Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 23 April 2020

Istri Boros #11

Cerita bersambung

Saat tengah terlelap, Risma membangunkanku untuk shalat berjamaan di rumah. Menepuk pelan di bagian wajah, hingga samar-samar terlihat ia sudah terbalut mukenah. "Bangun dulu, Mas!" ucapnya. Setelah jiwa dan raga kembali menyatu dan membaca doa bangun tidur, aku bangkit dari tempat tidur. Kusapu bagian mata agar bisa memandang jelas. Risma duduk di sampingku.

"Kita shalat berjamaah dulu! Ayo berwudhu, Mas! Tak ada kebahagiaan yang lebih daripada ini. Satu persatu tujuan menikahi, mulai nampak. Walaupun sempat karakter Risma sulit kuatur bertahun lamanya, tapi setidaknya ia sudah rajin shalat dan bisa mengaji.

Dengan tatapan bersarat makna, hanya kubalas anggukan ajakan istriku dan bergegas mensucikan diri. Selepas itu, ia yang menunggu di lantai kosong depan ranjang, kutanyai, " bisa shalat berdiri atau mau duduk saja?" dijawab, "insya allah berdiri, Mas!"

Penuh hikmat, kami menjalankan kewajiban dua rakaat. Meminta doa, dan berzikir setelahnya. Tidak ada lagi Rismaku yang tidur seusah terpaksa shalat itupun disertai omelan karena disuruh bangun. Menguap setelah berwudhu, sehingga tidak khusyu saat berjamaah.
Hari ini Ia mencium tanganku lama sekali. Punggung tanganku basah terasa karena dipenuhi rinai hujan dari kornea matanya. Rismaku pelan tapi pasti kuyakin dia akan berubah jauh lebih baik.

"Sudah, sayang!" kubelai kepalanya saat ia masih tertunduk menjabat. Ia mengangkat tubuh lalu mengganti salaman dengan pelukan.
"Mas, terima kasih, yah!" ia tersenyum.
"O, iya, Mas! Hari ini, kamu ke kantor saja. Insya Allah kondisiku sudah agak stabil. Nanti kalau mulai pusing, kan tinggal kutelfon orang rumah!" ekspresi wajahnya berubah semangat.

"Kau yakin? Kalau belum bisa ditinggal, tidak apa-apa mas minta izin lagi ke kantor. Kurasa mereka akan mengerti!" Tanyaku sembari memperhatikan wajahnya. Istriku Risma tergolong wanita yang amat cantik parasnya. Wajahnya cenderung oval, alis rapi terbentuk meski tidak pernah disulam. Bibirnya juga begitu, terbelah dan merekah bak delima. Hidungnya mancung, matanya coklat dengan bulu melentik tanpa diberi polesan. Cantik masyaAlloh.

"Sudah beberapa hari kau tidak masuk, mas. Aku tidak apa-apa! Tapi, maaf lagi-lagi tidak bisa mengurusimu di pagi hari. Makan di luar saja, tapi awas kalau berdua Anita!" bibirnya dimonyongkan. Lucu sekali!
"Iya-iya!" ucapku sambil memberantakkan rambutnya setelah melepas mukenah
***

Diperjalanan dan setiba di kantor, sebisa mungkin kuhindari Anita. Kalau kulihat ia, kucari jalan lain agar tidak berjumpa. Walaupun memang agak sulit karena pekerjaan kantor yang mengharuskan kami sering bersama. Ia sebagai sekertaris kantor, mau tidak mau, setiap meminta izin ataupun ada keperluan, mesti dikonfirmasi melalui Anita.

"Permisi, Pak!" dari suaranya itu Anita, aku tertunduk berpura-pura menyusun berkas.
"Masuk saja!" ucapku.
"Saya ditugaskan pak Askari untuk memanggil bapak ke ruangannya. Katanya, ada yang mau dibahas." aku tersentak seketika. Perasaanku tiba-tiba tidak enak, namun  kuusahakan pikiran selalu positif.  "O, iya. Terima kasih!" ucapku.

Setelah kuperkirakan Anita sampai di meja kerjanya, aku juga keluar menuju ruangan pas Askari. Direktur divisi.

"Permisi!" ku sapa beliau yang sedang sibuk dengan laptopnya. Hanya menggunakan kemeja biru muda dengan rambut ikal.

"Pak ibam, silakan masuk!" sambutnya. Aku sedikit menundukkan badan sebagai bentuk penghormatan. Lalu berjalan dengan gagah padahal sedang deg-degan.

"Bagaimana perkembangan di territorymu?" tanya pak Askari.
"Ada satu distrinutor yang sudah tidak perfom, Pak." walau sedikit ragu, tapi harus kukatakan yang sebenarnya.
"Trus, plannya gimana?" ucapnya kembali.
"Saya agak bingung, Pak. Karena ownernya sudah tidak sanggup lagi menalangi kerugian akibat omset yang menurun drastis." beberapa kali kumainkan tangan karena terlalu gugup.

"Jadi tutup?" ahh, semua pertanyaannya serasa menjebakku.
"Iya, seperti itu Pak!" kusapu kening, padahal sedang tidak berkeringat. Pak Askari terlihat mengambil pulpen lalu menggoyang-goyangkan sambil mengangguk.

"Kau sudah dengar kalau akan ada wilayah yang disatukan?" tanyanya lagi.
"Sudah, Pak!" jawabku seadanya.
"Dengan berat hati, untuk semua territorymu akan diambil alih oleh bapak Miftahul Khair selaku yang lebih senior. Dan kamu akan kutugaskan sebagai area SPV. Jika setuju, silakan hubungi HRD untuk tanda tangan kontrak ulang. Kalau tidak, secepatnya akan mencari orang baru!" kalimat yang diucapkan oleh pimpinan, serasa mencabut sebagian nyawaku. Bukan mendahului takdir, tapi gaji yang turun drastis bisa saja membuat Risma kecewa dan kemungkinan berulah lagi seperti dulu. Mati-matian kupertahankan perjuangkan pekerjaan ini, sehingga karirku setara dengan para senior yang lebih dulu masuk ke perusahaan. Alhasil, dalam jangka sepuluh tahun bekerja gajiku yang hanya jutaan melonjak tajam ke angka puluhan juta.

Dengan berat hati kukatakan, "Beri saya waktu seminggu, Pak. Untuk menimbang-nimbang lanjut tidaknya!"
"Jangan terlalu lama, Pak Ibam. Besok pagi, saya sudah dapat kepastian!" balasnya seakan memaksa.
"Baik, Pak. Saya permisi dulu!" kembali membungkukkan sedikit tubuh dan berjalan ke luar ruangan dengan hati yang risau. Bagaimana dengan Rismaku. Ia baru saja terpukul setelah keguguran. Lalu ditambah lagi masalah turun jabatan. Ampuni aku Tuhan. Astagfirullahaladzim!
***

Kalau biasanya waktu di kantor terasa lama, berbeda hari ini. Terasa jarum jam berlomba-lomba menunjuk angka empat. Apa yang harus kukatakan ketika sampai di rumah nanti. Kuarahkan mobil menuju pantai tempat family gathering dulu digelar. Sejenak duduk memeluk lutut di atas pasir. Kubiarkan air menyapu kakiku saat mengombak. Naik kemudian turun kembali kelaut lepas. Datang menyapa lalu pergi tanpa permisi. Seperti kehidupan, tak ada yang abadi. Segumpal darah di kandungan istriku, serta jabatan yang setengah mati kugapai menghilang dari genggaman. Ilmu ikhlas yang diajarkan ibu, belum sepenuhnya kukuasai.  Masih ada tangis dan sesak ketika kenyataan tak sesuai dengan keinginan. Antara ditinggalkan dan meninggalkan, tidak sepenuhnya bisa kurelakan.

Di depan mata lautan terhampar luas, semakin dalam semakin indah biru terlihat jelas. Kupejamkan mata dan menghirup udara yang kian mencekam. Burung camar bersautan seakan menghibur hati yang sedang gundah. Kadang terbesit di hati, "mengapa begitu banyak cobaan menimpa", tapi lagi-lagi kutepis dengan terus-terusan melafalkan, "Astagfirullahaladzim. Aku memohon ampun kepada Alloh. Astagfirullahaladzim. Aku memohon ampun pada Alloh". Sejak kecil sudah diajarkan rukun iman. Lalu, bagaimana bisa aku meragu sedangkan jelas tertulis di poin ke enam bahwa hamba semestinya juga ber 'iman kepada Qada dan Qadar' adalah menyakini, memiliki, mempercayai bahwa segala yang terjadi di dunia ini telah ditetapkan dan ditentukan oleh Alloh SWT.

Seorang pria tua menjajakan es buah keliling sedangkan cuaca tampak mendung. Ia singgah menawarkan dagangannya di dekatku. "es buah, Nak. Cuma lima ribu!" ia duduk berlutut, agar bisa kupilih-pilih gelas mana yang ingin kuambil. Walaupun sedang tidak haus, tetap kubeli beberapa. "Kenapa masih jualan es, Pak? Inikan mendung."  tanyaku sambil menyodorkan uang dua puluh ribu yang kuambil di saku. "Sebentar  lagi hujan. Apa ada masih ada pembeli?" tambahku.
"Ada, Nak. Kamu yang beli kan?" ucapnya tertawa.

Kubalas senyum dan bilang, "Kan ini masih banyak, Pak. Kalau kubeli empat. Sisanya masih enam sedangkan pengunjung hari ini tidak ramai."
"Kalau memang rezeki, pasti akan datang dengan sendirinya. Asal jangan berputus asa, Nak! Kalaupun tidak laku, bisa kusedekahkan ke para pedagang-pedagang disana. Pasti ia haus. Lagipula, bersedekah sedikit, bisa memanggil rezeki lain yang jauh lebih banyak. Tapi, rezeki tidak melulu tentang uang. Kesehatan, keluarga, serta bertemu dengan orang baik, juga rezeki. Saya ke sana dulu ,Nak!" ucap bapak tua itu kemudian berlalu.

Pipiku terasa ditampar. Hati bertanya-tanya, apa selama ini aku kurang bersedekah sehingga rezeki seret ? Ataukah menjadi hamba yang kufur atas nikmat yang telah diberi akibatnya satu persatu diambil kembali? Astagfirullahaladzim.

==========

Jika pulang dan berkata jujur akan menambah masalah, maka tinggal di luar  untuk lari dari kenyataan juga bukan solusi tepat. Justru akan berlarut-larut dan tidak akan ada jalan keluar. Bangkit dari rasa nyaman di bibir pantai lalu kembali ke rumah menemui Risma. Apapun yang terjadi setelahnya, sungguh sudah qodarullah.

Sesampainya di rumah, ada beberapa keluarga yang berkunjung untuk menemani istriku yang ditinggal kerja.

"Tante kemana?" kutanyai dua orang keponakan kembar yang duduk diayunan untuk bermain bersama. Hanya basa-basi karena jelas Risma ada di kamar. Mereka kompak menunjuk ke dalam. Juga ada yang bilang, "di kamarnya om!"
"Oke deh cantik! Om Ibam masuk dulu! O, yah, ada yang mau makan es buah?" tanyaku kembali sambil menyetarakan posisi kantongan es buah tadi dengan wajahku.

"Beli dimana, Om?" tanya Amira, anak sepupu Risma yang sedang asik menggoyangkan ayunan bersama adiknya.
"Tadi beli di perjalanan saat mau pulang ke sini. Mau?" ucapku lagi. Keduanya bersamaan menggelengkan kepala dan berkata, "gak ah, Om. Mama larang kami makan-makanan yang tidak ada labelnya. Katanya takut tidak bersih!" tanpa meyakinkan, kuturunkan es itu kembali.

Aku lupa kalau memang semua keluarga dari pihak mertua hampir sama semua. Makanya agak sulit menyesuaikan diri. Kulewati kakak sepupu yang sedang duduk di teras memainkan gadget sambil terus mengawasi anak-anaknya. Hanya kusapa, "Kak!" dan berlalu. Tidak mungkin kutawari es buah juga. Yang ada dia akan mengangkat hidungnya untuk menjawab tidak.
***

"Mas, sudah pulang?" tanya Risma ketika kubuka pintu kamar. Ia sedang terbaring seketika bangun untuk menyambut.

"Iya!" Jawabku singkat, tapi sebisa mungkin kuberikan senyum tulus walaupun tak berani menatap matanya. Lidah bisa berdusta, tapi mata terlalu jujur untuk menutupi.  Bukan ingin berbohong, hanya saja tidak tahu harus memulai dari mana.

"Tumben tidak langsung mandi, Mas? Atau mau makan dulu?" ucap Risma kembali sembari merapikan bajunya lalu mengikat rambut lurusnya.
"Nanti saja!" balasku seraya meregangkan otot-otot di sebelah Risma. Ia terlihat sedikit curiga. Diperhatikannya secara detail gerak-gerikku yang tak biasa.

"Mas! Kau kenapa?" tanyanya lagi. Hanya kubalas senyum. Seketika nyaliku kembali menciut untuk berkata yang sebenarnya. Takut ia akan terluka karena ini.
"Mas!" panggilnya lagi. "Hadap sini. Bukannya kau tidak begitu suka ketika berbicara, tapi tidak diperhatikan? Kau ada masalah? Jawab, Mas!" imbunya. Risma memegang punggung tanganku.
"Tidak ada!" di mobil kukumpulkan keberanian, tapi justru melebur bersama rasa takut melukai.

"Kau berbohong. Sepuluh tahun bersama, aku tahu persis bagaimana suamiku. Tapi, kalau memang belum mau cerita berarti istrimu ini tidaklah berhak mengetahui rahasia suaminya sendiri!" ia menjauh sekian senti ke pinggir kasur.

"Bukan begitu, sayang. Aku takut kau bersedih mendengar ini!" balasku mencoba membuatnya mengerti. Bahwa memang ada hal yang tidak bisa diungkapkan secara gamblang.

"Lalu kenapa kau masih menyembunyikan? Aku akan lebih kecewa kalau kau tak jujur seperti ini, Mas!" ucapnya berwajah masam.

Masih tidak berani menatap, kukatakan bahwa, "jabatanku turunkan!" tangan kukepal lalu memukul kasur berulang-ulang bergantian kepala setelahnya. Mentalku tidak sepenuhnya siap mendengar Risma mengeluh kembali.

"Maafkan aku. Laki-laki ini memang tidak bisa diandalkan. Bukannya menambah penghasilan, justru berkurang drastis. Manager juga memberi waktu hanya sampai besok. Kalau tidak, ia akan mencari pengganti" belum kuhentikan usaha menghakimi diri sendiri.

"Tidak apa-apa, Mas. Mungkin ini cara tuhan menghapus kesalahanku terdahulu. Merenggut sesuatu yang tidak pernah kusyukuri. Setidaknya, dengan cara begini, aku bisa belajar menghemat."  Segera kupalingkan wajah ke hadapannya. Semburat bahagia memancar di wajahnya. Apa dia tidak salah ucap?

"Risma, gaji suamimu hanya hitungan jutaan. Yang dulu saja tidak bisa mencukupimu. Bagaimana nanti?" tanyaku berjalan menjauh.
"Akhir-akhir ini aku jarang bergaul dengan mereka yang bergaya hedonis sepertiku. Dan ternyata, bukan gajimu sedikit, tapi tuntutan hidupku yang terlalu tinggi. Buktinya selama menghabiskan waktu di rumah, uang sisa bulan lalu masih ada beberapa juta di dalam tas ku. Ternyata menuruti keinginan tidak akan ada habisnya, Mas!" Risma juga bangkit dari kasur dan mendekatiku. Kedua tangan mulusnya memeluk tubuhku dari belakang.

Kuangkat wajahku memperhatikan pantulan di cermin. Kutepuk pipi untuk meyakinkan bahwa mimpikah ini atau justru ragaku masih di tepi pantai menutup mata dan membayangkan hal serupa terjadi pada Rismaku? Tapi, terasa sakit. Ini nyata! Istriku tlah berubah. Inikah hikmah atas setiap kejadian yang menimpa kami beberapa waktu belakangan.

Tak apa kehilangan semua gaji, asal digantikan dengan istri yang setia mendampingi dan bisa menghargai. Sebab memakan sesuap nasi ditaburi garam akan terasa nikmat jika ditelan dengan rasa syukur. Daripada makanan mewah berharga jutaan, namun dibeli hanya untuk menyombongkan diri di hadapan khalayak.

Langit tak selamanya petang, esok mentari akan kembali dengan senyum terbaiknya. Memberi cahaya pada seisi semesta. Dan, ini yang terjadi pada kami. Kubalikkan badan untuk melihat Risma. Sorot matanya tajam penuh keyakinan.

"Kau serius?" tanyaku lagi. Ia meraih tanganku lalu dilekatkan ke dadanya.
"Rasakan detak jantung ini. Adakah  aku sedang bercanda untuk hal serius? Jika masih enggan  percaya, tatap istrimu ini, Mas. Lidah bisa berdusta, tapi  tidak dengan mata. Aku sedang berusaha berdamai dengan takdir. Belajar menjadi pendampingmu di segala musim!" balasnya penuh percaya diri.
"Terima kasih banyak. Kupikir kau akan terluka karena ini. Tapi, justru kau menguatkanku saat tidak berdaya. Terima kasih, sayang!" tanganku menjejali bagian wajah Risma. Kubelai lembut.

"Doakan aku agar selalu istiqomah. Karena, mempertahankan tidak lebih mudah daripada memulai. Bimbing aku sepenuh hatimu dan jadikan wanita ini satu-satunya bidadari yang kau harap menjumpaimu di keabadian. Atas nama diriku sendiri, aku berjanji akan mendampingimu menapaki puncak kesuksesan kembali. Berbagi ketika diberi lebih, dan bersyukur meski harus hidup kekurangan." tambahnya. Kemudian memeluk tubuhku dengan erat.

"Tentu, sayang. Jadi besok aku bisa menghadap ke manager dan menerima tawarannya sebagai area SPV? Kau serius kan?" tanyaku seolah belum percaya. Risma mengangguk dan berkata, "Kita akan punya banyak waktu untuk bersama!"
"Terima kasih banyak!" ucapku.

Tidaklah seorang hamba diuji melainkan ada hikmah setelahnya.
***

Di pagi hari tidak ada lagi hal yang mengganjal di hati. Satu-satunya orang yang kukhawatirkan menerima dengan lapang dada. Kuinjakkan kaki di kantor -yang sebentar lagi akan kutinggalkan karena akan ditempatkan di distributor- untuk menemui Manager area.

"Permisi, Pak! Ucapku saat memasuki ruangannya. Ekspresiku tidak sehancur kemarin.
"Silakan, masuk pak Ibam. Bagaimana? Sudah ada keputusan?" tanyanya langsung.

Dengan penuh keyakinan kujawab, "iya, Pak. Insya Allah saya siap bekerja sebagai area SPV!"
"Selamat bekerja, Pak ibam!" balasnya sembari menjulurkan tangan untuk menjabatku.
"Jangan lupa, minggu depan diadakan meeting disini. Sampai jumpa kembali dan selamat bertugas!"

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER