"Tidak bisa, Nissa. Biar saya saja. Kamu temani Anin di sini." Jawabannya tetap sama saat aku mengajukan pertanyaan yang sama untuk pertama kalinya.
"Oh ya, jangan panggil saya Ustaz. Saya ini adik iparmu." Ia melanjutkan sambil tersenyum tipis.
Tubuh Fadil menghilang dari pandangan mata ketika ia melangkahkan kakinya keluar rumah. Embusan napas keluar dari hidung, berpadu dengan udara di sekitar. Tubuh yang lelah kutempatkan di atas sofa. Hati kecil terus merapalkan doa.
"Nissa, Mas Fadil udah berangkat?" Anis datang dari arah dapur sambil menepuk bagian gamisnya yang kotor karena noda putih yang kuyakini tepung. Siapa suruh egois, jadi urus saja masalah dapur sendiri.
"Sudah. Baru saja," jawabku.
Punggungku menyentuh sandaran sofa. Wajah menghadap ke atas, menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih gading.
Pusaran memori mulai memutar kejadian demi kejadian saat aku bersama Adit. Sikap dinginnya, membuatku rindu. Kelembutannya, membuatku ingin sekali bertemu. Namun sekarang, aku hanyabisa meratapinya dengan pilu.
Apa yang Adit dan Naura lakukan sekarang? Apa mereka sudah makan? Apa Naura masih mual-mual? Apa Adit diperlakukan dengan baik oleh mereka? Bagaimana jika Adit malah disiksa?
Pikiran itu benar-benar membuatku frustrasi. Aku ingin menemui keduanya agar hatiku bisa tenang.
"Nissa, makan dulu, yuk!" ajak Anin.
"Aku masih kenyang," jawabku tanpa mengubah posisi sedikit pun.
"Oh. Kalau kamu lapar, ke dapur aja, ya?"
Aku mengangguk menanggapi ucapannya. Dia berlalu memasuki kamar.
***
"Nissa, kita ke pasar aja, yuk? Soalnya persediaan bahan makanan emang dikit. Kita baru datang ke sini
kemarin."
Aku bersyukur untuk hal ini; Anin tidak cemburu lagi. Dia sudah bersikap normal padaku.
"Oke," jawabku tak acuh.
Dengan menggunakan angkot, kami berangkat ke pasar. Aku tidak tahu, apa masih ada pasar yang buka jam 4 sore. Karena di desa biasanya hanya sampai jam 12 siang. Sementara aku sendiri jarang keluar rumah dulu.
Hanya Adit yang paling sering berbelanja bulanan.
Namun sayangnya, angkot yang kami tumpangi sedikit rusak di tengah jalan. Si sopir membawa angkotnya ke bengkel. Ibu-ibu yang bersama kami memilih alternatif lain; ojek, atau taksi online.
Di tempat sepi seperti ini, tidak ada ojek atau taksi biasa. Aku tidak tahu menahu mengenai ojek atau taksi online. Anin pun demikian.
"Nin, kita istirahat bentar, yuk? Ada warung deh kayaknya di sana!"
Anin mengiyakan ucapanku.
Dengan langkah santai, kami menyusuri jalanan menuju sebuah warung kecil.
Tidak terlalu sepi. Ada 4 laki-laki yang menjadi pelanggan warung, 2 perempuan, ditambah seorang perempuan pemilik warung.
Anin memesan makanan untuk mengisi perut. Sementara aku mengecek ponsel, memeriksa pemberitahuan dari Fadil. Belum ada satu pun notifikasi yang masuk darinya. Aku mengembuskan napas gusar. Ponsel ditangan kembali masuk ke dalam saku.
"Ternyata susah banget, ya, Bu, nyari uang di daerah sini." Laki-laki paruh baya tak jauh dariku berbicara dengan nada sedih.
"Yang sabar atuh, Pak. Namanya juga ujian." Si pemilik warung menjawab.
"Apanya yang susah? Kita aja mudah banget dapat uang!" celetuk seseorang. Aku berbalik menghadap mereka. Dua lelaki itu yang menculik Adit kemarin, dan pernah menculik Naura.
"Yoi!" Sahabatnya menambahkan.
"Emang pekerjaan apa, Pak?" Lelaki tadi kembali bertanya penasaran.
"Yang jelas, bukan tukang ojek kayak bapak!" Keduanya tertawa keras.
"E, si bos sms. Katanya dia ada di sini."
Bos? Apa mungkin orang yang menculik Adit?
Keduanya membayar makanan yang mereka makan, lalu beranjak pergi.
"Nin, kamu tunggu di sini, ya? Telpon Fadil aja nanti. Oke?" Aku berbisik pelan, agar dua lelaki tadi tidak
mengenaliku.
Aku mengikuti keduanya hingga sampai di jalan yang cukup jauh dari warung. Mobil hitam yang menculik Adit juga ada di sana bersama seorang wanita. Aku mempertajam penglihatan.
"Irma?" ujarku pada diri sendiri. Aku tidak percaya ini, dia melakukan hal nekat ini.
Ketiganya mengobrol singkat, lalu masuk ke dalam mobil.
Aku segera kembali ke warung memberi tahu Anin.
"Anin, kamu tunggu di sini, ya? Aku mau keluar sebentar."
"Mau ke mana?" Anin menghentikan makannya.
"Pak, Bapak ini tukang ojek?" Aku menebak-nebak.
"Iya, Mba." Lelaki itu terlihat semringah.
"Oke. Antar saya ya, Pak. Ngejar mobil di sana. Cepat, Pak!" Aku tidak sabaran sekarang.
"Bu, nanti saya bayar, ya!" Lelaki itu berteriak pada pemilik warung.
"Iya!"
***
"Pak, lebih cepet lagi. Usahakan sembunyi-sembunyi, ya, Pak." Aku berujar pada tukang ojek yang tengah membawaku mengikuti Irma. Rasa cemas penuh harap bercampur aduk di dalam hati. Semoga Irma tahu dimana Adit berada.
Mobil yang ditumpangi Irma memasuki gang sempit yang hanya dapat dilewati oleh sebuah mobil. Aku meminta pada lelaki paruh baya di depanku ini agar memperlambat laju motor. Jangan sampai Irma tahu kami mengikutinya.
"Mba, ini lumayan jauh, lho," ucap tukang ojek memberitahu.
"Ntar saya bayar banyak deh, Pak. Ikutin aja mobilnya!" Lagi, aku tersentak oleh kenyataan. Aku tidak membawa uang sepeser pun. Bagaimana membayar tukang ojek ini. Sial. Sepertinya aku harus merelakan ponselku nanti.
Hampir 10 menit melewati jalanan sempit berkelok-kelok bak labirin tanpa ujung, kini kami berada di jalanan yang cukup lebar. Tidak ada rumah atau bangunan di kanan kiri. Semakin jauh kami mengikuti Irma, suasana semakin sepi. Aku semakin takut jika Irma menyadari keberadaan kami.
Jarak antara aku dan Irma sekitar 50 meter. Dari jarak sejauh ini, aku bisa melihat mobilnya berhenti di depan sebuah rumah tua yang terbuat dari kayu jati.
"Stop, Pak. Di sini aja." Aku turun dari motor. "Bisa tunggu di sini, nggak, Pak?" tanyaku.
Wajah keriputnya membentuk guratan kebingungan dan sedikit ragu. "Tapi, Mba ...."
"Masalah bayaran ...." Aku merogoh saku gamis yang kukenakan, mengeluarkan ponsel yang menemani
keseharianku. Rasanya berat juga melepas benda ini. Karena ini adalah pemberian Adit saat pertama kali aku datang ke rumahnya.
" .... Ini ponsel saya. Ambil aja, Pak. Tapi tolong tetap di sini," pintaku memelas.
"Gimana, ya, Mba? Saya juga sebenarnya butuh uang untuk kebutuhan anak saya. Istri saya lagi lahiran sekarang ...." Wajahnya semakin kebingungan.
"Maaf, Pak. Ya udah, ini bayarannya, ya? Maaf, saya nggak punya uang cash." Aku menyodorkan benda
persegi panjang berbentuk pipih di tanganku. Ia menerimanya agak ragu.
"Terus, Mba gimana? Nggak papa saya tinggal?"
"Nggak papa. Makasih, ya, Pak, udah anterin saya sampai di sini."
"Sama-sama. Saya permisi dulu, Mba. Assalamualaikum."
"Wa alaikumussalam," balasku.
Di sekitar tempat ini hanya diisi oleh pepohonan rindang dan semakin belukar. Itu memudahkanku bersembunyi dari pandangan Irma dan anak buahnya.
Aku berdiri di sisi bagian samping rumah tua ini. Ada beberapa jendela kayu yang hanya tertutupi kain putih
tipis. Aku dapat melihat bayangan Irma berdiri dengan angkuh di depan seseorang yang duduk di kursi. Di
belakang Irma terdapat dua laki-laki bertubuh tegap yang menghadang kami kemarin.
"Gimana tawaran aku? Masih nolak?"
Aku menajamkan indra pendengaran. Tidak boleh ada yang tidak terdengar olehku. Irma memulai pembicaraan dengan nada angkuh.
"Tidak!"
Jantungku seakan diketuk di dalam sana. Itu suara Adit! Kebahagiaan membuncah walau sekadar mendengar suaranya. Sebutir air mata menetes. Berkali-kali, ucapan syukur salam hati terucap kepada Sang Khalik yang telah mengabulkan permohonanku.
"Jangan keras kepala, Adit! Nyawa Naura ada di tangan aku sekarang!" Irma menunduk, mensejajarkan
wajahnya dengan lelaki yang duduk di atas kursi, kuyakini itu Adit.
Jantungku terasa ditekan di dalam sana mendengar ucapan Irma, memberikan efek nyeri yang disebabkan oleh rasa kecewa. Jadi, Fajar dan Naura bekerja sama?
"Sedikit saja, kamu menyakiti adik saya, saya pastikan hidup kamu akan menderita. Selamanya." Adit
menggeram pelan. Aku sangat ingin melihat wajahnya secara langsung, tetapi takut jika Irma menemukanku.
"Emangnya kamu bisa apa?" Irma tertawa keras.
Adit menggeram pelan. "Saya cinta istri saya!"
Irma terdiam sejenak. Postur tubuhnya berubah.
"Kasihan sekali. Dia bahkan nggak peduli kamu berhubungan dengan wanita manapun."
Rasanya, aku ingin menelan semua ucapanku dulu, saat aku mengatakan tidak peduli jika Adit bersama siapapun. Sekarang, lelaki itu milikku.
Suara deru mobil terdengar dari arah depan rumah. Aku berjalan pelan menuju bagian belakang rumah.
Matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Suasana di sekitar mulai menggelap. Sialnya, aku baru saja melepas ponselku.
"Bagaimana keadaan Naura?" Suara Irma terdengar.
Rasanya, aku ingin menelan semua ucapanku dulu, saat aku mengatakan tidak peduli jika Adit bersama siapapun. Sekarang, lelaki itu milikku.
Suara deru mobil terdengar dari arah depan rumah. Aku berjalan pelan menuju bagian belakang rumah.
Matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Suasana di sekitar mulai menggelap. Sialnya, aku baru saja melepas ponselku.
"Bagaimana keadaan Naura?" Suara Irma terdengar.
Aku tidak dapat melihat mereka, tetapi masih dapat mendengar suara mereka dengan jelas. Rumah ini hanya berukuran sekitar 10 × 13 meter, terbuat dari kayu jati yang mulai rusak. Itu tidak mempersulit diriku untuk mendengar pembicaraan mereka.
"Dia dibawa pergi, oleh kakaknya."
Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Ternyata Fadil bisa bergerak cepat mencari Naura.
"Bagaimana bisa? Bukannya ...."
"Dia melacak mobilnya!" Fajar memotong ucapan Irma dengan geram. Detik berikutnya, terdengar suara Adit yang meringis kesakitan. Perasaanku mulai tidak enak.
"Serahkan adik kamu pada saya!" ancam Fajar.
"Tidak!" Suara Adit tercekat. Apa mungkin Fajar mencekik Adit? Jika itu benar terjadi, aku tidak akan mengampuninya.
Aku berjalan pelan, menuju tempatku menguping tadi.
Samar-samar, aku dapat melihat Fajar yang benar-benar mencekik Adit. Aku tidak bisa berdiam diri saja tanpa membantu. Tapi bagaimana caranya?
Sial! Aku merutuki kebodohanku memberikan ponsel ke tukang ojek tadi.
Ah, ya! Sebelum ke sini, aku melewati beberapa rumah penduduk. Mungkin saja ada yang bisa membantuku di sana.
Dengan langkah penuh kehati-hatian, aku pergi dari tempat persembunyian. Saat mulai jauh, aku mempercepat lari agar segera sampai.
Dada kembang kempis menambah pasokan udara untuk mengisi paru-paru setelah berlari cukup jauh. Sekitar hampir 1 kilometer. Cahaya matahari kian meredup.
"Kamu tuh, ya! Udah Ibu bilangin jangan ke sana, masih aja keras kepala! Mau kamu kecebur ke sumur, hah?!"
Suara bentakan itu menarik perhatianku. Aku menghampiri seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster cokelat motif bunga yang mulai kusam. Ia menjewer telinga seorang anak kecil berusia sekitar 7 tahunan.
Aku iba melihat anak laki-laki itu meringis kesakitan memohon ampunan ibunya.
"Permisi, Bu," sapaku dengan sopan. Tatapan sinisnya beralih padaku.
"Kenapa?" Dagunya terangkat, terlihat angkuh.
"Bisa tolong saya, Bu? Di sana, suami saya disekap, Bu. Tolong bantu saya selamatkan suami saya," ucapku dengan nada memohon.
"Urus saja urusanmu sendiri!" Tolakan telak itu begitu menohok tepat di hatiku.
Sedikit kecewa, aku memperhatikan sekitar. Beberapa orang lalu lalang dengan santai tanpa memedulikan si ibu yang masih saja menyakiti anaknya sendiri. Kenapa semuanya tidak acuh? Apa mereka tidak memiliki rasa kasihan?
"Bu, anaknya bisa tolong dilepasin, nggak? Kasihan itu, Bu, udah merah telinganya."
Wanita itu mendelik kesal. "Apa urusanmu? Ini anakku! Jangan karena aku tidak membantumu, kamu malah semakin menggangguku! Urus saja urusanmu!"
Aku beralih pada orang lain, seorang gadis muda berkulit sawo matang.
"Dia dibawa pergi, oleh kakaknya."
Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Ternyata Fadil bisa bergerak cepat mencari Naura.
"Bagaimana bisa? Bukannya ...."
"Dia melacak mobilnya!" Fajar memotong ucapan Irma dengan geram. Detik berikutnya, terdengar suara Adit yang meringis kesakitan. Perasaanku mulai tidak enak.
"Serahkan adik kamu pada saya!" ancam Fajar.
"Tidak!" Suara Adit tercekat. Apa mungkin Fajar mencekik Adit? Jika itu benar terjadi, aku tidak akan mengampuninya.
Aku berjalan pelan, menuju tempatku menguping tadi.
Samar-samar, aku dapat melihat Fajar yang benar-benar mencekik Adit. Aku tidak bisa berdiam diri saja tanpa membantu. Tapi bagaimana caranya?
Sial! Aku merutuki kebodohanku memberikan ponsel ke tukang ojek tadi.
Ah, ya! Sebelum ke sini, aku melewati beberapa rumah penduduk. Mungkin saja ada yang bisa membantuku di sana.
Dengan langkah penuh kehati-hatian, aku pergi dari tempat persembunyian. Saat mulai jauh, aku mempercepat lari agar segera sampai.
Dada kembang kempis menambah pasokan udara untuk mengisi paru-paru setelah berlari cukup jauh. Sekitar hampir 1 kilometer. Cahaya matahari kian meredup.
"Kamu tuh, ya! Udah Ibu bilangin jangan ke sana, masih aja keras kepala! Mau kamu kecebur ke sumur, hah?!"
Suara bentakan itu menarik perhatianku. Aku menghampiri seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster cokelat motif bunga yang mulai kusam. Ia menjewer telinga seorang anak kecil berusia sekitar 7 tahunan.
Aku iba melihat anak laki-laki itu meringis kesakitan memohon ampunan ibunya.
"Permisi, Bu," sapaku dengan sopan. Tatapan sinisnya beralih padaku.
"Kenapa?" Dagunya terangkat, terlihat angkuh.
"Bisa tolong saya, Bu? Di sana, suami saya disekap, Bu. Tolong bantu saya selamatkan suami saya," ucapku dengan nada memohon.
"Urus saja urusanmu sendiri!" Tolakan telak itu begitu menohok tepat di hatiku.
Sedikit kecewa, aku memperhatikan sekitar. Beberapa orang lalu lalang dengan santai tanpa memedulikan si ibu yang masih saja menyakiti anaknya sendiri. Kenapa semuanya tidak acuh? Apa mereka tidak memiliki rasa kasihan?
"Bu, anaknya bisa tolong dilepasin, nggak? Kasihan itu, Bu, udah merah telinganya."
Wanita itu mendelik kesal. "Apa urusanmu? Ini anakku! Jangan karena aku tidak membantumu, kamu malah semakin menggangguku! Urus saja urusanmu!"
Aku beralih pada orang lain, seorang gadis muda berkulit sawo matang.
"Dek, bisa minta tolong?"
Hampir sama dengan si ibu tadi, gadis ini menatapku sinis.
Hampir sama dengan si ibu tadi, gadis ini menatapku sinis.
"Bantuan apa?"
"Boleh pinjam ponsel? Saya mau hubungi keluarga saya. Suami saya diculik di sana, dan ...."
"Udah-udah! Aku nggak mau denger lagi. Nih!" Dengan raut kesal, ia menyodorkan ponsel miliknya. "Tapi bentar aja. Harga pulsa naik 8000 per 5000 pulsa. Kamu sanggup gantiin pulsa aku?" lanjutnya.
Bagaimana caranya? Sementara aku tidak punya uang sepeser pun. Tidak ada barang berharga yang kubawa, kecuali cincin pernikahan yang selalu kupakai. Mana mungkin aku menyerahkan cincin ini?
"Nanti saya bayar, Dek, kalau keluarga saya udah datang."
Gadis ini membuang muka ke arah lain.
"Boleh pinjam ponsel? Saya mau hubungi keluarga saya. Suami saya diculik di sana, dan ...."
"Udah-udah! Aku nggak mau denger lagi. Nih!" Dengan raut kesal, ia menyodorkan ponsel miliknya. "Tapi bentar aja. Harga pulsa naik 8000 per 5000 pulsa. Kamu sanggup gantiin pulsa aku?" lanjutnya.
Bagaimana caranya? Sementara aku tidak punya uang sepeser pun. Tidak ada barang berharga yang kubawa, kecuali cincin pernikahan yang selalu kupakai. Mana mungkin aku menyerahkan cincin ini?
"Nanti saya bayar, Dek, kalau keluarga saya udah datang."
Gadis ini membuang muka ke arah lain.
"Pake aja. Orang miskin kayak kamu mana mungkin bisa beli pulsa."
Dengan menguatkan hati yang terasa hancur karena merasa dihina olehnya, aku menekan tombol satu per satu. Suara nada sambung terdengar.
"Assalamualaikum," ucapku cepat.
"Wa alaikumussalam. Nissa kamu ada di mana?" Suara Fadil terdengar khawatir. Apa mungkin Anin belum kembali?
"Anin udah pulang?"
"Iya. Ini udah sampe dari tadi. Saya khawatir pas dia pulang, kamunya nggak ada. Kamu ke mana? Saya jemput, ya?"
Aku menjauhkan ponsel dari telinga. "Dek, ini daerah apa namanya?"
"Desa Belerang."
Aku menyahut dengan ucapan hampir sama dengan jawaban si gadis.
"Oke. Tunggu saya sebentar!"
"Ya. Cepetan datang, ya. Jangan lupa bawa polisi. Aku udah nemuin Adit."
"Beneran? Oke, segera saya ke sana."
"Ya. Assalamualaikum."
"Wa alaikumussalam."
"Ini ponselnya. Terima kasih." Aku menyerahkan miliknya setelah menekan tombol merah. Ia menerimanya dengan sedikit kasar. Dahinya berkerut dalam ketika melihat sesuatu di layar ponsel.
"Berkurang 4.852 rupiah." Ia mengembuskan napas kesal. Perasaan, aku tidak terlalu lama mengobrol. Kenapa sampai banyak begitu?
"Nanti saya ganti setelah keluarga saya datang." Aku mencoba menenangkannya.
"Hm ...."
"Dek, di sini nggak ada masjid atau mushola?"
"Nggak ada!" jawabnya dengan nada ketus. Ia berdiri dari posisi duduk di atas batu yang cukup besar. "Jangan ngerepotin orang. Kamu bisa mandiri, kan?" Setelah mengatakan itu, ia bergegas pergi.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu di atas batu bekas tempat duduk gadis tadi. Malam datang menyambut, menyapa dengan dinginnya udara yang menusuk kulit. Gamis berwarna abu-abu yang kukenakan tidak terlalu tebal. Aku menggigil kedinginan.
Cahaya menyilaukan datang dari ujung jalan. Aku menegakkan tubuh, menanti siapa yang datang. Semoga saja Fadil.
Mobil terdepan berhenti tepat di sampingku. Pintu bagian belakang terbuka, menampilkan sosok tegap Fadil.
"Nissa," sapanya.
"Di sana! Ayo, aku tunjukin tempatnya!" seruku tidak sabar.
Salah satu polisi yang ikut turun dari mobil mengangguk antusias. Kami masuk ke mobil yang paling depan.
Mau tidak mau, aku harus duduk di samping Fadil. Aku mepet di jendela agar tidak terlalu dekat dengannya.
Bagaimana pun, dia bukan mahram bagiku.
"Nissa." Ia kembali memanggil. Aku hanya menatapnya sekilas tanpa menyahut.
Tanpa mengatakan apapun, ia melepas jaket hitam yang dipakainya, menyisakan kaus oblong tipis berwarna hitam.
Dengan menguatkan hati yang terasa hancur karena merasa dihina olehnya, aku menekan tombol satu per satu. Suara nada sambung terdengar.
"Assalamualaikum," ucapku cepat.
"Wa alaikumussalam. Nissa kamu ada di mana?" Suara Fadil terdengar khawatir. Apa mungkin Anin belum kembali?
"Anin udah pulang?"
"Iya. Ini udah sampe dari tadi. Saya khawatir pas dia pulang, kamunya nggak ada. Kamu ke mana? Saya jemput, ya?"
Aku menjauhkan ponsel dari telinga. "Dek, ini daerah apa namanya?"
"Desa Belerang."
Aku menyahut dengan ucapan hampir sama dengan jawaban si gadis.
"Oke. Tunggu saya sebentar!"
"Ya. Cepetan datang, ya. Jangan lupa bawa polisi. Aku udah nemuin Adit."
"Beneran? Oke, segera saya ke sana."
"Ya. Assalamualaikum."
"Wa alaikumussalam."
"Ini ponselnya. Terima kasih." Aku menyerahkan miliknya setelah menekan tombol merah. Ia menerimanya dengan sedikit kasar. Dahinya berkerut dalam ketika melihat sesuatu di layar ponsel.
"Berkurang 4.852 rupiah." Ia mengembuskan napas kesal. Perasaan, aku tidak terlalu lama mengobrol. Kenapa sampai banyak begitu?
"Nanti saya ganti setelah keluarga saya datang." Aku mencoba menenangkannya.
"Hm ...."
"Dek, di sini nggak ada masjid atau mushola?"
"Nggak ada!" jawabnya dengan nada ketus. Ia berdiri dari posisi duduk di atas batu yang cukup besar. "Jangan ngerepotin orang. Kamu bisa mandiri, kan?" Setelah mengatakan itu, ia bergegas pergi.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu di atas batu bekas tempat duduk gadis tadi. Malam datang menyambut, menyapa dengan dinginnya udara yang menusuk kulit. Gamis berwarna abu-abu yang kukenakan tidak terlalu tebal. Aku menggigil kedinginan.
Cahaya menyilaukan datang dari ujung jalan. Aku menegakkan tubuh, menanti siapa yang datang. Semoga saja Fadil.
Mobil terdepan berhenti tepat di sampingku. Pintu bagian belakang terbuka, menampilkan sosok tegap Fadil.
"Nissa," sapanya.
"Di sana! Ayo, aku tunjukin tempatnya!" seruku tidak sabar.
Salah satu polisi yang ikut turun dari mobil mengangguk antusias. Kami masuk ke mobil yang paling depan.
Mau tidak mau, aku harus duduk di samping Fadil. Aku mepet di jendela agar tidak terlalu dekat dengannya.
Bagaimana pun, dia bukan mahram bagiku.
"Nissa." Ia kembali memanggil. Aku hanya menatapnya sekilas tanpa menyahut.
Tanpa mengatakan apapun, ia melepas jaket hitam yang dipakainya, menyisakan kaus oblong tipis berwarna hitam.
"Pakai. Nanti kamu sakit. Cuacanya dingin."
"Tapi, kamu ...?"
"Anak laki mah biasa," jawabnya sambil tersenyum lebar untuk menghapus keraguanku.
Aku menerimanya, lalu memakai jaket itu. Sekarang, aku tidak kedinginan seperti sebelumnya.
Kami sampai di depan rumah. Beberapa polisi di mobil belakang keluar dan mengepung rumah kecil itu. Aku ikut turun bersama Fadil.
Hingga terdengar suara dentuman keras dari dalam rumah. Fadil menarikku agar menunduk, berlindung di balik mobil polisi. Jantungku berdebar kencang. Bagaimana keadaan Adit di dalam?
"Fadil ...," ucapku pelan.
"Jangan takut." Ia menarik tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat.
"Adit gimana? Aku khawatir," bisikku pelan. Pikiranku hanya satu hal, Adit.
"Maaf." Ia melepasku.
Aku pun tersadar atas apa yang baru saja ia lakukan, dan aku hanya diam saja. Benar-benar murahan.
"CEPAT PERGI DARI SINI!" Suara teriakan itu datang dari rumah. Aku mengintip takut. Fajar keluar dari dalam rumah dengan amarah meluap-luap.
Tampak Fajar menempelkan ujung pistolnya di kepala seorang laki-laki yang duduk di atas kursi. Lelaki itu mengenakan kaus yang sama persis dengan yang digunakan Adit kemarin. Kepalanya ditutupi karung. Aku semakin khawatir.
"Tapi, kamu ...?"
"Anak laki mah biasa," jawabnya sambil tersenyum lebar untuk menghapus keraguanku.
Aku menerimanya, lalu memakai jaket itu. Sekarang, aku tidak kedinginan seperti sebelumnya.
Kami sampai di depan rumah. Beberapa polisi di mobil belakang keluar dan mengepung rumah kecil itu. Aku ikut turun bersama Fadil.
Hingga terdengar suara dentuman keras dari dalam rumah. Fadil menarikku agar menunduk, berlindung di balik mobil polisi. Jantungku berdebar kencang. Bagaimana keadaan Adit di dalam?
"Fadil ...," ucapku pelan.
"Jangan takut." Ia menarik tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat.
"Adit gimana? Aku khawatir," bisikku pelan. Pikiranku hanya satu hal, Adit.
"Maaf." Ia melepasku.
Aku pun tersadar atas apa yang baru saja ia lakukan, dan aku hanya diam saja. Benar-benar murahan.
"CEPAT PERGI DARI SINI!" Suara teriakan itu datang dari rumah. Aku mengintip takut. Fajar keluar dari dalam rumah dengan amarah meluap-luap.
Tampak Fajar menempelkan ujung pistolnya di kepala seorang laki-laki yang duduk di atas kursi. Lelaki itu mengenakan kaus yang sama persis dengan yang digunakan Adit kemarin. Kepalanya ditutupi karung. Aku semakin khawatir.
"Fadil, itu Adit." Aku berujar pelan. "Bagaimana ini?"
"Kamu tenang saja. Polisi pasti bisa menyelesaikan semua masalah." Jawaban Fadil sama sekali tidak membuatku tenang.
Menyelesaikan masalah? Bahkan tidak ada polisi yang berani mendekat. Bagaimana caranya menyelesaikan masalah?
Aku takut, terjadi sesuatu hal yang buruk pada Adit. Kuberanikan diri mendekat, meski Fadil sudah memberikan peringatan agar menjauh saja.
"Jangan mendekat! Atau aku akan melubangi kepalanya, sekarang!" Fajar berteriak padaku.
"J-jangan lakukan itu. Kak, ini aku, Nissa. Kamu tidak mengenaliku?" Pertanyaan itu membuatnya terpaku sejenak.
"Jangan berbohong! Kalau kamu memang adikku, kenapa baru mengatakannya sekarang!"
"Aku malu mengakuimu kakak! Kakakku dulu tidak sejahat ini!" Aku berteriak kesal.
"Kamu tidak mengakuiku kakak. Jadi untuk apa aku mengakuimu adik?" Ia tersenyum miring. Pistol itu
mengarah padaku. Aku terdiam di tempat, takut melakukan pergerakan yang memancing jarinya menarik pelatuk.
Seorang polisi sudah berdiri tepat di belakang Fajar membawa sebuah balok kayu yang cukup besar.
"Arrgh!" Fajar memekik kesakitan ketika balok kayu itu dihantamkan ke punggungnya. Tubuhnya tumbang ke tanah.
Tanpa mempedulikan detak jantung yang berdetak kencang akibat rasa takut, aku beralih pada Adit. Dengan tangan gemetar, aku melepas karung yang menutupi wajahnya.
Kakiku beringsut menjauh saat melihat si pemilik wajah. Dia bukan Adit.
Pandanganku dilarikan ke arah lain. Kenapa aku tidak menyadari jika mobil yang membawa Adit kemarin sudah menghilang?
"NISSA!"
Suara teriakan Fadil hampir bersamaan dengan mataku yang membulat. Kaki kananku terasa sakit dan nyeri disaat yang bersamaan. Aku menunduk memperhatikan gamis yang bolong di bagian betis, dan mulai mengeluarkan darah.
Aku melirik sang pelaku yang baru saja diborgol polisi. Di tengah kesadarannya pun, ia tetap ingin menyakitiku.
Dia benar-benar bukan kakakku lagi.
==========
Sudah hampir 3 bulan aku kembali ke rumah Ibu dan Ayah. Selama itu juga, aku memendam rindu yang mendalam pada sosok lelaki yang menghilang hampir 4 bulan ini. Dia bak ditelan bumi, tidak meninggalkan jejak sedikit pun. Irma sendiri sudah ditangkap. Dari laporannya, Adit melarikan diri saat hendak dibawa pergi dari rumah tua.
"Nissa! Makan dulu, Nak!" Suara lembut Ibu terdengar dari balik pintu kamar.
Rasanya aku tidak selera makan lagi. Selama hampir sebulan ini, aku mengalami mual-mual dan pusing.
Setiap makanan yang masuk ke perut pasti akan keluar lagi. Mungkin karena masuk angin, setiap malam aku selalu berdiri di dekat jendela menikmati udara dingin.
Aku berjalan membuka pintu.
"Kamu tenang saja. Polisi pasti bisa menyelesaikan semua masalah." Jawaban Fadil sama sekali tidak membuatku tenang.
Menyelesaikan masalah? Bahkan tidak ada polisi yang berani mendekat. Bagaimana caranya menyelesaikan masalah?
Aku takut, terjadi sesuatu hal yang buruk pada Adit. Kuberanikan diri mendekat, meski Fadil sudah memberikan peringatan agar menjauh saja.
"Jangan mendekat! Atau aku akan melubangi kepalanya, sekarang!" Fajar berteriak padaku.
"J-jangan lakukan itu. Kak, ini aku, Nissa. Kamu tidak mengenaliku?" Pertanyaan itu membuatnya terpaku sejenak.
"Jangan berbohong! Kalau kamu memang adikku, kenapa baru mengatakannya sekarang!"
"Aku malu mengakuimu kakak! Kakakku dulu tidak sejahat ini!" Aku berteriak kesal.
"Kamu tidak mengakuiku kakak. Jadi untuk apa aku mengakuimu adik?" Ia tersenyum miring. Pistol itu
mengarah padaku. Aku terdiam di tempat, takut melakukan pergerakan yang memancing jarinya menarik pelatuk.
Seorang polisi sudah berdiri tepat di belakang Fajar membawa sebuah balok kayu yang cukup besar.
"Arrgh!" Fajar memekik kesakitan ketika balok kayu itu dihantamkan ke punggungnya. Tubuhnya tumbang ke tanah.
Tanpa mempedulikan detak jantung yang berdetak kencang akibat rasa takut, aku beralih pada Adit. Dengan tangan gemetar, aku melepas karung yang menutupi wajahnya.
Kakiku beringsut menjauh saat melihat si pemilik wajah. Dia bukan Adit.
Pandanganku dilarikan ke arah lain. Kenapa aku tidak menyadari jika mobil yang membawa Adit kemarin sudah menghilang?
"NISSA!"
Suara teriakan Fadil hampir bersamaan dengan mataku yang membulat. Kaki kananku terasa sakit dan nyeri disaat yang bersamaan. Aku menunduk memperhatikan gamis yang bolong di bagian betis, dan mulai mengeluarkan darah.
Aku melirik sang pelaku yang baru saja diborgol polisi. Di tengah kesadarannya pun, ia tetap ingin menyakitiku.
Dia benar-benar bukan kakakku lagi.
==========
Sudah hampir 3 bulan aku kembali ke rumah Ibu dan Ayah. Selama itu juga, aku memendam rindu yang mendalam pada sosok lelaki yang menghilang hampir 4 bulan ini. Dia bak ditelan bumi, tidak meninggalkan jejak sedikit pun. Irma sendiri sudah ditangkap. Dari laporannya, Adit melarikan diri saat hendak dibawa pergi dari rumah tua.
"Nissa! Makan dulu, Nak!" Suara lembut Ibu terdengar dari balik pintu kamar.
Rasanya aku tidak selera makan lagi. Selama hampir sebulan ini, aku mengalami mual-mual dan pusing.
Setiap makanan yang masuk ke perut pasti akan keluar lagi. Mungkin karena masuk angin, setiap malam aku selalu berdiri di dekat jendela menikmati udara dingin.
Aku berjalan membuka pintu.
"Aku nggak makan, Bu. Nggak nafsu."
"Kamu sakit lagi? Periksa ke dokter, ya?"
Ini yang membuatku enggan menceritakan setiap masalah yang menimpa. Aku tidak ingin Ibu khawatir. Karena kabar Kak Fajar masuk penjara sudah membuat kesehatannya menurun. Jika ditambah dengan masalahku, beliau akan semakin banyak menanggung beban.
"Nggak papa, Bu. Palingan masuk angin."
"Masuk angin kok tiap hari?"
Aku menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. Jika melaporkan semua kegiatan di malam hari, Ibu pasti akan mengomel lagi.
"Jangan berdiri di dekat jendela tiap malam, Nak. Kalau kamu sakit gini kan, kamu juga yang tersiksa," ucapnya. Beliau memang tahu segala hal meski aku berusaha menutupinya.
"Kamu sakit lagi? Periksa ke dokter, ya?"
Ini yang membuatku enggan menceritakan setiap masalah yang menimpa. Aku tidak ingin Ibu khawatir. Karena kabar Kak Fajar masuk penjara sudah membuat kesehatannya menurun. Jika ditambah dengan masalahku, beliau akan semakin banyak menanggung beban.
"Nggak papa, Bu. Palingan masuk angin."
"Masuk angin kok tiap hari?"
Aku menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. Jika melaporkan semua kegiatan di malam hari, Ibu pasti akan mengomel lagi.
"Jangan berdiri di dekat jendela tiap malam, Nak. Kalau kamu sakit gini kan, kamu juga yang tersiksa," ucapnya. Beliau memang tahu segala hal meski aku berusaha menutupinya.
"Mau Ibu bawain makanan ke sini?"
"Nggak usah, Bu. Nanti aku keluar kok," tolakku.
"Janji, ya, nanti makan?"
"Iya, janji!" Aku menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk V sebagai isyarat jika aku tidak akan mengingkari janji.
Aku ingin mual lagi.
"Nggak usah, Bu. Nanti aku keluar kok," tolakku.
"Janji, ya, nanti makan?"
"Iya, janji!" Aku menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk V sebagai isyarat jika aku tidak akan mengingkari janji.
Aku ingin mual lagi.
"Bentar, ya, Bu!" Aku segera berlalu dari hadapan Ibu menuju dapur. Di rumah ini hanya ada 1 kamar mandi yang letaknya dekat dengan dapur.
"Coba deh periksa ke dokter, Nak. Siapa tau penyakit berbahaya." Ibu mengikutiku ke dapur.
"Nggak papa, Bu." Aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh lemas. Seakan sebagian kekuatanku menguap begitu saja.
"Apanya yang 'nggak papa'? Itu mual mulu dari dulu." Ibu menyahut dengan nada agak kesal.
"Coba deh periksa ke dokter, Nak. Siapa tau penyakit berbahaya." Ibu mengikutiku ke dapur.
"Nggak papa, Bu." Aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh lemas. Seakan sebagian kekuatanku menguap begitu saja.
"Apanya yang 'nggak papa'? Itu mual mulu dari dulu." Ibu menyahut dengan nada agak kesal.
"Atau mungkin, kamu itu hamil."
"Ah, nggak mungkin lah, Bu." Aku duduk di atas kursi samping Ibu. Rasanya agak mustahil jika langsung hamil. Aku dan Adit kan baru sekali melakukannya.
"Kenapa nggak mungkin?" Ibu menatapku dengan mata menyipit.
"Ah, nggak mungkin lah, Bu." Aku duduk di atas kursi samping Ibu. Rasanya agak mustahil jika langsung hamil. Aku dan Adit kan baru sekali melakukannya.
"Kenapa nggak mungkin?" Ibu menatapku dengan mata menyipit.
"Atau kamu belum pernah ya melakukan hubungan suami istri sama suami kamu?"
Mataku mendelik kaget.
Mataku mendelik kaget.
"Ya pastinya pernah, Bu ... eh!" Aku menutup mulut cepat-cepat. Kok nih mulut jadi blak-blakan, sih.
Ibu terkekeh geli.
Ibu terkekeh geli.
"Ya kalau pernah, terus kamu dan Adit nggak ada masalah, nggak ada yang mustahil dong kalau kamu hamil."
Aku mengusap pelipis, masih sedikit ragu.
Aku mengusap pelipis, masih sedikit ragu.
"Masa sih, Bu?"
"Nih anak kok nggak percaya, ya? Ibu udah pernah ngalamin masa-masa kehamilan, jadi tahu kalau yang kayak beginian."
"Terus, periksanya gimana, Bu? Harus ke dokter, gitu?" Masa iya harus ke dokter. Klinik sini agak jauh. Kakiku masih belum sembuh total semenjak insiden tembakan. Walau tidak sakit lagi, tetap saja langkahku masih pincang.
"Kalau nggak bisa keluar, nanti ibu beliin tes kehamilan."
"Tapi kan jauh, Bu."
"Nggak papa. Syukur-syukur kalau kamu beneran hamil. Kan Ibu kangen gendong bayi." Ibu tersenyum.
Aku menunduk, memperhatikan perut rata yang terbungkus kaus bermotif teddy bear. Agak ragu, aku menyusapnya pelan. 'Semoga kamu beneran ada di sini,' bisikku penuh harap.
***
"Ibuuuu!" Aku berteriak histeris keluar dari kamar mandi. Tanpa malu, aku melompat-lompat di depannya, menampilkan kegembiraan yang memuncak.
"Gimana hasilnya?" Ibu tidak sabar menunggu jawaban dariku.
"Positif, Bu!" Aku semakin melompat kegirangan. Biarlah disebut terlalu kekanak-kanakan. Karena sekarang, aku terlalu bahagia.
"Jangan lompat-lompat gitu, bahaya! Kaki kamu juga belum sembuh!" Ibu menuntunku duduk di kursi makan. Senyum yang semula terbit di wajahnya, kini memudar secara perlahan.
"Kenapa, Bu?"
"Ibu seneng, kamu hamil dan bakalan punya anak. Tapi, apa kamu bisa merawatnya seorang diri, tanpa ayah?"
Kalimat Ibu barusan menyadarkanku akan realita yang ada. Kepalaku menunduk. Tangan kanan mengusap perutku yang datar. Bagaimana nasib anakku nantinya? Dia akan tumbuh tanpa seorang ayah.
"Atau, kamu nikah aja lagi?"
Aku menggeleng kasar menolak saran Ibu.
"Nih anak kok nggak percaya, ya? Ibu udah pernah ngalamin masa-masa kehamilan, jadi tahu kalau yang kayak beginian."
"Terus, periksanya gimana, Bu? Harus ke dokter, gitu?" Masa iya harus ke dokter. Klinik sini agak jauh. Kakiku masih belum sembuh total semenjak insiden tembakan. Walau tidak sakit lagi, tetap saja langkahku masih pincang.
"Kalau nggak bisa keluar, nanti ibu beliin tes kehamilan."
"Tapi kan jauh, Bu."
"Nggak papa. Syukur-syukur kalau kamu beneran hamil. Kan Ibu kangen gendong bayi." Ibu tersenyum.
Aku menunduk, memperhatikan perut rata yang terbungkus kaus bermotif teddy bear. Agak ragu, aku menyusapnya pelan. 'Semoga kamu beneran ada di sini,' bisikku penuh harap.
***
"Ibuuuu!" Aku berteriak histeris keluar dari kamar mandi. Tanpa malu, aku melompat-lompat di depannya, menampilkan kegembiraan yang memuncak.
"Gimana hasilnya?" Ibu tidak sabar menunggu jawaban dariku.
"Positif, Bu!" Aku semakin melompat kegirangan. Biarlah disebut terlalu kekanak-kanakan. Karena sekarang, aku terlalu bahagia.
"Jangan lompat-lompat gitu, bahaya! Kaki kamu juga belum sembuh!" Ibu menuntunku duduk di kursi makan. Senyum yang semula terbit di wajahnya, kini memudar secara perlahan.
"Kenapa, Bu?"
"Ibu seneng, kamu hamil dan bakalan punya anak. Tapi, apa kamu bisa merawatnya seorang diri, tanpa ayah?"
Kalimat Ibu barusan menyadarkanku akan realita yang ada. Kepalaku menunduk. Tangan kanan mengusap perutku yang datar. Bagaimana nasib anakku nantinya? Dia akan tumbuh tanpa seorang ayah.
"Atau, kamu nikah aja lagi?"
Aku menggeleng kasar menolak saran Ibu.
"Mas Adit belum ditemukan, Bu. Dia juga belum mati, aku nggak bisa nikah sama siapapun."
"Tapi gimana sama anak kamu? Dia butuh sosok ayah."
"Aku bisa kok jadi ayah sekaligus ibu untuk anakku."
"Tetap saja. Ayah itu peran penting dalam hidup seorang anak, apalagi anak kecil. Mereka akan terus menanyakan keberadaan ayahnya."
"Aku nggak mau nikah lagi, Bu," cicitku lagi. Menghilangkan bayangan Adit saja, aku tidak sanggup. Bagaimana mungkin bisa menikah lagi? Aku akan tersiksa nantinya. Pun suami baruku, karena aku tidak akan mencintainya.
Ibu beranjak dari tempat duduknya, ingin memasak untuk makan siang.
"Bu ...," panggilku, ragu. Beliau berbalik ke arahku dengan wajah bingung.
"Tapi gimana sama anak kamu? Dia butuh sosok ayah."
"Aku bisa kok jadi ayah sekaligus ibu untuk anakku."
"Tetap saja. Ayah itu peran penting dalam hidup seorang anak, apalagi anak kecil. Mereka akan terus menanyakan keberadaan ayahnya."
"Aku nggak mau nikah lagi, Bu," cicitku lagi. Menghilangkan bayangan Adit saja, aku tidak sanggup. Bagaimana mungkin bisa menikah lagi? Aku akan tersiksa nantinya. Pun suami baruku, karena aku tidak akan mencintainya.
Ibu beranjak dari tempat duduknya, ingin memasak untuk makan siang.
"Bu ...," panggilku, ragu. Beliau berbalik ke arahku dengan wajah bingung.
"Kita ke kantor polisi, ya, temui Irma?"
***
Aku terdiam sejenak di dalam ruangan yang pernah kukunjungi dua bulan lalu. Wanita yang membuat keadaan kacau seperti ini, tengah duduk santai di depanku seolah tidak ada masalah apapun. Ya tentunya tidak masalah, karena dia akan bebas sebentar lagi. Ayahnya yang pengusaha kaya berhasil mempercepat masa hukumannya.
"Irma, tolong, kasih tahu aku, di mana Adit." Aku memelas padanya.
"Aku udah bilang, nggak tau. Dia hilang pas aku bawa pergi!" Dia hampir berteriak. Wajahnya masih biasa-biasa saja.
"Di mana terakhir kali kamu ketemu dia?"
"Di jalan, tidak jauh dari rumah tua. Dia melompat turun dari mobil yang melaju kencang." Irma menatapku dingin. Punggungnya menempel di sandaran kursi kayu yang ia duduki. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.
***
Aku terdiam sejenak di dalam ruangan yang pernah kukunjungi dua bulan lalu. Wanita yang membuat keadaan kacau seperti ini, tengah duduk santai di depanku seolah tidak ada masalah apapun. Ya tentunya tidak masalah, karena dia akan bebas sebentar lagi. Ayahnya yang pengusaha kaya berhasil mempercepat masa hukumannya.
"Irma, tolong, kasih tahu aku, di mana Adit." Aku memelas padanya.
"Aku udah bilang, nggak tau. Dia hilang pas aku bawa pergi!" Dia hampir berteriak. Wajahnya masih biasa-biasa saja.
"Di mana terakhir kali kamu ketemu dia?"
"Di jalan, tidak jauh dari rumah tua. Dia melompat turun dari mobil yang melaju kencang." Irma menatapku dingin. Punggungnya menempel di sandaran kursi kayu yang ia duduki. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.
"Kemungkinan hidup cuman sekitar 10%. Kemungkinan kecil, dia luka parah. Kalaupun luka parah, belum tentu ada yang nemuin dia, atau mengobati lukanya. Kamu tahu sendiri kan bagaimana sikap penduduk di daerah itu?"
Penjelasan Irma membuatku kecewa mutlak. Aku ingat betul bagaimana sikap orang-orang di sana. Tidak peduli dan angkuh.
"Udah, kan? Waktu aku habis sia-sia cuman buat ngeladenin kalian. Cepetan pergi, gih! Aku nggak bakalan ganggu lagi. Soalnya Adit yang ingin aku rebut, udah nggak ada." Irma menegakkan tubuhnya. Diikuti oleh polisi, ia kembali memasuki jeruji besi.
"Adit ...." Aku terisak pelan. Gemuruh di dalam dada semakin menjadi, mencipatakan percikan luka yang berimbas pada mata yang mengeluarkan cairan bening.
"Udah, Nissa. Jangan sedih lagi." Fadil yang ikut bersamaku, berujar pelan agar aku tenang.
"Keadaan Adit gimana?" Aku menatapnya dengan pandangan berkabut.
"Polisi sudah menghentikan pencarian, Nissa."
"Kenapa dihentikan?"
Fadil meluruskan tubuhnya menghadapku.
Penjelasan Irma membuatku kecewa mutlak. Aku ingat betul bagaimana sikap orang-orang di sana. Tidak peduli dan angkuh.
"Udah, kan? Waktu aku habis sia-sia cuman buat ngeladenin kalian. Cepetan pergi, gih! Aku nggak bakalan ganggu lagi. Soalnya Adit yang ingin aku rebut, udah nggak ada." Irma menegakkan tubuhnya. Diikuti oleh polisi, ia kembali memasuki jeruji besi.
"Adit ...." Aku terisak pelan. Gemuruh di dalam dada semakin menjadi, mencipatakan percikan luka yang berimbas pada mata yang mengeluarkan cairan bening.
"Udah, Nissa. Jangan sedih lagi." Fadil yang ikut bersamaku, berujar pelan agar aku tenang.
"Keadaan Adit gimana?" Aku menatapnya dengan pandangan berkabut.
"Polisi sudah menghentikan pencarian, Nissa."
"Kenapa dihentikan?"
Fadil meluruskan tubuhnya menghadapku.
"Kamu dengar sendiri penjelasan Irma barusan? Kemungkinan Adit hidup cuman sedikit. Dia kabur dengan melompat dari mobil yang berjalan cepat. Kamu ikhlasin dia saja."
Ikhlas. Satu kata itu mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Ikhlas, artinya aku harus mengorbankan semua perasaan yang sudah tumbuh berakar kuat di dalam hati. Apa aku bisa membabat habis semua rasa itu? Sulit. Apalagi, buah dari rasa itu kini tengah aku kandung.
"Ayo pulang!" seru Fadil.
***
"Kamu itu wanita kuat, Nissa. Saya yakin, kamu pasti bisa mengikhlaskan Kak Adit. Yakinkan dirimu, jodoh kalian hanya sampai di sini saja." Fadil kembali memberikan nasehat di depan rumah orangtuaku.
"Aku ragu ...," ucapku dengan nada pelan seperti bisikan. Kepala ini menunduk, memperhatikan perut yang ditutupi gamis berwarna krem.
"Kamu pasti bisa. Selalu katakan itu. Kalau kamu terus bilang 'nggak bisa', maka selamanya kamu nggak bakalan bisa melupakan Adit."
"Aku ... tidak akan bisa melupakannya. Aku ... mengandung anaknya."
"Kamu ... hamil?"
Anggukan pelan yang kuberikan cukup untuk meyakinkan keraguannya.
Kami berdua terdiam, membiarkan sepi yang mengambil alih suasana. Angin berembus pelan, menerbangkan gamisku, terlihat seperti menari-nari. Sayangnya, angin ini tidak bisa membawa pergi luka yang kurasa.
"Saya boleh menikahimu?"
Aku mendongak, menatap wajahnya yang putih bersih. Kepalaku menggeleng. Dia hanya menikahiku karena rasa iba. Aku tidak ingin lagi terjebak dalam pernikahan tanpa diawali cinta. Lagipula, aku akan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Fadil dan Anin.
"Saya beri kamu waktu sampai kamu lahiran. Selama itu, kita taarufan dulu. Bagaimana?" Ia memberikan solusi yang sama sekali tidak pernah kupikirkan sebelumnya.
"Aku nggak bisa. Maaf," ujarku. Tanpa memedulikannya lagi, aku memasuki rumah kayu di depanku.
"Nissa!" Dia kembali memanggil. Aku menahan langkah kaki demi mendengar ucapannya lagi, tanpa memutar tubuh menghadap padanya.
Terdengar langkah kaki yang terhenti beberapa langkah di belakangku.
Ikhlas. Satu kata itu mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Ikhlas, artinya aku harus mengorbankan semua perasaan yang sudah tumbuh berakar kuat di dalam hati. Apa aku bisa membabat habis semua rasa itu? Sulit. Apalagi, buah dari rasa itu kini tengah aku kandung.
"Ayo pulang!" seru Fadil.
***
"Kamu itu wanita kuat, Nissa. Saya yakin, kamu pasti bisa mengikhlaskan Kak Adit. Yakinkan dirimu, jodoh kalian hanya sampai di sini saja." Fadil kembali memberikan nasehat di depan rumah orangtuaku.
"Aku ragu ...," ucapku dengan nada pelan seperti bisikan. Kepala ini menunduk, memperhatikan perut yang ditutupi gamis berwarna krem.
"Kamu pasti bisa. Selalu katakan itu. Kalau kamu terus bilang 'nggak bisa', maka selamanya kamu nggak bakalan bisa melupakan Adit."
"Aku ... tidak akan bisa melupakannya. Aku ... mengandung anaknya."
"Kamu ... hamil?"
Anggukan pelan yang kuberikan cukup untuk meyakinkan keraguannya.
Kami berdua terdiam, membiarkan sepi yang mengambil alih suasana. Angin berembus pelan, menerbangkan gamisku, terlihat seperti menari-nari. Sayangnya, angin ini tidak bisa membawa pergi luka yang kurasa.
"Saya boleh menikahimu?"
Aku mendongak, menatap wajahnya yang putih bersih. Kepalaku menggeleng. Dia hanya menikahiku karena rasa iba. Aku tidak ingin lagi terjebak dalam pernikahan tanpa diawali cinta. Lagipula, aku akan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Fadil dan Anin.
"Saya beri kamu waktu sampai kamu lahiran. Selama itu, kita taarufan dulu. Bagaimana?" Ia memberikan solusi yang sama sekali tidak pernah kupikirkan sebelumnya.
"Aku nggak bisa. Maaf," ujarku. Tanpa memedulikannya lagi, aku memasuki rumah kayu di depanku.
"Nissa!" Dia kembali memanggil. Aku menahan langkah kaki demi mendengar ucapannya lagi, tanpa memutar tubuh menghadap padanya.
Terdengar langkah kaki yang terhenti beberapa langkah di belakangku.
"Kalau kamu pikir saya menikahi kamu karena iba atau kasihan, kamu salah. Saya ingin menikahimu, karena saya ... mencintaimu."
Fakta apalagi ini? Aku tersenyum miris merasakan takdir yang dituliskan untukku.
Fakta apalagi ini? Aku tersenyum miris merasakan takdir yang dituliskan untukku.
"Maaf, aku nggak bisa."
Aku menutup pintu, seakan ingin menutup semua celah yang ada agar tidak ada lagi yang masuk dalam hidupku. Kecuali Adit. Aku hanya ingin dia.
Ibu berdiri di depan jendela.
Aku menutup pintu, seakan ingin menutup semua celah yang ada agar tidak ada lagi yang masuk dalam hidupku. Kecuali Adit. Aku hanya ingin dia.
Ibu berdiri di depan jendela.
"Kenapa ditolak, Nak? Kamu bisa taaruf dulu sama dia sambil nunggu lahiran."
"Aku mencintai suamiku, Bu." Aku terisak.
"Aku mencintai suamiku, Bu." Aku terisak.
Tubuh ini merosot hingga duduk lesehan ditolak lantai. Seandainya suamiku masih ada, aku tidak akan seperti ini. Aku ingin merasakan perhatiannya selama aku hamil, seperti yang ia berikan pada adiknya.
"Tapi suamimu hilang, Nissa. Kamu harus sadar itu. Kamu tidak boleh egois. Anak kamu butuh sosok ayah."
Aku egois. Biarkan aku egois kali ini. Aku hanya ingin suamiku, bukan orang lain.
***
Pandanganku dibatasi oleh cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata. Rasa hangat dan bahagia melingkupi hati. Melalui alat ultrasonografi doppler, aku dapat mendengar detakan mungil yang mirip detak jam di bawah bantal. Itu detak jantung bayiku.
Setelah selesai, aku mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama mengenai menjaga kandungan dengan baik bersama Naura. Barulah, aku diperbolehkan pulang.
"Jaga baik-baik, ya, Kak. Bagian dari Kak Adit masih tersisa di sini." Naura mengusap perutku. Senyuman segaris mengembang di wajahnya.
"Pasti," jawabku yakin.
Kami sampai di parkiran. Fadil dengan sigap membukakan pintu untukku dan Naura.
"Gimana hasilnya?" Fadil meluruskan pandangannya ke jalanan. Sesekali, ia melirik ke arah aku dan Naura melalui kaca spion.
"Baik." Naura menjawab pertanyaan Fadil.
"Tapi suamimu hilang, Nissa. Kamu harus sadar itu. Kamu tidak boleh egois. Anak kamu butuh sosok ayah."
Aku egois. Biarkan aku egois kali ini. Aku hanya ingin suamiku, bukan orang lain.
***
Pandanganku dibatasi oleh cairan bening yang berkumpul di pelupuk mata. Rasa hangat dan bahagia melingkupi hati. Melalui alat ultrasonografi doppler, aku dapat mendengar detakan mungil yang mirip detak jam di bawah bantal. Itu detak jantung bayiku.
Setelah selesai, aku mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama mengenai menjaga kandungan dengan baik bersama Naura. Barulah, aku diperbolehkan pulang.
"Jaga baik-baik, ya, Kak. Bagian dari Kak Adit masih tersisa di sini." Naura mengusap perutku. Senyuman segaris mengembang di wajahnya.
"Pasti," jawabku yakin.
Kami sampai di parkiran. Fadil dengan sigap membukakan pintu untukku dan Naura.
"Gimana hasilnya?" Fadil meluruskan pandangannya ke jalanan. Sesekali, ia melirik ke arah aku dan Naura melalui kaca spion.
"Baik." Naura menjawab pertanyaan Fadil.
"Kak Nissa masih sering mual-mual?" Naura berlatih padaku.
"Masih sering, tiap pagi sama malam."
"Tapi nggak sering pingsan, kan?"
"Alhamdulillah, enggak."
"Bagus deh. Itu artinya, anak Kak Adit nggak mau terlalu nyusahin ibunya."
Aku tersenyum tipis menanggapinya. 'Anak yang baik,' bisikku.
Rasanya menakjubkan saat aku benar-benar merasakan kehadirannya dalam diriku. Aku harus sering mengecek kehamilan agar dapat merasakan detak jantungnya lagi.
Aku mengalihkan arah pandangan ke kaca spion. Sesosok laki-laki menarik perhatianku. Postur tubuhnya ... mirip Adit.
Aku memutar tubuh menghadap belakang.
"Masih sering, tiap pagi sama malam."
"Tapi nggak sering pingsan, kan?"
"Alhamdulillah, enggak."
"Bagus deh. Itu artinya, anak Kak Adit nggak mau terlalu nyusahin ibunya."
Aku tersenyum tipis menanggapinya. 'Anak yang baik,' bisikku.
Rasanya menakjubkan saat aku benar-benar merasakan kehadirannya dalam diriku. Aku harus sering mengecek kehamilan agar dapat merasakan detak jantungnya lagi.
Aku mengalihkan arah pandangan ke kaca spion. Sesosok laki-laki menarik perhatianku. Postur tubuhnya ... mirip Adit.
Aku memutar tubuh menghadap belakang.
"Fadil! Berhenti!"
Setelah mobil berhenti, aku keluar dari mobil, berlari mencari sosok yang baru saja kulihat. Kenapa menghilang? Tidak ada jejak sedikit pun yang ia tinggalkan.
"Nissa, ada apa?" Fadil menyusul dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Aku lihat Adit tadi."
"Mungkin kamu cuman mengkhayal. Ayo pulang."
Rasanya masih enggak beranjak. Bayangan sosok itu masih terngiang di kepala.
Tidak mungkin Adit. Jika itu benar dia, kenapa dia tidak menghampiriku?
Bersambung #9
Setelah mobil berhenti, aku keluar dari mobil, berlari mencari sosok yang baru saja kulihat. Kenapa menghilang? Tidak ada jejak sedikit pun yang ia tinggalkan.
"Nissa, ada apa?" Fadil menyusul dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Aku lihat Adit tadi."
"Mungkin kamu cuman mengkhayal. Ayo pulang."
Rasanya masih enggak beranjak. Bayangan sosok itu masih terngiang di kepala.
Tidak mungkin Adit. Jika itu benar dia, kenapa dia tidak menghampiriku?
Bersambung #9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel