dia tidak sendiri. Kesebutkan nomor ruangan tempat istriku dirawat. Sekitar lima menit kemudian, samar-samar terlihat dari kejauhan tiga orang menujuku. Dua perempuan dan tentu Arman juga.
Semakin mendekat, satu orang berjilbab, bu Ambar. Dan, satunya Anita. Astaga.
"Silakan masuk!" sambutku sambil membuka pintu. Mereka dilemparkan senyum oleh Ayah yang menggantikanku menyuap Risma. "Mah, ada tamu!" ia meletakkan mangkuk tadi lalu menggoyang-goyangkan istrinya yang masih tertidur lelap hingga terbangun dan menggeser posisi agar yang lain bisa duduk.
"Kapan kejadiannya?" Arman membuka pembicaraan.
"Kemarin sore!" balasku singkat. Takut ada hal yang justru membuat istriku tersinggung. Sedangkan melihat Anita saja, ia mulai tampak kesal.
"Kok bisa, Pak?" tanya bu Ambar. Aku mulai deg-degan.
"Kalau temanku yang keguguran dulu, katanya pengaruh stress, Bu. Bisa jadi juga karena tidak diurus dengan baik oleh suaminya. Tapi, kebanyakan karena ibu hamilnya ceroboh sampai akhirnya keguguran. Ngeri juga yah. Pokoknya sebelum menikah, aku harus paham betul tentang cara jadi ibu dan istri yang baik " Anita angkat suara dengan semangat berapi-api. Menebar senyum ke penjuru. Ibu melotot.
"Maksud kamu anakku ceroboh, hah?" ia berdiri berkacak pinggang sambil menunjuk Anita yang tidak berada jauh darinya.
"Bukan begitu, Bu!" Anita menampik.
"Alasan kamu ini. Ibam suruh temanmu ini!" aku tidak berkutik di dekat Risma.
"Memang bu Risma ceroboh? Kalau tidak, jangan tersinggung dong!" wajah-wajah panik memenuhi ruangan. Kulihat Risma yang masih lemah gelisah mendengar keributan. Dengan suara paraunya. Ia berteriak.
"Pergi! Tolong pergi dari sini!!"
"Aku mohon!" Tadinya mulai tenang, justru dengan kehadiran pembesuk yang notabenenya sebagai penenang justru memperkeruh suasana. Perasaan bersalah berkecamuk. Risma menangis kencang di atas ranjang. Teman kantorku mendadak keluar tanpa permisi. Meninggalkan sebungkus parcel buah di dekat pintu.
"Ibam! Kau ini di kantor punya jabatan apa sebenarnya. Kenapa bawahanmu tidak sopan begitu!" Mama mertua menatapku tajam
"Sudah, Mah!" ucap Ayah.
Aku tidak habis pikir Anita bisa berbuat seperti itu.
***
"Suster, kapan istriku bisa pulang?" tanyaku pada seorang perawat berseragam biru-biru.
"Kutelfon dokter dulu, Pak!" balasnya.
Sekitar lima menit menunggu, ia berkata, "Pak, pasien mesti di cek tekanan darahnya dulu. Kalau sudah normal dan kondisinya sudah membaik, dokter bilang besok pagi sudah bisa pulang! Juga meresepkan obat untuk tiga hari kedepan."
Aku dan perawat menuju ruangan.
"Permisi!" Risma yang sudah bisa duduk berbalik ke arah pintu. Wajahnya mulai sedikit merona tidak sepucat kemarin.
"Maaf yah, Bu.Periksa dulu tekanan darahnya!" ekspresinya datar. Namun, pasrah-pasrah saja menjulurkan tangan untuk direkatkan alat. Suster memegang pergelangan tangan Risma.
" 120/ 80. Besok pagi sudah bisa pulang, yah Bu. Rajin minum obat supaya cepat pulih!" perawat tersenyum manis ke istriku.
"Alhamdulillah!" ucapku.
***
"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa pulang!"
Kubopong Risma masuk ke dalam kamar.
"Kau nyaman dengan posisi begini?" Tanyaku saat menyandarkannya ke bahu ranjang. Tatapannya tidak kosong, tapi terlihat tidak bergairah. Ia hanya mengangguk.
"Apa kau inginkan sesuatu? Mau makan atau minum apa?" tanyaku lagi. Ia menggeleng.
"Jangan sedih-sedih, dong sayang!"
"Tau gak, kenapa dulu aku ngotot menikahi gadis manja sepertimu?" sebisa mungkin aku menghiburnya.
"Kenapa?" tanya Risma. Akhirnya ia bersuara.
"Karena, kau cantik kalau tertawa!" ia kemudian tersenyum ke arahku meski dengan sedikit terpaksa.
Lalu bertanya, "Apa kau dan Anita ada hubungan?" ucapnya.
Spontan kujawab, "Tidaklah!"
"Tapi, kelihatannya dia menyimpan rasa padamu, Mas!" aku tertegun mendengarnya. Entah ingin kujawab apa.
Risma lalu bertanya lagi, "Mas, kalau aku tidak bisa lagi memberimu anak? Apa kau akan menikah lagi?" aku yang tengah duduk di dekatnya sambil memijat-mijat kaki yang kuluruskan ke depan berbalik dan bertanya, "kenapa bilang seperti itu? Tidak baik, sayang!"
"Dulu berkali-kali kau meminta anak, tapi aku menolak. Sekalinya diberi, justru Tuhan mengambilnya lagi. Ini hukuman atas istri yang kufur, Mas. Aku luput bersyukur. Dan, besar kemungkinan setelah keguguran ini, akan sulit bisa hamil lagi!" Wajahnya kembali sendu. Aku bergeser sekian senti untuk meraih tubuhnya untuk kupeluk.
"Tidak baik seorang hamba yang selalu berburuk sangka. Kita harus selalu berusaha dan berdoa bersungguh-sungguh!" ucapku.
"Tapi, Mas. Misalkan. Aku hanya berandai-andai, kalau istrimu ini tidak lagi bisa memberi keturunan, apa kau akan meninggalkanku?" tanyanya lagi sambil memainkan kancing bajuku.
"Doaku selalu, semoga hatiku ditetapkan hanya kepada satu perempuan yaitu kamu, istriku. Dengan segala kurang dan lebihmu, aku mencintaimu!"
"Dulu waktu kita menikah, kau ingat masih ingat doa yang dilantunkan Ibu dan Ayah ketika kita menjabat tangan mereka? Yang juga sering kuucapkan ketika menghadiri pernikahan kerabat." ia menatapku tajam seolah mengingat-ingat hal yang kumaksud. Lalu kami bertatapan mengucapkan "Barakallahu laka, wa baraka ‘alayka wa jama’a baynakuma fii khayr."
"Yang artinya, “Mudah – mudahan Alloh SWT memberkahimu, baik ketika kamu sedang senang maupun kamu sedang susah. Dan Alloh SWT selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.” (HR Abu Dawud)
semoga sampai sekarang doa itu masih melindungi kita." Ia memejamkan mata lalu kukecup ubun-ubunya.
Bersambung #11
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel