Aku berjalan terseok menyusuri lorong rumah sakit. Kepala masih berdenyut hebat akibat hantaman keras di ujung tangga. Aku memaksakan diri datang ke sini hanya untuk menemui Naura dan Adit.
Aku tersenyum tipis melihat sosok yang kucari ada di ambang pintu sebuah ruangan. Dengan menyeret kaki yang terasa berat, aku menghampirinya. Suaraku terdengar kecil saat memanggil namanya. Ia tidak mendengar itu.
"Adit ...." Aku mempercepat langkah. Tubuh ini mulai oleng karena tak sanggup lagi berdiri tegak.
Kesadaran tersisa setengah ketika aku sampai di depannya, mengembangkan senyuman manis untuknya.
"Adit," aku memanggil namanya lagi untuk memastikan jika ia benar-benar Adit.
"Nissa? Kamu ngapain ke sini?" Ia menutup pintu kaca di belakang tubuhnya dengan pelan. Tangan besarnya menggenggam lengan kecilku, menyeret ke tempat yang lebih jauh.
"Kamu sakit?"
"Nggak papa." Aku tersenyum untuk mengatakan jika diriku baik-baik saja, meski tubuh ini mengatakan hal lain.
"Maaf. Tadi saya terlalu cemas dengan keadaan Naura. Kamu nggak papa? Tadi kamu juga jatuh, kan?"
Merasakan kecemasannya untukku membuat lubuk hati ini menghangat.
"Nggak papa." Aku tersenyum untuk mengatakan jika diriku baik-baik saja, meski tubuh ini mengatakan hal lain.
"Maaf. Tadi saya terlalu cemas dengan keadaan Naura. Kamu nggak papa? Tadi kamu juga jatuh, kan?"
Merasakan kecemasannya untukku membuat lubuk hati ini menghangat.
"Aku nggak papa." Cukup kalimat ini yang mengutarakan jika apa yang kualami tadi bukanlah apa-apa jika Adit perhatian padaku. Karena khawatirnya itu bagaikan obat tersendiri untukku.
"Kamu beneran pucat, Nissa." Dengan punggung tangannya di dahiku, ia mengecek suhu tubuh.
"Kamu beneran pucat, Nissa." Dengan punggung tangannya di dahiku, ia mengecek suhu tubuh.
"Kita ke dokter sekarang!"
Kaki ini tidak mampu lagi melangkah. Pun kekuatan semakin menyusut. Tubuhku tumpang dalam pelukan Adit yang begitu sigap menangkapku.
"Nissa!" Panggilan itu sebagai pengiring hilangnya kesadaranku seutuhnya.
***
Cahaya sekitar begitu menyilaukan ketika kelopak mata mulai terangkat perlahan. Tingkat sensitivitas meningkat. Kedua tangan cukup menghalau sumber cahaya yang mengganggu penglihatan.
Kaki ini tidak mampu lagi melangkah. Pun kekuatan semakin menyusut. Tubuhku tumpang dalam pelukan Adit yang begitu sigap menangkapku.
"Nissa!" Panggilan itu sebagai pengiring hilangnya kesadaranku seutuhnya.
***
Cahaya sekitar begitu menyilaukan ketika kelopak mata mulai terangkat perlahan. Tingkat sensitivitas meningkat. Kedua tangan cukup menghalau sumber cahaya yang mengganggu penglihatan.
Indra pendengar menangkap suara keributan yang khas di luar ruangan. Dari balik pintu yang terbuat dari kaca tebal bening, kulihat ada Adit yang begitu murka terhadap seseorang.
Apa itu Kak Fajar? Jangan sampai ia menyakiti Kak Fajar lagi. Meski aku tidak mentoleransi kesalahan kakakku itu, aku tetap tidak bisa melihatnya dipukuli orang lain. Masih hangat bayangan saat pahlawanku dulu itu menolong diriku saat menjadi bahan bully-an teman-teman sekolah.
Aku bersyukur karena tubuh mulai membaik, tenaga mulai bertambah, meski pandangan masih sedikit kabur.
Berdiri di dekat pintu cukup membuatku mendengar obrolan mereka. Kakakku memaksa ingin bertanggung jawab ingin menikahi Naura. Apa yang ia lakukan pada Naura murni karena kecintaannya pada adiknya Adit.
Dia bahkan mengancam akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Naura. Aku jadi ragu, dia benar Kakakku atau bukan? Kenapa begitu egois?
Ambisius memang ciri utama Fajar Rahmawan, kakakku. Namun, aku tidak pernah menyangka jika ia seambisius seperti ini.
Pertemuan keduanya diakhiri dengan tatapan tajam penuh keangkuhan. Masing-masing tidak ada yang ingin mengalah. Adit tidak ingin menyerahkan adiknya, sementara Kak Fajar bertekad kuat mendapatkan Naura.
Pintu ruangan rawat terbuka. Adit mematung di ambang pintu, tangannya masih menyentuh knop pintu.
"Kamu kenapa ada di sini, Nissa?" Buih-buih kemarahan Adit menguap tak tersisa. Wajahnya terlihat santai dan tenang.
"Kamu harus banyak istirahat, Nissa. Dokter juga bilang kalau bagian belakang kepalamu juga luka." Dengan menautkan lembut jemari kami, ia menuntunku menuju ranjang rumah sakit.
Apa itu Kak Fajar? Jangan sampai ia menyakiti Kak Fajar lagi. Meski aku tidak mentoleransi kesalahan kakakku itu, aku tetap tidak bisa melihatnya dipukuli orang lain. Masih hangat bayangan saat pahlawanku dulu itu menolong diriku saat menjadi bahan bully-an teman-teman sekolah.
Aku bersyukur karena tubuh mulai membaik, tenaga mulai bertambah, meski pandangan masih sedikit kabur.
Berdiri di dekat pintu cukup membuatku mendengar obrolan mereka. Kakakku memaksa ingin bertanggung jawab ingin menikahi Naura. Apa yang ia lakukan pada Naura murni karena kecintaannya pada adiknya Adit.
Dia bahkan mengancam akan melakukan segala cara untuk mendapatkan Naura. Aku jadi ragu, dia benar Kakakku atau bukan? Kenapa begitu egois?
Ambisius memang ciri utama Fajar Rahmawan, kakakku. Namun, aku tidak pernah menyangka jika ia seambisius seperti ini.
Pertemuan keduanya diakhiri dengan tatapan tajam penuh keangkuhan. Masing-masing tidak ada yang ingin mengalah. Adit tidak ingin menyerahkan adiknya, sementara Kak Fajar bertekad kuat mendapatkan Naura.
Pintu ruangan rawat terbuka. Adit mematung di ambang pintu, tangannya masih menyentuh knop pintu.
"Kamu kenapa ada di sini, Nissa?" Buih-buih kemarahan Adit menguap tak tersisa. Wajahnya terlihat santai dan tenang.
"Kamu harus banyak istirahat, Nissa. Dokter juga bilang kalau bagian belakang kepalamu juga luka." Dengan menautkan lembut jemari kami, ia menuntunku menuju ranjang rumah sakit.
"Tidur, dan istirahatlah. Tadi udah shalat zuhur, kan?"
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban. Sebelum ke sini, aku menyempatkan diri untuk shalat zuhur di rumah.
"Mau makan?" Adit menarik kursi plastik yang tersedia untuk pengunjung. Tangannya masih setia menggenggam tanganku.
"Aku tidak lapar," jawabku.
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban. Sebelum ke sini, aku menyempatkan diri untuk shalat zuhur di rumah.
"Mau makan?" Adit menarik kursi plastik yang tersedia untuk pengunjung. Tangannya masih setia menggenggam tanganku.
"Aku tidak lapar," jawabku.
"Bagaimana keadaan Naura?"
Senyuman hangat darinya berubah menjadi pasokan kekuatan yang mulai menyusup dalam diriku. "Tidak perlu khawatir. Dia hanya luka ringan di kepala. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Dia hanya perlu tinggal di rumah sakit beberapa hari."
"Bagaimana dengan kandungannya?" Aku sering menonton film, di mana ada wanita yang mengandung. Lalu tokoh jahat akan memberikan minyak atau cairan yang licin di tangga. Saat wanita hamil menginjaknya, maka dia akan keguguran setelah terjatuh dari tangga. Aku takut itu terjadi pada Naura.
Senyuman hangat darinya berubah menjadi pasokan kekuatan yang mulai menyusup dalam diriku. "Tidak perlu khawatir. Dia hanya luka ringan di kepala. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Dia hanya perlu tinggal di rumah sakit beberapa hari."
"Bagaimana dengan kandungannya?" Aku sering menonton film, di mana ada wanita yang mengandung. Lalu tokoh jahat akan memberikan minyak atau cairan yang licin di tangga. Saat wanita hamil menginjaknya, maka dia akan keguguran setelah terjatuh dari tangga. Aku takut itu terjadi pada Naura.
"Dia tidak apa-apa. Bayinya juga." Adit tersenyum gemas. Kedua matanya semakin menyipit karena sudut bibirnya yang terangkat terlalu tinggi.
"Kadang saya suka bingung, Naura adik saya atau adik kamu? Kamu begitu perhatian padanya seolah-olah dia adalah adik kandungmu."
"Bagaimana jika memang aku menganggapnya sebagai adik? Apa tidak boleh?"
"Tentu saja boleh!" Tangannya menarik ujung hidungku cukup keras. Aku meringis pelan.
"Sakit, ih!" Aku menepuk pelan tangannya.
"Saya nggak tau kenapa, kamu mendadak menggemaskan seperti ini. Cantik."
Kadang, aku ingin berdoa pada Alloh agar memberiku anugerah mind reader agar bisa membaca pikirannya yang sulit ditebak. Beberapa saat yang lalu sebelum ke rumah sakit, ia membentakku. Sekarang memujiku.
Tidak ada alasan untuk tidak tersipu malu karena ucapannya barusan, kan? Ya ... walaupun pujiannya masih agak kaku.
"Kamu kenapa Adit? Kepalamu tidak terbentur, kan?" Jujur, aku sangat bingung dengan jalan pikirannya.
"Sepertinya kamu yang amnesia setelah kepalamu terbentur," ucapnya sembari menatapku begitu dalam.
"Kamu sudah saya anggap sebagai istri saya sendiri. Apa salah menggoda istri sendiri, hm?"
"Tidak salah." Aku meringis pelan merasakan jantung yang semakin berdebar kencang.
"Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, oke? Saya ada di ruangan Naura, tepat di samping ruangan ini," jelasnya diikuti tubuhnya yang berdiri tegap.
"Adit!" Panggilku, mencegahnya keluar. Ia harus tahu sebuah fakta.
"Kamu harus tahu, laki-laki itu, dia ... kakakku." Aku melirik takut-takut padanya untuk mencari perubahan aura wajahnya. Ia menjadi dingin dan datar lagi.
Tanpa mengucapkan apapun, kakinya melangkah meninggalkan ruangan ini. Aku mendesah lelah, sepertinya dia juga membenciku.
***
Setelah 5 hari dirawat di rumah sakit, Naura sudah bisa diizinkan pulang. Kami sedang berada di dalam mobil menuju rumah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Adit mengambil jalan lain, tidak seperti biasanya.
"Adit, kita mau ke mana?" Aku mengajukan pertanyaan karena merasa sudah terlalu jauh dari rumah.
"Pulang ke rumah."
"Tapi ini kayaknya bukan jalan ke rumah. Kamu ambil jalan lain?"
"Tidak. Kita akan ke rumah 'baru'."
"Rumah baru? Rumah yang lama kenapa?"
"Maaf, Nissa. Saya tidak bisa lagi menanggung semua pengeluaran. Saya baru saja dipecat dan sampai sekarang belum ada yang mau menerima saya bekerja. Rumah itu saya jual untuk biaya rumah sakit Naura dan membeli rumah baru yang lebih sederhana dibandingkan rumah sebelumnya. Kamu tidak masalah, kan?" jelasnya diikuti lirikan mata untukku melalui kaca spion.
"Tidak masalah." Aku terdiam sejenak lalu melanjutkan, "Asalkan bersama suamiku, di kolong jembatan pun tidak masalah." Menggoda suami sedikit, tidak apa-apa, kan?
"Ide yang bagus, Nissa. Di kolong jembatan pasti gratis, tidak dipungut biaya sepeser pun. Kita akan ke sana."
"Adiiit!" Aku menggeram. Ia meledakkan tawanya menggema di dalam mobil.
"Tidak. Saya hanya bercanda." Adit melirik Naura yang sedari tadi bungkam dengan pandangan tertuju ke luar jendela.
"Bagaimana jika memang aku menganggapnya sebagai adik? Apa tidak boleh?"
"Tentu saja boleh!" Tangannya menarik ujung hidungku cukup keras. Aku meringis pelan.
"Sakit, ih!" Aku menepuk pelan tangannya.
"Saya nggak tau kenapa, kamu mendadak menggemaskan seperti ini. Cantik."
Kadang, aku ingin berdoa pada Alloh agar memberiku anugerah mind reader agar bisa membaca pikirannya yang sulit ditebak. Beberapa saat yang lalu sebelum ke rumah sakit, ia membentakku. Sekarang memujiku.
Tidak ada alasan untuk tidak tersipu malu karena ucapannya barusan, kan? Ya ... walaupun pujiannya masih agak kaku.
"Kamu kenapa Adit? Kepalamu tidak terbentur, kan?" Jujur, aku sangat bingung dengan jalan pikirannya.
"Sepertinya kamu yang amnesia setelah kepalamu terbentur," ucapnya sembari menatapku begitu dalam.
"Kamu sudah saya anggap sebagai istri saya sendiri. Apa salah menggoda istri sendiri, hm?"
"Tidak salah." Aku meringis pelan merasakan jantung yang semakin berdebar kencang.
"Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, oke? Saya ada di ruangan Naura, tepat di samping ruangan ini," jelasnya diikuti tubuhnya yang berdiri tegap.
"Adit!" Panggilku, mencegahnya keluar. Ia harus tahu sebuah fakta.
"Kamu harus tahu, laki-laki itu, dia ... kakakku." Aku melirik takut-takut padanya untuk mencari perubahan aura wajahnya. Ia menjadi dingin dan datar lagi.
Tanpa mengucapkan apapun, kakinya melangkah meninggalkan ruangan ini. Aku mendesah lelah, sepertinya dia juga membenciku.
***
Setelah 5 hari dirawat di rumah sakit, Naura sudah bisa diizinkan pulang. Kami sedang berada di dalam mobil menuju rumah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Adit mengambil jalan lain, tidak seperti biasanya.
"Adit, kita mau ke mana?" Aku mengajukan pertanyaan karena merasa sudah terlalu jauh dari rumah.
"Pulang ke rumah."
"Tapi ini kayaknya bukan jalan ke rumah. Kamu ambil jalan lain?"
"Tidak. Kita akan ke rumah 'baru'."
"Rumah baru? Rumah yang lama kenapa?"
"Maaf, Nissa. Saya tidak bisa lagi menanggung semua pengeluaran. Saya baru saja dipecat dan sampai sekarang belum ada yang mau menerima saya bekerja. Rumah itu saya jual untuk biaya rumah sakit Naura dan membeli rumah baru yang lebih sederhana dibandingkan rumah sebelumnya. Kamu tidak masalah, kan?" jelasnya diikuti lirikan mata untukku melalui kaca spion.
"Tidak masalah." Aku terdiam sejenak lalu melanjutkan, "Asalkan bersama suamiku, di kolong jembatan pun tidak masalah." Menggoda suami sedikit, tidak apa-apa, kan?
"Ide yang bagus, Nissa. Di kolong jembatan pasti gratis, tidak dipungut biaya sepeser pun. Kita akan ke sana."
"Adiiit!" Aku menggeram. Ia meledakkan tawanya menggema di dalam mobil.
"Tidak. Saya hanya bercanda." Adit melirik Naura yang sedari tadi bungkam dengan pandangan tertuju ke luar jendela.
"Lagipula adik saya sangat butuh tempat yang sehat sekarang."
Aku sangat bersyukur karena Adit masih mau menerimaku meski tahu jika kakakku adalah penyebab kehancuran adiknya. Ia ternyata tidak egois dan melihat masalah hanya dari satu sudut pandang. Katanya, yang bersalah kakakku, tidak ada hubungannya denganku. Kami pun semakin dekat.
Tubuhku terdorong ke depan karena Adit yang mengerem secara mendadak. Pandanganku tertuju ke depan.
Sebuah mobil avanza yang mirip mobil penculik Naura beberapa minggu yang lalu berhenti di tengah jalan.
Sepertinya bukan mirip, tetapi memang itu penculik Naura. Jika sebelumnya hanya ada 2 orang, kini ada tiga orang yang turun dari mobil itu.
Tubuhku terdorong ke depan karena Adit yang mengerem secara mendadak. Pandanganku tertuju ke depan.
Sebuah mobil avanza yang mirip mobil penculik Naura beberapa minggu yang lalu berhenti di tengah jalan.
Sepertinya bukan mirip, tetapi memang itu penculik Naura. Jika sebelumnya hanya ada 2 orang, kini ada tiga orang yang turun dari mobil itu.
"TURUN!" Seorang lelaki bertubuh jangkung kurus memukul keras kap mobil.
"Kalian tunggu di sini!" Adit berpesan.
"Jangan, Dit! Bahaya!" Aku melarang.
"Kalian tunggu di sini!" Adit berpesan.
"Jangan, Dit! Bahaya!" Aku melarang.
Masih tercetak jelas bayangan saat Pak Anton turun dari mobil dan berakhir babak belur hampir pingsan di tengah jalan. Aku tidak mau Adit mengalami hal itu. Apalagi jika mereka menculik Naura. "Mereka yang menculik Naura dulu."
Naura sendiri kembali menegang. Wajahnya menyiratkan ketakutan yang mendalam.
Duel tidak seimbang terjadi antara Adit dan tiga orang tersebut. Awalnya, Adit mampu menangkis dan mengelak dari semua serangan. Namun begitu mendapat serangan secara bersamaan di bagian belakang tubuhnya dan juga dari depan, Adit tak lagi mampu menahan. Perutnya dipukul kuat. Menyusul di bagian punggung hingga Adit jatuh di aspal.
Aku mulai ketakutan sambil memeluk Naura. Pikiran kecil mewanti-wanti agar tidak membukakan pintu pada mereka sekalipun jika mereka memecahkan kaca jendela lagi, atau menusuk punggungku menggunakan pecahan kaca.
Seorang lelaki bertubuh tegap sedikit pendek memecahkan kaca bagian depan, samping kemudi. Ia membuka kunci mobil dan masuk dengan mudah. Bagaimana caranya meloloskan diri. Aku berusaha mengotak-atik pintu mobil agar terbuka. Sial! Dia menguncinya.
Duel tidak seimbang terjadi antara Adit dan tiga orang tersebut. Awalnya, Adit mampu menangkis dan mengelak dari semua serangan. Namun begitu mendapat serangan secara bersamaan di bagian belakang tubuhnya dan juga dari depan, Adit tak lagi mampu menahan. Perutnya dipukul kuat. Menyusul di bagian punggung hingga Adit jatuh di aspal.
Aku mulai ketakutan sambil memeluk Naura. Pikiran kecil mewanti-wanti agar tidak membukakan pintu pada mereka sekalipun jika mereka memecahkan kaca jendela lagi, atau menusuk punggungku menggunakan pecahan kaca.
Seorang lelaki bertubuh tegap sedikit pendek memecahkan kaca bagian depan, samping kemudi. Ia membuka kunci mobil dan masuk dengan mudah. Bagaimana caranya meloloskan diri. Aku berusaha mengotak-atik pintu mobil agar terbuka. Sial! Dia menguncinya.
"Keluar dari mobil, atau aku akan membunuhmu?" Sial lagi! Di dalam tas tidak ada satu pun benda yang bisa menjadi perlindungan diri.
"Kenapa bukan kamu saja yang keluar? Aku tidak membutuhkanmu, aku hanya butuh cintaku, Naura." Ia membuka topeng yang menutupi wajahnya. Mobil ini semakin jauh dari Adit. Benar saja, ia Kak Fajar. Bukan Kak Fajar, hanya Fajar saja. Dia bukan kakakku lagi.
Tidak ada kalimat yang keluar dari bibir Naura kecuali isakan tangis.
"Kita akan menikah, Naura sayang. Kita akan menikah!" Ia tersenyum sarkas.
Aku menggeram marah, lalu mencopot sepatu tanpa hak milikku.
"Kenapa bukan kamu saja yang keluar? Aku tidak membutuhkanmu, aku hanya butuh cintaku, Naura." Ia membuka topeng yang menutupi wajahnya. Mobil ini semakin jauh dari Adit. Benar saja, ia Kak Fajar. Bukan Kak Fajar, hanya Fajar saja. Dia bukan kakakku lagi.
Tidak ada kalimat yang keluar dari bibir Naura kecuali isakan tangis.
"Kita akan menikah, Naura sayang. Kita akan menikah!" Ia tersenyum sarkas.
Aku menggeram marah, lalu mencopot sepatu tanpa hak milikku.
"Turunkan kami, atau aku akan memukulmu!"
Aku mengambil ancang-ancang di belakang kursi kemudi.
"Silakan saja," senyuman mengejek semakin melebar di wajahnya.
Aku mengambil ancang-ancang di belakang kursi kemudi.
"Silakan saja," senyuman mengejek semakin melebar di wajahnya.
"Dan bersiaplah untuk menemui Tuhan."
Setelah mengatakan itu, ia mengeluarkan sebuah pistol yang moncongnya tertuju ke arahku.
CUT!!!
==========
"Tidak bisa!" Ia berucap dengan nada pelan. Jantungku yang semula berdetak lebih cepat, mulai kembali normal saat melihat pistol di tangannya berpindah ke atas dashboard. "Wajahmu mirip adikku yang gemuk dan manis. Aku tidak bisa membunuhmu."
Sial! Dia mengataiku gemuk! Memang iya, tapi itu dulu. Sekarang aku berubah. Saking banyaknya yang berubah, dia tidak mengenaliku.
"Cepat keluar ...." Nada suaranya lebih mirip bisikan pelan.
"Apa?!"
"KELUAR!" Ia membentak dengan nada keras. Wajahnya merah padam disertai tatapan tajam hendak membunuh yang ditujukan padaku melalui kaca spion.
Dia gila! Katanya tidak ingin membunuhku, lalu menyuruhku keluar tanpa menghentikan mobil. Itu sama saja ingin membunuhku. Bodoh!
"Aku tidak ingin keluar tanpa Naura!" Gadis yang baru saja kusebut namanya itu, tengah menunduk dalam. Tidak ada lagi isakan. Bibir mungilnya yang berwarna pucat terkatup rapat. Buliran air mata terus keluar membasahi wajahnya.
"Aku tidak ingin melepaskannya!" Fajar menggeram. Diremasnya stir mobil dengan kuat, lalu memukulnya dengan keras. "CEPAT KELUAR!"
Jantungku terasa ditekan di dalam sana mendengar bentakan Fajar. Sebulir air mata lolos tanpa bisa dicegah. Untuk pertama kalinya, lelaki yang kuanggap sebagai pahlawan membentakku. Harus aku katakan siapa diriku? Tidak. Aku malu mengakuinya kakak.
"Tidak!" balasku dengan tekad kuat.
Setelah mengatakan itu, ia mengeluarkan sebuah pistol yang moncongnya tertuju ke arahku.
CUT!!!
==========
"Tidak bisa!" Ia berucap dengan nada pelan. Jantungku yang semula berdetak lebih cepat, mulai kembali normal saat melihat pistol di tangannya berpindah ke atas dashboard. "Wajahmu mirip adikku yang gemuk dan manis. Aku tidak bisa membunuhmu."
Sial! Dia mengataiku gemuk! Memang iya, tapi itu dulu. Sekarang aku berubah. Saking banyaknya yang berubah, dia tidak mengenaliku.
"Cepat keluar ...." Nada suaranya lebih mirip bisikan pelan.
"Apa?!"
"KELUAR!" Ia membentak dengan nada keras. Wajahnya merah padam disertai tatapan tajam hendak membunuh yang ditujukan padaku melalui kaca spion.
Dia gila! Katanya tidak ingin membunuhku, lalu menyuruhku keluar tanpa menghentikan mobil. Itu sama saja ingin membunuhku. Bodoh!
"Aku tidak ingin keluar tanpa Naura!" Gadis yang baru saja kusebut namanya itu, tengah menunduk dalam. Tidak ada lagi isakan. Bibir mungilnya yang berwarna pucat terkatup rapat. Buliran air mata terus keluar membasahi wajahnya.
"Aku tidak ingin melepaskannya!" Fajar menggeram. Diremasnya stir mobil dengan kuat, lalu memukulnya dengan keras. "CEPAT KELUAR!"
Jantungku terasa ditekan di dalam sana mendengar bentakan Fajar. Sebulir air mata lolos tanpa bisa dicegah. Untuk pertama kalinya, lelaki yang kuanggap sebagai pahlawan membentakku. Harus aku katakan siapa diriku? Tidak. Aku malu mengakuinya kakak.
"Tidak!" balasku dengan tekad kuat.
"Sudah kubilang jika aku akan keluar bersama Naura! Hanya bersama Naura!" lanjutku sebagai penekanan atas penolakan yang baru saja kuucapkan.
"Dasar keras kepala!" Dia menghentikan mobil.
"Dasar keras kepala!" Dia menghentikan mobil.
Dengan pergerakan cepat, tubuhnya sudah berada tepat di dekat pintu mobil sampingku. Dia membukanya, lalu menarikku keluar. Aku pun menarik Naura.
"Lepaskan Naura!" Ia menggeram kesal.
"Tidak!" Aku meneguk ludah. Jujur, aku takut melihat tampangnya yang begitu menakutkan.
"Kamu benar-benar menguji kesabaranku!" Fajar menghentakkan tanganku dengan kuat, berimbas pada lengan yang terasa nyeri.
Fajar memisahkan tautan tanganku dan Naura. Aku berusaha mempertahankan Naura. Namun, tenaga yang tidak sepadan membuatku kalah. Dia memasukkan Naura dengan paksa ke dalam mobil. Gadis itu meronta meminta dilepaskan.
"Nau! Naura!" Aku mengetuk kaca jendela yang berwarna gelap. Di dalam sana, Naura melakukan hal yang sama denganku. Dia terus memohon untuk bisa dikeluarkan. Fajar rupanya menutup telinga mendengar permintaan Naura. Ia menjalankan mobilnya meninggalkanku sendiri, di jalanan sepi tanpa ada orang yang lalu lalang.
"Adit," gumamku. Melawan rasa nyeri di bagian lengan, aku berlari secepat yang kubisa, kembali ke tempat di mana Adit ditinggalkan begitu saja.
Kosong!
Aku kelimpungan mencari ke mana-mana. Tidak ada yang kutemui selain kehampaan. Adit tidak ada, pun mobil avanza milik Fajar.
"ADIT!" Tidak ada jawaban. Aku tidak bisa menahan gejolak rasa sakit di dalam dada. Penglihatan semakin kabur oleh air mata yang terus menggenang, menghasilkan hujan kecil yang membasahi wajah. Semuanya hancur karena kakakku sendiri.
"ADIT!" Untuk kedua kalinya aku berteriak. Hasilnya tetap sama; sia-sia. Kini aku merasa gagal menjadi istri, gagal menjadi kakak ipar, dan gagal menjadi adik.
Satu doaku saat ini: selamatkan Adit dan Naura. Jangan sampai keduanya kenapa-napa.
Lama aku terisak di tengah jalan yang sepi tanpa ada orang yang lewat, sebuah taksi berhenti tepat di depanku. Aku berdiri, berjaga-jaga jika itu orang jahat lagi. Saat bersiap hendak lari, suara lembut mengalun dari arah mobil putih itu.
"Nissa!"
"Fadil ...." bisikku pada diri sendiri. Aku merasakan adanya sebuah cahaya pertolongan Alloh datang menyapa. Tanpa segan, aku menghampirinya. Tangis ini belum berhenti.
"Adit ... Adit ...." Bingung. Bagaimana cara memulainya.
"Kak Adit kenapa?"
"Adit hilang. Naura diculik," ucapku sambil terisak.
"Lepaskan Naura!" Ia menggeram kesal.
"Tidak!" Aku meneguk ludah. Jujur, aku takut melihat tampangnya yang begitu menakutkan.
"Kamu benar-benar menguji kesabaranku!" Fajar menghentakkan tanganku dengan kuat, berimbas pada lengan yang terasa nyeri.
Fajar memisahkan tautan tanganku dan Naura. Aku berusaha mempertahankan Naura. Namun, tenaga yang tidak sepadan membuatku kalah. Dia memasukkan Naura dengan paksa ke dalam mobil. Gadis itu meronta meminta dilepaskan.
"Nau! Naura!" Aku mengetuk kaca jendela yang berwarna gelap. Di dalam sana, Naura melakukan hal yang sama denganku. Dia terus memohon untuk bisa dikeluarkan. Fajar rupanya menutup telinga mendengar permintaan Naura. Ia menjalankan mobilnya meninggalkanku sendiri, di jalanan sepi tanpa ada orang yang lalu lalang.
"Adit," gumamku. Melawan rasa nyeri di bagian lengan, aku berlari secepat yang kubisa, kembali ke tempat di mana Adit ditinggalkan begitu saja.
Kosong!
Aku kelimpungan mencari ke mana-mana. Tidak ada yang kutemui selain kehampaan. Adit tidak ada, pun mobil avanza milik Fajar.
"ADIT!" Tidak ada jawaban. Aku tidak bisa menahan gejolak rasa sakit di dalam dada. Penglihatan semakin kabur oleh air mata yang terus menggenang, menghasilkan hujan kecil yang membasahi wajah. Semuanya hancur karena kakakku sendiri.
"ADIT!" Untuk kedua kalinya aku berteriak. Hasilnya tetap sama; sia-sia. Kini aku merasa gagal menjadi istri, gagal menjadi kakak ipar, dan gagal menjadi adik.
Satu doaku saat ini: selamatkan Adit dan Naura. Jangan sampai keduanya kenapa-napa.
Lama aku terisak di tengah jalan yang sepi tanpa ada orang yang lewat, sebuah taksi berhenti tepat di depanku. Aku berdiri, berjaga-jaga jika itu orang jahat lagi. Saat bersiap hendak lari, suara lembut mengalun dari arah mobil putih itu.
"Nissa!"
"Fadil ...." bisikku pada diri sendiri. Aku merasakan adanya sebuah cahaya pertolongan Alloh datang menyapa. Tanpa segan, aku menghampirinya. Tangis ini belum berhenti.
"Adit ... Adit ...." Bingung. Bagaimana cara memulainya.
"Kak Adit kenapa?"
"Adit hilang. Naura diculik," ucapku sambil terisak.
Kedua telapak tangan naik untuk menyembunyikan wajah. Aku malu karena yang melakukan ini semua adalah kakakku.
"Adit hilang? Naura diculik? Apa yang kamu katakan, Nis?" Dia tertawa pelan, mengejek.
"Aku tidak bohong. Tadi ... di sini. Adit menghilang di sini. Naura diculik ... ke sana!" Aku mengulurkan tangan, menunjuk ujung jalan, arah mobil Adit yang dibawa Fajar pergi.
"Naura ada di luar negeri. Dia tidak ada di sini. Apa yang Kak Adit lakukan padamu sampai kamu jadi seperti ini?"
"Aku tidak bohong!" Aku berteriak di depan wajahnya. Frustrasi karena tidak ditanggapi olehnya.
"O-oke. Kamu masuk dulu." Ustaz Fadil menyingkir dari hadapanku.
"Adit hilang? Naura diculik? Apa yang kamu katakan, Nis?" Dia tertawa pelan, mengejek.
"Aku tidak bohong. Tadi ... di sini. Adit menghilang di sini. Naura diculik ... ke sana!" Aku mengulurkan tangan, menunjuk ujung jalan, arah mobil Adit yang dibawa Fajar pergi.
"Naura ada di luar negeri. Dia tidak ada di sini. Apa yang Kak Adit lakukan padamu sampai kamu jadi seperti ini?"
"Aku tidak bohong!" Aku berteriak di depan wajahnya. Frustrasi karena tidak ditanggapi olehnya.
"O-oke. Kamu masuk dulu." Ustaz Fadil menyingkir dari hadapanku.
Ia memberikan ruang agar aku bisa masuk ke dalam taksi. Aku baru menyadari adanya seorang wanita yang tidak asing bagiku, berdiri di sisi pintu yang satunya.
"Anin?" Wanita itu tersenyum mendengar ucapanku yang terdengar ragu.
"Dia istriku. Kami menikah 2 hari yang lalu," jawab Ustaz Fadil.
"Anin?" Wanita itu tersenyum mendengar ucapanku yang terdengar ragu.
"Dia istriku. Kami menikah 2 hari yang lalu," jawab Ustaz Fadil.
"Tapi kalian tidak datang sama sekali."
Oh, aku lupa yang satu ini. Sebulan yang lalu memang mereka mengabarkan pernikahan Ustaz Fadil. Aku tidak menyangka jika orang yang beruntung memiliki Ustaz Fadil adalah teman masa kecilku.
"Ayo masuk! Nanti ceritakan semuanya di dalam."
Aku mengangguk mengiyakan perintah Ustaz Fadil. Dalam rangkulan hangat Anin, aku menceritakan semua kronologi masalah. Mereka mendengarkan dengan baik tanpa menyela sedikit pun.
Aku juga memberitahu mereka tentang Fajar, kakakku yang ingin bekerja di luar negeri 8 tahun silam.
"Maaf, ini semua salahku ...." Kepalaku tertunduk.
Oh, aku lupa yang satu ini. Sebulan yang lalu memang mereka mengabarkan pernikahan Ustaz Fadil. Aku tidak menyangka jika orang yang beruntung memiliki Ustaz Fadil adalah teman masa kecilku.
"Ayo masuk! Nanti ceritakan semuanya di dalam."
Aku mengangguk mengiyakan perintah Ustaz Fadil. Dalam rangkulan hangat Anin, aku menceritakan semua kronologi masalah. Mereka mendengarkan dengan baik tanpa menyela sedikit pun.
Aku juga memberitahu mereka tentang Fajar, kakakku yang ingin bekerja di luar negeri 8 tahun silam.
"Maaf, ini semua salahku ...." Kepalaku tertunduk.
Malu sekali pada keluarga Ustaz Fadil. Sudah berapa kali aku menyusahkan mereka? Sekarang malah membuat mereka menderita.
Kulirik Ustaz Fadil yang duduk di samping supir taksi. Ia menghela napas panjang, lalu mengembuskannya. "Kenapa tidak pernah cerita tentang ini sebelumnya? Kita bisa saling bantu, kan?"
"Adit tidak mau."
"Dia memang begitu, suka menanggung masalah sendiri," Ustaz Fadil bergumam pelan.
"Jadi gimana, Mas? Kita nyari Naura sama Mas Adit dulu, atau gimana?" Anin angkat bicara, menatap penuh kebingungan pada suaminya itu.
"Kita antar Nissa dulu ke rumah," jawab Ustaz Fadil. "Kamu tidak masalah tinggal di rumah kecil?" Ia beralih memandangku.
"Tidak masalah." Aku mengusap sisa cairan bening yang membanjiri wajah agar terlihat lebih kuat.
"Kamu masih inget plat mobil yang menculik Naura dan Adit?" Anin menatapku lembut.
"Mobil yang menculik Naura adalah mobil Adit, jadi aku masih mengingatnya. Sementara Adit, aku lupa plat mobil yang membawanya pergi." Aku berusaha menahan tangis.
Kulirik Ustaz Fadil yang duduk di samping supir taksi. Ia menghela napas panjang, lalu mengembuskannya. "Kenapa tidak pernah cerita tentang ini sebelumnya? Kita bisa saling bantu, kan?"
"Adit tidak mau."
"Dia memang begitu, suka menanggung masalah sendiri," Ustaz Fadil bergumam pelan.
"Jadi gimana, Mas? Kita nyari Naura sama Mas Adit dulu, atau gimana?" Anin angkat bicara, menatap penuh kebingungan pada suaminya itu.
"Kita antar Nissa dulu ke rumah," jawab Ustaz Fadil. "Kamu tidak masalah tinggal di rumah kecil?" Ia beralih memandangku.
"Tidak masalah." Aku mengusap sisa cairan bening yang membanjiri wajah agar terlihat lebih kuat.
"Kamu masih inget plat mobil yang menculik Naura dan Adit?" Anin menatapku lembut.
"Mobil yang menculik Naura adalah mobil Adit, jadi aku masih mengingatnya. Sementara Adit, aku lupa plat mobil yang membawanya pergi." Aku berusaha menahan tangis.
Namun kenyataannya, semakin aku berusaha terlihat tegar, semakin banyak pula air mata yang keluar. Apalagi mengingat Fajar. Aku akan mengadukannya pada Ibu!
"Sudah, jangan nangis, Nissa. Kita akan mencari mereka bersama," tutur Ustaz Fadil.
***
Aku, Ustaz Fadil, dan Anin berada di sebuah rumah sederhana berukuran 12 × 15 meter. Ustaz Fadil mengatakan bahwa ini adalah tempat tinggal Ustaz Fadil dan Adit saat baru datang di Jakarta. Di tempat inilah titik awal perjuangan keduanya.
Anin menyuguhkan secangkir teh untukku. Setelah meminumnya, aku mulai agak tenang. Setidaknya wajahku tidak lagi banjir air mata.
"Kalian tunggu di sini, ya? Aku akan melaporkan ini pada polisi," pamit Ustaz Fadil.
"Sudah, jangan nangis, Nissa. Kita akan mencari mereka bersama," tutur Ustaz Fadil.
***
Aku, Ustaz Fadil, dan Anin berada di sebuah rumah sederhana berukuran 12 × 15 meter. Ustaz Fadil mengatakan bahwa ini adalah tempat tinggal Ustaz Fadil dan Adit saat baru datang di Jakarta. Di tempat inilah titik awal perjuangan keduanya.
Anin menyuguhkan secangkir teh untukku. Setelah meminumnya, aku mulai agak tenang. Setidaknya wajahku tidak lagi banjir air mata.
"Kalian tunggu di sini, ya? Aku akan melaporkan ini pada polisi," pamit Ustaz Fadil.
Anin berdiri meraih tangannya, lalu mencium tangan lelaki itu penuh khidmat. Aku iri melihat keduanya.
Aku kembali menyesap teh dalam cangkir hingga tersisa setengah. Uapan panas masih mengepul di atasnya.
"Nissa ...."
Aku menurunkan cangkir yang setengah menutupi wajah. Alisku terangkat melihat tatapan lembut Anin menghilang, tergantikan oleh tatapan dingin tak terbaca.
"Aku bisa minta 1 hal sama kamu?" tanyanya dengan serius.
"Ya. Apa?" Cangkir di tangan berpindah di atas meja. Aku harus serius mendengar permintaannya. Mungkin saja dengan menolong Anin, aku bisa sedikit membalas kebaikan keluarga Pak Zainal padaku.
"Tolong, jangan terlalu dekat dengan Mas Fadil."
Aku hampir tersedak ludah sendiri mendengar ucapannya.
Aku kembali menyesap teh dalam cangkir hingga tersisa setengah. Uapan panas masih mengepul di atasnya.
"Nissa ...."
Aku menurunkan cangkir yang setengah menutupi wajah. Alisku terangkat melihat tatapan lembut Anin menghilang, tergantikan oleh tatapan dingin tak terbaca.
"Aku bisa minta 1 hal sama kamu?" tanyanya dengan serius.
"Ya. Apa?" Cangkir di tangan berpindah di atas meja. Aku harus serius mendengar permintaannya. Mungkin saja dengan menolong Anin, aku bisa sedikit membalas kebaikan keluarga Pak Zainal padaku.
"Tolong, jangan terlalu dekat dengan Mas Fadil."
Aku hampir tersedak ludah sendiri mendengar ucapannya.
"Yang benar saja, Nin. Aku ini sudah menikah. Dan Ustaz Fadil itu sudah menjadi milikmu. Kenapa kamu cemburu?" Aku tertawa kering, lalu kembali meminum teh untuk menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba melanda.
Kenapa aku merasa menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka setelah mendengar permintaan Anin? Aku ini hanya ingin meminta tolong agar suami Anin bisa menyelamatkan suamiku dan adiknya. Tidak lebih. Pun perasaan di dalam hati kurasa sudah mulai lenyap.
"Apa kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu pernah menyukai Mas Fadil? Hampir semua orang juga tahu, kamu menyukainya." Ia terdengar menggerutu.
"Apa kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu pernah menyukai Mas Fadil? Hampir semua orang juga tahu, kamu menyukainya." Ia terdengar menggerutu.
Mengapa Anin menjadi berubah? Biasanya dia senang-senang saja jika kami saling berbagi boneka saat bermain. Tidak pernah ada rasa cemburu di antara persahabatan kami.
"Aku sudah bersuami, dan aku sangat mencintai suamiku. Aku sudah menghapus rasaku pada Ustaz Fadil sejak lama," jelasku.
"Baguslah kalau begitu. Aku harap kamu memegang ucapanmu!" Setelah mengatakannya, Anin beranjak pergi meninggalkanku sendiri.
Tanpa kuinginkan, setetes air keluar dari pelupuk mata yang segera kuhapus menggunakan jemari tangan.
Ya Alloh. Aku membuat masalah lagi.
***
Matahari tenggelam sejak 2 jam yang lalu. Ustaz Fadil belum pernah kembali sejak kepergiannya tadi siang. Hanya ada aku dan Anin di rumah.
Aku merasa kurang nyaman di sini karena sikap Anin yang merasa jika aku ini saingannya. Masak saja, ingin dia lakukan sendiri. Menurutku, sikapnya itu terlalu berlebihan.
Di atas hamparan sajadah, aku terus memanjatkan doa. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Karena hanya dengan mengadukan semua masalahku pada Alloh, hati mulai tenang. Aku yakin, Alloh akan menjaga mereka berdua. Alloh tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya yang benar-benar bertawakal pada-Nya.
Suara pintu terbuka dari ruang tengah membuat tubuhku bergerak otomatis. Tanpa melepas mukena yang menutupi rambut, aku keluar dari kamar. Ustaz Fadil sedang duduk di sofa untuk melepas penat.
Mungkin, aku harus membiarkannya istirahat terlebih dahulu. Saat seperti ini, aku tidak boleh egois mementingkan diri sendiri tanpa memedulikan orang lain.
Aku hendak memutar tubuh ingin memasuki kamar. Namun terhenti ketika suara lembut Ustaz Fadil memanggilku.
"Nissa ...."
Bersamaan saat tubuhku berputar ke arahnya, Anin datang membawa secangkir kopi dan makanan ringan.
"Maaf, saya belum bisa menemukan Kak Adit." Ia berujar dengan nada pelan penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa. Kamu sudah berusaha semampumu," balasku.
"Minum dulu, Mas, biar lelahnya berkurang." Anin dengan sabar melayani Ustaz Fadil.
"Aku sudah bersuami, dan aku sangat mencintai suamiku. Aku sudah menghapus rasaku pada Ustaz Fadil sejak lama," jelasku.
"Baguslah kalau begitu. Aku harap kamu memegang ucapanmu!" Setelah mengatakannya, Anin beranjak pergi meninggalkanku sendiri.
Tanpa kuinginkan, setetes air keluar dari pelupuk mata yang segera kuhapus menggunakan jemari tangan.
Ya Alloh. Aku membuat masalah lagi.
***
Matahari tenggelam sejak 2 jam yang lalu. Ustaz Fadil belum pernah kembali sejak kepergiannya tadi siang. Hanya ada aku dan Anin di rumah.
Aku merasa kurang nyaman di sini karena sikap Anin yang merasa jika aku ini saingannya. Masak saja, ingin dia lakukan sendiri. Menurutku, sikapnya itu terlalu berlebihan.
Di atas hamparan sajadah, aku terus memanjatkan doa. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Karena hanya dengan mengadukan semua masalahku pada Alloh, hati mulai tenang. Aku yakin, Alloh akan menjaga mereka berdua. Alloh tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya yang benar-benar bertawakal pada-Nya.
Suara pintu terbuka dari ruang tengah membuat tubuhku bergerak otomatis. Tanpa melepas mukena yang menutupi rambut, aku keluar dari kamar. Ustaz Fadil sedang duduk di sofa untuk melepas penat.
Mungkin, aku harus membiarkannya istirahat terlebih dahulu. Saat seperti ini, aku tidak boleh egois mementingkan diri sendiri tanpa memedulikan orang lain.
Aku hendak memutar tubuh ingin memasuki kamar. Namun terhenti ketika suara lembut Ustaz Fadil memanggilku.
"Nissa ...."
Bersamaan saat tubuhku berputar ke arahnya, Anin datang membawa secangkir kopi dan makanan ringan.
"Maaf, saya belum bisa menemukan Kak Adit." Ia berujar dengan nada pelan penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa. Kamu sudah berusaha semampumu," balasku.
"Minum dulu, Mas, biar lelahnya berkurang." Anin dengan sabar melayani Ustaz Fadil.
Ia memijat bahu suaminya dengan tekun. Aku merasa ditampar melihat kebaktian Anin. Kapan aku melakukan itu untuk suamiku?
Hati kecil mulai berdoa dengan penuh pengharapan agar Adit baik-baik saja. Aku memohon satu kesempatan saja untuk bisa memberikan yang terbaik untuk suamiku.
Mungkin di sini, aku hanya pengganggu bagi mereka. Jadi kuputuskan untuk memasuki kamar.
Hati kecil mulai berdoa dengan penuh pengharapan agar Adit baik-baik saja. Aku memohon satu kesempatan saja untuk bisa memberikan yang terbaik untuk suamiku.
Mungkin di sini, aku hanya pengganggu bagi mereka. Jadi kuputuskan untuk memasuki kamar.
"Nissa, saya boleh bicara sebentar?"
Lagi-lagi langkahku terhenti.
"Apa?" tanyaku tidak sabaran. Pasalnya, wajah Anin mulai berubah masam di balik tubuh suaminya.
"Mungkin agak panjang. Jadi bisa duduk di sini agar kamu tidak lelah berdiri?"
Kulirik Anin melalui ekor mata. Ia menunduk menatap rambut tebal Ustaz Fadil.
Aku mendaratkan tubuh di atas sofa yang paling jauh dari Ustaz Fadil. Mataku memandang lurus ke arah ubin putih yang lebih menarik daripada wajah tertekuk milik Anin.
"Bagaimana pernikahan kalian? Bahagia?"
"Kenapa menanyakan itu?" Aku pikir, dia tidak perlu tahu banyak hal mengenai pernikahanku. Bahkan masalah perjanjian 3 tahun itu belum pernah kuceritakan padanya.
"Tidak papa." Ia mengangkat cangkir miliknya yang terisi kopi tetap tertahan di udara.
Lagi-lagi langkahku terhenti.
"Apa?" tanyaku tidak sabaran. Pasalnya, wajah Anin mulai berubah masam di balik tubuh suaminya.
"Mungkin agak panjang. Jadi bisa duduk di sini agar kamu tidak lelah berdiri?"
Kulirik Anin melalui ekor mata. Ia menunduk menatap rambut tebal Ustaz Fadil.
Aku mendaratkan tubuh di atas sofa yang paling jauh dari Ustaz Fadil. Mataku memandang lurus ke arah ubin putih yang lebih menarik daripada wajah tertekuk milik Anin.
"Bagaimana pernikahan kalian? Bahagia?"
"Kenapa menanyakan itu?" Aku pikir, dia tidak perlu tahu banyak hal mengenai pernikahanku. Bahkan masalah perjanjian 3 tahun itu belum pernah kuceritakan padanya.
"Tidak papa." Ia mengangkat cangkir miliknya yang terisi kopi tetap tertahan di udara.
"Semoga saja bahagia."
Kakiku bergerak gelisah. Setiap kali aku melirik Anin, dia tampak tidak suka padaku. Lelah juga memikirkannya. Kenapa ia jadi pencemburu seperti ini?
"Kamu pernah nemuin album tebal yang sampulnya putih? Ada gambar mawar di sampulnya. Biasanya Kak Adit meletakkannya di rak buku paling atas." Ustaz Fadil kembali bertanya ketika aku ingin segera memasuki kamar.
Album yang pernah terjatuh lalu memukul kepalaku itu?
Kakiku bergerak gelisah. Setiap kali aku melirik Anin, dia tampak tidak suka padaku. Lelah juga memikirkannya. Kenapa ia jadi pencemburu seperti ini?
"Kamu pernah nemuin album tebal yang sampulnya putih? Ada gambar mawar di sampulnya. Biasanya Kak Adit meletakkannya di rak buku paling atas." Ustaz Fadil kembali bertanya ketika aku ingin segera memasuki kamar.
Album yang pernah terjatuh lalu memukul kepalaku itu?
"Ya."
Sebuah senyuman lebar terbit di bibirnya.
Sebuah senyuman lebar terbit di bibirnya.
"Kak Adit pernah cerita mengenai album itu, atau kamu pernah membuka isinya?"
"Tidak."
"Tidak."
Semenjak malam itu, aku belum pernah lagi menemui album yang dimaksud Ustaz Fadil.
"Berarti pernikahan kalian belum bahagia." Ia meminum kopinya dengan santai. Wajahnya berubah muram.
"Jangan sok tau! Kami bahagia selama ini." Aku berdiri dari dudukku.
"Nissa, saya tahu, kamu belum bahagia dengan Kak Adit. Sifatnya yang dingin mungkin kurang kamu sukai. Apalagi orangnya tertutup," jelasnya.
"Berarti pernikahan kalian belum bahagia." Ia meminum kopinya dengan santai. Wajahnya berubah muram.
"Jangan sok tau! Kami bahagia selama ini." Aku berdiri dari dudukku.
"Nissa, saya tahu, kamu belum bahagia dengan Kak Adit. Sifatnya yang dingin mungkin kurang kamu sukai. Apalagi orangnya tertutup," jelasnya.
"Tapi perlu kamu tahu, Kak Adit sangat mencintaimu ... sejak dulu."
Seketika aku tertarik dengan pembahasan ini. Rasa penasaran mendorongku untuk kembali duduk di sofa.
Seketika aku tertarik dengan pembahasan ini. Rasa penasaran mendorongku untuk kembali duduk di sofa.
"Apa maksudmu?"
"Dua tahun lalu, Kak Adit itu bekerja sebagai fotografer model sebelum ditarik oleh Irma memasuki dunia bisnis. Dia pernah jalan-jalan ke kampung kamu sekedar mencari pemandangan yang indah sebagai spot foto. Dia ketemu kamu, mungkin kamu nggak sadar. Diam-diam, dia ngambil foto kamu sebanyak mungkin. Bahkan satu pose ada 3 foto. Seandainya ada album itu, kamu bisa buka isinya. Semuanya hanya ada foto kamu."
Aku tertegun. Dua tahun yang lalu? Aku bahkan tidak ingat sama sekali.
"Dia terpaksa cerita sama saya karena pernah memergokinya melihat foto kamu diam-diam. Qadarullah, saya diminta menjadi ustaz di desa kamu selama beberapa hari. Saya menemukan kamu dan langsung menanyakan status kamu saat itu," lanjutnya.
Aku sekarang terbawa dalam pusaran memori beberapa bulan yang lalu. Saat Ustaz Fadil bertanya apa aku sudah dikhitbah atau belum. Ternyata untuk menjodohkanku dengan Adit.
"Saya mengatakan ini ingin agar kamu tidak salah paham kalau ada Irma yang terlalu dekat dengannya. Papa Irma adalah bos Kak Adit di kantor. Ia memaksa Kak Adit agar bisa dekat dengan anaknya. Sedekat apapun mereka, tidak pernah ada perasaan sedikit pun Kak Adit pada perempuan itu. Dia hanya mencintaimu,."
Kepalaku semakin menunduk dalam mendengar penjelasan Ustaz Fadil. Kenapa Adit menyembunyikannya hal ini padaku? Jika memang dia mencintaiku, kenapa hanya ingin berumah tangga denganku selama 3 tahun? Ingin aku tanyakan hal itu, tetapi tidak ingin jika Ustaz Fadil tahu tentang hubungan kami yang sebenarnya.
"Kamu nggak cemburu lagi, kan, Sayang?"
Aku mendongak, memperhatikan sepasang anak adam ini saling menatap. Anin tersipu malu. Tangannya turun ke depan dada Ustaz Fadil.
"Jangan pernah ngambek lagi. Ana uhibbuki fillah, Zawjati," bisik Ustaz Fadil pada istrinya, tetapi aku masih dapat mendengarnya.
"Sebaiknya aku pergi. Selamat bersenang-senang," ucapku sambil tersenyum. Anin menggaruk tengkuknya yang tertutup jilbab biru muda. Pipinya merona karena malu.
Aku memasuki kamar, berjalan menghampiri jendela lalu membuka gorden. Di luar sana, ada taman kecil yang kurang terawat, ditumbuhi rerumputan hijau yang liar. Bintang-bintang hanya sedikit yang tampak di langit, awan mendung menyembunyikan semua cahaya keindahan mereka.
"Ya Alloh, jaga Adit. Berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi istri yang baik untuknya," bisikku pada keheningan malam yang kuyakini dapat terdengar oleh Rabb pencipta alam. Aku merutuki diri sendiri. Suami meminta haknya saja, aku malah menangis ingin menolak. Betapa durhakanya diriku.
"Aku mencintaimu, Mas ... Adit."
Bersambung #8
"Dua tahun lalu, Kak Adit itu bekerja sebagai fotografer model sebelum ditarik oleh Irma memasuki dunia bisnis. Dia pernah jalan-jalan ke kampung kamu sekedar mencari pemandangan yang indah sebagai spot foto. Dia ketemu kamu, mungkin kamu nggak sadar. Diam-diam, dia ngambil foto kamu sebanyak mungkin. Bahkan satu pose ada 3 foto. Seandainya ada album itu, kamu bisa buka isinya. Semuanya hanya ada foto kamu."
Aku tertegun. Dua tahun yang lalu? Aku bahkan tidak ingat sama sekali.
"Dia terpaksa cerita sama saya karena pernah memergokinya melihat foto kamu diam-diam. Qadarullah, saya diminta menjadi ustaz di desa kamu selama beberapa hari. Saya menemukan kamu dan langsung menanyakan status kamu saat itu," lanjutnya.
Aku sekarang terbawa dalam pusaran memori beberapa bulan yang lalu. Saat Ustaz Fadil bertanya apa aku sudah dikhitbah atau belum. Ternyata untuk menjodohkanku dengan Adit.
"Saya mengatakan ini ingin agar kamu tidak salah paham kalau ada Irma yang terlalu dekat dengannya. Papa Irma adalah bos Kak Adit di kantor. Ia memaksa Kak Adit agar bisa dekat dengan anaknya. Sedekat apapun mereka, tidak pernah ada perasaan sedikit pun Kak Adit pada perempuan itu. Dia hanya mencintaimu,."
Kepalaku semakin menunduk dalam mendengar penjelasan Ustaz Fadil. Kenapa Adit menyembunyikannya hal ini padaku? Jika memang dia mencintaiku, kenapa hanya ingin berumah tangga denganku selama 3 tahun? Ingin aku tanyakan hal itu, tetapi tidak ingin jika Ustaz Fadil tahu tentang hubungan kami yang sebenarnya.
"Kamu nggak cemburu lagi, kan, Sayang?"
Aku mendongak, memperhatikan sepasang anak adam ini saling menatap. Anin tersipu malu. Tangannya turun ke depan dada Ustaz Fadil.
"Jangan pernah ngambek lagi. Ana uhibbuki fillah, Zawjati," bisik Ustaz Fadil pada istrinya, tetapi aku masih dapat mendengarnya.
"Sebaiknya aku pergi. Selamat bersenang-senang," ucapku sambil tersenyum. Anin menggaruk tengkuknya yang tertutup jilbab biru muda. Pipinya merona karena malu.
Aku memasuki kamar, berjalan menghampiri jendela lalu membuka gorden. Di luar sana, ada taman kecil yang kurang terawat, ditumbuhi rerumputan hijau yang liar. Bintang-bintang hanya sedikit yang tampak di langit, awan mendung menyembunyikan semua cahaya keindahan mereka.
"Ya Alloh, jaga Adit. Berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi istri yang baik untuknya," bisikku pada keheningan malam yang kuyakini dapat terdengar oleh Rabb pencipta alam. Aku merutuki diri sendiri. Suami meminta haknya saja, aku malah menangis ingin menolak. Betapa durhakanya diriku.
"Aku mencintaimu, Mas ... Adit."
Bersambung #8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel