Hari pertama dengan jabatan berbeda. Aku harus tetap bekerja dengan baik walaupun sempat menelan pil pahit sebelumnya. Setiba di tempat tugas baru, handphone berdering saat mobil baru saja kumatikan.
"Assalamualaikum, Pak Ibam!" sapa seseorang dibalik telepon. Dia pak Beni. Salah satu rekan AASM di kantor. Sekarang menjadi atasanku.
Dengan besar hati kujawab, "Walaikum salam, Pak!"
"Maaf, Pak Ibam kalau mengganggu. Apa sudah baca email yang saya kirim?" Tanyanya.
"Sudah, Pak! Tapi, saya kurang paham intruksi yang dimaksud! Bisa dijelaskan dulu?" kataku. Setelah mendengar ucapanku, pak Beni tertawa terbahak-bahak. "Ada-ada saja, mana mungkin orang yang sering kumintatolongi dulu saat saya kurang paham penjelasan pak Askari. Maaf yah pak Ibam. Bukan bermaksud menggurui. Jadi tidak enak!" balasnya.
"Hahaha. Wah pak Beni ini. Santai saja. Itukan memang tugasmu sebagai bosku sekarang." dipungkiripun tetaplah levelku kini satu tingkat di bawahnya.
"Ahh, jangan begitu. Dari segi ilmu, dirimu lebih hebat daripada saya! Sekarang sudah di distributor?" tuturnya lagi.
Ini bukan tentang siapa yang lebih hebat, tapi siapa yang lebih dikehendaki.
"Iya, Pak. Ini baru saja sampai!" balasku.
"Oke pak Ibam. Maaf mengganggu pagi-pagi!" tutup pak Beni diujung telepon.
***
"Selamat pagi, Pak!" seorang supervisor menyapa setibanya dalam distributor tadi. Ia membungkukkan badan saat bertemu denganku. Tanpa perlu memperkenalkan diri, tentu mereka sudah tahu betul siapa aku. Asisten area sales manager termuda di kantor. Dengan jenjang karir kian pesat dalam jangka waktu yang cukup singkat ketimbang yang lain. Namun, banyak di antaranya yang masih berlaku sopan meski jabatanku yang turun ini sempat menghebohkan perusahaan.
Itulah pentingnya tetap membumi saat pencapaian tengah di atas langit. Sebab, ketika semua lepas dari genggaman, semesta dan isinya masih mau menerima kehadiran kita.
Tapi, tak dipungkiri, setelah kejadian ini, juga banyak orang-orang akan melepas topeng saat merasa bahwa kita tidak lagi berpengaruh untuk kepentingannya.
Memimpin briefing di pagi hari untuk memberi arahan pada supervisor sales dan sales tentang kiat-kiat yang mesti dilakukan sesuai intruksi dari AASM. Karena mengingat selama ini team di territory ini tidak pernah mencapai target.
"Sebelum diakhiri, saya kembali tegaskan untuk semua sales dan SPV agar menjalankan tugas sebaik mungkin. Jangan lupa besok kita akan atur team ke setiap wilayah. Untuk yang bertugas di kota, saya tunggu jam sembilan pagi disini. Sedangkan yang di luar, tetap harus standbye di tempat karena akan dihubungi langsung sesuai jam yang ditentukan. Dijawab anggukan serentak dan ucapan, "siap, Pak!"
"Jadi saya mau seluruh team harus on time, bekerja semaksimal mungkin agar bisa mencapai target untuk kepentingan bersama!" tambahku kemudian disambut tepukan gemuruh.
Setelah selesai, masing-masing dari mereka menjabat tanganku. Ada yang bilang, "wah, bapak memang luar biasa. Dulu yang jadi area SPV jarang ikut briefing. Sekalinya ada hanya membaca power point di layar yang dia sendiri tidak tahu ingin berbuat apa!" ucapnya.
"Tidak usah terlalu memuji. Semua orang bisa berteori. Kita lihat saja nanti saya becus bekerja atau tidak, tergantung hasilnya. Sehebatnya rencana, tidak akan bisa berhasil kalau tidak direalisasikan. Jadi saya minta tolong kerja samanya." balasku.
"Baik, Pak!" sahutnya.
"Jam makan siang, saya tunggu di tempat makan sebelah, yah. Sales dan SPV sales!" mungkin saatnya mempraktekkan saling berbagi. Karena, katanya tidak ada orang yang jatuh miskin setelah bersedekah. Semalam Risma memberiku uang beberapa untuk kupakai seminggu. Agak lebih daripada biasanya. Dia bilang karena jarak kantorku sekarang sudah lumayan jauh. Tapi, bagiku masih terlalu banyak. Kalau kupakai mentraktir teman yang sekiranya kurang dari dua puluh orang, masih ada sisa untuk kupakai beli bensin setelahnya. Asal bukan di tempat mahal. Hehehe.
"Ditraktir, Pak?" celoteh salah seorang sales. Di setiap instansi mesti ada yang selalu mencairkan suasana. Ia ditertawakan rekan sejawatnya. Ada yang bilang, "Kau ini, selalu saja mau yang gratis!" entah siapa namanya.
"Iya, beres!" kataku sembari mengacungkan jempol ke arahnya.
"Terima kasih banyak, Pak. Semoga lancar rezekinya!" belum diberi, sudah didoakan. Masya Alloh tabarakallah.
Alhamdulillah, semua mengalir seperti air. Tidak semenyeramkan yang kukira.
***
Kalau dulu setelah pulang kerja kepala selalu berat karena beban. Sekarang jauh lebih enteng. Aku juga bisa pulang lebih awal tidak seperti dulu hampir setiap hari lembur demi uang tambahan. Terbesit hati ingin mengajak Risma ke luar untuk makan malam nanti.
"Sayang, ayo siap-siap kita keluar setelah shalat isya!" ucapku mengambil handuk.
"Mau kemana, Mas?" Tanyanya. Ia duduk di depan bupet mandangi dua jerawat yang meninggalkan bekas.
"Kita makan di luar!" jawabku.
"Kau serius? Tumben!" Risma tersenyum menatap kaca.
"Iya, ayo!"
"Mau makan apa?" tanya Risma lagi.
"Terserah kau saja!" balasku. Istriku dengan nada bercanda mengatakan, "Gak usah deh, Mas. Kalau ikuti seleraku, yang ada kau akan mual seperti yang lalu-lalu!"
Kudekati ia, "awas yah, meledek suami dosa loh!" kuangkat dagunya lalu melentikkan jari meraih hidung mancungnya.
"Hahaha. Bercanda, Mas. Eh, tapi serius!" balasnya manja.
"Yang benar mana nih, bercanda atau serius?" tanyaku.
"Kali ini aku ikut kau saja, Mas. Mau makan dimanapun terserah!"
Setelah berunding kemudian bersiap-siap. Pilihan jatuh ke salah satu warung kecil yang tidak begitu jauh dari rumah. Tempat yang Risma selalu tolak tiap kuajak. Bagaimana tidak, hanya beratapkan tenda biru, dengan baliho dijadikan dinding.
"Kau yakin?" tanyaku. Masih sulit percaya Risma begitu. Tidak ada raut wajah terpaksa atau sekadar menutup hidung ketika melihat tempat kumuh. Walaupun sebenarnya tidak ada bau yang mengganggu indera penciuman. Kali ini dia yang menarikku masuk.
"Mau pesan apa Pak, Bu?" tanya seorang pelayan.
"Mau makan apa?" kutanyai Risma terlebih dulu. Ia berbisik, "aku ikut saja!"
"Ya sudah!"
"Gado-gado dua!"
Kami duduk berhadapan di atas kursi panjang. Di meja aneka botol saus dan kecap menjadi pengahalang untuk saling bertemu pandang. Kusingkirkan sedikit, agar lebih mudah saat menyantap makanan enak ini. Tak lama berselang, seorang ibu tua datang mengantar dua piring gado-gado yang tidak pelit saos kacang.
"Kalau tidak suka, jangan dipaksakan yah!" ucapku sembari mengaduk-aduk agar seluruh bumbu menyatu dengan lontong dan semua isian di piring.
"Suka, Mas!" ia mulai menyendok sepotong kecil lontong. Kulihat raut wajah Risma berubah. Matanya memerah saat beberapa menit makanan yang disuapnya belum juga masuk di tenggorokan. Terlihat dari mulutnya yang masih penuh dan terus mengunyah. Secara terburu Risma mengambil sebotol air yang sengaja kusiapkan untuknya dari rumah lalu diteguk dengan cepat. Ia menarik nafas panjang dan mencoba tersenyum setelahnya.
Itu hal yang sangat lucu bagiku. Aku tertawa sehingga beberapa pengunjung menatap kami. "Ssttt!" Risma menutup mulutnya dengan telunjuk agar aku diam.
"Kau menerimaku saja sudah cukup. Tidak usah juga memaksakan diri seperti ini. Kalau memang tidak suka, tidak apa-apa. Sama halnya denganku yang tidak terbiasa dengan semua makanan yang kau suka. Kau pun sama." lalu kami berdua saling menertawakan.
Aku baru sadar. Ternyata menikah bukan memaksa diri untuk mengikuti hal yang bertentangan dengan hati nurani. Tetapi, belajar menerima satu sama lain akan membuat hubungan jauh lebih menyenangkan. Asalkan hal yang pasangan lakukan masih batas kewajaran.
Mungkin itu sebabnya pelangi selalu tampak indah, karena warnanya yang berbeda-beda.
==========
[PoV Risma]
Banyak yang bertanya alasan mengapa aku mati-matian mempertahankan rumah tanggaku dengan Ibam. Yah, apalagi kalau bukan cinta dan komitmen. Satu yang kutahu, selain ia, aku rasa tak akan ada yang bisa menyayangiku sebaiknya.
Dulu kukira tidak ada yang bisa memahami rumitku dengan baik. Tapi setelah bertemu dengannya, semua terbantahkan.
Ibam, lelaki kampung yang berbeda kasta denganku. Ia terlalu sabar sehingga dengan mudahnya kutaklukkan. Namun begitulah, jika sabar tak ada batasnya, di dalam diri seseorang tentu ada porsi masing-masing. Mungkin ia tidak akan muak dengan sikap angkuh dan manjaku, tapi jika bersinggungan dengan orang tuanya, siapa yang bisa tahan.
Menikah, bukan hanya menyatukan dua raga menjadi satu ikatan, namun melebur dua keluarga hingga tak ada sekat diantaranya.
Setelah melewati begitu banyak ujian, akhirnya dia bisa memaafkanku. Tentu aku harus berterima kasih kepada mertua serta secarik kertas di ambang pintu, karena Allah membukakan pintu hati suamiku lewat itu.
Aku hamil untuk kedua kali, serta Mas Ibam dengan jabatan barunya. Maka Nikmat Tuhan manalagi yang harus didustakan?
Hari ini aku dan suamiku sedang menikmati masa 'Baby Moon' di tempat terpencil di desanya. Sekaligus mengecek rumah mertuaku yang sementara proses pembangunan.
"Kau yakin tidak apa-apa kita ke kampung sementara kehamilanmu sangatlah rawan, sayang?" tanya suamiku ketika aku mulai masuk ke dalam mobil.
"Bismillah, Mas. Semua tentu sudah ditakdirkan. Kalaupun sesuatu yang buruk terjadi lagi, tak ada yang bisa menghindar dari itu. Berdiam diri di rumah pun kalau memang anak di kandunganku ini bukan rezeki dan Allah berkehendak akan hal itu, maka terjadilah. Pelan-pelan saja, Mas. Insya Allah kita akan selamat sampai ke tujuan." suamiku menatap mataku penuh haru. Berkat kesabaran dan keikhlasannya membimbingku, aku semakin bisa berusaha menjadi sebaik-baiknya istri.
"Masya Allah, betapa beruntungnya aku memiliki perempuan sepertimu." ucapnya.
"Hahaha. Tidak usah berlebihan, Mas. Aku masih belajar juga. Jangan bosan yah!" jawabku seraya mengelus perut. Semoga Alloh mengizinkan hamba menjadi ibu seutuhnya.
Kubiarkan jendela mobil terbuka, semilir angin menyapu lembut wajahku. Tak ada lagi helai rambut yang terlihat. Hanya kerudung yang menjulur menutupi dada. Menikmati perjalanan hingga sampai ke rumah ibu mertua.
***
Semalam sebelumnya kami mengabari bahwa ingin berkunjung. Dan setibanya di sana saudara-saudara mas Ibam, keponakan serta orang tuanya mulai menunggu kedatangan kami di balai-balai depan.
"Alhamdulillah, akhirnya kalian sampai juga," ucap ayah mertua.
Semua mata tertuju padaku.
"Kamu cantik sekali, Nak!" ucap ibu mertua yang langsung memegang pipi setelah kucium punggung tangannya.
"Terima kasih, Bu!" Ivan dan Bian saudara iparku, menyusul istri dan keponakan yang lain juga menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan kami. Suasana kian haru ketika Bian memeluk erat kakak lelakinya.
"Mas, maafkan aku!" katanya. Kejadian tempo hari karena kesalahanku memang sempat merenggangkan hubungan mereka.
"Iya, sudah kumaafkan. Akupun akan melakukan hal yang sama ketika ada di posisimu," sahut suamiku.
"Sudah-sudah, tidak usah di bahas. Sekarang ayo kalian istirahat dulu," kata mertuaku.
Karena kondisi rumah belum jadi, sehingga saudara ipar mengajak kami langsung ke rumahnya.
"Ayo istrihat di rumah saja," gumam mas Ivann ketika melihat mas Ibam yang mulai merebahkan tubuh di balai-balai setelah berpelukan.
"Di sini saja dulu," ucapnya.
Ibu mertua memegang tanganku. Dia berkata, "Nak, Risma terima kasih banyak yah. Akhirnya puluhan tahun rumah ini bisa direnovasi. Berkat bantuan kalian," matanya berbinar.
"Tidak usah berterima kasih, Bu. Apa yang kami beri tidak apa-apanya dibanding semua yang ibu beri. Aku minta maaf, Bu jika selama menjadi menantu ibu, aku banyak berbuat salah." aku tak dapat menahan haru saat bertatapan langsung dengan perempuan yang paling berjasa dihidup suamiku. Aku sadar, jika ingin menikah dengan seorang lelaki, cintai lebih dulu orang tuanya.
--- TAMAT ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel