Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 12 April 2020

Pernikahan Di Atas Kertas #9

Cerita bersambung

"Nissa."
Langkahku terpaku tepat di depan pintu rumah. Aku menoleh pada sosok Fadil yang berdiri di samping mobil.
"Ada apa? Mau masuk?" Aku berujar dengan canggung. Ajakannya kemarin membuatku merasa risih setiap kali dekat dengannya.
"Ya. Kalau diizinkan. Saya mau ketemu sama orangtua kamu."
Sebenarnya, aku ingin menanyakan tujuannya bertemu ayah dan ibu. Namun, itu akan sangat tidak sopan.
"Ayo. Ajak Naura juga."

Aku membuka pintu lebih lebar lagi, membiarkan keduanya masuk. Setelah mempersilakan mereka duduk, aku masuk ke dapur untuk menyiapkan minuman dan makanan ringan. Ibu dan ayah sudah duduk di ruang tamu ketika aku kembali.
"Jadi, saya di sini, ingin melamar Nissa sebagai istri saya." Fadil mengutarakan maksudnya.
Kenapa dia sangat keras kepala? Aku sudah menolaknya kemarin secara halus. Apa dia ingin merasakan cara yang kasar?
"Kak, terus Kak Anin gimana?" Naura menyenggol lengan kakaknya dengan mata membulat. "Lagian Kak Nissa lagi hamil, nggak boleh nikah dulu."
"Saya sudah bicara sama istri saya. Dia siap dimadu, kok. InShaa Alloh, saya akan berusaha adil." Fadil menatapku begitu intens.
"Saya akan menunggu Nissa melahirkan, lalu kami akan menikah. Saya hanya ingin menjadi pengganti Kak Adit; ayah dari anak Nissa."

Ingin rasanya aku menjerit, tidak ingin menerimanya. Namun mengingat kebaikan keluarga mereka terhadap keluargaku, rasanya segan. Semoga ibu menolaknya.

"Anin sudah setuju, Bu, Pak. Dia tidak bisa memberi saya keturunan. Dia ikhlas saat saya menyampaikan tujuan saya ini padanya," sambung Fadil.
"Gimana menurut Ayah?" Ibu bertanya pada ayah. Jantungku berdebar tidak karuan.
"Kalau Ayah, setuju saja."
Jengkel rasanya mendengar jawaban ayah yang sama sekali tidak sesuai dengan keinginanku.
"Selama Nak Fadil ini bisa berlaku adil pada istrinya nanti," lanjut Ayah.
Ibu tersenyum lebar penuh makna. "Bagaimana Nissa?"
"Aku mau pikir-pikir dulu, Bu, Yah."
"Silakan. Kamu masih punya banyak waktu untuk memikirkan semuanya," sahut Fadil.

Dia benar-benar membuat hidupku semakin rumit.
***

Setelah kepergian Naura dan Fadil, aku langsung memasuki kamar. Aku berdiri di depan cermin yang cukup besar. Sedikit berjinjit, aku dapat melihat bagian perut di cermin itu. Kepala ini celingak-celinguk melirik sekitar, seperti orang yang akan mencuri.

Gemas, aku menaikkan baju yang kukenakan. Menurut penglihatanku, ini masih rata. Kata dokter, sudah mulai membesar.
"Nissa."
"Ibu!" Aku memekik pelan sembari menurunkan baju menutupi perut. Ibu tertawa pelan memasuki kamarku.
"Buka aja lagi. Ibu kan juga mau lihat perut kamu," ujar Ibu yang duduk di atas tempat tidur. "Udah berapa minggu kata dokter tadi?" tanyanya lagi.
"16 minggu." Aku kembali berjinjit untuk bisa menampilkan bayangan bagian perut di cermin. "Udah besar, belum, Bu?"
"Iya. Udah mulai besar."
"Kok aku lihat masih rata." Aku mengerutkan dahi, memutar tubuh kanan dan kiri.
"Kamunya keseringan lihat perut Naura yang udah 8 bulan. Jadi kamu rasanya masih rata," jelas Ibu.

Lelah terus berjinjit, aku menghampiri Ibu dan duduk di sampingnya.

"Kapan terakhir kamu datang bulan? Kok nggak curiga sih? Ini udah 4 bulan, lho. Kok juga masih mual-mual? Setahu Ibu, yang 4 bulan, udah nggak mual-mual lagi. Kamu punya penyakit lain?" Ibu memberikan sederet pertanyaan secara bertubi-tubi.

Aku hanya bisa mengusap ujung alis.
"Lupa sih, Bu, kapan terakhir kali datang bulan. Soalnya aku nggak peduli masalah itu." Aku terdiam sejenak.
"Kalau masalah mual-mual, mungkin karena keseringan berdiri dekat jendela malam-malam." Kuakhiri ucapanku dengan kedua sudut bibir terangkat, memperlihatkan senyuman bersalah.

"Mulai sekarang, kamu jangan terlalu banyak pikiran. Jangan suka berdiri terlalu lama, apalagi deket jendela malam-malam. Karena sekarang, kamu juga menanggung hidup anak Adit." Ibu mengusap lembut perutku.
"Udah denger detak jantungnya tadi?"
Aku mengangguk antusias. "Iya, Bu. Aku udah denger tadi."
Senyum semringah semakin mengembang lebar kala suara detak jantung bayiku kembali terngiang.
"Terus, gimana sama Nak Fadil? Kamu mau terima dia?"
"Nggak tau, Bu."
"Kenapa nggak tau? Anak kamu itu butuh ayah. Lagian, kamu pasti bisa mencintai Nak Fadil. Kamu kan emang udah pernah suka sama dia dulu."
"Sekarang udah beda, Bu." Aku memelas. "Aku cuman cinta sama Mas Adit sekarang."
"Apa salahnya mencoba? Kamu dulu juga nggak pernah suka sama Adit, kan?"
"Tapi, Bu ...."
"Kamu coba cari tahu lebih banyak lagi tentang Nak Fadil. Ibu yakin, rasa yang pernah ada pada Nak Fadil, bisa tumbuh lagi nanti." Ibu tersenyum sembari mengusap bahuku. "Jaga anak kamu baik-baik."

Aku tercenung setelah Ibu menghilang di balik pintu kamar. Benar kata beliau. Apa salahnya mencoba? Mungkin dengan sedikit memberi Fadil kesempatan, rasa itu akan kembali ada.
Aku merogoh sesuatu di dalam laci meja. Album milik Adit yang isinya hanya fotoku. Sebelum datang ke sini, pemilik rumah baru Adit memberikan semua barang-barang yang belum sempat dibawa Adit. Termasuk album ini.

Aku melepas selembar foto. Ada sebuah kebiasaan baru yang kulakukan setiap kali merindukan Adit. Aku akan menulis sesuatu di balik foto, sambil memeluk baju Adit. Aroma pakaiannya bisa mengurangi sedikit kerinduan padanya. Dan menulis sebuah catatan membuatku merasa berbicara padanya.

[Assalamualaikum, Imanku.
Tadi pagi aku sama Naura ke dokter, periksa kandungan. Kamu tahu, aku bisa denger detak jantung anak kita. Mmm ... mirip jam di bawah bantal. Gemas banget tau. Harusnya kamu ada di deket aku, kita denger bareng-bareng.
Kamu di mana, Mas? Aku kangen sama kamu? Kamu kapan pulangnya? Cepetan datang, ya. Fadil lamar aku lagi. Aku nggak mau nikah sama dia. Aku yakin, kamu masih ada.]

Aku menghentikan pergerakan pena di atas foto. Setiap kali menulis catatan itu, selalu berakhir dengan air mata yang membasahi wajah. Aku menghirup dalam-dalam aroma pakaian Adit, sekaligus menghapus air mata.

Foto itu kembali kutempelkan di tempatnya semula. Sudah 21 foto yang berisi catatan, berurutan dari halaman depan.
***

Dering ponsel pintar di atas meja menyadarkanku dari kegiatan mengamati perut yang membuncit. Tertera nama 'Fadil' di layar ponsel.
"Assalamualaikum," sapaku.
"Wa alaikumussalam. Nissa, Naura masuk rumah sakit."
"Hah?" Aku memperbaiki duduk di atas tempat tidur. "Masuk rumah sakit? Emang udah waktunya lahiran?"
"Seharusnya belum. Tadi dia jatuh di depan rumah."
"O-oke. Aku ke sana sekarang."
"Ya. Assalamualaikum."
"Wa alaikumussalam."

Setelah menggeser layar untuk mematikan sambungan telepon, aku memakai gamis abu-abu serta jilbab instan dengan warna senada.

"Yah, aku mau ke rumah sakit, ya. Mau lihat Naura." Aku mencium punggung tangan Ayah beberapa saat.
"Dia kenapa, Nak? Bukannya sebulan lagi lahirannya?"
"Katanya jatuh. Nggak tau pasti sih, Yah. Ini baru mau ke rumah sakit."
"Ayah ikut. Nggak baik kamu pergi jauh sendiri. Coba panggil ibu kamu. Siapa tau mau ikut. Ayah mau siap-siap bentar."
"Iya, Yah," jawabku. Aku berjalan cepat menghampiri Ibu di dapur.
***

Umi--ibu Fadil-- menangis dalam pelukan suaminya di depan ruang operasi. Anin dan Fadil berdiri tak jauh dari pintu ruangan.

"Assalamualaikum, Umi." Aku mencium punggung tangan Umi, lalu Abi. "Kok bisa jatuh? Bagaimana ceritanya, Umi?"
"Anin ... Anin baru selesai ngepel. Terus Naura ... jalan di sana. Dia terpeleset ... terus jatuh," jelasnya diiringi isak tangis. Aku mengusap bahunya lembut.

Dengan kepala tertunduk, juga tangan dan kaki yang tidak bisa berhenti bergerak karena gelisah, aku terus merapalkan doa dalam hati. Perasaanku tidak tenang. Apalagi setelah Umi mengatakan jika Naura mengalami pendarahan hebat.

Di tengah rasa cemas itu, aku merasa sedikit mulas. Aku berdiri hendak ke toilet. "Aku ke toilet bentar, ya?" pamitku.
"Ayo Ibu anterin." Ibu berseru dari tempat duduk tak jauh dariku.
"Nggak usah, Bu. Aku bentar kok di toilet," balasku. Rasa melilit semakin menjadi. Keringat dingin membuat dahiku terasa lembab.

Setelah keluar dari toilet, rasa sakit di perut mulai berkurang. Aku mengusap peluh di bagian wajah, lalu melangkahkan kaki menuju tempat semula.

Aku menghentikan langkah, saat pandangan tertuju pada seseorang yang terlihat mencurigakan. Dia mengenakan pakaian kotak-kotak berwarna hitam merah, juga celana jeans hitam. Ia membelakangiku, memperhatikan dengan seksama suasana ruang tunggu depan operasi.
Jika dia salah satu keluarga Pak Zainal, kenapa harus sembunyi-sembunyi? Jika orang lain, kenapa memperhatikan keluargaku dengan begitu serius. Dorongan rasa penasaran membuat kakiku melangkah menghampirinya.

Tanpa melihat siapa dia, aku menyeretnya menuju dekat toilet. Lengan pakaiannya sampai pergelangan tangan, jadi aku tidak menyentuhnya secara langsung.
Aku menghentakkan tangannya setelah sampai. Aku berbalik padanya, ingin mengomel, "Kamu ngapain ngintipin ... Adit?"

Aku terpaku sejenak, membiarkan sunyi dan sepi menguasai suasana. Sosok yang selalu kurindukan selama ini sedang ada di depanku.

Aku berjinjit, mengalungkan lenganku di lehernya. Rasanya masih sama, detak jantung yang berdebar kencang setiap kali berada di dekatnya, juga rasa nyaman yang selalu ia berikan. Beberapa saat, aku mengeluarkan semua rasa rindu melalui isak tangis.
"Nissa ...." Bisikan lembut menyapa indra pendengarku, membuatku semakin yakin jika dia benar-benar suamiku. Ditambah usapan tangannya di punggung.

Aku menjauhkan wajahku darinya. Telapak tanganku menempel di pipinya yang mulai kurus. Aku tetap berjinjit, agar sama tinggi dengannya. "Ini benar kamu?"
Dia terdiam, terlihat ragu juga gelisah.
"Jawab aku. Kamu Adit, kan?" Aku tidak sabar menunggu jawabannya. Jempolku mengusap lembut wajahnya.
"Nissa ... saya ...."
Lagi, aku memeluknya lebih erat. Aku rindu panggilannya. Aku rindu suaranya. Aku rindu semua tentang Adit.
"Aku merindukanmu, Mas ...."
Aku dapat merasakan tubuhnya menegang beberapa saat, lalu ikut memeluk punggungku dengan erat. Aku meringis pelan.
Adit mendorong bahuku. Aku memegang tangannya yang menyentuh wajahku. Ia menunduk agar setara dengan tinggiku.

"Nissa, dengarkan saya." Dia menatapku begitu dalam.
"Kamu, boleh menikah dengan Fadil. Saya akan menceraikan kamu ... secepatnya."
"C-cerai?" Jantungku terasa ditekan di dalam sana, memberikan efek nyeri yang membuat sebulir air mata kecewa keluar dari pelupuk mata.
"Iya. Kamu mencintai Fadil, kan? Tugas kamu sudah selesai, kamu bisa memilih hidup kamu sendiri."

Kalimat barusan membuatku menjauhkan diri darinya.
"Kenapa?" Aku membutuhkan pasokan udara lebih banyak untuk mengisi paru-paru yang terasa sesak akibat ucapannya.
"Maaf, saya membuat kamu tertekan selama ini." Adit menegakkan tubuhnya.
"Kamu mencintai adik saya, tapi saya malah memaksa kamu menikah dengan saya. Maaf."
Aku terdiam, kepala menunduk memperhatikan lantai putih.

"Makanya itu, saya hanya ingin menikahi kamu selama 3 tahun. Saya pikir, waktu itu cukup membuat kamu mencintai saya. Jika saya tidak berhasil, saya akan mengikhlaskan kamu pada Fadil. Sepertinya saya gagal, malah saya memberikan banyak masalah untuk kamu." Adit tersenyum tipis.
Ia mendekat, lalu mengusap pipiku lembut.
"Sebenarnya, saya ingin menghilang agar kamu bisa tenang hidup dengan Fadil tanpa ada bayang-bayang saya mengganggu hidup kalian. Tapi karena kamu sudah melihat saya, maka saya katakan semuanya."
"Adit ...." Aku berbisik, tidak percaya dengan apa yang dia ucapkan. Katanya dia mencintaiku, kenapa malah menyerah seperti ini?
"Maaf, Nissa. Maafkan saya karena membuatmu menderita seperti ini. Sekarang, kamu bisa menikah dengan Fadil. Dia hanya mencintaimu, bukan Anin." Ia berbisik pelan, diikuti sebuah ciuman lembut di bagian dahiku.
Adit menatapku sesaat. Ia memutar tubuh hendak pergi. Aku menahan tangannya.
"Jangan buat saya berat meninggalkan kamu, Nissa ...."

Aku membawa tangannya ke perutku, merasakan kehadiran buah hati kami di dalam perutku. Namun, dia malah mengerutkan dahi.
"Kamu makin gemuk?" Aku semakin kesal mendengar kalimatnya barusan.
"Kamu tidak merasakannya?"
Adit masih bergeming. Tangannya sama sekali tidak bergerak. Aku berjinjit, mengecup bibirnya singkat.
"Aku mencintaimu," bisikku. Adit mematung, tidak bergerak sama sekali.
"Kamu tidak merasakannya?"

Adit membisu. Matanya perlahan melebar entah karena merasakan apa yang kurasakan, atau karena kebingungan.
"Nissa ... kamu?"
"Aku hamil ... anak kita."
"Nissa ... saya ...." Adit menjauhkan tangannya. Ia terlihat kebingungan.
"Kenapa? Kamu nggak mau dia ada?"
"Nissa, saya senang, sangat senang dia ada. Tapi kamu ... cinta kamu ...."
"Kamu tuli?" Aku memotong ucapannya dengan kesal. Aku menghapus air mata di wajah dengan kasar. "Aku cinta kamu, Dit. Bukan adik kamu. Aku maunya sama kamu saja, bukan orang lain."
"Nissa ... kamu serius? Kamu akan menderita jika hidup tanpa orang yang kamu cintai."
"Iya. Aku menderita, Dit. Aku menderita saat kamu egois ninggalin aku sendiri, tanpa kabar ...." Isakan keluar dari bibirku, mengingat betapa frutrasinya aku tanpa Adit.
Dia membawaku ke pelukannya.

"Saya nggak pernah jauh dari kamu. Saya selalu mengikuti kamu setiap kali keluar rumah, termasuk saat kamu menemani Naura ke rumah sakit ...."
"Aku juga periksa kandungan." Aku menggerutu. "Seharusnya kamu juga ada. Biar denger detak jantung anak kita. Kamu tahu? Suaranya indah banget. Bikin aku tenang."
"Saya tidak akan meninggalkan kamu lagi."
"Sekarang, kita ketemu sama keluarga lainnya."

Aku menuntun Adit menemui keluarga kami di depan ruang operasi. Sama sepertiku, semuanya juga kaget.
"Umi. Ada apa? Kenapa semuanya menangis?"
"Naura ... tidak bisa diselamatkan." Umi tersedu. Adit memeluk Umi untuk menenangkannya.
"Umi, Abi ...." Fadil menyahut. Semua perhatian tertuju padanya.
"Saya juga dapat kabar, Fajar meninggal di penjara."

Anak Naura, menjadi yatim piatu sejak lahir.
***

"Nissa, ini kok nggak bisa diam, sih?" Anin menggerutu. Dalam gendongannya, Nafisa sedang menangis keras.
"Mungkin laper, atau dingin. Coba benerin pakaiannya," ujarku sambil meletakkan nampan di atas meja. Di ruang keluarga, Adit diberikan pertanyaan demi pertanyaan dari keluarganya.
"Kayaknya, aku nggak bisa jagain dia, deh." Anin mendesah pelan. Niat awalnya, dia yang akan merawat Nafisa karena menurut pernyataan dokter, Anin tidak bisa hamil.
"Coba aja dulu. Kan ada Umi yang bisa bantuin kamu," saranku.
"Kamu aja deh, yang jagain dulu. Nanti kalau kamu udah lahiran, giliran aku yang jaga. Gimana? Aku mau belajar dulu, Nis."
"Hm ... oke deh. Itung-itung, aku juga mau belajar jadi ibu." Aku meraih Nafisa ke dalam gendonganku. Bayi mungil ini masih saja terus menangis.
"Nissa, ayo pulang!" Adit muncul dari balik pintu dapur.
"Udah selesai sesi tanya jawabnya?" Aku tersenyum tipis.
Adit mengusap tengkuknya. "Udah."
"Nafisa kita bawa, ya?"
Adit merangkulku. "Boleh."
***

"Adit, sudah selesai?" Aku berdiri di dekat box bayi. Sudah hampir sejam ini Adit hanya sibuk dengan ponselnya.
"Dikit lagi."
Katanya, dia ingin belajar cara merawat anak melalui internet. Padahal, sudah lebih sebulan ini dia bisa menjaga Nafisa dengan baik.
"Apa lagi, sih? Kita belajarnya perlahan aja." Aku membaringkan tubuh di atas tempat tidur. Mata ini sangat lelah karena kurang istirahat. Nafisa sering bangun tengah malam. Di siang hari, aku tetap ekstra menjaganya.

"Bukan itu, Sayang." Dia meletakkan ponsel di atas meja. "Katanya, setelah kandungan berusia lebih 5 bulan, udah kuat."
"Terus?"
"Bisa dong, ya, saya tengokin dia?"
"Tengokin? Maksudnya?"
"Ntar saya jelasin." Dia mencium dahiku pelan. Lalu membantuku bangun dari posisi tidur. Ia membisikkan doa di telinga sebelum mencium bibirku buru-buru.

Adit baru saja membaringkan tubuhku di atas tempat tidur kala suara jeritan dari box bayi terdengar memecahkan keheningan malam. Aku mendorong tubuh Adit secara otomatis, beralih pada Nafisa yang sedang menangis.

"Sayang ...." Adit menggerutu.
"Maaf."

***TAMAT***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER